Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

  • Di Sulawesi Tengah, ada 178 bidang hak guna usaha (HGU) khusus perkebunan sawit 16 perusahaan dengan luasan 128.265 hektar. HGU itu tersebar di tujuh kabupaten, yaitu, Buol, Tolitoli, Donggala, Poso, Morowali, Morowali Utara dan Banggai. Parahnya, ada kebun-kebun sawit yang merangsek masuk ke kawasan hutan termasuk lindung dan konservasi serta terus terjadi.
  • Berdasarkan identifikasi Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu), dari 16 perusahaan sawit di Sulteng, ada tiga perusahaan merambah ke kawasan hutan termasuk kawasan konservasi selama dua dekade. Tiga perusahaan itu yakni PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), dan PT Pasangkayu.
  • Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengatakan dari tiga perusahaan dalam tulisan ini, baru PT KLS yang dilaporkan merambah kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Sementara, laporan soal PT SPN dan PT Pasangkayu, belum ada.
  • Dalam laporan Forest Peoples Programme, TuK Indonesia, Pusaka, Walhi Riau, Walhi Jambi, dan Walhi Sulawesi Tengah yang terbit 2021 mencatat, tiga perusahaan dalam tulisan ini ternyata jadi pemasok langsung maupun tak langsung ke enam perusahaan multinasional yang punya label ‘hijau’. Mereka memiliki komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan nol deforestasi, nol gambut, nol eksploitasi (NDPE). Perusahaan internasional itu yaitu, Unilever, PepsiCo, Nestle, AAK, Wilmar, dan Cargill.

Deforestasi merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dari pembangunan perkebunan kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terkhusus di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dipersepsikan tidak berkelanjutan (unsustainable) serta ekspansi perkebunan kelapa sawit dinilai pemicu utama (driver) deforestasi dan kerusakan hutan. Mirisnya, fenomena ini sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, deforestasi netto Sulteng di dalam dan di luar kawasan hutan sejak tahun 2013-2020 sudah mencapai 131,945.0 hektar. Rata-rata setiap tahun, ada 18,849.3 hektar hutan yang hilang. Deforestasi yang cukup besar itu terjadi karena adanya 331 izin usaha pertambangan dan perkebunan dengan total luasan sebesar 1,382,711.43 hektar atau sekitar 22.60% dari 6.117.275 hektar luas daratan Sulteng.

Di Sulteng, ada 178 jumlah bidang Hak Guna Usaha (HGU) khusus perkebunan kelapa sawit milik 16 perusahaan dengan total luasan 128.265 hektar. Semua HGU untuk perkebunan sawit itu tersebar di 7 kabupaten, yaitu; Buol, Tolitoli, Donggala, Poso, Morowali, Morowali Utara dan Banggai.

Perkebunan kelapa sawit di Sulteng merupakan salah satu sektor ekonomi makro yang memiliki peranan strategis meningkatkan perekonomian, pendapatan serta kesejahteraan petani dan masyarakat. Berdasarkan data rantai pason dari Trase, rata-rata jumlah produksi Crude palm oil (CPO) di Sulteng sebesar 553,469.94 Ton per tahun yang terhitung sejak tahun 2018 hingga 2021. Namun, dibalik produksi CPO yang cukup besar itu, ada kawasan hutan hingga kawasan konservasi menjadi korban.

Berdasarkan identifikasi Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu), dari 16 perusahaan sawit yang ada di Sulteng, ada tiga perusahaan yang merambah ke kawasan hutan hingga kawasan konservasi selama dua dekade. Tiga perusahaan itu, yakni: PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), dan PT. Pasangkayu. Temuan itu berdasarkan hasil menggunakan Citra Satelit Sentinel dengan membuat data time series hasil tumpang susun izin perkebunan dari tiga perusahaan itu.

Hasil identifikasi itu juga menunjukan, sejak 2000-2020, deforestasi bruto dampak land clearing untuk perluasan perkebunan sawit dari tiga perusahaan itu mencapai 31,204 hektar dengan rata-rata 1,486 hektar per tahun. Deforestasi yang cukup masif itu, diduga dilakukan secara ilegal oleh tiga perusahaan dengan berbagai modus.

