Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Hutan Indonesia Masih Jadi Korban Eksploitasi

  • Hari Bumi jatuh pada 22 April. Ia jadi pengingat pentingnya tanggung jawab bersama menjaga bumi dari kerusakan.  Saat ini, kondisi bumi tak baik-baik saja. Krisis iklim terjadi dan berdampak ke berbagai sektor di dunia termasuk Indonesia. Kekhawatiran berbagai kalangan muncul kala pola-pola pembangunan di Indonesia masih eksploitatif, bergantung hutan, lahan dan sumber daya alam. 
  • Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, menyatakan, dorongan pemerintah mengeksploitasi sumber daya alam melalui proyek-proyek besar seperti hilirisasi tambang, atau pengembangan pangan dan energi skala besar—termasuk di hutan alam—bisa memperparah krisis iklim.  Alih-alih menjadi strategi pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek ini justru merusak lingkungan dan mengancam kesejahteraan masyarakat lokal.
  • Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menilai,  pendekatan pembangunan masih dominan paradigma ekstraktif membuat Indonesia rawan gagal memenuhi komitmen iklim global. Meski terus menggaungkan narasi “ekonomi hijau”, kenyataan lapangan memperlihatkan wajah lama pembangunan,  yakni, penguasaan lahan skala besar oleh korporasi, pengabaian ekosistem, dan minim partisipasi masyarakat lokal.
  • Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, tema Hari Bumi 2025—“Kekuatan Kita, Planet Kita”—semestinya menjadi seruan global untuk menyatukan manusia dalam upaya menyelamatkan rumah satu-satunya: bumi. Namun di Indonesia, tema itu justru mencerminkan paradoks.Kekuatan seolah terbajak, teralihkan dari tangan rakyat ke korporasi dan proyek-proyek negara yang mengabaikan batas ekologis.

Setiap 22 April, dunia bersatu memperingati Hari Bumi. Tahun 2025 ini, tema Hari Bumi adalah “Kekuatan Kita, Planet Kita” yang menyerukan pentingnya tanggung jawab kolektif—dari masyarakat, organisasi, hingga pemerintah—dari kerusakan yang kian menganga. Di Indonesia, gaung itu terdengar di seminar-seminar, kampanye daring, hingga ajakan menanam pohon.

Namun, di tengah kampanye peduli lingkungan yang semakin gencar ini, kondisi hutan dan lahan di Tanah Air justru memperlihatkan ironi: mereka masih terus menjadi korban atas nama pembangunan. Proyek infrastruktur, ekspansi industri, hingga program strategis nasional (PSN) kerap mengorbankan kawasan hutan dan lahan produktif, menciptakan dilema antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah proyek besar seperti pembangunan jalan tol, kawasan industri, dan food estate, telah membuka ribuan hektare hutan. Meski diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan pangan, banyak dari proyek ini justru berujung pada deforestasi masif, konflik agraria, dan kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan.

Baca juga: Hutan Indonesia Dijerat Ambisi Hijau Jepang dan Korea Selatan

Misalnya, program food estate yang dicanangkan di Kalimantan Tengah telah memicu pembukaan lahan gambut secara besar-besaran. Padahal, lahan gambut merupakan penyimpan karbon alami yang penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Alih-alih meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan, banyak lahan tersebut kini terbengkalai karena tidak cocok untuk pertanian intensif. Akibatnya, program ini justru mendorong terjadinya deforestasi baru.

Menurut data dari Auriga Nusantara, luas deforestasi di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 261,575 hektar. Angka ini meningkat sebesar 4.191 hektar dibandingkan tahun sebelumnya, yang tercatat seluas 257,384 hektar. Deforestasi tercatat terjadi di seluruh pulau besar di Indonesia, dengan peningkatan paling signifikan terjadi di Kalimantan dan Sumatera, dua pulau yang sejak lama menjadi medan laga antara kepentingan bisnis dan konservasi.

Ironisnya, sebagian besar hutan alam atau seluas 160,925 hektar hutan yang hilang pada 2024 merupakan habitat spesies langka dan dilindungi di Indonesia. Misalnya, 108,100 hektar diantaranya merupakan habitat Orangutan Kalimantan, dan 32,854 hektar adalah habitat Harimau Sumatera. Sisanya, habitat Orangutan Sumatera (7,868 hektar), Gajah Sumatera (6,546 hektar), Badak Sumatera (3,910 hektar), Badak Kalimantan (1,534 hektar), dan Orangutan Tapanuli (114 hektar).

Jika dilihat dari status penguasaan lahan, sebanyak 57% deforestasi pada tahun 2024 terjadi di lahan yang dikuasai negara atau berada dalam kawasan hutan. Penyebabnya tak tunggal, tapi pola kerusakan menunjukkan kecenderungan kuat: hutan ditebang untuk kepentingan korporasi. Perusahaan kebun kayu menempati posisi pertama dengan 41.332 hektar deforestasi pada 2024, disusul tambang (38.615 hektar), sawit (37.483 hektar), dan logging (36.068 hektar)

Auriga memperkirakan, deforestasi oleh pembangunan kebun kayu tampaknya akan berlanjut pada tahun 2025 ini. Hal itu terlihat dari deforestasi masif di konsesi kebun kayu PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat, dan di konsesi PT Industrial Forest Plantation di Kalimantan Tengah. Meski koalisi masyarakat sipil telah mengungkap deforestasi di kedua konsesi ini pada tahun sebelumnya, aktivitas tetap berlangsung tanpa henti.

Pembangunan kebun kayu sebagai penyebab utama deforestasi 2024 tak hanya dilakukan oleh industri pulp, tetapi juga oleh kebun kayu energi atau biomassa. Contohnya terlihat pada konsesi milik PT Inti Global Laksana, PT Banyan Tumbuh Lestari, dan PT Biomasa Jaya Abadi di Gorontalo; PT Malinau Hijau Lestari di Kalimantan Utara; PT Jaya Bumi Paser di Kalimantan Timur; serta PT Babugus Wahana Lestari di Kalimantan Tengah.

Baca juga: Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, menyatakan bahwa dorongan pemerintah terhadap eksploitasi sumber daya alam melalui proyek-proyek besar seperti hilirisasi tambang, serta pengembangan kawasan pangan dan energi skala besar—termasuk di hutan alam—semakin memperparah krisis iklim. Alih-alih menjadi strategi pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek ini justru merusak lingkungan dan mengancam kesejahteraan masyarakat lokal.

Hilman mengungkapkan bahwa proyek hilirisasi tambang, khususnya untuk komoditas seperti nikel, telah mempercepat pembukaan lahan di kawasan hutan tropis, termasuk hutan primer. Menurut analisis Auriga Nusantara, lebih dari 450 ribu hektare konsesi tambang nikel saat ini tumpang tindih dengan hutan alam. Akibatnya, kata dia, proyek yang diklaim “Hijau” itu justru memicu bencana ekologis.

Di Maluku Utara, misalnya, ekspansi industri nikel telah menyebabkan pencemaran serius di wilayah pesisir seperti Teluk Weda dan Pulau Obi. Dampaknya terasa langsung terhadap ekosistem laut maupun kehidupan masyarakat lokal. Kondisi ini, kata Hilman, menunjukkan bahwa transisi energi global yang bergantung pada mineral kritis tidak otomatis membawa dampak yang berkelanjutan di tingkat lokal.

Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Hilman juga menyoroti rencana pemerintah untuk membuka 20,6 juta hektare lahan bagi proyek pangan dan energi. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi melegitimasi deforestasi besar-besaran, melemahkan perlindungan hutan alam, dan melepaskan emisi karbon masif ke atmosfer. Menurutnya, kombinasi proyek tambang, pangan, dan energi ini berisiko menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan, serta mengancam keanekaragaman hayati.

“Di Kalimantan Utara, misalnya, rencana pengembangan hutan tanaman energi (HTE) berpotensi mengancam kawasan hutan alam yang masih tersisa dan memicu konflik lahan antara masyarakat adat dan korporasi,” ujar Hilman Afif, pada Senin, 21 April 2025.

Senada, Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media di Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan keprihatinannya terhadap praktik bisnis yang memanfaatkan biomassa dari kayu hutan alam. Menurut riset FWI, banyak perusahaan yang masih menggantungkan pasokan kayu untuk biomassa dari hutan alam, alih-alih menggunakan kayu hasil rehabilitasi.

Baca juga: UU Kehutanan Akan Direvisi, Bisa Disusupi Kepentingan Korporasi?

Praktik tersebut, kata Anggi, tidak hanya merampas habitat keanekaragaman hayati dan kawasan dengan nilai konservasi tinggi, tetapi juga memperburuk bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan.

“Yang lebih parah, beberapa perusahaan yang diizinkan membangun kebun energi (HTE) malah meninggalkan konsesi mereka setelah menghabiskan sumber daya hutan alam, sementara masyarakat adat dan lokal harus menanggung dampaknya,” kata Anggi pada Senin, 21 April 2025.

Anggi juga menyoroti bahwa proyek pangan dan energi saat ini dipenuhi kontroversi. Banyak proyek besar yang dijalankan oleh korporasi dengan rakus mengeruk ruang dan merusak lingkungan. Kebijakan top-down ini, menurutnya, diterapkan di atas kawasan hutan tanpa legitimasi dari masyarakat lokal dan adat setempat. Anggi menyatakan bahwa pendekatan coba-coba seperti ini berisiko gagal total, karena tidak melibatkan modal sosial dan mengabaikan kebutuhan serta hak-hak masyarakat yang berada di wilayah tersebut.

Lebih jauh, Anggi menyoroti ketidakjelasan dalam kebijakan hilirisasi mineral yang turut memperburuk masalah. Banyak tambang yang beroperasi di kawasan hutan dengan berbagai fungsi, termasuk kawasan konservasi. Mereka sering kali menggunakan dalih Peruntukan Pemanfaatan Kawasan (PPK) untuk menghindari pembatasan. Padahal, tambang yang beroperasi di dalam kawasan PPK justru berpotensi merusak lingkungan, ekosistem hutan, bahkan ekosistem pesisir.

“Awalnya, pembatasan izin tambang hanya berlaku pada 10% dari luas area, namun dengan adanya hilirisasi, pembatasan ini menjadi kabur dan tak terbatas. Ini sangat berbahaya dan mengancam kelestarian sumber daya alam,” tegas Anggi, mengingatkan kasus di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Di sana, tambang beroperasi tanpa Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH), namun tetap berjalan di kawasan PPK, merusak sumber daya alam secara masif.

Tak hanya itu, Anggi juga menyoroti ambisi besar Presiden Prabowo Subianto yang ingin menjadikan Indonesia sebagai raja bioenergi dunia. Menurutnya, ambisi ini semakin tidak realistis, mengingat industri sawit yang menjadi salah satu pilar utama bioenergi Indonesia, sedang dilanda masalah tata kelola yang kronis—mulai dari transparansi, partisipasi, hingga penegakan hukum yang lemah. Anggi mengingatkan, kebijakan pemutihan sawit ilegal yang beroperasi di kawasan hutan justru akan memperburuk kondisi ini.

Baca juga: Wajah Orde Baru di Perpres Penertiban Kawasan Hutan

“Pemutihan sawit ilegal ini berisiko menjadi pola deforestasi yang terencana. Bayangkan, ekspansi sawit di Indonesia sudah menyebabkan kerusakan hutan rata-rata 55 ribu hektare per tahun,” ujar Anggi, menambahkan bahwa kebijakan ini akan memperburuk laju kerusakan yang sudah sangat masif.

Anggi juga tidak bisa menahan kritik terhadap Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang saat ini dilabeli sebagai PSN. Ia menilai proyek ini justru menjadi pemicu utama deforestasi di Kalimantan Timur, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, dan merusak ekosistem mangrove. Proyek tersebut, menurutnya, secara terang-terangan mengeksklusi masyarakat adat, dengan dampak kerusakan lingkungan yang tak terbayangkan.

“Jika proyek ini diteruskan, kerusakan akan semakin tak terkendali. Minimnya integritas dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam hanya akan membawa bencana lebih besar bagi generasi mendatang,” tegas Anggi sambung mengkhawatirkan tentang masa depan lingkungan Indonesia.

Gambar udara pembukaan hutan alam di dalam konsesi kebun kayu pulp PT Mayawana Persada, Agustus 2023 (Foto: Greenpeace Indonesia)
Gambar udara pembukaan hutan alam di dalam konsesi kebun kayu pulp PT Mayawana Persada, Agustus 2023 (Foto: Greenpeace Indonesia)

Langkah yang Keliru

Program besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bertajuk Astacita—delapan cita-cita pembangunan nasional—diluncurkan dengan semangat menggugah: membangun Indonesia sebagai kekuatan ekonomi hijau dunia. Namun bagi Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, arah kebijakan ini justru tampak berbelok dari jalur penyelamatan lingkungan dan pelestarian bumi.

“Nyaris semua program dalam Astacita, mulai dari proyek pangan, energi, hingga hilirisasi industri, justru mengancam tutupan hutan kita,” kata Arie Rompas, yang akrab disapa Rio, pada Senin, 21 April 2025. Ia menilai pendekatan pembangunan yang masih didominasi paradigma ekstraktif membuat Indonesia rawan gagal memenuhi komitmen iklim global.

Dalam dokumen nationally determined contributions (NDC), Indonesia menetapkan target ambisius: pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada 2030 secara mandiri, dan hingga 43,2% dengan bantuan internasional. Namun, kata Rio, jika proyek-proyek Astacita tetap dijalankan, termasuk proyek 20,6 juta hektare hutan dan lahan untuk pangan dan energi, maka target itu tinggal jargon tanpa pijakan.

Baca juga: Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi

Meski narasi “ekonomi hijau” terus digaungkan, kenyataan di lapangan memperlihatkan wajah lama pembangunan: penguasaan lahan skala besar oleh korporasi, pengabaian terhadap ekosistem, dan minimnya partisipasi masyarakat lokal. “Ketahanan pangan itu bukan soal membuka jutaan hektar hutan, tapi soal menguatkan petani,” tegas Rio.

Ia menekankan bahwa strategi ketahanan pangan semestinya berpijak pada pelestarian alam dan memberdayakan petani lokal sebagai aktor utama. Caranya sederhana: berikan akses lahan, dukungan sarana produksi, dan teknologi yang sesuai. “Petani kita punya kearifan lokal untuk bertani secara lestari. Tapi mereka malah ditinggalkan, digantikan oleh korporasi yang rakus lahan.”

Ancaman lain datang dari sektor industri—khususnya hilirisasi nikel dan produksi biodiesel—yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi prioritas pemerintah. Alih-alih menjadi solusi energi bersih, keduanya justru menjadi pemicu baru kerusakan hutan.

Menurut Rio, tanpa regulasi perlindungan lingkungan yang ketat, industri hilirisasi nikel akan terus mendorong pembukaan lahan di kawasan hutan tropis, bahkan hutan primer. Situasi ini diperparah dengan kebijakan ekspansi biodiesel yang masih mengandalkan sawit—komoditas yang telah lama terkait dengan deforestasi dan konflik lahan.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Laporan Global Carbon Project yang dimuat dalam Earth System Science Data akhir 2023 menunjukkan bahwa emisi karbon global kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Indonesia, dalam laporan tersebut, berada di posisi kedua sebagai penyumbang emisi terbesar dari sektor lahan.

“Jika program-program pembangunan terus menyasar kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, maka kita akan melihat krisis iklim yang jauh lebih parah dari hari ini,” ujar Rio.

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, tema Hari Bumi 2025—“Kekuatan Kita, Planet Kita”—semestinya menjadi seruan global untuk menyatukan manusia dalam upaya menyelamatkan rumah satu-satunya: Bumi. Namun di Indonesia, tema itu justru mencerminkan paradoks.

Menurut Uli, kekuatan yang dimaksud seolah telah dibajak, dialihkan dari tangan rakyat ke korporasi dan proyek-proyek negara yang mengabaikan batas ekologis. “Hampir semua kebijakan hari ini justru memperparah krisis lingkungan,” ujar Uli Artha Siagian, pada Senin, 21 April 2025.

Baca juga: Kerusakan Hutan Gorontalo di Balik Dalil Transisi Energi

Uli menuding arah pembangunan Indonesia hari ini lebih banyak memberi ruang pada eksploitasi sumber daya alam ketimbang perlindungan lingkungan. Ia menyebut program-program strategis seperti food estate, PSN, ekspansi sawit, tambang, hingga megaproyek infrastruktur, sebagai penyebab utama rusaknya bentang alam.

Dampaknya bukan hanya pada hutan yang hilang, sungai yang tercemar, atau udara yang semakin pengap. “Masyarakat yang hidup bergantung pada hutan juga ikut terpinggirkan,” kata Uli. Ia menyoroti bagaimana proyek-proyek besar seringkali melangkahi hak-hak masyarakat adat dan lokal, menjadikan mereka korban dari pembangunan yang tak mereka kehendaki. Dalam pandangan Uli, inilah wajah nyata dari kekuatan yang keliru.

“Kekuatan manusia bisa menyelamatkan bumi. Tapi jika diarahkan untuk merusak, maka kehancurannya akan jauh lebih cepat dan menyeluruh,” Ucapnya.

Namun, di tengah situasi yang muram ini, Uli justru mengajak publik untuk menoleh pada satu kekuatan yang masih bisa menjadi tumpuan: kekuatan rakyat. Bagi Walhi, kekuatan rakyat bukan sekadar retorika, melainkan energi politik yang bisa mengoreksi arah pembangunan, melawan kebijakan destruktif, dan menuntut perlindungan nyata terhadap alam.

“Kekuatan rakyatlah yang bisa melahirkan kebijakan-kebijakan baru, progresif, dan berpihak pada bumi,” kata Uli. Ia menekankan pentingnya konsolidasi gerakan rakyat untuk mengintervensi ruang-ruang pengambilan kebijakan. Tanpa itu, katanya, generasi masa depan akan hidup di planet yang lebih rusak dari hari ini.

“Kalau hari ini kita gagal menggerakkan kekuatan rakyat, maka generasi selanjutnya tak akan punya warisan selain krisis,” ujarnya

Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI
Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI

Hilman memiliki harapan, di peringatan Hari Bumi 2025, harus menjadi momentum reflektif pemerintah untuk meninjau ulang arah pembangunan yang tengah dijalankan. Menurutnya, Indonesia harus segera meninggalkan model pembangunan yang terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. “Pendekatan yang lebih berkelanjutan harus menjadi prioritas,” tegas Hilman

Ia mendorong agar pemerintah segera menetapkan zona larangan tambang (no-go mining zone) di wilayah-wilayah rawan seperti kawasan bencana, kawasan pangan berkelanjutan, konservasi, pulau-pulau kecil, hingga wilayah kelola masyarakat. Bagi Hilman, proyek pembangunan tidak bisa lagi dijalankan tanpa penilaian dampak lingkungan yang menyeluruh dan partisipasi aktif masyarakat lokal.

Selain itu, kata Hilman, penilaian dampak lingkungan yang menyeluruh perlu diperkuat sebelum setiap proyek dijalankan serta memastikan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam setiap tahap pembangunan. Ia bilang, transisi menuju energi bersih dan ketahanan pangan seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan hutan dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

“Selain sekadar menjadi ajang seremonial untuk mengapresiasi luasnya hutan Indonesia, peringatan Hari Bumi tahun ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk meninjau kembali arah pembangunan yang semakin bergantung pada eksploitasi sumber daya alam,” ucapnya.

Namun, berbeda Hilman. Anggi justru menyambut Hari Bumi dengan skeptisisme. “Saya tidak punya harapan apa-apa,” ujarnya lugas. Bukan karena pesimisme, tetapi karena ia melihat terlalu banyak kebijakan lingkungan yang berhenti di tataran retorika.

Baca juga: Ekspor Wood Pellet di Gorontalo Diduga Ilegal

Anggi hanya mendorong yang paling mendesak dilakukan pemerintah saat ini adalah memperbaiki tata kelola sumber daya alam—dimulai dari membuka keran transparansi. Menurutnya, tanpa transparansi, tak mungkin ada partisipasi yang bermakna. Dan tanpa partisipasi, kebijakan hanya akan jadi alat legitimasi kekuasaan.

Ia menyoroti rencana revisi Undang-Undang Kehutanan sebagai ujian komitmen. “UU Kehutanan yang baru harus merefleksikan bahwa tanpa transparansi, kita hanya akan memproduksi kebijakan lemah yang tidak menyelesaikan masalah,” kata Anggi.

Rio, Uli, Hilman dan Anggi sepaham: pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa menghitung biaya ekologis akan menghancurkan lebih banyak daripada yang bisa diselamatkan. Dan jika tidak dikoreksi, target pengurangan emisi Indonesia dalam Enhanced NDC hanya akan menjadi angka mati di atas kertas.

“Tanpa transparansi, Indonesia tidak akan bisa mencapai target pengurangan emisi dan menciptakan keadilan sosial,” tegas Anggi.

 


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.