- Ancaman deforestasi baru dan terencana terus mengintai hutan alam atas nama proyek transisi energi di berbagai daerah Indonesia termasuk di Gorontalo. Berdasarkan temuan Forest Watch Indonesia (FWI) awal 2024 yang ditampilkan , dari bisnis biomassa kayu, ada sekitar 1.105 hektar hutan alam di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo mengalami deforestasi periode 2021 – 2023.
- Dari data Forest Watch Indonesia (FWI) , dua perusahaan sawit dengan izin dicabut dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01/2022 ternyata mengajukan izin lagi. Mereka tampil dengan wajah baru, hutan tanaman energi.
- Kedua anak perusahaan dari Provident Agro Group itu mengajukan izin perhutanan sosial pada lokasi yang sama kepada KLHK. Pada 13 Mei 2020, KLHK akhirnya menyetujui usulan dengan skema hutan hak seluas 15.493 hektar untuk PT BTL dan 11.860 hektar untuk PT IGL. Kebijakan KLHK itulah yang membuat pencabutan izin tidak mengubah apapun. Jadi, kedua perusahaan itu masih beroperasi di lapangan
- Fenomena itu juga selaras dengan laporan Walhi pada tahun 2023 yang menemukan PT BTL dan PT IGL membangun pabrik industri pengolahan pelet kayu ( wood pe l let ) dan penanaman kaliandra dan gamal. Kedua jenis tanaman ini dikenal tanaman energi dan diberi label biomassa hijau bahan baku pelet kayu
Transisi energi dengan memanfaatkan biomassa kayu akhirnya terus mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara masif Indonesia. Ancaman deforestasi baru dan terencana pun mengintai hutan alam di berbagai daerah Indonesia, termasuk di Gorontalo.
Berdasarkan temuan Forest Watch Indonesia (FWI) pada awal 2024 menunjukan, akibat bisnis biomassa kayu, sudah ada 1.105 hektar hutan alam di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo mengalami deforestasi sejak 2021 sampai 2023.
Menurut penelusuran FWI, deforestasi itu terjadi di dalam konsesi PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL). Anehnya, PT BTL ini adalah salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah dicabut izinnya menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 01 Tahun 2022.
Selain PT BTL, terdapat juga satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Pohuwato yang izinnya dicabut, yakni PT Inti Global Laksana (IGL) dengan luasan izin lokasinya berdampingan dengan PT BTL. Anehnya, kedua perusahaan sawit ini justru terus masih beroperasi seperti biasa hingga kini serta mengubah jenis usaha komoditas di lapangan.
Meski begitu, menurut analisis spasial perizinan FWI (2024) menemukan, dari kedua perusahaan itu, hanya PT BTL yang mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). Sementara PT IGL belum diketahui telah mengantongi izin HGU atau tidak.
Fenomena itu juga selaras dengan laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada tahun 2023 yang menemukan, PT BTL dan PT IGL telah membangun pabrik industri pengolahan kayu wood pellet dan melakukan penanaman Kaliandra dan Gamal. Kedua jenis tanaman ini dikenal tanaman energi sebagai green biomass bahan baku wood pellet.
Sebelumnya, menurut laporan Walhi, PT BTL beroperasi melalui izin lokasi Bupati Pohuwato berdasarkan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010 tanggal 1 Juni 2010 tentang pemberian izin lokasi seluas 16.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Wilayah izinnya berlokasi di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur dan Lemito di Kabupaten Pohuwato.
PT BTL sendiri mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dengan entitas PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) I dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) II. PT BTL I mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan pada 2012 dengan luas 6.934,48 hektar, dan PT BTL II dengan luas 8.863,00 hektar pada 2014. Artinya, ada sekitar 15.797,48 hektar izin pelepasan kawasan hutan milik PT BTL.
Sementara, PT IGL beroperasi melalui izin lokasi Bupati Pohuwato berdasarkan surat keputusan Nomor 170/01/VI/2010 tentang pemberian izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 12.000 hektar. Wilayah izin PT IGL berlokasi di Kecamatan Lemito, Wanggarasi di Pohuwato. PT IGL pun mendapatkan izin pelapasan kawasan hutan dari KLHK dengan luas sama dengan izin lokasi.
Izin pinjam pakai kawasan hutan milik PT BTL dan PT IGL itulah yang kemudian dicabut Presiden Jokowi pada Pada 6 Januari 2022. Namun, diam-diam kedua anak perusahan dari Provident Agro Group itu justru telah mengajukan izin perhutanan sosial pada lokasi yang sama kepada KLHK.