Misalnya, PT. KLS yang berada Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perusahaan milik taipan lokal yaitu Murad Husain ini awalnya memiliki hak guna usaha (HGU) Nomor 15/HGU/1991 tertanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar. Selain itu, PT. KLS juga memiliki izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK HTI) kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP). Izin konsesi itu bernomor SK 146/Kpts-II/1996 dengan seluas 13.400 hektar yang terbit 1 April 1996.

Awalnya, BHP merupakan perusahaan patungan antara PT KLS, pemilik 60% saham dan PT Inhutani. KLS mengakuisisi saham Inhutani, dan jadi pemilik tunggal. Sejak itulah, pembukaan lahan mulai dilakukan oleh PT. KLS dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia, sebesar Rp 11 miliar. Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah jadi kebun sawit.

Anehnya, IUPHHK HTI itu berada diatas HGU yang sudah terbit sebelumnya. Namun, pada tahun 2005 terbit juga Izin lokasi yang diberikan oleh Sudarto Bupati saat kepada PT. KLS untuk keperluan usaha perluasan perkebunan kelapa sawit. Izin lokasi itu bernomor SK 503/10.52/BPN tentang Perpanjangan Izin Lokasi dengan luasan yang sama, yaitu 6.010 hektar.

Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Komiu mengatakan, izin-izin itu yang diduga menjadi alat untuk pembukaan lahan (land clearing) pada hutan alam hingga ke kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang. Gifvents bilang, mereka menemukan PT. KLS melakukan deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 19.971 hektar dalam kurun waktu 20 tahun dengan rata-rata 951 pertahun.

“Data evaluasi dengan Citra Satelit Sentinel ini, kami lakukan pada Januari 2020, serta kami verifikasi di lokasi pada Februari 2022. Data-data ini kami sudah olah dengan sebenar-benarnya,” kata Gifvents Lasimpo, kepada Mongabay awal September lalu.

Komiu juga mencatat secara detail deforestasi berdasarkan jenis kawasan hutan oleh PT. Berkat Hutan Pusaka (kini PT. KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi jadi sawit. Yakni, area penggunaan lain (APL) 11.403,50 hektar, hutan produksi 3.468,18 hektar. Kemudian, hutan produksi terbatas (HPT) 1.209,39 hektar, dan hutan lindung 112,83 hektar.

Kebun sawit PT KLS yang masuk kawasan konservasi di Sulawesi Tengah. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT KLS yang masuk kawasan konservasi di Sulawesi Tengah. Foto: Yayasan Komiu

Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang, pun tak luput dari deforestasi karena berubah jadi kebun sawit sekitar 3.532,46 hektar. Sekitar 1.077 hektar dari jumlah itu, merupakan pembukaan baru dari 2019-2021. Sementara, sekitar 931 hektar merupakan eksisting sawit, serta 1.524 hektar belum teridentifikasi pasti, tetapi diduga bisa jadi sawit muda.

SM Bakiriang yang awalnya memiliki luas 12.500, kini diciutkan menjadi 12.309,80 hektar akibat adanya perambahan dan alih fungsi ke perkebunan sawit. Padahal, kawasan tersebut memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi seperti burung maleo dan anoa, dan juga memiliki tipe ekosistem hujan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sekunder.

April lalu, Mongabay mendatangi lokasi perkebunan sawit milik PT. KLS yang berada di Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai. Di lokasi, beberapa aktivitas terjadi di dalam kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi, termasuk pemanenan dan pembukaan jalan kebun untuk kendaraan.

Ismail Nurdin (72), warga Desa Sinorang mengatakan, masyarakat yang dimanfaatkan secara licik oleh perusahaan untuk membuka lahan-lahan di tanah terlarang agar dijadikan perkebunan sawit. Sejak tahun 2002, dirinya bersama 25 petani lainya diminta perusahaan untuk membuat kelompok serta membuka lahan sekitar 50 hektar di kawasan konservasi.

“Setiap orang, bertugas membuka dua hektar, satu hektar jadi kebun plasma, dan satu hektar kebun inti yang nantinya akan diserahkan ke perusahaan PT. KLS,” kata Ismail Nurdin kepada Mongabay

Tak hanya itu, kata Ismail, mereka juga dijanjikan akan diberikan modal dan bibit oleh perusahaan untuk menanam sawit. Selain itu, mereka juga dijanjikan akan dibantu mendapatkan surat keterangan kepemilikan tanah (SKPT) dari pemerintah desa atas lahan yang mereka sudah buka dalam kawasan konservasi.

Sayangnya, jangankan mendapatkan SKPT, mereka semua dibohongi dan semua lahan yang dibuka di kawasan konservasi itu diberikan langsung kepada PT. KLS tanpa penyelesaian sesuai pembicaraan awal. Modus-modus inilah yang dibuat perusahaan agar masyarakat terkesan yang merambat kawasan konservasi.

“Sejak itu, perusahaan yang mengambil alih semua lahan yang kita buka saat itu. Kita tidak dapat apa-apa. Sejak itu juga, perusahaan menanam sawit di dalam kawasan konservasi yang katanya dilindungi itu,” kata Ismail Nurdin

Bukan hanya PT. KLS, PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), yang berada di Desa Lembontonara, Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara juga melakukan hal yang sama. Perusahaan plat merah ini yang sebelumnya bernama PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV memiliki 10 bidang HGU dengan dengan luas sekitar 15.903,12 hektar.

Berdasarkan identifikasi Yayasan Komiu, PT. SPN melakukan deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 7,616 hektar dalam kurun waktu dua 20 tahun dengan rata-rata 363 hektar per tahun. Ironisnya, 1.076,97 hektar sawit milik PT. SPN terindikasi terdapat hutan primer, kawasan hutan, hingga kawasan konservasi.

Secara detail, Yayasan Komiu mencatat perkebunan sawit oleh PT. SPN yang masuk dalam terdapat hutan primer, kawasan hutan, hingga kawasan konservasi. Yakni, Areal Penggunaan Lain (APL) 8,87 hektar yang masih memiliki hutan primer, Hutan Lindung (HL) seluas 943,25 hektar, dan Kawasan Konservasi Taman Buru Landusa Tomata 68,43 hektar.

Pertengahan September lalu, Mongabay mendatangi lokasi perkebunan kelapa sawit PT. SPN yang berada di hutan lindung di Desa Kasingoli dan di kawasan konservasi Taman Buru Landusa Tomata di Desa Tabarano Kabupaten Morowali Utara. Di dua lokasi tersebut, beberapa aktivitas terjadi di dalam tanah terlarang tersebut, termasuk pemanenan dan pembukaan jalan kebun untuk kendaraan.

“PT. SPN belum mengajukan diajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait 1.563,02 hektar kebun sawit yang terdapat di hutan primer, kawasan hutan, hingga kawasan konservasi,” jelas Gifvents

Selain itu, PT. Pasangkayu yang berada di berada di antara dua Provinsi, yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. PT. Pasangkayu merupakan salah satu anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari Tbk dengan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluasan sebesar 8.896,00 yang terbagi di dua Provinsi, yakni; Sulawesi Barat 8.842,28 hektar, Sulawesi Tengah 53,72 hektar.

Berdasarkan hasil identifikasi Yayasan Komiu, PT. Pasangkayu melakukan deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3,617 hektar dalam kurun waktu dua 20 tahun dengan rata-rata 172 hektar per tahun. Menariknya, total luas perkebunan sawit milik HGU PT. Pasangkayu berada di Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 8.222,54 hektar dan Hutan Lindung (HL) 664 hektar.

Perluasan perkebunan kelapa sawit milik PT. Pasangkayu pada kawasan HL itu berada di Desa Ngovi dan Mbulava, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala. Sementara, eksisting sawit yang tertanam di dalam HGU teridentifikasi sudah seluas 7.515 hektar, yang terbagi diantaranya; Area Penggunaan Lain (APL) 7.300 hektar dan Hutan Lindung (HL) 215 hektar.

Ironisnya, berdasarkan temuan Yayasan Komui, ternyata total eksisting kelapa sawit yang masuk dalam kawasan HL di dua desa tersebut mencapai 2.139 hektar. Namun, kata Gifvents, hal tersebut belum bisa dipastikan milik perusahaan atau tidak. Pasalnya, pihaknya menemukan PT. Pasangkayu menawarkan model kemitraan untuk membangun perkebunan kelapa sawit diluar izin melalui dua perusahaan yaitu; PT. Surya Raya Lestari 1 dan PT. Surya Raya Lestari 2.

Pola kemitraan antara perusahaan dengan petani ini menawarkan pinjaman melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan mekanisme cicilan selama 6 bulan untuk dapat mengakses pupuk, bibit dengan dalih untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit mandiri. Alhasil, PT. Pasangkayu yang membeli semua buah sawit dari perkebunan itu untuk dikelolanya di pabriknya.

Pertengahan September lalu, Mongabay melakukan penelusuran di lokasi perkebunan sawit milik PT. Pasangkayu Desa Ngovi dan Mbulava, Kabupaten Donggala. Di lokasi, beberapa aktivitas terlarang terjadi di dalam kawasan hutan lindung, termasuk pemanenan dan pembukaan jalan kebun untuk kendaraan.

“Semua sawit ini akan dibawa ke Pabrik PT. Pasangkayu. Mereka menjadi pembeli utama tandan buah segar (TBS) ini sejak lama,” kata Ariyanto (25) warga Desa Ngovi yang ditemui di lokasi kebun sawit yang masuk dalam hutan lindung. Ia mengaku, dirinya tidak mengetahui kebun-kebun sawit itu masuk dalam hutan lindung.

Melanggar Aturan

Berdasarkan penelusuran dan temuan di lapangan, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), dan PT. Pasangkayu diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dimana, dalam Pasal 17 ayat (2) dilarang keras adanya kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di dalam kawasan hutan.

Pasal yang sama juga sangat melarang keras kegiatan pengolahan, pembelian, pengangkutan, pemasaran, dan penjualan hasil kebun di dalam kawasan hutan. Bagi perusahaan atau korporasi yang melanggar aturan ini dapat dikenai sanksi pidana maupun sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, uang paksa, atau pencabutan izin.

Khusus untuk PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), dan PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN). Dua perusahaan itu juga diduga kuat melanggar Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, karena sudah merusak kawasan konservasi yang menjadi rumah bagi berbagai jenis flora fauna.

Dalam pasal 19 ayat 1 menjelaskan, setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Dalam pasal 21 ayat 1 juga ditegaskan, setiap orang dilarang untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati.

Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Sementara, barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.

Bukan hanya itu, tiga perusahaan yang ada dalam tulisan ini juga diduga kuat tidak mengimplementasi dengan baik Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 Tentang Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Karena, berdasarkan temuan dilapangan, tiga perusahaan itu masih melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan hingga kawasan konservasi, pasca Inpres itu diterbitkan.

April lalu, Mongabay mendatangi kantor PT. KLS di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Soho, Kota Luwuk, Banggai, untuk menanyakan temuan-temuan tersebut. Namun, Hesti Tomagara, Bagian Legal PT. KLS menyerahkan penjelasan kepada BKSDA Sulteng. Ia tidak mau menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

Pertengahan September lalu, Mongabay juga mendatangi kantor PT. SPN yang berada di Desa Lembontonara, Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara. Lusi Labulu, Bagian Legal PT. SPN, tak menafikan temuan-temuan yang disampaikan. Ia mengaku perkebunan sawit milik perusahaan tempat kerjanya, ada yang masuk dalam kawasan hutan dan kawasan konservasi.

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ia bilang, permasalahan tersebut sudah pernah dibahas dalam internal perusahaan, bahkan perusahaan pernah ingin mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ke kementerian terkait. Tapi, katanya, sampai detik ini, belum ada tindak lanjut dari pimpinan perusahaan mengenai hal itu. Padahal, PT. SPN merupakan, perusahaan plat merah milik pemerintah.

“Saya akan coba sampaikan kembali masalah ini ke pimpinan perusahaan, agar bisa terurus secepatnya IPPKH,” kata Lusi Labulu kepada Mongabay.

Di pertengahan September lalu juga, Mongabay mendatangi Kantor PT. Pasangkayu yang berada di Desa Gunung Sari, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Namun, pihak perusahaan tak sempat memberikan komentar soal masalah ini dengan alasan banyak kesibukan dan tidak berada ditempat.

“Semua pimpinan lagi sibuk dan ada diluar kantor, jadi tidak bisa konfirmasi soal masalah itu,” kata Iman Efendi, Satpam PT. Pasangkayu. Ia juga tak memberikan kontak bagian humas yang bisa dikonfirmasi dengan alasan tak memiliki nomornya.

Selain itu, untuk mengkonfirmasi masalah kebun sawit yang berada di dalam kawasan konservasi, Mongabay juga mendatangi kantor Hasmuni Hasmar, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah di Kota Palu pada pertengahan September lalu. Namun, dirinya menolak untuk memberikan tanggapan dengan alasan harus meminta izin dari kementerian terkait.

Sementara itu, Andi Sakri Takwa, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE), Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah mengaku tidak mengetahui masalah itu. Ia bilang, dirinya belum mendapatkan informasi soal perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan di Sulteng.

Meskipun ada informasi, katanya, secara struktural untuk melakukan penindakan ke perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan adalah tugasnya Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi. Ia bilang, Undang-undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 sudah membagi tugas secara rinci soal permasalah penindakan. Pihaknya hanya sebagai pemegang wilayah, tapi tidak bisa sepenuhnya melakukan tindakan.

“Dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020, kami seolah-olah tidak punya taring lagi untuk melakukan tindakan. Ilustrasinya, kami ini seperti wasit, tapi tidak memiliki sempritan,” kata Andi Sakri Takwa kepada Mongabay, pertengahan September lalu.

Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengatakan dari tiga perusahaan dalam tulisan ini, hanya PT. KLS yang dilaporkan ke pihaknya sudah merambah kawasan hutan dan kawasan konservasi. Ia bilang, pihaknya bekerja sesuai dengan laporan yang ada. Sementara, belum ada laporan yang masuk soal PT. SPN dan PT. Pasangkayu ke mereka.

Sejak 2017, kata Subagyo, pihaknya sudah melakukan investigasi dan pengecekan langsung pelanggaran PT. KLS yang merambah SM Bakiriang dan hutan lindung. Alhasil, PT. KLS terbukti telah menanam sawit di tanah-tanah terlarang itu secara ilegal sebesar 1.005 hektar. Mereka juga menemukan ada 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektar untuk diserahkan ke PT. KLS.

Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, PT. KLS bersama BKSDA Sulteng membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah bersawit itu. PT. KLS juga bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan akan melakukan relokasi.

Dengan kesepakatan yang dibuat itu, PT. KLS meminta soal perambahan di tanah terlarang itu akan selesai dengan non litigasi atau di luar jalur hukum. PT. KLS siap dapat sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Subagyo bilang, BKSDA Sulteng memfasilitasi penyelesaian kesepakatan itu.

“Saya belum mengetahui dan belum mendapatkan informasi terbaru terkait perkembangan kesepakatan yang dibuat oleh PT. KLS dan BKSDA Sulteng soal penyelesaian masalah itu,” kata Subagyo kepada Mongabay melalui sambungan telepon.

Untuk PT. SPN dan PT. Pasangkayu, Subagyo akan segera melakukan tindakan dan serta penelusuran sekaligus minta keterangan langsung kepada perusahaan terkait soal temuan-temuan dalam tulisan ini. Pihaknya juga akan mengkonfirmasi masalah itu ke BKSDA Sulteng soal informasi tersebut. Jika dua perusahaan itu terbukti merambah hutan, penyelesaiannya harus berdasarkan dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.

Dalam Undang-undang itu, khususnya pada pasal 110A menjelaskan, diberikan waktu 3 tahun untuk mengurus persyaratan; pemberlakukan denda administrasi setelah 3 tahun, ketentuan sanksi administrasi akan diatur dengan peraturan pemerintah. Sementara, pasal 110B menjelaskan, kegiatan dalam kawasan hutan tanpa izin akan dikenakan sanksi administrasi; pelanggaran oleh perseorangan dengan penguasaan lahan tanpa izin dibawah 5 hektar, dikecualikan dari sanksi; penetapan sanksi diatur lebih lanjut.

“Dua pasal tersebut disebut sebagai pasal keterlanjuran dan perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan hanya dikenakan sanksi administrasi seperti membayar ganti rugi ke Negara. Tapi, jika kalau perusahaan membuka perkebunan sawit di kawasan hutan sejak januari 2021, bisa dipidanakan,” jelas Subagyo

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

Rantai Pasok

Berdasarkan laporan menuntut akuntabilitas yang dibuat oleh Forest Peoples Programme, TuK Indonesia, Pusaka, Walhi Riau, Walhi Jambi, dan Walhi Sulawesi Tengah yang diterbitkan pada tahun 2021 mencatat, tiga perusahaan dalam tulisan ini ternyata menjadi pemasok (langsung maupun tidak langsung) ke enam perusahaan internasional yang memiliki komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE).

Perusahaan internasional itu yaitu; Unilever, PepsiCo, Nestle, AAK, Wilmar, dan Cargill. Komitmen keberlanjutan dari enam perusahaan internasional tersebut pada dasarnya memastikan kelapa sawit dan produk turunannya berasal dari sumber yang bersih dan terlacak. Tanpa adanya praktik perambahan hutan maupun eksploitasi di lahan gambut. Namun, perusahaan itu masih menerima buah sawit dan turunannya yang berasal dari dalam kawasan hutan dari wilayah Sulteng hingga kini.

Dalam laporan itu, PT. KLS tercatat menjadi pemasok PepsiCo Unilever dan Wilmar. AAK dan Nestlé juga masuk daftar dalam rantai pasok sebagai pembeli akhir produk sawit PT. KLS melalui Cargill dan ADM. Sementara, PT. Pasangkayu dan PT. SPN juga menjadi pemasok PepsiCo, Unilever, Cargill, dan Wilmar. AAK dan Nestlé juga menjadi pembeli akhir produk sawit PT. Pasangkayu dan PT. SPN melalui ICOF, Wilmar dan dan Cargill Malaysia.

Tanggal 26 September lalu, Mongabay menyurati enam perusahaan internasional yang menjadi pembeli akhir dari tiga perusahaan yang memiliki kebun sawit di tanah terlarang berdasarkan temuan dilapangan. Namun, dari enam perusahaan internasional itu, hanya tiga yang menjawab dan memberikan keterangan, yaitu: Unilever, AAK, dan Nestle.

Adisty Nilasari dari tim Komunikasi Unilever Indonesia mengatakan, Unilever tidak memiliki hubungan atau kontrak bisnis langsung dengan perkebunan dan mill milik PT KLS, PT. SPN dan PT Pasangkayu. Namun, kata Adisty, Unilever akan tetap akan melakukan investigasi terkait laporan ini untuk memastikan kelapa sawit yang digunakan dari pemasok sesuai dengan standar dan komitmen kami serta sesuai dengan Palm Oil Grievance Tracker.

Adisty mengaku, pihaknya sangat menanggapi secara serius terhadap perusahaan dalam tulisan ini yang memiliki indikasi ketidakpatuhan pada rantai pasok Unilever. Saat ini, kata Adisty, perusahannya telah memulai pemeriksaan perihal laporan ini dengan pemasok rekanan serta konsultan monitoring.

“Kebijakan Unilever People and Nature Policy (UPNP) secara eksplisit menyebutkan persyaratan dan ekspektasi kami terhadap pemasok-pemasok kami. UPNP mencakup prinsip-prinsip “Nol Deforestasi, Nol Gambut, dan Nol Eksploitasi” (NDPE),” kata Adisty Nilasari melalui surat resmi yang dikirim ke Mongabay

Selain itu, katanya, kebijakan Unilever untuk Pengadaan yang Bertanggung Jawab atau Responsible Sourcing Policy (RSP) juga menjabarkan persyaratan wajib yang harus dipatuhi oleh semua pemasok langsung Unilever dalam menjalankan bisnis secara bertanggung jawab, sesuai hukum, dan dengan integritas.

“Kami secara bertahap menerapkan implementasi kebijakan-kebijakan kami di dalam kontrak dengan pemasok langsung, dan kami mengharapkan mereka untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip ini ke rantai pasok mereka, memverifikasi kepatuhan, serta memperbaiki ketidakpatuhan sesuai dengan prosedur kami,” jelas Adisty

Caroline Westerik-Sikking, Global Manager Sustainable Oils AAK mengatakan, perusahaannya tidak membeli CPO produk turunannya dari tiga perusahaan dalam tulisan ini. Menurutnya, tiga perusahaan itu hanya masuk dalam daftar pemasok dari perusahaan-perusahaan yang menjadi pemasok langsung AAK. Meskipun demikian, katanya,  kebijakan Grup AAK dan kode etik untuk pengadaan minyak nabati yang bertanggung jawab, berlaku untuk semua pemasok, baik langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu, kata Caroline, AAK akan menangani temuan dugaan pelanggaran itu sesuai dengan prosedur pengaduan. Pihaknya akan mengkonfirmasi masalah ini ke pemasok tingkat 1 dan penyedia layanan keberlanjutan untuk mendapatkan penjelasan serta bukti tentang dugaan pelanggaran tersebut. Ia bilang, AAK akan mengambil tindakan yang tepat dengan pemasok untuk melibatkan mereka melalui rencana tindakan korektif atau mengeluarkan penangguhan.

Katanya, AAK memiliki kriteria untuk menilai apakah respons pertama harus berupa keterlibatan atau penangguhan segera. Jika rencana tindakan yang disepakati tidak ditunjukkan atau jika perusahaan tidak bekerja sama untuk mengatasi suatu masalah, tim manajemen keluhan AAK akan membuat keputusan yang tepat untuk menangguhkan hubungan dengan  perusahaan-perusahaan ini. Ia bilang, AAK sudah berkomitmen untuk mengatasi deforestasi di luar wilayah konsesi kelapa sawit di Indonesia.

“Karena perusahaan-perusahaan ini secara tidak langsung terhubung ke AAK melalui perantara, kami akan meminta penghapusan perusahaan-perusahaan ini dari rantai pasokan AAK. Beberapa perusahaan yang ditangguhkan oleh AAK terdaftar di Pelacak Keluhan AAK,” kata Caroline melalui surat resmi yang dikirim ke Mongabay pada 1 Oktober lalu.

Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Nur Shilla Christianto, Global Senior Corporate Spokesperson Nestlé mengatakan perusahaanya menanggapi tuduhan terhadap tiga pabrik ini dengan serius. Pihaknya akan menyelidiki dugaan tuduhan ini dengan melibatkan pemasok langsung mereka. Katanya, temuan-temuan yang dipaparkan dalam tulisan ini akan membantu untuk melakukan rencana aksi dan kegiatan remediasi yang akan dilakukannya.

“Sebagai bagian dari Strategi positif hutan, kami tetap fokus bekerja di tingkat lanskap untuk membantu mengatasi akar penyebab tantangan pengadaan dalam rantai pasokan minyak sawit kami. Aspek kunci dari pendekatan kami adalah keterlibatan pemasok,” kata Nur Shilla Christianto melalui email yang dikirim ke Mongabay

Shilla bilang, pihaknya akan bekerja sama dengan pemasok langsung untuk terus meningkatkan praktik keberlanjutan, dan dengan mitra untuk melakukan penilaian pemasok dan mengidentifikasi kesenjangan. Katanya, pada akhir tahun 2021, ada 91% minyak sawit yang Nestlé peroleh dinilai bebas deforestasi dan 71% diproduksi secara berkelanjutan.

Sebenarnya, untuk melakukan pengawasan pengelolaan sawit berkelanjutan di Indonesia hingga sampai ke rantai pasok pembeli akhir itu, ada lembaga yang ikut mengawasi. Yakni, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang mempromosikan praktik produksi minyak sawit berkelanjutan yang membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan masyarakat pedesaan di negara penghasil minyak sawit.

RSPO menjamin bahwa tidak ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi lainnya yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, satu dari tiga perusahaan dalam tulisan ini tercatat merupakan anggota RSPO yang berdasarkan temuan dilapangan, merambah kawasan hutan primer, hutan lindung, hingga kawasan konservasi yang bernilai tinggi.

Perusahaan itu yakni; PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN), yang sebelumnya bernama PT. Perkebunan Nusantara XIV. Padaal, perusahaan itu merupakan perusahaan plat merah milik pemerintah atau mandatory dari Kementerian BUMN.

M Windrawan Inantha, Deputy Director Market Transformation RSPO Indonesia mengatakan, harusnya perusahaan perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan, tidak bisa menjadi anggota RSPO. Jika ada perusahaan yang melakukan hal tersebut, maka siapa saja bisa melaporkan ke pihaknya dengan bukti-bukti yang kuat, agar mereka segera melakukan tindakan.

“PT. SPN bisa langsung laporkan ke kita berdasarkan temuan-temuan yang ada, agar segera bisa ditindaklanjuti. Akan ada komite sendiri yang akan menangani masalah tersebut,” kata M Windrawan Inantha kepada Mongabay, akhir September lalu.

Windrawan bilang, jika PT. SPN terbukti melakukan pembukaan kebun sawit di kawasan hutan, pihaknya bisa memberikan sanksi-sanksi ke PT. SPN, salah satunya bisa memberhentikan sementara pekerjaan perusahaan. Ia mengklaim, RSPO sudah banyak memberikan sanksi ke perusahaan sawit di Indonesia dengan masalah yang sama.

Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, bahwa perusahaan-perusahan sawit yang masih saja melakukan deforestasi di Indonesia harus benar-benar bertanggungjawab dan menghindari dari deforestasi. Timer bilang, sebenarnya sawit di Indonesia bisa dikembangkan tanpa deforestasi, dan itu bukan hal yang mustahil.

Berdasarkan catatannya, deforestasi yang didorong oleh kelapa sawit sudah menurun selama hampir satu dekade yang terhitung sejak 2013-2022. Sementara, produksi minyak kelapa mengalami kenaikan. Meski begitu, katanya, penurunan deforestasi akibat di wilayah perkebunan sawit itu perlu dilakukan penelitian lanjutan.

Misalnya, kata Timer, deforestasi yang menurun di wilayah perkebunan sawit apakah hasil kerja semua pihak, atau hutan yang bisa dihabisi sudah habis. Apalagi, hutan-hutan yang berada di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua sudah mulai dirambah oleh perkebunan sawit. Katanya, hal tersebut membuktikan masih banyak hutan yang sangat mungkin dirambah oleh perkebunan sawit, meski ada penurunan deforestasi.

Tak hanya itu, katanya, dari jumlah tanaman sawit yang ada di Indonesia, ada sekitar 20 persen di usia puncak panen, dan 30 persen di usia tua, dan sisanya berada di usia mudah. Ia memprediksikan, produksi sawit bisa meningkat dua kali lipat dengan potensi sawit yang ada. Timer bilang, dengan adanya prediksi itu, bisa jadi akan ada pabrik-pabrik baru yang akan dibangun lagi, dan memicu peningkatan deforestasi.

“Kalau kita lihat pabrik sawit saat ini, 90 persen berada di Indonesia barat, sementara deforestasi mengarah ke timur Indonesia dan sawit-sawit mudah itu berada di banyak di Indonesia timur. Fenomena ini yang memicu ada pabrik baru lagi di wilayah timur Indonesia, dan pabrik itu menjadi driver deforestasi yang baru lagi,” kata Timer Manurung saat menjadi pemateri di webinar beberapa pekan lalu.

Timer bilang, ada 2,4 juta hektar hutan alam di dalam izin sawit dan secara legal perusahaan bisa memanfaatkan hutan itu untuk jadi kebun sawit berdasarkan ruang yang diberikan Undang-undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020. Sehingga, katanya, yang bisa dilakukan saat ini adalah, mendorong setiap perusahaan untuk berkomitmen anti deforestasi.

Selain itu, katanya, yang perlu didorong juga adalah, pemerintahan pusat harus memberikan insentif kepada perusahaan, pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat untuk menjaga hutan alamnya. Selanjutnya, kata Timer, pemerintah juga harus membuat regulasi perlindungan terhadap hutan alam yang tersisa agar bisa mendorong komitmen perusahaan yang anti deforestasi.

*Tulisan ini merupakan fellowship Jurnalisme Data Investigasi dari AJI Indonesia


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah stunting. Untuk membacaya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.