Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan

Petani plasma Buol menuntut keadilan atas lahan mereka kepada PT HIP. KPPU pun Juli lalu memutuskan kalau perusahaan sawit ini melanggar kesepakatan kemitraan. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Petani plasma Buol menuntut keadilan atas lahan mereka kepada PT HIP. KPPU pun Juli lalu memutuskan kalau perusahaan sawit ini melanggar kesepakatan kemitraan. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
  • Ratusan petani dari Desa Winangun, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah,  yang tergabung dalam Koperasi Tani Amanah protes kepada perusahaan sawit, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) dan pengurus Koperasi Tani (Koptan) Amanah, maupun Pemerintah Buol, 19 Agustus lalu. Para petani sawit pemilik lahan ini  mendesak pengembalian lahan mereka dan menuntut penghentian operasional kebun.
  • Tuntutan ini mereka lakukan karena sudah ada keputusan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 9 Juli lalu. Putusan itu menyatakan, HIP sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 20/2008 dalam Pelaksanaan Kemitraan dengan Koptan Amanah.  Hingga kini,  status kemitraan dan nasib tanah mereka belum jelas.
  • Seniwati Abd. Azis, anggota Koptan Amanah mengatakan, aksi mereka tidak lain meminta keadilan atas tanah yang saat ini dikuasai perusahaan. Pemerintah, pengurus Kontan Amanah, dan perusahaan mangaku siap menyelesaikan tuntutan petani, namun semua berakhir dengan kekecewaan, tanpa hasil.
  • Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB)  mendesak Polda Sulteng menarik pasukan di Buol, khusus di perkebunan sawit kemitraan HIP. Dia meminta, kepolisian netral dan bertindak presisi dalam kasus kemitraan ini.

Ratusan masyarakat Desa Winangun, Kabupaten Buol yang tergabung sebagai Anggota koperasi tani Amanah melakukan protes secara langsung kepada HIP dan pengurus Koperasi Tani (Koptan) Amanah, sekaligus Pemerintah Kabupaten Buol, pada Senin, 19 Agustus 2024. Para petani sawit ini ingin kembali menduduki lahan mereka dan menuntut penghentian operasional kebun lagi.

Hal tersebut dilakukan karena sudah ada putusan dari Majelis KPPU pada tanggal 9 Juli lalu yang menyatakan bahwa PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dalam Pelaksanaan Kemitraan dengan Koptan Amanah. Namun, hingga kini status kemitraan dan nasib tanah mereka makin hari, makin tidak jelas.

Seniwati Abd. Azis, anggota Koptan Amanah mengatakan, aksi yang dilakukan pihaknya tidak lain adalah untuk meminta keadilan atas tanah mereka yang saat ini sudah dikuasai oleh perusahaan. Ia bilang, pemerintah, pengurus Kontan Amanah, dan perusahaan mangaku siap untuk menyelesaikan tuntutan petani, namun semua kerap berakhir dengan kekecewaan, tanpa hasil.

Ironisnya, kata Seniwati, penyelesaian selalu berakhir tanpa musyawarah yang dijawab dengan pengerahan pasukan bersenjata. Ketika melakukan protes, katanya, para petani dilaporkan ke kepolisian atas berbagai tuduhan, hingga dituduh mencuri buah sawit dari tanah mereka sendiri. Tak jarang, mereka juga kerap difitnah, diintimidasi, serta selalu diteror ketika melakukan protes.

“Maka tidak akan pernah ada penyelesaian jika terus-terusan seperti ini, semakin carut marut dan langgeng. Apalagi jika pemerintah serta aparat keamanan tidak memihak masyarakat terdampak. Kami tidak ingin tanah kami dikuasai dengan cara-cara yang tidak adil. Masyarakat desa ini bukan kriminal, kami hanya sedang mengupayakan keadilan,” kata Seniwati Abd. Azis.

Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan

Sebelumnya, para petani sawit yang bermitra dengan HIP pernah melakukan aksi penghentian sementara operasional kebun mereka sejak 8 Januari 2024 sebagai upaya meminta keadilan dan perundingan dengan Perusahaan. Namun, pada 31 Juli 2024 lalu, kebun mereka dibuka secara paksa oleh Perusahaan dengan mengerahkan ratusan personel Brimob dan TNI di lokasi.

Pada saat proses pembukaan paksa itu, para petani pemilik lahan memilih tidak melakukan perlawanan untuk menghindari kerusuhan yang terjadi di desa mereka. Ketika itu pun, para petani sawit ini meminta HIP membuka ruang perundingan di tempat lebih kondusif untuk penyelesaian masalah kemitraan, tapi perusahaan menolak.

Pada tanggal 8 Agustus 2024 lalu, pengurus Koptan Amanah justru secara diam-diam melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak PT. Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI), tanpa sepengetahuan anggota Kontan Amanah lainnya. Ironisnya, penandatanganan MoU itu difasilitasi oleh Pj. Bupati Buol, bapak DM. Muchlis, Dinas Koperasi UMKM Perindag Buol dan Camat Bukal.

Padahal, pada tanggal 17 Juli 2024, Pj. Bupati Buol melalui Dinas Koperasi UMKM Perindag Buol telah telah mengeluarkan Surat Desakan dengan nomor 510/60.14/Diskumperindag kepada seluruh pengurus koperasi untuk segera mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT), dan Menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban, disertai dengan peringatan sanksi hingga pembubaran koperasi.

Aparat kepolisian di kebun kemitraan PT HIP. Foto: dokumen warga
Aparat kepolisian di kebun kemitraan PT HIP. Foto: dokumen warga

Menurut Seniwati, keberpihakan Pemerintah Kabupaten Buol terhadap petani pemilik lahan harus betul-betul dipertanyakan. Pasalnya, ditengah-tengah belum dilaksanakannya desakan RAT dan LPJ Pengurus terhadap para anggota, Pemerintah Kabupaten Buol justru memfasilitasi terjadinya MoU baru dengan perusahaan investasi baru, PT. UKMI.

“Kami juga meminta Salinan MoU itu kepada pengurus Koperasi dan Pemerintahan Kabupaten Buol. Tapi sampai dengan hari ini, Salinan MoU itu tak kunjung diberikan. Kami juga telah meminta kepada Salinan MoU kepada perusahaan, tapi tetap tidak diberikan,” ungkapnya

Seniwati bilang, dengan keputusan sepihak yang dilakukan perusahaan, pengurus koperasi dan pemerintah itu menggiring Masyarakat menduduki lahan mereka lagi dan tidak mengizinkan melakukan operasional untuk sementara, sampai masalah Kerjasama ini dirundingkan secara menyeluruh dengan para pihak dengan adil, transparan, tanpa ada tekanan.

Seniwati menjelaskan, ada tiga poin tuntutan para petani. Pertama, para petani meminta harus segara dipatuhinya pelaksanaan RAT dan LPJ baik oleh pengurus Koptan Amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya, juga atas pembuatan kesepakatan penting secara sepihak yang sering dilakukan selama hampir 3 tahun tanpa RAT Koperasi, begitu pula tanggung jawab pemerintah sebagai pengawas koperasi.

Baca juga: Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar

Kedua, para petani minta Pemerintah Kabupaten Buol dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah serta Pemerintah Pusat RI untuk memberikan tanggung jawab penuh atas tidak berhasilnya pelaksanaan program revitalisasi Perkebunan, dan kemitraan inti-plasma di Kabupaten Buol selama 16 tahun.

“Selama 16 tahun,  program revitalisasi Perkebunan, dan kemitraan inti-plasma ini memberikan dampak kerugian ekonomi dan tanah bagi masyarakat di sekitar 13 desa yang tergabung masing-masing dalam 7 koperasi tani yang bermitra dengan PT. HIP sejak tahun 2008, 2010 dan 2011,” kata Seniwati.

Ketiga, para petani meminta Kapolda Sulawesi Tengah untuk menarik mundur pasukan Brimob dari kebun-kebun kemitraan sawit. Pasalnya, laporan/tuduhan akan terjadinya kerusuhan yang disebabkan oleh petani di desa Winangun merupakan informasi yang tidak benar dan tidak terbukti.

“Pasukan Brimob yang ditempatkan sentral PT. HIP di Desa Winangun secara bergantian sejak bulan Februari 2023 hingga hari ini. Setiap hari, Mobil Patrol yang berisi pasukan Brimob lalu-lalang menuju kebun kemitraan Amanah yang membuat Masyarakat tidak tentram,” jelasnya

Kebun sawit petani plasma Buol, dengan pengamanan aparat. Foto: dokumen warga
Kebun sawit petani plasma Buol, dengan pengamanan aparat. Foto: dokumen warga

Dibuka Paksa

Rabu, 31 Juli lalu, Petani sawit di Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol dikagetkan dengan hadirnya puluhan aparat Kepolisian dan TNI di Lokasi kebun kemitraan Koperasi Tani (Koptan) Amanah yang sudah 7 bulan terakhir dilakukan penghentian sementara operasionalnya.

Diketahui, penghentian sementara operasional itu dilakukan karena petani pemilik lahan menuntut perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) mau berunding dengan adil dan terbuka bersama para petani pemilik lahan atas berbagai permasalahan selama bermitra yang hampir 17 tahun.

Berdasarkan informasi yang diperoleh, kedatangan puluhan aparat keamanan ke lokasi kebun petani pemilik lahan ini berdasarkan laporan dari HIP bahwa akan ada kerusuhan yang dilakukan oleh petani di Desa Winangun. Petani pun bingung, karena tidak ada sedikitpun masalah yang terjadi di lokasi.

Alih-alih mengamankan kekacauan, para aparat keamanan ini ternyata bertugas menjaga proses panen paksa yang dilakukan pihak PT. HIP di kebun pemilik lahan dengan mengerahkan buruh-buruhnya dari kebun lain. Padahal, lokasi yang dipanen paksa itu masih tengah berperkara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), itupun HIP sudah dinyatakan bersalah dalam kemitraan.

Akibatnya, para petani pemilik lahan ramai-ramai mendatangi kebun mereka yang dipaksa panen menggunakan aparat itu. Di lokasi kebun, petani bertemu dengan pihak PT. HIP yang diwakili oleh dua orang yang mengaku sebagai Legal Officer, bernama Charles dan Fajar yang dikawal oleh para security, dan sejumlah aparat keamanan, baik Kepolisian hingga TNI.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Ketika itu, para petani langsung mempertanyakan dasar apa perusahaan melakukan panen. Dalam perbincangan dengan petani pemilik lahan, para legal perusahaan terkesan memprovokasi masyarakat. Di mana, seolah-olah masyarakat pemilik lahan tidak mau berkomunikasi dan hanya mau anarkis saja. Padahal, selama proses aksi yang dilakukan petani, mereka mendahulukan upaya dialog, dan hanya perusahaan saja yang tidak mau melakukannya.

Arivin, salah satu masyarakat pemilik lahan mengatakan bahwa perusahaan yang selalu menggunakan pendekatan represif dengan pengerahan aparat dan laporan-laporan polisi kepada mereka. Menurutnya, itu bukan minta komunikasi namanya, tapi mengintimidasi, dan telah melanggar prinsip-prinsip kemitraan.

“Kami juga dipaksa untuk terima semua kesepakatan sepihak yang dibuat oleh HIP dengan pihak Bank dan pengurus koperasi yang seluruhnya merugikan kami sebagai pemilik lahan,” kata Arivin melalui rilis yang diterima Mongabay.

Arivin bilang, perusahaan juga tidak menerima putusan Majelis KPPU pada tanggal 9 Juli 2024 yang telah menyatakan perusahaan bersalah dalam kemitraan, atau terbukti melanggar pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dalam pelaksanaan kemitraannya dengan Koptan Amanah. HIP juga dijatuhi sanksi sebesar Rp 1 miliar atas pelanggaran yang lakukan. Katanya, perusahaan tidak perlu menyangkal.

Pasukan Brimob menuju kebun petani yang bermitra dengan PT HIP, 18 Agustus lalu. Foto: dokumen warga
Pasukan Brimob menuju kebun petani yang bermitra dengan PT HIP, 18 Agustus lalu. Foto: dokumen warga

Arivin menegaskan, penghentian sementara operasional kebun adalah hak mereka sebagai pemilik tanah. Jika perusahaan mau adil dan berkomunikasi, katanya, mari lakukan secara baik-baik bukan dengan cara paksa dan mengintimidasi dengan mengerahkan aparat.

“Kami memohon juga kepada pihak kepolisian berpihaklah kepada masyarakat dan melihat masalah dengan pelanggaran-pelanggaran hak ini dengan teliti dan adil,” tegasnya.

Saiful Wathoni, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan, laporan palsu yang disampaikan oHIP kepada kepolisian adalah alasan tanpa dasar dan sangat provokatif. Pasalnya, ia mengetahui betul setiap aktivitas perjuangan petani selalu melayangkan surat pemberitahuan.

Menurut Saiful, apa yang dilakukan oleh HIP ini mengarah kepada provokasi untuk menyudutkan petani pemilik lahan sebagai subjek yang paling disalahkan atas ketidakmampuan dan tidak bertanggung jawabnya perusahaan dalam menjalankan kewajibannya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi.

“PT. HIP menggunakan pengamanan aparat gabungan agar tujuan utamanya untuk membuka paksa dan memulai kembali aktivitas di lahan kemitraan tidak mengalami kendala,” kata Saiful Wathoni melalui rilis yang diterima Mongabay.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) menyayangkan cara-cara HIP yang selalu mengedepankan pendekatan intimidasi, kriminalisasi dan pengerahan aparat berlebihan. Hal ini menunjukan tidak adanya kemauan untuk menyelesaikan masalah.

“Kami berpendapat pendekatan seperti ini menjauhkan dari upaya penyelesaian masalah. Padahal ini adalah masalah kemitraan usaha dan keperdataan,” kata Fatrisia Ain melalui rilis yang diterima Mongabay

Fatrisia Ain mendesak kepada Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk menarik pasukan yang ada di Buol, khususnya di perkebunan sawit kemitraan HIP. Ia juga meminta agar kepolisian netral serta bertindak presisi dalam kasus permasalah kemitraan ini.

Selain itu, Fatrisia Ain juga meminta untuk dihentikannya segala proses pemeriksaan kepolisian yang melibatkan para petani pemilik lahan. Pasalnya, setidaknya ada 17 orang petani pemilik lahan termasuk didirinya dikriminalisasi oleh perusahaan. Ia berharap kepolisian lebih mengambil peran sebagai pihak yang ikut mendorong penyelesaian masalah secara presisi di masalah kemitraan antara petani pemilik lahan HIP.

“Terlebih sudah ada putusan KPPU RI sebagai lembaga negara yang independen yang menyatakan PT. HIP terbukti bersalah dan telah melanggar Pasal 35 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008,” tegasnya.

Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Klaim Krisis Keuangan

Proses panen paksa yang dilakukan oleh HIP menggunakan aparat keamanan itu nyaris ricuh. Kedua belah pihak saling sasar pertanyaan soal dasar kepemilikan lahan serta dasar melakukan penan. Dalam perdebatan itu, salah satu pimpinan HIP terdengar bersuara melalui sambungan telepon dengan salah satu petani pemilik lahan.

Belakangan, salah satu pimpinan HIP yang berbicara melalui telepon itu adalah Hartati Murdaya Presiden Direktur PT. Central Cipta Murdaya (CCM Group), perusahaan induk HIP. Perempuan yang sempat terlibat kasus suap pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Kelapa Sawit di Buol ini menjelaskan perusahaan sedang mengalami krisis keuangan sehingga perlu melakukan panen.

“Kami melakukan panen ini karena HIP sedang mengalami krisis keuangan. Bahkan, gaji-gaji karyawan saja belum dibayarkan. Sehingga hari ini kita melakukan panen di kebun yang dimitrakan dengan perusahaan kami,” kata Hartati Murdaya kepada petani pemilik lahan melalui sambungan telepon.

Hartati pun menjelaskan, sejak bulan Mei 2024, biaya operasional kebun sawit sudah dibiayai oleh PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI), bukan lagi HIP. Ia bilang, perusahaan sudah mengalami kerugian yang begitu besar akibat aksi penghentian sementara operasional kebun yang dilakukan para petani pemilik lahan. Bahkan, katanya, saat ini HIP terancam bubar.

Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Hartati mengklaim, pihaknya telah mengeluarkan uang yang begitu besar untuk pembangunan kebun sawit milik petani. Ia juga mengklaim memiliki catatan lengkap terkait pemberian bagi hasil kepada petani. Bahkan, katanya, sampai sekarang HIP masih membayar bunga atas utang milik petani di Bank.

“Akibat aksi penghentian sementara yang dilakukan oleh pemilik lahan, utang milik petani juga makin besar karena tidak ada pemasukan yang diterima HIP. Sehingga yang membiayai operasional kebun sekarang ini adalah PT UKMI,” jelas Hartati Murdaya.

Hartati bilang, HIP membiayai biaya operasional kebun sawit itu terakhir pada bulan April 2024 lalu, dan sisanya UKMI yang membiayai sampai dengan sekarang. Meski begitu, katanya, petani pemilik lahan masih memiliki utang kepada HIP, dan otomatis pemilik lahan juga sudah memiliki utang ke UKMI. Ia bilang, uang petani pemilik lahan yang ada di HIP harus dibayar.

Sebenarnya, penghentian sementara operasional kebun yang dilakukan sejak 8 Januari 2024 oleh masyarakat yang tergabung dalam Koptan Amanah ini bukan tanpa alasan. Hampir 17 tahun bekerjasama dengan perusahaan untuk membangun kebun sawit, mereka pemilik lahan tidak sedikitpun mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan oleh HIP.

Sebaliknya, katanya, para petani pemilik lahan ini justru terjebak dalam labirin kemiskinan serta dibebankan utang yang begitu besar yang terus membengkak tanpa alasan apapun. Para pemilik lahan pernah melakukan pengaduan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buol lewat Aksi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP).

Petani plasma Buol protes ke lahan mereka yang perusahaan panen. Foto: dokumen warga
Petani plasma Buol protes ke lahan mereka yang perusahaan panen. Foto: dokumen warga

Bahkan, Panitia Khusus (Pansus) dibentuk sebanyak 2 kali pada periode tahun 2022-2023. Namun, katanya, Pansus yang bertugas untuk pencarian fakta hingga pendalaman kasus plasma itu gagal menghasilkan rekomendasi. Disisi lain, HIP kerap kali menghindari proses-proses berdialog maupun panggilan-panggilan dari DPRD juga Pemerintah Kabupaten Buol.

Tak hanya itu, pemilik lahan pernah melakukan upaya menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Kabupaten Buol, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Tim Penanganan Penyelesaian Masalah Petani Plasma. Lagi-lagi, tim tersebut belum jelas hasil kerjanya sampai dengan sekarang.

Bukan hanya itu, pemilik lahan plasma juga telah melakukan upaya untuk mendesak pihak pengurus-pengurus koperasi tani untuk segera melakukan Rapat Anggota/Rapat Anggota Tahunan. Namun, pengurus-pengurus koperasi tani plasma tidak kooperatif dan justru mengambil keputusan bersama pihak perusahaan tanpa melalui musyawarah dengan anggotanya.

Fatrisia Ain menjelaskan, penghentian sementara operasional kebun sawit yang dilakukan oleh petani pemilik lahan ini merupakan puncak dari upaya perjuangan yang kita lakukan selama ini. Pasalnya, ribuan petani pemilik lahan peserta kemitraan perkebunan sawit ini merasa menyesal telah ikut serta dalam program revitalisasi perkebunan yang menjanjikan kesejahteraan bagi petani ini.

Fatrisia bilang, para petani pemilik lahan menganggap program ini gagal dan justru memiskinkan masyarakat pemilik lahan, bahkan mengarah pada perampasan tanah. Apalagi, kasus ini juga sudah mendapatkan Putusan dari KPPU RI sebagai lembaga negara yang independen menyatakan bahwa HIP bersalah dan telah melanggar pasal 35 ayat (1) UU nomor 20 tahun 2008.

Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari

Putusan KPPU itu merupakan buah dari laporan yang dilayangkan oleh petani pemilik lahan yang tergabung dalam Koptan Amanah pada bulan Agustus 2022 lalu. Menurut dokumen laporan yang diperoleh Mongabay, HIP telah melakukan pengingkaran terhadap kewajiban yang tertuang dalam perjanjian kerjasama antara Koptan Amanah pada 5 November tahun 2007 silam.

Laporan itu menyebut, HIP tidak melakukan pembangunan dan pemeliharaan kebun sesuai standar kebun yang baik. Salah satu indikasinya adalah tidak seluruh lahan yang diserahkan untuk kebun kemitraan dijadikan kebun sawit oleh HIP. Akibatnya terdapat ketidaksesuaian antara data luasan kebun yang diserahkan dengan fakta kebun plasma di lapangan.

Dampak lanjutan dari pembangunan dan pemeliharaan yang tidak baik itu membuat para petani anggota kemitraan merasa dirugikan. Pasalnya, biaya pembangunan dan hasil yang akan didapat tidak sesuai dengan anggaran yang sudah disepakati sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerjasama pasal 3. Apalagi, dana pembangunan kebun seluruhnya dikelola langsung oleh HIP dan petani tidak menerima kembali tanah yang tidak digunakan untuk kebun sawit.

Dengan begitu, HIP diduga kuat mendapatkan surplus dari dana pembangunan kebun. Hal itu dikuatkan juga dengan HIP yang tidak memberikan laporan pertanggungjawaban perkembangan pembangunan kebun setiap tiga bulan kepada pihak koperasi sebagaimana disyaratkan dalam pasal 7 perjanjian kerjasama kemitraan.

Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Petani sawit mitra PT HIP di kebun mereka. KPPU memutus PT HIP, langgar kemitraan. Para petani ingin lahan mereka segera kembali. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Selain itu, laporan yang dilayangkan ke KPPU itu juga menyebut, HIP tidak menjalankan kewajibanya untuk memberikan pelatihan job kerja kepada pihak Koperasi mengenai kerja administrasi, manajemen dan teknis perkebunan. Pengabaian tanggungjawab itu disinyalir disengaja agar anggota Koptan Amanah tidak memiliki kapasitas dalam mengawasi dan mengelola kebun plasma.

Tak hanya itu, laporan itu juga menyebut, HIP juga tidak memberikan hak kepada petani plasma melalui koperasi untuk menjalankan pengawasan selama kegiatan pemeliharaan dan pemanenan, termasuk penimbangan serta pemasaran hasil produksi milik para anggota Koptan Amanah, sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kerjasama.

HIP juga diduga kuat sengaja tidak menjalankan upaya proyeksi (rencana) pelunasan utang untuk mempertahankan pengelolaan kebun agar tetap satu atap dengan Inti. Pasalnya, dalam perjanjian kerjasama kemitraan terdapat klausul yang menyatakan bahwa selama kredit bank belum lunas maka perkebunan dikelola oleh HIP, satu manajemen dengan kebun inti.

Dalam dokumen laporan itu menyebut, HIP juga membeli Tandan Buah Segar (TBS) dibawa harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini membuat menyebabkan kerugian besar bagi petani anggota Koptan Amanah. Pemberian harga di bawah ketetapan pemerintah telah berdampak pada rendahnya nilai dari hasil kebun.

Adapun para petani anggota Koptan Amanah tidak menerima hasil yang mendukung kesejahteraan sebagaimana dijanjikan pihak HIP. Diwaktu yang sama, mereka petani menanggung utang kurang lebih 142 juta/hektar. Padahal dalam perjanjian kerjasama, biaya pembangunan kebun tertera hanya sebesar Rp25.127.000/hektar.

Baca juga: Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

Fatrisia bilang, apa yang dikatakan oleh Hartati Murdaya tidak sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Menurutnya, HIP melakukan monopoli dan penguasaan lahan sehingga merugikan pihak petani anggota Koptan Amanah. Ia bilang, utang-utang yang disebutkan Hartati Murdaya diduga sulit untuk dipertanggungjawabkan, mengingat jumlah utang yang disampaikan berubah-ubah.

Hal itu dikuatkan dengan putusan KPPU yang menyebut, HIP tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan Addendum Perjanjian Kerja Sama Kemitraan terkait penambahan luasan lahan yang dibangun dan penambahan klausul yang mengatur persentase Sisa Hasil Usaha (SHU) yang harus diterima Koptan Amanah atas penjualan TBS.

Apalagi, sejak 2008 hingga 2023 HIP disebutkan tidak pernah melakukan audit keuangan dan besaran hutang Koptan Amanah hanya mencapai Rp8.800.000.000, bukan Rp. 143 miliar seperti yang diklaim perusahaan. Fatrisia bilang, kebun-kebun milik petani ini harus dikembalikan perusahaan karena kemitraan yang dibangun sangat merugikan petani.

Alih-alih mengembalikan lahan petani, katanya, perusahaan tidak mengikuti perintah dari putusan KPPU dan justru menggunakan aparat keamanan untuk melakukan aksi panen paksa di lahan-lahan milik petani. Ia bilang, dari 6 blok lokasi kebun sawit milik petani, 3 blok diantaranya sudah dipanen paksa oleh perusahaan yang dikawal ketat oleh TNI-Polri.

Per Minggu 4 Agustus 2024, kata Fatrisia, perusahaan yang didampingi aparat keamanan masih terus melakukan panen paksa kebun sawit. Ia bilang, para petani pemilik lahan memilih untuk belum melakukan apa-apa untuk menghindari konflik dengan aparat. Pasalnya, aparat keamanan yang diturunkan untuk panen paksa ini ada sekitar 150 orang

“Sampai hari ini, perusahaan terus melakukan panen dari pagi hingga sore hari melakukan panen. Brimob dan TNI yang menjaga ketat jalan masuk kebun,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.