Pada 13 Mei 2020, KLHK pun akhirnya menyetujui usulan tersebut dengan skema Hutan Hak dengan luas 15.493 hektar kepada PT BTL dan 11.860 hektar kepada PT IGL. Menurut Walhi, kebijakan KLHK itulah yang membuat pencabutan izin dilakukan tidak merubah apapun. Sehingga, kedua perusahaan itu masih melakukan kegiatan operasionalnya di lapangan.
“SK pencabutan izin pelepasan kawasan yang dibebankan kepada konsesi-konsesi sawit di Pohuwato itu tidak berlaku dilapangan dan hanya bersifat pemberitahuan,” tulis Walhi dalam laporannya
Artinya, izin pinjam pakai kawasan hutan milik PT BTL dan PT IGL telah diputihkan atau dilegalkan kembali dari berdasarkan penetapan hutan hak yang diberikan oleh KLHK pada 13 Mei 2020. Perubahan Komoditas perkebunan pun dilakukan berdasarkan surat rekomendasi Perubahan Jenis Tanaman pada Izin Usaha Perkebunan No: 207/PI.400/E/2020, tanggal 4 Februari 2020 dari Perkebunan Sawit menjadi Gamal dan Kaliandra.
Alhasil, menurut temuan FWI, kedua perusahaan itu telah menyuplai bahan baku industri wood pelletnya ke PT Biomasa Jaya Abadi (BJA), satu-satunya perusahan pengolahan atau pabrik wood pellet di Pohuwato. Hal itu berdasarkan data dari Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) KLHK.
Dimana, menurut SILK KLHK itu, Pohuwato telah melakukan ekspor wood pellet dengan total produksi 21.066.025 kg dengan nilai 2.833.380 USD ke Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini menguasai komoditas wood pellet dari Indonesia dengan total 23.683.972 kg selama 5 bulan terakhir.
Dengan temuan itu, FWI menduga, PT BTL dan PT IGL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menjadi dalang operasionalisasi industri wood pellet PT BJA di Kabupaten Pohuwato. Diketahui, wood pellet digunakan sebagai bahan bakar pengganti batu bara di pembangkit listrik sebagai jalan transisi energi
“Artinya, PT BJA diduga dibentuk oleh PT BTL dan PT IGL yang sebagai penyedia kawasan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri wood pelletnya,” kata Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI melalui rilis yang diterima.
Pada Januari 2024 lalu, DPRD Provinsi Gorontalo sempat melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mempertanyakan perizinan yang dimiliki oleh PT BJA. Termasuk mempertanyakan legalitas eksportir yang dilakukan PT BJA, serta bahan industri wood pellet yang didapatkan dari perusahan yang memiliki izin perkebunan sawit.
Namun, Burhanuddin Direktur Operasional PT BJA di Gorontalo menepis pertanyaan itu. Ia bilang, kegiatan usaha PT BJA sudah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Perizinan yang diberikan itu, katanya, berdasarkan Surat Keputusan (SK) menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menlhk) No. SK. 267/Menlhk/Setjen/HPL.3/5/2021 pada tanggal 28 Mei 2021 tentang Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan (PBPHH).
“Terbitnya izin dari KLHK tersebut menjadi salah satu dasar bagi PT BJA bisa beroperasi seperti sekarang,” kata Burhanuddin, seperti dikutip dari faktanews.
Burhanuddin pun mengaku, dalam menjalankan kegiatan usahanya, PT BJA melakukan kerjasama dengan PT BTL dan PT IGL. Katanya, PT BJA beroperasi dengan dasar hukum yang kuat dan memiliki semua perizinan yang telah disyaratkan oleh pemerintah pusat serta daerah.
Meski begitu, menurut Anggi, pembangunan kebun energi yang dilakukan oleh PT BTL dan PT IGL tidak akan terlepas dari upaya land clearing dan deforestasi. Artinya akan ada deforestasi baru di Indonesia dari kebun energi yang ada di Gorontalo ini.
Terlebih lagi, kata Anggi, dari luasan konsesi yang dimiliki kedua perusahaan itu, setidaknya ada 17,70 ribu hektare hutan aman yang direncanakan dirusak (planned deforestation) untuk memenuhi kebutuhan ekspor wood pellet ke negara Jepang dan Korea Selatan.
Anggi bilang, kondisi ini akan mendorong deforestasi baru di Gorontalo. Dimana, FWI mencatat bahwa Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi sebesar 33.492 hektare 2017-2021. Data BPKH-TL Wilayah XV Gorontalo pun menyebutkan, kawasan hutan di Provinsi Gorontalo mengalami pengurangan sebesar 60.526,04 hektar sejak 2015 hingga 2021.
Data Global Forest Watch pun menyebut, dari tahun 2001 hingga 2022, Gorontalo kehilangan 132 ribu hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan tutupan pohon sebesar 13% sejak tahun 2000, dan 90,1 ton emisi CO₂e. Pohuwato mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak, yaitu 38,6 ribu hektar dibandingkan dengan rata-rata 18,9 ribu hektar.
