- Perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati, di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, konflik bertahun-tahun dengan warga, seperti terjadi di Kecamatan Toili. Para perempuan melawan, berusaha mendapatkan hak dari lahan kelola mereka yang sudah perusahaan tanami sawit.
- Adalah Samria Badjana, perempuan dari Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perusahaan sawit menjanjikan dapatkan bagi hasil kalau lahan mau ditanami sawit. Perusahaan juga janji akan uruskan surat kepemilikan pendaftaran tanah (SKPT) dari pemerintah desa. Janji tinggal janji. Bertahun-tahun tak ada kejelasan, Samria marah hingga berujung ke pengadilan. Samria masuk penjara.
- Berdasarkan catatan Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), 2000-2020, deforestasi bruto akibat dari aktivitas pembersihan lahan untuk perluasan perkebunan sawit PT KLS mencapai 19.972 hektar. Deforestasi di Suaka Margasatwa Bakiriang mencapai sebesar 3.532,46 hektar. Kondisi ini memicu konflik agraria yang hingga kini belum terselesaikan.
- Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, kriminalisasi perusahaan, tak bisa dibiarkan. Perusahaan merebut lahan kelola warga. Negara terkesan tutup mata dengan masalah petani. Kembalikan hak masyarakat dan selamatkan Suaka Margasatwa Bakiriang untuk kepentingan generasi kedepan.
Samria Badjana masih sangat konsisten hingga kini melawan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang berada di Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Ia masih memperjuangkan lahannya sekitar 109 hektar yang ditanami sawit oleh perusahaan tanpa pembagian hasil. Ironisnya, dirinya dikriminalisasi hingga rumahnya dibakar sebanyak tujuh kali.
Cerita Samaria itu bermula sejak tahun 2003. Saat itu, ia bersama keluarganya didatangi oleh Murad Husain yang merupakan pemilik PT. KLS. Kedatangan Murah itu untuk meminta lahan Samria untuk dibeli dengan harga Rp200 juta. Samria, langsung menolaknya, karena lahan itu merupakan satu-satunya harta mereka yang dikelola sejak 1982.
Penolakan Samria itu, tak membuat Murad berhenti untuk bernegosiasi. Murad kembali menawarkan lahan mereka ditanami sawit, dengan iming-iming pembagian hasil yang menggiurkan. Walaupun lahan itu berada di dalam Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang, mereka dijanjikan akan dibantu mendapatkan Surat Kepemilikan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Pemerintah Desa setempat.
Permintaan Murad itu disetujui oleh Samria bersama keluarga. Mereka langsung membuat kelompok sebanyak 22 orang dengan lahan yang akan diserahkan sebesar 44 hektar sebagai persyaratan kerjasama. Samria saat itu menjadi ketua kelompok yang bertanggung jawab untuk melengkapi semua perlengkapan administrasi semua anggota yang tak lain juga merupakan keluarganya.
Setahun kemudian, tepatnya tahun 2004, lahan sebesar 44 hektar milik kelompok Samria mulai digusur oleh PT. KLS untuk ditanami sawit. Saat itulah, tanaman-tanaman perkebunan seperti palawija, kakao dan sagu, yang dikelola Samria dan koleganya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka mulai tergerus sawit.
“Saat digusur, tanaman yang menopang hidup kita sehari-hari mulai hilang karena sawit. Saat itu, kita mulai sadar, kalau apa yang kita lakukan itu adalah salah,” kata Samria Badjana kepada Mongabay, awal April lalu.
Setelah penggusuran awal dilakukan, Samria bersama keluarganya mulai menagih SKPT yang dijanjikan oleh Murad. Beberapa persyaratan pun sudah dilengkapi oleh mereka, namun hingga panen awal dilakukan pada tahun 2009, SKPT tidak pernah diserahkan kepada mereka. Bahkan, mereka juga tidak pernah diberikan pembagian hasil seperti yang dijanjikan awal.
“Kita dijanjikan untuk pembagian hasilnya yaitu 60 persen untuk kita, dan 40 persen untuk perusahaan. Sehingga, kita menyepakatinya, tapi semua itu tidak ditepati hingga kini. SKPT juga tidak pernah diberikan,” jelasnya
Tak hanya itu, lahan mereka yang tidak masuk dalam kontrak perjanjian, mala digugur lagi oleh perusahaan tanpa sepengetahuan mereka. Total lahan milik Samria dan koleganya yang ditanami sawit sekitar 109 hektar. Bahkan, perusahaan membuat Basecamp untuk karyawan di dalam lahan mereka tanpa perundingan. Saat itulah, Samria mulai melakukan perlawanan untuk mengusir perusahaan sawit dari lahan garapan mereka.
Saat Samria ingin melakukan perlawanan, rumahnya yang berada di belakang Basecamp karyawan perusahaan, dibakar. Baju, perkakas rumah, sehingga bahan-bahan bangunan milik Samria hangus tinggal abu. Samria bilang, kejadian itu terjadi di penghujung tahun 2016, dan hanya baju dibadan yang tersisa.
Dengan kejadian itu, Samria berusaha ingin bertemu dengan Murad untuk meminta keadilan soal masalah tersebut. Namun, pertemuan itu tak kunjung terjadi, hingga dirinya melaporkan masalah itu ke Pemerintah Kabupaten Banggai hingga ke DPRD Banggai. Ironisnya, semua tidak ada yang merespon.
Akibat rumahnya dibakar, Samria membuat pondok kecil dibawa kelapa sawit berukuran sekitar 4 kali 6 meter. Pondok itu ditinggali bersama suaminya dengan 1 orang anak dan 2 orang cucunya. Sayangnya, selang beberapa bulan kemudian, pondoknya kembali dibakar lagi. Pembakaran itu diduga dilakukan oleh pekerja perusahaan sawit lagi.
Pembakaran rumah Samria itu, bukan hanya terjadi dua kali saja. Sejak tahun 2016 hingga 2019, kejadian pembakaran rumah Samria terjadi sebanyak tujuh kali. Maret tahun 2019 suasana menjadi panas, Samria tak bisa menahan emosinya lagi. Ia melakukan pemberontakan di Basecamp milik perusahaan yang tak jauh dari pondoknya. Kaca-kaca Basecamp ia pecahkan, bangunan-bangunan dirusak, dan semua orang didalamnya, diminta untuk keluar.
“Keluar kalian semua, kalian harus angka kali dari Basecamp ini. Lahan ini milik saya, jadi kalian semua harus keluar,” kata Samria yang menirukan saat dirinya tengah emosi ketika melakukan pemberontakan saat itu. Ada 24 jendela dari 12 kamar yang dirusak.
Pemberontak Samria saat itu yang kemudian menjadi landasan perusahaan melaporkan dirinya di Kepolisian hingga sampai ke persidangan di Pengadilan Negeri Luwuk. 9 November 2020, Majelis hakim memutuskan Samria dinyatakan bersalah dan terbukti melawan hukum menghancurkan, merusak Basecamp yang menjadi tempat tinggal karyawan PT. KLS. Ia mendapatkan hukuman percobaan selama dua bulan.
Bukan Hanya Samria
Apa yang dirasakan Samria, juga dialami oleh Wati, Warga Desa Toili, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai. Pertengahan tahun 2010, lahan milik Wati yang seluas 8 hektar tiba-tiba digusur dan ditanami sawit oleh PT. KLS saat malam hari tanpa sepengetahuan mereka. Paginya, Wati bersama suaminya langsung kaget dan lakukan protes. Perusahaan beralibi, kalau wilayah itu bagian dari izin pengolahan.
Geram dengan apa yang dilakukan oleh perusahaan, Wati dan suaminya setiap hari menjaga lahannya agar tidak dimasuki pihak perusahaan. Hal tersebut sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap perusahaan sawit yang sewenang-wenangan merampas lahan yang sudah sejak lama dikelola oleh.
Tahun 2017, Wati dan suaminya mencoba untuk memanen sawit yang ditanami PT. KLS di lahan mereka sendiri. Namun, alih-alih mendapatkan hasil, mereka mala dilaporkan perusahaan dengan tuduhan mencuri buah sawit. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2019 dengan masalah dan dudukan yang sama pula.
“Sawit saat itu, sudah sangat siap untuk dipanen. Perusahaan saat itu juga tidak melakukan perawatan, jadi kami mencoba untuk memanen. Tapi, kita dilaporkan ke Polisi dengan tuduhan mencuri sawit,” kata Wati kepada Mongabay awal April lalu.
Januari Tahun 2020, Wati dan suaminya ditangkap dan dibawa ke Polsek Toili untuk dilakukan pemeriksaan. Mereka ditangkap sekitar Pukul 01.00 WITA tengah malam, dan dipulangkan besok paginya karena polisi tidak memiliki bukti kuat. Penangkapan itu juga terjadi pada awal tahun 2021 saat Wati bersama suaminya mencoba memanen buah sawit, namun hasilnya tetap sama.
“Kita memiliki surat-surat lengkap atas kepemilikan lahan itu, dan perusahaan tidak memiliki bukti kepemilikan lahan itu. Itu yang membuat kita dibebaskan walaupun sudah dua kali kita ditangkap polisi,” jelasnya
Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan praktek kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan kepada masyarakat, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pasalnya, perusahaan merebut lahan warga yang sudah lama dikelola untuk menghidupi keluarga mereka. Menurutnya, negara juga terkesan tutup mata dengan masalah yang dihadapi petani dalam melawan sawit.
Eva Susanti Bande juga merupakan perempuan yang sejak dulu mengawal dan mendampingi masyarakat untuk melawan perusahaan PT. KLS. Pada tahun 2011, Eva memimpin aksi demonstrasi untuk memprotes PT. KLS yang menutup jalan kantong produksi petani di Desa Piondo, Kecamatan Toili. Jalan itu merupakan akses utama petani yang kerap dilalui mereka saat pergi ke kebun.
Saat itu, ratusan petani marah, dan meminta perusahaan segera memperbaiki jalan itu. Karena terpancing emosi, sejumlah petani melakukan tindakan merusak karena pihak perusahaan tidak mau memperbaiki jalan yang mereka lubangi. Atas kejadian itu, Eva sebagai pemimpin aksi tersebut dilaporkan ke kepolisian oleh perusahaan.
Pada tahun 2014, Eva ditangkap di Yogyakarta oleh tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung. Eva dituntut melanggar pasal 160 KUHP, yaitu melakukan kejahatan di depan penguasa umum, dan ia divonis 4,6 tahun penjara. Eva berupaya untuk mencari keadilan hukum sampai ke Mahkamah Agung. Namun, hukumannya hanya dikurang enam bulan saja, dan harus menjalani kurungan badan selama 4 tahun.
“Bentuk kriminalisasi yang didapatkan oleh petani dan kepada saya sangat terang-terangan di depan mata dan negara terkesan abai melihat itu untuk melindungi warganya. Kejadian itu merupakan preseden buruk untuk negara,” kata Eva kepada Mongabay awal April lalu
Lebih parahnya lagi, kata Eva, negara sepertinya hanya membiarkan kawasan konservasi SM Bakiriang kehilangan fungsinya sebagai kawasan konservasi akibat ada ekspansi sawit yang sudah masuk ke dalam sejak dulu. Negara juga seakan-akan mendukung deforestasi yang sengaja dilakukan oleh perusahaan sawit, padahal Indonesia sudah komitmen untuk menangani dampak perubahan iklim.
Di Toili, Kabupaten Banggai, perkebunan sawit mulai dibuka oleh PT. KLS yang merupakan perusahaan sawit milik Murad sejak tahun 1996. Hal tersebut berawal dari kepemilikan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) atas nama perusahaan PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP). Belakangan, pengolahan HTI itu berubah menjadi kebun sawit, dan sejumlah lahan masyarakat pun dicaplok untuk ditanami sawit, termasuk lahan Samri dan Wati, hingga berujung konflik.
Berdasarkan catatan Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), sejak tahun 2000 sampai 2020, deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit PT. KLS mencapai total 19.972 hektar. Sementara, deforestasi yang terjadi di kawasan konservasi SM Bakiriang mencapai sebesar 3.532,46 Hektar. Semua deforestasi yang dilakukan oleh PT. KLS yang memicu konflik agraria yang hingga kini belum terselesaikan.
Menurut Eva, konflik agraria yang terjadi di banggai, khususnya masalah petani yang sampai hari ini melawan perusahaan sawit PT. KLS harus segera diselesaikan. Ia meminta pemerintah Indonesia harus turun langsung menyelesaikan masalah tersebut serta mengembalikan lahan-lahan masyarakat yang sudah direbut perusahaan sawit.
Eva juga meminta Pemerintah Indonesia harus melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan konservasi SM Bakiriang. Selain itu, hak guna usaha (HGU) milik perusahaan PT. KLS yang berada di dalam perkebunan atau lahan warga harus dicabut. Ia juga meminta, perusahaan juga harus segera melakukan restorasi atau memulihkan kawasan konservasi yang sudah ditanami sawit.
“Tujuan semua tindakan yang kita lakukan untuk memperjuangkan hak masyarakat dalam merebut kembali lahan mereka dan menyelamatkan kawasan konservasi SM Bakiriang adalah untuk kepentingan generasi kedepan,” jelasnya
1 April 2022 lalu, Mongabay mendatangi Kantor PT. KLS yang yang berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Soho, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah untuk menanyakan seputar masalah ini, namun pihak perusahaan menyerahkan penjelasan kepada BKSDA.
Sementara itu, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni Hasmar juga tak memberikan keterangan soal ini. Panggilan telepon, serta pesan whatsapp yang dikirim Mongabay sampai hari ini tidak direspon sama sekali.
Perempuan Paling Terdampak dalam Konflik Agraria
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA), dalam 10 tahun terakhir sektor perkebunan yang mendominasi konflik agraria, dan perempuan menjadi salah satu gender yang paling terdampak. Pasalnya, perempuan mengalami beban ganda saat mengalami konflik agraria. Dimana, mereka tak hanya turun langsung berjuang merebut kembali lahannya, tetapi harus menjadi kuat untuk keluarganya.
Samria Badjana, Wati, dan Eva Susanti Bande adalah tiga orang perempuan yang sampai hari ini, masih melakukan perlawanan terhadap perusahaan perkebunan sawit yang sudah merampas tanah mereka. Alhasil, mereka didiskreditkan, diintimidasi, hingga dikriminalisasi. Padahal, menurut mereka, tanah seperti ibu yang harus diselamatkan ketika dirusak atau dirampas.
Dewi Ratna, dari Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (LIBU Perempuan) Sulawesi Tengah mengatakan, apa yang dilakukan Samria Badjana, Wati, dan Eva Susanti Bande merupakan bentuk gerakan ekofeminisme untuk memperjuangkan kelestarian alam yang menjadi sumber kehidupan mereka. Katanya, ada korelasi langsung antara perempuan dan alam, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Berdasarkan hal itu, praktik-praktik perjuangan perempuan kerap kali berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan, terkhusus dengan masalah perebutan lahan atau tanah mereka. Tak heran, perempuan menjadi paling terdampak dalam konflik agraria di Indonesia. Katanya, gerakan perempuan seperti itu merupakan kritik terhadap budaya maskulin yang menjadi landasan eksploitasi terhadap lingkungan dan perempuan.
“Sumber daya alam itu sebagai bagian dari hidup perempuan, dan perempuan yang kerap kali menjaga itu. Bahkan, mereka bisa menjadi salah orang yang paling terdepan untuk melawan jika ada yang mencoba merasakan ruang hidup mereka,” kata Dewi Ratna kepada Mongabay, 19 April lalu.
Dewi menjelaskan, jika lingkungan rusak, maka perempuan akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan serta mencari kehidupan. Apalagi, ada sedikit keterbatasan akses perempuan untuk bersekolah yang berdampak kepada pendidikan dan pengetahuan mereka. Sehingga, katanya, menghidupkan alam, menjadi pilihan utama bagi perempuan.
Selain itu, kata Dewi, langka perempuan untuk keluar dari desa juga sedikit terbatas. Perempuan biasanya hanya bisa menjadi petani dan mengelola lahan di desa mereka sendiri. Mereka mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agraria, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Jika semua itu di ganggu, sama saja hidup mereka juga diganggu. Katanya, Itu alasan mereka untuk melakukan perlawanan.
Menurutnya, negara harus melihat lebih dalam antara relasi perempuan dan alam, dimana perempuan mampu membangun kelestarian lingkungan serta menjaga sumber daya alam lebih lestari. Katanya, ada tiga argumen kuat yang menjadi alasan perempuan harus memiliki hak atas tanah dan properti diantaranya, argumen kesejahteraan, argumen kesetaraan dan pemberdayaan serta argumen praktik dan strategis berbasis gender.
Sebenarnya, kesetaraan gender dalam konflik agraria sudah tertuang jelas dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menjamin prinsip keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
Namun, kenyataannya agenda reforma agraria yang dijalankan pemerintah belum sepenuhnya menyentuh persoalan konflik agraria di indonesia. Dewi bilang, reforma agraria yang dicanangkan belum mampu membongkar politik agraria yang patriarki dan selama ini meminggirkan masyarakat, terlebih pada kaum perempuan. Perempuan seringkali memiliki keterbatasan dalam pengambilan keputusan atas kontrol penggunaan lahan serta hasilnya.
Perempuan juga kerap dibatasi dengan akses terhadap informasi; akses dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; fasilitas dan saluran untuk keluhan dan mekanisme pelaporan; serta terbatasnya akses perlindungan hak perempuan. Alhasil, peran produktif perempuan belum sepenuhnya diakui dan diperhitungkan, sistem hukum dan budaya patriarki yang berlaku di Indonesia menyebabkan perempuan masih mengalami diskriminasi dan terpinggirkan dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah.
“Samria Badjana, Wati, dan Eva Susanti Bande yang sampai hari ini melawan perusahaan sawit untuk memperjuangkan hak mereka menjadi bukti bahwa perempuan belum sepenuhnya diberikan ruang dalam reformasi agraria,” tandasnya
*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments