- Cadangan air tanah di Pulau Ternate diprediksi mengalami penurunan lantaran penggunaannya yang berlebihan. Sejumlah riset mendapati ketersedian air tanah di Pulau Ternate telah berada di bawah rata-rata.
- Potensi air hujan di Pulau Ternate sangat besar, diprediksi mencapai 112 juta meter kubik per tahun. Curah hujan pun tergolong tinggi lantaran tipologi Pulau Ternate yang masuk pada kategori ekuatorial, membuat pulau ini memiliki dua puncak hujan. Dalam setahun hujan bisa terjadi dalam rentang waktu sembilan bulan.
- Penggunaan air hujan dinilai bisa menjadi solusi dalam mengatasi ancaman krisis air bersih di pulau kecil, terutama pada pulau yang tidak memiliki sumber mata air. Kandungan air hujan di Pulau Ternate dibawah baku mutu dan masih aman digunakan untuk keperluan rumah tangga.
****
Sore itu, raut wajah Zulkifli (49) serius mengawasi dua orang pekerja yang menggali lubang berukuran 2×2 meter di sebuah perantara halaman rumah di Kelurahan Siko, Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara. Beberapa kali tangannya terlihat memberikan instruksi untuk menyingkirkan tumpukan tanah yang berada tak jauh dari lokasinya berdiri. Sesekali ia ikut membantu memindahkan tumpukan tanah itu dengan menggunakan gerobak. Ia ingin memastikan pekerjaan menggali lubang itu bisa selesai sebelum waktu berbuka puasa tiba.
“Sekarang ini sudah musim hujan, saya butuh lubang ini untuk menampung dua ribu liter. Makanya saya ingin pekerjaan ini segera cepat selesai,”kata Zulkifli pada Jumat 23 Maret 2025.
Zulkifli (49) merupakan tokoh lingkungan di Ternate yang mempelopori gerakan memanen air hujan untuk dijadikan sumber air bersih. Ia menggagas gerakan itu sejak delapan tahun lalu, dan selama itu, ratusan lubang sumur resapan dan bak penampung di rumah-rumah warga di wilayah Ternate, Tidore, Sofifi dan Batang Dua telah dibuat.
Baca juga: Nyawa Buruh kembali Melayang di Kawasan Industri IMIP
Saban akhir pekan, Zulkifli rutin mengajak warga untuk mengurangi menggunakan air bawah tanah dan beralih memanfaatkan air hujan sebagai sumber kebutuhan air bersih. Baginya, air hujan merupakan karunia berlimpah yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan krisis air di pulau kecil seperti Ternate. Memanfaatkan hujan untuk sumber air bersih sama dengan melestarikan air tanah.
Menurut Zulkifli, gerakan memanen air hujan merupakan gerakan yang lahir dari rasa keprihatinan atas krisis air bersih di wilayah Ternate Utara pada 2015 silam. Saat itu, sedikitnya ada 500 kepala keluarga atau enam ribu penduduk yang mengalami kesulitan mendapatkan pasokan air bersih hingga berbulan-bulan. Kualitas dan kuantitas air yang diperoleh warga kala itu mengalami penurunan drastis. Air yang disalurkan sesekali terasa payau dan asin.

Satu-satunya pasokan kebutuhan air bersih warga adalah cadangan air yang ditampung PDAM Ternate pada kolam ukuran besar. Kapasitasnya pun terbatas, hanya bisa mencukupi kebutuhan warga untuk dua pekan, setelah itu warga kembali mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.
“Kondisi itu cukup lama, hampir delapan bulan. Itulah mengapa saya kemudian menginisiasi gerakan memanen air hujan ini. Tujuannya tidak lain untuk membantu warga mengatasi krisis air, namun dengan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih,”ujar Zulkifli.
Kampanye awal gerakan memanen air hujan, kata Zulkifli, dilakukan pada Februari 2016 atau delapan bulan setelah terjadi krisis air bersih di wilayah Ternate Utara terjadi. Pertama kali mengajak beberapa staf di Kecamatan Ternate Utara untuk membuat instalasi penampungan air hujan di rumahnya. Biayanya berasal dari donasi yang digalang selama dua bulan. Setelah itu, gerakan dilanjutkan dengan mengajak warga di kelurahan Sangaji, Dufa-Dufa dan Siko. Pertama hanya menyasar 5 rumah warga di setiap kelurahan, namun kemudian bertambah menjadi 15 rumah.
“Saat ini sudah mencapai ratusan rumah yang secara sukarela membangun instalasi ini. Kalau dari data yang dikumpulkan lima tahun terakhir, untuk kelurahan sangaji saja sudah ada 39 rumah. Namun secara keseluruhan di kecamatan Ternate Utara sudah ada 181 rumah yang tersebar enam kelurahan yaitu kelurahan Akehuda, Dufa-Dufa, Kasturian, Sangaji, Salero, dan Sangaji Utara,”ujar Zulkifli.
Zulkifli mengungkapkan dalam menginisiasi gerakan memanen air hujan kendala utama adalah faktor tingginya biaya pembangunan instalasi. Untuk membangun satu instalasi penampung air hujan, warga harus merogoh kocek kurang lebih Rp 3-4 juta yang dipergunakan untuk membeli pipa dan penampung air hujan.
Kendala lain adalah minimnya rumah warga yang memiliki halaman. Tidak semua rumah di Kota Ternate memiliki halaman yang bisa digunakan untuk membangun instalasi penampungan air hujan. Keterbatasan ruang membuat gerakan membangun instalasi penampungan air hujan tidak merata. Terutama pada wilayah permukiman yang padat penduduk. Faktor inilah yang kerap membuat warga kurang tertarik untuk membangun instalasi penampungan air hujan dan hingga akhirnya lebih mengandalkan air PDAM.
Meski demikian, gerakan memanen air hujan masih bisa berjalan hingga saat ini, banyak warga yang memasang talang hujan dan membuat Instalasi penampung air hujan (IPAH) dengan memanfaatkan keterbatasan halaman rumah. Talang air hujan dipasang dengan memanfaatkan tandon sebagai bak penampung. Dari atap rumah air hujan akan langsung ke dalam tangki penampungan yang digunakan sebagai sumber air bersih. “Ini sederhana tapi sangat bermanfaat,”ungkap Zulkifli.
Belakang, gerakan memanen hujan hasil inisiasi Zulkifli itu, mulai banyak diikuti warga di Pulau Ternate. Ratusan warga di tiga kecamatan sudah membangun instalasi penampungan air hujan dengan memanfaatkan halaman rumah. Setiap rumah bahkan ada yang memiliki lebih dari dua penampung air hujan dengan kapasitas 4-5 ribu liter.
Rahman Abdulah (49) warga Tanah Tinggi, Ternate Selatan, Kota Ternate misalnya mengaku membuat instalasi penampungan air hujan dengan memanfaatkan lahan halaman belakang rumah. Ada dua bak penampung air hujan dengan kapasitas empat ribu liter yang dibangun. Air hujan yang ditampung itu bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan air bersih selama dua bulan dan membantu mengurangi pengeluaran bulanan.
“Biasanya setiap tiga hari sekali saya membeli air dari mobil tangki dengan harga 80 ribu. Tapi sekarang tidak lagi. Sekedar untuk mencuci dan mandi saya pakai air hujan,”ujar Rahman.
Rahman mengungkapkan, tujuh tahun lalu Ia pernah mengalami krisis air bersih hingga sembilan bulan lamanya. Pasokan air bersih dari perusahaan air minum milik Pemerintah Kota Ternate tidak berjalan baik. Jatah air disalurkan bergilir dan hanya diberikan enam hari sekali.
Dalam sebulan Ia mengaku membutuhkan 2400 liter atau dua kali pemesanaan air pada penyedia jasa pengangkut air. Untuk memenuhi kebutuhan air, Ia terpaksa membeli kebutuhan air bersih pada pemasok air yang menawarkan jasa pengangkut air bersih lewat mobil pick up dengan harga Rp 80 ribu per 1200 liter.
“Lama kelamaan saya berpikir kenapa tidak air hujan, toh gratis. Itulah kemudian saya mulai beralih menggunakan air hujan untuk kebutuhan air bersih,”ungkap Rahman.
Air Hujan di Ternate Berlimpah
Fahmi, Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Sultan Babullah Ternate mengatakan, potensi air hujan di Ternate tergolong besar lantaran curah hujan diini masuk kategori tinggi. Dalam setahun, Pulau Ternate bisa diguyur hujan dalam rentang waktu sembilan bulan.
Tipologi Pulau Ternate yang masuk pada kategori equatorial, membuat pulau ini memiliki dua puncak hujan yang terjadi pada pada Januari dan Mei dengan rata-rata curah hujan mencapai 168 millimeter. Bulan dengan curah hujan paling sedikit terjadi pada September dengan rata-rata curah hujan mencapai 64 milimeter. Pola hujan equatorial sendiri dikenal merupakan pola hujan yang terjadi pada wilayah yang memiliki distribusi hujan bulanan dengan dua puncak musim hujan.
“Bisa dibilang, Ternate ini banyak hujannya. Dari 12 bulan, hanya tiga bulan yang tidak terjadi hujan, sisanya sembilan bulan selalu terjadi hujan,”kata Fahmi yang ditemui di ruang kerjanya pada Jumat 10 April 2025.
Data BMKG Stasiun Babullah Kota Ternate menyebutkan dari tahun 1999 hingga 2024, curah hujan di Ternate, Maluku Utara, rata rata bulanan mencapai 174 milimeter, maksimum berada pada angka 256 millimeter dan minimum 68 millimeter. Kondisi itu menyebabkan Pulau Ternate memiliki jumlah hari hujan terpanjang yang mencapai 226 hari hujan setiap tahunnya.
“Tentu ini menandakan bila potensi debit air hujan di Ternate tergolong cukup besar, dan berpotensi bisa menjadi sumber air bersih,”kata Fahmi.
Baca juga: Hutan Indonesia Dijerat Ambisi Hijau Jepang dan Korea Selatan
Maslan Deis, Direktur Teknik PDAM Ternate mengakui, potensi debit air hujan di Ternate termasuk besar dan bisa menjadi sumber air bersih alternatif. Kapasitas air hujan di Ternate diprediksi mencapai miliaran kubik yang bila dimanfaatkan dapat mencukupi kebutuhan air bersih warga kota.
Namun potensi air hujan itu belum sepenuhnya dimanfaatkan secara baik. Warga Ternate masih mengandalkan air bawah tanah yang diambil dari 7 sumur dalam dan 34 sumur dangkal untuk kebutuhan air bersih. Bahkan sumber air utama air bersih dari mata air Ake Gaale masih memasok 60 persen kebutuhan air bersih di tiga wilayah yaitu utara, tengah, dan selatan kota.
Menurut Maslan, berdasarkan data tahunan, kebutuhan air bersih di Ternate dalam sehari mencapai 4-5 juta liter yang dikonsumsi kurang lebih 200 ribu penduduk atau 33 ribu pelanggan. Dalam setahun kebutuhan air bersih di Ternate mencapai 30 juta liter meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 28 juta liter.
“Konsumsi air rata-rata dipergunakan untuk kebutuhan domestik seperti rumah tangga yang mencapai 25 juta liter. Sementara untuk kebutuhan non domestik seperti kantor pemerintahan, pelabuhan dan usaha mencapai 5 juta liter. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kami memanfaatkan air bawah tanah dari lima mata air seperti mata air Ake Gaale, Santosa, Tege-Tege, Ake Rica, dan Mata Air Minta. Tingkat produksinya rata-rata mencapai 110 liter per detik,”kata Maslan.
Berdasarkan data Geologi dari Badan Geologi direktorat Geologi Tata Lingkungan, jumlah cadangan air tanah di Pulau Ternate diprediksi mencapai 112 juta meter kubik per tahun. Cadangan air tanah ini berasal dari air hujan yang jatuh atau masuk kedalam wilayah catchment area yang dalam setiap tahunnya yang mencapai 8 juta meter kubik atau setara dengan 8.6 miliar liter per tahun.
Meski demikian, jumlah cadangan air bawah tanah di Pulau Ternate mengalami penurunan setiap tahunnya. Riset Balai Wilayah Sungai Maluku Utara mendapati, ketersediaan air bawah tanah di Pulau Ternate telah berada di bawah rata-rata. Penggunaan air bawah tanah untuk kebutuhan air bersih warga kota tergolong berlebihan. Tingkat kehilangan air di Ternate mengalami peningkatan hingga 33 persen. Cadangan air tanah di Kota Ternate diprediksi tak lagi bisa mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat hingga 20 tahun kedepan.
Membangun Penangkap Air Hujan
Tauhid Soelaiman, Wali Kota Ternate mengungkapkan, Pemerintah Kota Ternate sebenarnya telah membuat satu perencanaan pengolahan air secara modern dan terpadu, salah satunya adalah pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan air bersih warga. Pemerintah Kota bahkan sudah membangun sistem jaringan pemanfaatan air hujan di beberapa kecamatan, seperti pembangunan bak penangkap mata air (broncaptering) di Kecamatan Hiri.
Program air yang disusun telah diarahkan pada prinsip kebijakan ketahanan perkotaan yang bersifat berkelanjutan. Pemanfaatan air dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan tingkat konsumsi harian warga.
“Kami juga sudah membangun ribuan biopori sebagai sumur resapan di wilayah Ternate Utara dan Selatan sebagai langkah awal. Ini kami lakukan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan kebutuhan air bersih untuk warga dengan baik,”ucap M Tauhid Soleman pada, Selasa 15 April 2025.
Selama ini, kata Tauhid, pemenuhan air bersih warga Kota Ternate mengandalkan sumber mata air dari sumur dan tadah hujan yang dibangun di tiga wilayah. Pemerintah masih memanfaatkan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga Kota. Hanya dibeberapa wilayah seperti pulau Hiri, Batang Dua dan Moti, Pemerintah Kota Ternate memanfaatkan air dari sumur dangkal dan instalasi tadah hujan dengan kapasitas lebih dari 75 meter kubik atau 75 ribu liter.
Rencananya, Pemerintah Kota Ternate akan merumuskan satu kebijakan pengendalian konsumsi air berkelanjutan dengan cara penataan kawasan permukiman warga, dan memperketat pemberian Izin mendirikan Bangunan (IMB) pada daerah-daerah resapan air. Pemerintah Kota Ternate akan mendorong Pemerintah Kecamatan dan Kelurahan untuk menggalakkan gerakan menabung air hujan.
“Kebijakan ini sudah saya teruskan ke camat dan lurah. Harapannya dengan banyaknya warga yang membangun instalasi penampungan air hujan cadangan air tanah ini bisa terjaga, dan kami bisa mengoptimalisasi sumber alternatif lain seperti penggunaan air hujan,”ungkap Tauhid.

Air Hujan Bisa Dikonsumsi
Muh Julham, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan, Universitas Nuku mengatakan air hujan umumnya merupakan uap air yang terkondensasi dalam rangkaian siklus hidrologi. Kandungannya kebanyakan merupakan uap air meski terdapat karbon dioksida (H2O) dengan jumlah kecil. Air hujan tergolong air bersih yang mudah didapat.
Air hujan yang telah melalui penyaringan aman digunakan untuk kebutuhan air bersih seperti mandi, mencuci dan keperluan lainnya. Air hujan di Ternate memiliki pH berada antara 8,00-8,40 atau jauh di batas bawah baku mutu yaitu 6,5-8,5. Bahkan air hujan yang berada dalam bak penampungan memiliki tingkat kekeruhan yang relatif rendah.
“Kalau merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 tahun 2010 batas maksimum kekeruhan air minum adalah 5 Nephelometric Turbidity Unit (NTU), sementara tingkat kekeruhan air hujan dalam bak penampungan warga berada pada angka 0. Itu artinya air hujan dalam penampungan warga umumnya layak untuk digunakan untuk kebutuhan air bersih,”kata Julham Kamis 11 Juni 2025.
Julham mengungkapkan, meski air hujan di Ternate layak digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci, namun air hujan tanpa proses penyaringan tetap disarankan untuk tidak digunakan sebagai air minum. Kadar zat besi yang tergolong tinggi pada air hujan menjadi alasan mengapa air hujan tidak disarankan untuk diminum. “Kalau hanya untuk mandi dan mencuci, air hujan masih aman digunakan,”ujar Julham. (***)
Liputan ini didukung oleh Internews ‘Earth Journalism Network (EJN)’
Leave a Reply
View Comments