Anggi bilang, masih terdapat 696.631 hektare hutan alam tersisa di Gorontalo yang perlu dijaga. “Hutan alam yang tersisa itu harus dijaga di tengah tekanan pembangunan dengan berbagai kepentingan yang membutuhkan lahan yang tidak sedikit,” kata Anggi Putra Prayoga.
Deforestasi Terselubung
Wood pellet yang dihasilkan dari kebun energi di Gorontalo ini sebenarnya bentuk dari program transisi energi Pemerintah Indonesia yang ingin memanfaatkan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi. Hal itu pun masuk dalam kebijakan Forest and Land Use (FOLU) Net Sink 2030 sebagai salah satu usaha utama Indonesia memenuhi komitmen melawan krisis iklim dalam Perjanjian Paris.
Adapun kebijakan ini sudah masuk dalam target iklim nasional yaitu Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022 dan strategi rendah karbon jangka panjang, Long Term Strategy-Low Carbon Climate Resilience (LTS-LCCR).
Dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 itu, pemerintah menargetkan hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Kontribusi sektor hutan, menurut versi pemerintah, pada akhir dekade mendatang harus bisa lebih banyak menyerap karbon, dibandingkan melepaskannya sehingga dapat berperan aktif meredam krisis iklim.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dari sebagai bagian dari sektor energi ingin ikut mendukung komitmen pemerintah menurunkan emisi karbon. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN Tahun 2021-2030, salah satu strategi yang diandalkan PLN untuk menurunkan emisi karbon adalah pemanfaatan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi.
Wood pellet adalah salah satunya bahan bakar berbasis biomassa yang ingin digunakan PLN untuk dicampurkan dengan batu bara di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Proses itu disebut sebagai Co-firing biomassa, atau pembakaran batu bara bersama biomassa dalam sistem pembakaran yang sama.
PLN memandang co-firing biomassa sebagai solusi yang murah untuk menurunkan emisi sektor pembangkit listrik serta menjadi strategi menurunkan emisi karbon. PLN menargetkan co-firing di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga 2025, dengan total kebutuhan biomassa 10,2 juta ton/tahun. Pada 2022 lalu, sudah ada 35 PLTU yang menerapkan co-firing dengan estimasi konsumsi biomassa 450.000 ton/tahun.
Untuk mencapai target jumlah biomassa sebanyak itu tentu hanya mungkin terpenuhi dari perkebunan kayu skala massal semacam perusahaan hutan tanaman energi (HTE). Namun, kebijakan ini dinilai berisiko melenggangkan deforestasi dan kerusakan hutan alam di Indonesia, seperti yang terjadi di Gorontalo. Artinya, ada deforestasi terselubung dari proyek transisi energi ini.
Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam penelitian yang dibuat Trend Asia pada 2022 dengan judul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,”. Dalam penelitian itu menemukan, pengembangan HTE untuk memenuhi target co-firing PLN justru berpotensi menimbulkan deforestasi, paling rendah 630 ribu hektare hingga tertinggi 2,1 juta hektar.
Adapun penelitian itu menjelaskan, kebun energi akan memberikan dampak buruk ekosistem hutan yang bernilai konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, pangan dan air, serta kehidupan lokal dan hak masyarakat adat.
Selain itu, penelitian itu menunjukkan bahwa co-firing batubara dengan biomassa hanya memperpanjang umur pemakaian energi fosil. Produksi biomassa pun dapat menghasilkan emisi karbon dari deforestasi yang dilakukan untuk pengolahan wood pellet atau pelet kayu.
Padahal, laporan terbaru tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang dirilis pada akhir tahun lalu menyebutkan, Emisi karbon dioksida (CO2) Global di tahun 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Amalya Reza Oktaviani, Manager Program Bioenergi Trend Asia mengatakan, terjadinya deforestasi terselubung dari proyek transisi energi yang menggunakan Co-firing biomassa ini berawal dari Permen ESDM Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dimana, aturan itu menyebut bahwa biomassa sebagai sumber energi terbarukan.
“Padahal biomassa sesungguhnya justru menghasilkan emisi dalam jumlah besar,” kata Amalya Reza Oktaviani melalui pesan Whatsapp pada 1 April 2024 lalu.
Tak hanya itu, kata Amalya, undang-undang Cipta Kerja yang mengenalkan perizinan multi-usaha dalam bidang kehutanan menjadi karpet merah bagi HTE untuk merusak hutan. Pasalnya, UU itu memungkinkan pelaku usaha mengembangkan berbagai model usaha dalam satu areal konsesi pemanfaatan hutannya, misalnya menggabungkan antara tanaman energi dengan jasa lingkungan.
Aturan turunan dari UU Cipta Kerja kerja pun memberikan jalan masuk yang begitu besar kepada HTE. Misalnya, kata Amalya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Dalam PP itu menjelaskan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) boleh berbisnis HTI, HPH, wisata, termasuk kebun energi dalam satu konsesi.
Dalam Pasal 91 ayat (2) di Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 juga memungkinkan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-Kehutanan yang “memiliki tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.”
Sementara, poin (l) dalam dalam pasal 91 ayat (2) itu menyebut, “pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi” masuk dalam kegiatan tersebut. HTE sendiri masuk dalam kategori ini, dan konsekuensinya dapat dibuka di kawasan hutan alam.
Bukan hanya itu, ada juga dua Peraturan Menteri LHK (Permen LHK) yang memudahkan eksploitasi hutan alam. Peraturan ini memungkinkan pengusaha membuka hutan alam untuk menggarap HTE dengan alasan mendukung ketahanan energi.
Dua aturan itu diantaranya, Permen LHK nomor 7 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan dan Permen LHK nomor 8 Tahun 2021 tentang Pemanfaatan Hutan Lindung.
Permen LHK Nomor 7 mengatur banyak hal tentang fasilitas HTE. Misalnya, Pasal 282 Ayat 7 mengatur perizinan pelepasan kawasan hutan dengan mudah yang ditujukan untuk mendukung ketahanan energi. Rekomendasi gubernur tidak diperlukan di sini.
Ayat 2 Pasal 369 memberikan insentif keuangan, dengan menghapus kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan untuk inisiatif yang mendukung ketahanan energi.
Pada Pasal 406 Ayat 5 pun menyebut izin penggunaan hutan untuk HTE juga lebih lama, mencapai 20 tahun, atau sepuluh kali lipat dari izin penggunaan hutan untuk industri biasa, yang hanya berlangsung 2 tahun.
Lalu, Pasal 404 juga menjelaskan HTE diberi preferensi untuk melakukan aktivitas persemaian di wilayah hutan tanpa harus menunggu penetapan batas areal kerja penggunaan wilayah hutan.
Adapun Permen LHK Nomor 8 justru mengatur adanya fasilitas yang disediakan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk HTE, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 23. Selain itu, dalam pasal 28 pun mengatur tentang penggantian biaya investasi.
Tak sampai disitu saja, Peraturan Presiden (PP) Nomor 112 Tahun 2022 juga memotivasi para pengusaha untuk membuka hutan dengan alasan menggarap HTE dan memasok pelet kayu (biomassa) untuk co-firing PLTU. Dimana, peraturan itu mengatur pembelian listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM) dijamin dengan standar harga tertinggi.
Dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 22 tahun 2017 juga mengatur hal serupa. Dimana, aturan itu mewajibkan penyedia tenaga listrik termasuk PLN harus membeli produk listrik dari PLTBM, dan mendorong pembangunan minimal 1 PLTBM di tiap provinsi di luar Jawa.
Kebijakan nilai ekonomi karbon juga memberikan ruang yang besar kepada HTE untuk merambah hutan alam di Indonesia dengan alasan dapat menyerap karbon. Sementara PLTU co-firing dianggap menghasilkan emisi di bawah ambang batas, sehingga dapat memperjualbelikan karbon.
Belum lagi, kata Amalya, ada regulasi tambahan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang mengatur insentif fiskal non fiskal untuk kebun energi dan PLTU co-firing. Ia bilang, semua regulasi ini hanya menguntung korporasi HTE dengan menafikan deforestasi yang telah terjadi akibat pembukaan konsesi.
Menurut data Auriga Nusantara, deforestasi yang terjadi pada tahun 2023 mencapai 257.384 hektar. Angka deforestasi itu mengalami kenaikan 26.624 hektar dari tahun sebelumnya. Ironisnya, sekitar 73,2 persen deforestasi itu terjadi di kawasan hutan, dan mayoritas berada dalam konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) atau kebun kayu.
“Deforestasinya bukan lagi terselubung, tapi terencana dan dilegalkan. Sehingga celah intervensi sulit dilakukan, kecuali melalui perubahan kebijakan,” jelas Amalya
Ia bilang, pemerintah harusnya serius melakukan transisi energi, bukannya menguntungkan pengusaha batubara, pengusaha kehutanan, dan dilegalkan melalui regulasi-regulasi tersebut. Katanya, Hal itu adalah langkah yang keliru dalam menghadapi krisis iklim.
“Memberikan insentif pada solusi palsu sama dengan menghambat transisi energi dan energi bersih berkelanjutan yang sebenarnya,” pungkasnya
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments