Permohonan Keberatan HIP Ditolak, Harapan Baru Bagi Petani Plasma Buol

Para petani perempuan, pemilik lahan senang perjunagan mereka ada sedikit angin seger lewat keputusan KPPU. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Para petani perempuan, pemilik lahan senang perjunagan mereka ada sedikit angin seger lewat keputusan KPPU. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
  • Permohonan keberatan yang diajukan oleh PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia (RI) aditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
  • Dengan ditolaknya permohonan keberatan oleh Pengadilan Niaga, putusan KPPU yang menjatuhkan sanksi dan perintah perbaikan tetap berlaku. Dalam putusan tersebut, KPPU menjatuhkan sanksi sebesar Rp 1 miliar kepada HIP dan memerintahkan perbaikan dalam pelaksanaan kemitraan mereka.
  • Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), menyampaikan keputusan ini merupakan langkah penting dalam menegakkan keadilan, dan menjadi harapan baru bagi petani plasma pemilik lahan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
  • Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) yang mendampingi petani plasma di Kabupaten Buol, mengkritik keras praktik kemitraan pembangunan kebun sawit yang dijalankan oleh HIP. Menurutnya, kemitraan yang telah berlangsung ini sangat merugikan petani.

Permohonan keberatan yang diajukan oleh PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia (RI) akhirnya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang untuk umum pada Kamis, 21 November 2024.

Keberatan yang diajukan oleh HIP terkait dengan putusan KPPU RI Nomor 02/KPPU-K/2023 tanggal 9 Juli 2024. Dalam putusan tersebut, KPPU menjatuhkan sanksi sebesar Rp 1 miliar kepada HIP dan memerintahkan perbaikan dalam pelaksanaan kemitraan mereka dengan Koperasi Tani Plasma Amanah (Koptan Amanah) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

Sanksi ini diberikan atas pelanggaran yang terkait dengan pelaksanaan kemitraan di sektor kelapa sawit yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, khususnya dalam hal keadilan dan keseimbangan dalam hubungan kemitraan antara perusahaan dan petani plasma.

Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang

Dengan ditolaknya permohonan keberatan oleh Pengadilan Niaga, putusan KPPU yang menjatuhkan sanksi dan perintah perbaikan tetap berlaku. Keputusan ini menunjukkan bahwa hukum telah menegakkan keadilan atas dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan kemitraan yang merugikan petani plasma.

Sanksi yang dimuat dalam putusan tersebut adalah bagian dari hasil Sidang Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengadili perkara nomor 02/KPPU-K/2023. Perkara ini berfokus pada dugaan pelanggaran Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Kemitraan, yang melibatkan hubungan kemitraan antara HIP dan Koperasi Tani Plasma Amanah (Koptan Amanah).

Sidang tersebut dipimpin oleh Gopprera Panggabean sebagai Ketua Majelis, dengan Aru Armando dan Budi Joyo Santoso sebagai Anggota Majelis. Pembacaan putusan dilakukan pada tanggal 9 Juli 2024 di kantor KPPU di Jakarta. Dalam putusan tersebut, KPPU memutuskan terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemitraan yang diatur dalam undang-undang, serta memberi sanksi jika diperlukan.

Para petani plasma di Buol, terus berupaya mendapatkan tanah mereka kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Para petani plasma di Buol, terus berupaya mendapatkan tanah mereka kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Seniwati, salah satu pemilik lahan dan anggota Koptan Amanah, menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas keputusan pengadilan yang dapat menegakkan keadilan bagi para petani. Ia mengakui, sebelumnya merasa khawatir soal permohonan keberatan yang diajukan oleh HIP mungkin akan dimenangkan di Pengadilan Niaga.

Namun, setelah putusan hakim, Seniwati merasa lega karena pihak pengadilan telah melihat kebenaran dan menegakkan keadilan. Ia berharap, perjuangan yang dilakukan bersama petani pemilik lahan ini terus mendapatkan dukungan, dan Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai upaya mereka.

Walaupun begitu, Seniwati juga mengingatkan bahwa kemungkinan besar HIP akan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Oleh karena itu, pihaknya berharap agar proses hukum tetap berjalan dengan adil dan transparan, serta tidak ada lagi upaya untuk mengabaikan hak-hak petani.

Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan

Seniwati juga menekankan bahwa keputusan ini menjadi landasan yang kuat bagi pemerintah daerah Kabupaten Buol, terutama kepada Penjabat Bupati atau Bupati yang nanti terpilih, untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan masalah kemitraan yang telah berlangsung lama dan merugikan petani.

Ia berharap agar DPRD Kabupaten Buol yang baru terpilih juga dapat serius terlibat dalam penyelesaian masalah ini. Pasalnya, kata dia, kemitraan yang tidak adil ini sudah terlalu lama berlangsung, dan mereka menginginkan agar hak-hak petani pemilik lahan dapat ditegakkan.

“Saya berharap penegak hukum dapat terus menegakkan keadilan, dan kami berharap hasil perjuangan ini dapat membawa kebaikan bagi semua petani plasma,” ujar Seniwati melalui siaran pers yang diterima pada 26 November 2024.

Harapan Baru Pertani Sawit Buol

Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), menyampaikan ucapan terima kasih kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan yang menolak permohonan keberatan HIP dan menguatkan putusan KPPU Nomor 02/KPPU-K/2023 tanggal 9 Juli 2024.

Menurutnya, keputusan ini merupakan langkah penting dalam menegakkan keadilan, dan menjadi harapan baru bagi petani plasma pemilik lahan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Putusan ini diharapkan bisa menjadi dasar pemerintah daerah serta pihak terkait dapat membantu memperbaiki situasi yang telah berlangsung lebih dari satu setengah dekade.

Sebenarnya, kata Fatrisia, praktik kemitraan yang dijalankan oleh HIP di Kabupaten Buol tidak hanya melibatkan petani yang tergabung dalam Koptan Amanah, tetapi juga melibatkan enam koperasi lainnya, yaitu Koperasi Plasa, Koperasi Awal Baru, Koperasi Bersama, Koperasi Idaman, dan Koperasi Fisabililah. Kemitraan ini mencakup sekitar 4.934 petani dengan luas lahan mencapai 9.746 hektar.

Baca juga: Permohonan Keberatan HIP Ditolak, Harapan Baru Bagi Petani Plasma Buol

Namun, meskipun kemitraan ini melibatkan ribuan petani dan lahan yang cukup luas, kenyataannya, para petani tidak mendapatkan keuntungan apapun dari hasil kebun sawit tersebut. Ironisnya, kata Fatrisia, lahan beserta sertifikat tanah yang seharusnya menjadi milik petani, kini justru dikuasai sepenuhnya oleh PT. HIP.

Ia bilang, masalah utama dalam kemitraan ini adalah pengelolaan kebun sawit yang sepenuhnya dikelola oleh HIP, tanpa adanya keterlibatan yang signifikan dari petani atau koperasi. Semua kegiatan operasional dilakukan oleh perusahaan melalui sistem manajemen satu atap, yang sangat rentan terhadap manipulasi dan praktik korupsi.

Kondisi itu semakin diperparah karena tidak ada mekanisme transparansi atau pengawasan yang memadai dari pihak koperasi atau para pemilik lahan. Menurutnya, praktik semacam ini jelas merugikan, karena petani tidak hanya kehilangan bagian dari hasil kebun, tetapi juga tidak memiliki kontrol atas pengelolaan kebun dan lahan mereka.

“Ketidaktransparanan ini telah menyebabkan ketimpangan dalam kemitraan, di mana perusahaan lebih diuntungkan sementara petani semakin terpinggirkan,” tegasnya.

Petani plasma Buol menuntut keadilan atas lahan mereka kepada PT HIP. KPPU pun Juli lalu memutuskan kalau perusahaan sawit ini melanggar kesepakatan kemitraan. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Petani plasma Buol menuntut keadilan atas lahan mereka kepada PT HIP. KPPU pun Juli lalu memutuskan kalau perusahaan sawit ini melanggar kesepakatan kemitraan. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Selain itu, kata Fatrisia, putusan KPPU yang dikuatkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan bukti bahwa HIP telah melakukan pelanggaran dalam kemitraannya dengan petani plasma di Kabupaten Buol.

Menurutnya, putusan ini dapat memberikan dasar yang kuat bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk segera menyelesaikan permasalahan kemitraan yang sudah bertahun-tahun merugikan para petani.

Adapun keputusan tersebut, kata dia, bukan hanya sebuah kemenangan hukum, tetapi juga sebuah bukti bahwa perusahaan besar seperti HIP tidak kebal dari hukum. Ia bilang, keputusan ini jelas menunjukkan bahwa HIP yang telah melanggar hukum, dan semua pihak sudah saatnya bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

“Pemerintah daerah, khususnya Pj. Bupati atau Bupati yang akan terpilih, harus melihat putusan ini sebagai dasar untuk menyelesaikan konflik kemitraan yang telah berlangsung puluhan tahun dan merugikan para pemilik lahan,” ujar Fatrisia.

Baca juga: Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar

Ia juga berharap agar DPRD Kabupaten Buol yang baru terpilih dapat lebih serius dalam menangani masalah kemitraan yang selama ini terabaikan. Ia menegaskan, Anggota DPRD yang baru terpilih harus menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan hak petani.

“Jangan sampai mereka hanya menjadi penonton atau terlibat dalam permainan politik seperti DPRD sebelumnya,” tambah Fatrisia.

Meski begitu, Fatrisia cukup khawatir mengenai tindakan HIP yang terkesan menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kepentingan perusahaan. Hal itu sangat tergambar jelas ketika KPPU memutuskan HIP bersalah melalui sidang putusan pada tanggal 9 Juli 2024 lalu.

Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Ketika itu, kata dia, HIP tetap melakukan tindakan yang dinilai intimidatif, seperti memobilisasi pasukan Brimob untuk melakukan panen paksa di lahan kemitraan yang sementara dihentikan operasionalnya oleh petani. Tindakan tersebut menunjukkan bagaimana HIP memiliki pengaruh untuk menggerakkan aparat penegak hukum demi melindungi kepentingannya.

“Kita semua tahu bahwa HIP bukanlah perusahaan sembarangan, yang selama ini melakukan banyak pelanggaran namun tetap tidak tersentuh, saya berharap putusan KPPU ini membuka jalan untuk perubahan,” ujar Fatrisia.

Fatrisia menambahkan konflik petani dan HIP ini adalah masalah kemitraan yang harus diselesaikan melalui jalur perdata, bukan kriminalisasi. Dirinya mengingatkan aparat penegak hukum, khususnya pihak kepolisian, untuk lebih cermat dan presisi dalam menangani masalah ini.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Terlebih lagi, kata dia, sudah ada dua lembaga negara—KPPU dan Pengadilan Niaga—telah menyatakan bahwa HIP terbukti bersalah dalam pelaksanaan kemitraannya. Ia bilang, seharusnya tidak seharusnya ada proses kriminalisasi atau intimidasi terhadap para petani dan aktivis yang selama ini berjuang untuk hak mereka.

“ini adalah konflik kemitraan, masalah perdata yang penyelesaiannya harus melalui jalur perdata. Kami meminta agar proses kriminalisasi terhadap petani dan aktivis yang selama ini terjadi dihentikan,” tegasnya.

Fatrisia berharap agar pihak berwenang dapat segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan masalah ini dan memastikan bahwa para petani mendapatkan hak mereka yang telah lama terabaikan. Ia juga meminta agar pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, turut serta dalam memastikan keadilan bagi petani di Kabupaten Buol.

Dengan keputusan yang sudah diambil oleh KPPU dan diperkuat oleh Pengadilan Niaga, Fatrisia menginginkan HIP akan segera melakukan perbaikan dalam kemitraannya, khususnya dalam hal transparansi dan pembagian hasil yang adil kepada para petani.

2 orang perempuan tani pemilik lahan plasma rela berbaring di bawah mobil dam milik perusahaan, untuk menahan agar TBS tidak diangkut ke pabrik pengolahan PT HIP. Kebun plasma di desa Maniala, Kabupaten Buol. (Foto: FPPB)
2 orang perempuan tani pemilik lahan plasma rela berbaring di bawah mobil dam milik perusahaan, untuk menahan agar TBS tidak diangkut ke pabrik pengolahan PT HIP. Kebun plasma di desa Maniala, Kabupaten Buol. (Foto: FPPB)

Perusahaan Tak Ada Itikad Baik

Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) yang mendampingi petani plasma di Kabupaten Buol, mengkritik keras praktik kemitraan pembangunan kebun sawit yang dijalankan oleh HIP. Menurutnya, kemitraan yang telah berlangsung ini sangat merugikan petani dan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut sejak awal tidak memiliki itikad baik dalam menjalin kerjasama dengan para petani.

Ali menilai, upaya HIP untuk menguasai kemitraan ini dapat dilihat melalui beberapa modus yang merugikan petani, salah satunya dengan cara mengendalikan sepenuhnya pengelolaan kebun tanpa melibatkan petani secara adil.

“Pengelolaan kebun sawit dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan tanpa ada keterlibatan yang setara dari petani melalui koperasi,” ungkap Ali.

Ia menyebutkan bahwa tidak ada penyusunan rencana kerja tahunan yang melibatkan petani dan perusahaan secara bersama, padahal hal itu seharusnya menjadi bagian dari perjanjian kemitraan. Selain itu, Ali menyoroti tidak adanya pengawasan atas pelaksanaan pekerjaan di kebun.

Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Meskipun dalam perjanjian terdapat klausula yang mengatur hal ini, kenyataannya perusahaan tidak pernah menjalankan klausul tersebut, termasuk dalam hal pelibatan petani dalam pengelolaan kebun. Semua ini, katanya, mencerminkan bahwa perusahaan lebih mengutamakan kepentingannya sendiri, tanpa memperhatikan kesejahteraan petani yang telah bekerja sama sejak awal.

Ali juga menyayangkan kurangnya transparansi dalam kemitraan ini. Menurutnya, HIP seharusnya menjalankan kemitraan dengan prinsip keadilan dan keterlibatan aktif petani dalam setiap tahap pengelolaan kebun. Namun, kenyataannya perusahaan cenderung berfokus pada keuntungan pribadi, sementara para petani tidak mendapatkan bagian yang adil dari hasil kebun.

Dalam beberapa kesempatan, para petani mengeluhkan bahwa mereka tidak diberi informasi yang jelas terkait dengan pengelolaan kebun dan hasil panen. Ali berharap bahwa pemerintah dan pihak berwenang dapat segera turun tangan untuk memastikan kemitraan yang lebih adil bagi petani.

Selain pengelolaan kebun yang sepenuhnya diambil alih oleh HIP, Ali juga menyoroti sejumlah modus lain yang dianggap bertujuan untuk menguasai lahan dan sertifikat milik petani. Salah satu langkah yang dilakukan oleh HIP adalah pengalihan piutang dari Bank Mandiri ke pihak perusahaan, yang diduga bertujuan untuk menahan sertifikat lahan petani.

Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Ali bilang, sebelum pengalihan utang dilakukan, HIP sengaja menciptakan kesan bahwa terjadi masalah pembayaran utang di Bank Mandiri. Di mana, sekitar 9 bulan, HIP tidak membayar angsuran kredit mereka di Bank Mandiri, yang kemudian memicu proses pengalihan piutang kepada pihak perusahaan.

“Pengalihan ini, didesain sedemikian rupa untuk mengamankan sertifikat tanah petani di tangan HIP,” ucapnya.

Ali juga mengungkapkan bahwa koperasi petani dibebankan dengan utang yang tidak masuk akal, sementara tidak ada transparansi mengenai pengelolaan keuangan kebun. Disisi lain, katanya, selama ini tidak ada audit keuangan yang dilakukan terhadap koperasi, padahal beban utang yang ditanggung sangat besar dan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

“Praktik ini, semakin membebani petani tanpa memberi mereka kontrol atau pemahaman yang jelas mengenai keadaan keuangan kemitraan,” jelas Ali

Tak hanya itu, Ali juga mengungkapkan bahwa saat ini pengelolaan kebun telah dialihkan kepada perusahaan lain. Ini adalah langkah lanjutan yang jelas bertujuan agar HIP tetap dapat menguasai kebun dan sertifikat tanah petani. Pengalihan pengelolaan kebun ini, menurut Ali, semakin menunjukkan niat HIP untuk menguasai aset-aset yang seharusnya menjadi milik petani plasma.

Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera

Dari serangkaian tindakan yang dilakukan PT. HIP—mulai dari pengalihan piutang, pemberian beban utang yang tidak wajar, hingga pengalihan pengelolaan kebun—semuanya bertujuan untuk mempertahankan kendali atas kebun dan sertifikat petani.

“Saya berharap agar pihak berwenang segera mengambil tindakan untuk memastikan bahwa petani mendapatkan hak mereka dan kemitraan ini dijalankan secara adil dan transparan,” harapnya

Belum lagi, dalam persidangan yang berlangsung di KPPU dan Pengadilan Niaga, HIP diduga mengajukan sejumlah dalil yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dirinya sangat mengkritik keras upaya perusahaan yang mencoba membenarkan praktik kemitraan yang merugikan petani melalui argumen yang tidak berdasar.

Salah satu dalil yang diajukan HIP dalam persidangan adalah tuduhan mengenai pencurian Tandan Buah Segar (TBS) oleh petani yang kemudian dijual ke perusahaan lain. Namun, Ali menilai bahwa tuduhan ini tidak berdasar dan cenderung digunakan untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan utama, yaitu ketidakadilan dalam pembagian hasil kebun.

“Tuduhan tersebut tidak didukung dengan bukti yang jelas. Ini hanya salah satu upaya perusahaan untuk menyudutkan petani,” ujar Ali.

Ratusan petani yang tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengadakan aksi damai di DPRD Kabupaten Buol. (FPPB)
Ratusan petani yang tergabung dalam Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengadakan aksi damai di DPRD Kabupaten Buol. (FPPB)

Dalam persidangan, HIP juga berdalih bahwa perbaikan kemitraan tidak dapat dilakukan sebelum ada revisi Surat Keputusan Bupati tentang petani peserta plasma. Menurut perusahaan, revisi tersebut dianggap sebagai syarat untuk memperbaiki hubungan kemitraan. Namun, Ali menilai alasan ini tidak dapat dibenarkan, mengingat kenyataan di lapangan yang berbeda.

“Di lapangan, perusahaan terus mengambil hasil kebun tanpa memberikan bagian yang adil kepada petani. Padahal, mereka telah dinyatakan bersalah dalam praktik kemitraan ini oleh KPPU,” kata Ali.

Ia menambahkan bahwa meskipun ada klaim perusahaan terkait revisi Surat Keputusan Bupati, hal ini tidak seharusnya menghalangi perusahaan untuk melakukan perbaikan dalam kemitraan dan memastikan petani mendapatkan hak mereka.

Baca juga: Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan

Pendeknya, kata Ali, dalil-dalil yang diajukan oleh PT. HIP dalam persidangan cenderung tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan dan lebih banyak bertujuan untuk membela kepentingan perusahaan, bukan untuk menegakkan keadilan bagi petani.

“Saya berharap agar pihak berwenang dapat lebih bijaksana dalam melihat fakta di lapangan dan segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan permasalahan kemitraan yang merugikan petani,” pungkasnya.

Saya menghubungi Bambang Luky Dewanto, Lead HRGH HIP untuk meminta keterangan soal permohonan keberatan yang ditolak Majelis Hakim Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, melalui pesan whatsapp dan telepon, Bambang Luky Dewanto tak pernah menjawab dan mengangkatnya.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.