- Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) menghadapi masa krisis. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengusulkan pelonggaran 441 kode harmonized system (HS) di sektor kehutanan. Salah satunya, penghapusan kewajiban uji tuntas dan deklarasi impor untuk produk kayu, serta menjadikan dokumen V-Legal opsional bagi pasar selain Uni Eropa (UE) dan Inggris.
- Denny Bhatara, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak, menyebut, pelemahan SVLK bisa menjadi langkah mundur yang berpotensi mengikis kepercayaan pasar internasional, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
- Muhammad Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), bilang, upaya deregulasi sudah terdeteksi sejak awal tahun 2025. Saat itu, sejumlah asosiasi pengusaha mulai melakukan lobi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan.
- Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF), menyebut deregulasi SVLK bisa mendorong peredaran kayu ilegal. Kondisi ini bisa mematikan iklim usaha pelaku industri kayu yang taat aturan.
Dalam pusaran dinamika kebijakan perdagangan global, Indonesia kini menghadapi ujian serius terhadap integritas Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian Kayu (SVLK) — sebuah sistem yang telah menjadi tulang punggung keberhasilan industri kayu nasional selama lebih dari satu dekade.
Tantangan tersebut muncul dari usulan deregulasi oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang mencakup pelonggaran 441 kode Harmonized System (HS) di sektor kehutanan. Usulan ini mencakup penghapusan kewajiban Uji Tuntas dan Deklarasi Impor untuk produk kayu, serta menjadikan dokumen V-Legal bersifat opsional bagi pasar selain Uni Eropa (UE) dan Inggris.
Langkah deregulasi ini sejatinya dimaksudkan sebagai respons terhadap tarif impor Amerika Serikat dan untuk meningkatkan daya saing ekspor produk kayu Indonesia. Namun, dibalik niat tersebut tersimpan resiko besar yang dapat merusak pondasi keberlanjutan dan legalitas produk kayu Indonesia.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa langkah deregulasi tersebut menimbulkan pertanyaan besar sekaligus menjadi ancaman nyata bagi masa depan industri kayu Indonesia. Padahal, produk kayu Indonesia telah mencatat prestasi membanggakan di pasar global berkat jaminan legalitas dan keberlanjutan yang ditawarkan oleh SVLK.
Kekhawatiran ini beralasan, mengingat tren pasar global yang semakin menuntut produk tidak hanya legal, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pelonggaran regulasi justru dikhawatirkan melemahkan posisi daya saing produk kayu Indonesia di mata konsumen internasional yang semakin sadar akan isu lingkungan.
“Dalam konteks ini, pelemahan SVLK bisa menjadi langkah mundur yang berpotensi mengikis kepercayaan pasar internasional, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun,” kata Denny Bhatara, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak, melalui rilis yang diterima.
Baca juga: Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan
Sejak diberlakukan pada 2010, SVLK telah membawa Indonesia ke posisi terdepan sebagai salah satu pemain utama dalam perdagangan produk kayu legal dan lestari. Nilai ekspor produk kayu Indonesia yang mencapai 14,51 miliar dolar AS pada 2022 adalah bukti nyata keberhasilan sistem ini.
Menurut Denny, keberhasilan tersebut bukanlah keberuntungan semata, melainkan buah dari konsistensi dan kerja keras para pemangku kepentingan dalam memastikan setiap produk kayu yang diekspor memenuhi standar legalitas dan keberlanjutan yang ketat.
“SVLK telah menjadi jaminan yang tidak hanya mendongkrak reputasi Indonesia sebagai pemasok kayu bertanggung jawab, tetapi juga membuka akses ke pasar bernilai tinggi yang selama ini sulit diraih tanpa kepastian legalitas,” jelasnya.
Namun, rencana deregulasi yang kini diusulkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian di kalangan pembeli internasional. Menurutnya, jika dokumen legalitas seperti V-Legal diperlakukan sebagai dokumen opsional, negara-negara tujuan ekspor akan mengalami kesulitan dalam memastikan bahwa produk kayu yang mereka terima benar-benar berasal dari sumber yang legal dan lestari.
Hal ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan masalah kepercayaan yang mendasar dalam hubungan dagang internasional. Tanpa kepastian ini, kata dia, risiko terjadinya penyelundupan kayu ilegal dan produk dengan standar keberlanjutan yang meragukan akan meningkat, yang pada akhirnya merugikan reputasi Indonesia sebagai negara produsen kayu yang terpercaya.

Di sisi lain, katanya, tren global dalam perdagangan kayu kini semakin menuntut standar keberlanjutan yang ketat. Negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia telah menginvestasikan sumber daya besar untuk memperkuat sistem legalitas dan sertifikasi produk kayu mereka.
Menurut Denny, jika Indonesia memilih melemahkan SVLK, produk kayu nasional berpotensi turun kelas ke pasar dengan nilai ekonomi rendah yang tidak mengutamakan aspek legalitas dan keberlanjutan.
“Hal ini tentu akan mengikis daya saing nasional secara perlahan, sementara para pesaing justru merangsek maju merebut peluang pasar yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan,” ucapnya.
Senada, Muhammad Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), mengungkapkan bahwa upaya deregulasi ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal tahun 2025. Menurutnya, saat itu sejumlah asosiasi pengusaha mulai melakukan lobi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan.
Tujuan dari lobi tersebut adalah untuk meminta pelonggaran kebijakan SVLK, khususnya agar dokumen V-Legal tidak lagi diwajibkan untuk negara tujuan ekspor yang tidak mensyaratkan dokumen tersebut. Dengan demikian, pelaku usaha berharap dapat memperluas penetrasi pasar bagi produk kayu Indonesia di pasar global.
“Melalui berbagai pernyataan di media, kalangan pengusaha menyebut bahwa penerbitan dokumen V-Legal dinilai membebani, terutama karena dianggap menambah beban administrasi yang tidak proporsional. Namun, kami menilai klaim ini tidak sepenuhnya berdasar,” kata Muhammad Ichwan melalui pertanyaan resminya.
Baca juga: 282 Ribu Hektar Hutan Gorontalo dalam Cengkraman Proyek Bioenergi Nasional
Faktanya, kata Ichwan, proses penerbitan dokumen V-Legal telah mengalami penyederhanaan signifikan melalui sistem aplikasi digital. Selain itu, terdapat berbagai dukungan teknis dan fasilitasi sertifikasi yang ditujukan bagi kelompok usaha kecil dan menengah (UMKM), termasuk skema pembiayaan dan pendampingan, untuk memastikan aksesibilitas sistem ini tetap inklusif dan efisien.
“Namun demikian, kami memandang secara kritis bahwa langkah deregulasi ini merupakan sebuah kemunduran bagi industri perkayuan nasional yang selama ini telah dibangun dengan pondasi kuat melalui implementasi SVLK,” jelasnya.
Bagi pasar global, kata dia, relaksasi terhadap SVLK berisiko menciptakan preseden negatif yang mencerminkan ketidakkonsistenan Pemerintah Indonesia dalam menjaga tata niaga kayu yang transparan dan akuntabel. Hal ini berpotensi merusak kepercayaan pasar internasional, yang semakin menuntut kepatuhan terhadap prinsip legalitas, kelestarian, dan standar keberlanjutan yang diakui secara global.
Danial bilang, Indonesia telah berupaya keras membangun reputasi sebagai pengekspor produk kayu legal dan berkelanjutan melalui implementasi SVLK. Bahkan menjadi satu-satunya negara yang memiliki lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Citra positif ini, katanya, yang kemudian menjadi modal daya saing produk kayu Indonesia di pasar internasional.
Bahkan, menurutnya, beberapa pesaing Indonesia di Asia Tenggara dan Afrika juga mengikuti dengan membangun instrumen serupa. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya tuntutan pasar global terhadap keberlanjutan dan legalitas akan menjadi sangat ketat. Dengan kata lain, relaksasi saat ini dapat dianggap sebagai langkah mundur dan merusak citra positif yang telah lama dibangun.
“Disisi lain, perubahan kebijakan ini dapat juga berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha, terutama eksportir kecil dan menengah, mengenai persyaratan ekspor yang berlaku di berbagai negara. Sehingga, dalam jangka panjang, akan menciptakan kerugian struktural dan justru menurunkan nilai ekspor Indonesia,” ungkapnya.

Celah Illegal Logging dan Perdagangan Kayu Ilegal
Selain akan merusak citra produk kayu Indonesia di pasar internasional, deregulasi yang mengendurkan aturan terkait SVLK ini juga berpotensi membuka celah bagi praktik illegal logging yang selama ini menjadi momok bagi kelestarian hutan Indonesia. Pada akhirnya, laju deforestasi bisa kembali melonjak, sekaligus mengancam keragaman hayati yang selama ini dijaga dengan susah payah.
Mustam Atif, Direktur Perkumpulan JURnaL Celebes mengatakan, deregulasi yang mengendurkan aturan terkait SVLK patut menjadi alarm serius. Menurutnya, deregulasi ini bisa menjadi pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak buruk dalam industri kehutanan untuk kembali mengintensifkan penebangan ilegal.
Dampak lanjutannya, kata Mustam Atif, eksploitasi ilegal akan mempercepat hilangnya fungsi ekosistem hutan seperti penyimpanan karbon, pengendalian banjir, dan perlindungan habitat satwa liar, yang dampaknya dapat dirasakan secara luas di tingkat lokal hingga global. Kondisi ini juga melemahkan peran sektor kehutanan dalam menopang perekonomian nasional secara berkelanjutan.
“Dengan melemahnya mekanisme pemenuhan legalitas dan pengawasan di lapangan, risiko terjadinya gelombang deforestasi baru sangat mungkin terjadi,” kata Mustam Atif, pada Senin 26 Mei 2025 kemarin.
Menurut Mustam Atif, pemerintah harus menghindari keputusan yang terburu-buru dan berorientasi jangka pendek. Kepentingan segelintir kelompok tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan perekonomian jangka panjang negara. Ia menegaskan, kunci menjaga hutan Indonesia dan posisi negara di panggung dunia adalah penguatan tata kelola kehutanan—bukan pelonggaran aturan.
Baca juga: Hutan Indonesia Masih Jadi Korban Eksploitasi
Ia menegaskan, kebijakan tersebut harus didasarkan pada data dan kajian mendalam, bukan hanya sebagai respons jangka pendek yang bersifat reaktif terhadap tekanan eksternal. Langkah tersebut juga sangat penting untuk menjaga keberlanjutan industri kehutanan dan sekaligus memastikan manfaat ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.
SVLK, meskipun bukan tanpa kelemahan, kata dia, sejauh ini telah menjadi instrumen penting yang diakui oleh komunitas internasional. Keberadaan sistem ini meningkatkan kepercayaan pasar global, terutama di Uni Eropa, terhadap produk kayu Indonesia. Implikasinya sangat signifikan, yakni peningkatan nilai ekspor produk kayu yang berkelanjutan.
Namun, kata Mustam, jika regulasi SVLK dilonggarkan — termasuk perubahan pada aturan V-legal — kepercayaan global terhadap produk kayu Indonesia terancam terkikis. Terlebih Uni Eropa sedang mengimplementasikan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang menuntut ketatnya standar anti deforestasi.
Ia bilang, hilangnya kepercayaan dari mitra dagang utama akan berdampak pada menyusutnya peluang pasar ekspor, serta melemahkan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi perdagangan internasional. Dampak buruk ini tidak hanya akan dirasakan oleh negara, tetapi juga oleh industri produk kayu nasional yang selama ini bergantung pada kepercayaan pasar global.
“Alih-alih mendorong kemajuan, deregulasi semacam ini berisiko menggerus capaian-capaian positif yang telah dibangun selama ini. Dari sisi tata kelola, kebijakan ini bisa membuka celah bagi illegal logging, memicu deforestasi baru, dan meningkatkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati,” tegas Mustam Atif.
Muhammad Ichwan juga menambahkan bahwa menjadikan dokumen V-Legal bersifat opsional berisiko membuka peluang masuknya kayu ilegal lintas negara ke dalam rantai pasok, baik dalam pengolahan maupun perdagangan. Menurutnya, V-Legal memiliki keterkaitan erat dengan proses uji tuntas (due diligence) yang menjadi instrumen penting dalam memastikan legalitas kayu.

Menurut Ichwan, bagi importir di Indonesia, due diligence merupakan bagian wajib dari SVLK untuk membuktikan bahwa kayu impor berasal dari sumber yang sah. Sementara itu, dalam kegiatan ekspor, dokumen V-Legal justru mempermudah proses due diligence karena menyediakan rekam jejak ketertelusuran, hasil audit, dan jaminan legalitas.
“Wacana yang berkembang saat ini adalah kewajiban uji tuntas dan deklarasi impor juga didorong pengusaha untuk dicabut. Ini tentu sangat berpengaruh signifikan terhadap kredibilitas rantai peredaran kayu legal,” kata Muhammad Ichwan.
Ichwan mencontohkan temuan nyata pada 2021, ketika JPIK bersama jaringan masyarakat sipil internasional, termasuk Earthsight, mengungkap masuknya kayu ilegal asal Rusia ke Indonesia. Saat itu, Indonesia masih menerapkan kewajiban due diligence impor dalam kerangka SVLK, yang mewajibkan pelaku usaha memastikan legalitas bahan baku kayu dari luar negeri.
Namun, menurut Ichwan, lemahnya pengawasan dan celah dalam implementasi SVLK memungkinkan kayu ilegal dari kawasan konflik seperti Rusia masuk ke Indonesia, bahkan terserap oleh pabrik yang sudah tersertifikasi SVLK. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan ketat dan kewajiban due diligence yang efektif, sistem dapat disusupi kayu ilegal dari pasar internasional.
Ichwan menegaskan, jika pemerintah benar-benar menghapus kewajiban due diligence dan deklarasi impor, maka Indonesia berisiko menjadi “negara pencuci” kayu ilegal dunia, karena tidak ada lagi mekanisme untuk memverifikasi asal-usul bahan baku impor. Deregulasi ini, katanya, sangat tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan arah tata kelola global.
“Jika sebagian besar ekspor produk kayu tidak lagi diwajibkan melalui proses verifikasi legalitas, maka SVLK akan kehilangan fungsi utamanya sebagai instrumen pengawasan, serta insentif bagi pelaku usaha untuk mematuhi prinsip legalitas dan keberlanjutan,” ucapnya.
Baca juga: Hutan Indonesia Dijerat Ambisi Hijau Jepang dan Korea Selatan
Tanpa penerapan secara menyeluruh dan wajib, kata Ichwan, SVLK akan kehilangan daya dorongnya dan menjadi simbolik semata. Indonesia pun akan kehilangan salah satu alat utama dalam mencegah peredaran dan ekspor kayu ilegal. Menurutnya, kebijakan deregulasi ini bukan hanya penyederhanaan prosedur ekspor, tapi juga berpotensi memperburuk tata kelola kehutanan serta mempercepat deforestasi dan degradasi hutan.
Sebagai catatan penting, Ichwan menyampaikan bahwa pada 2020, JPIK menerima laporan terkait dugaan pelanggaran ekspor furnitur kayu jati ke Belanda. Pemeriksaan otoritas negara tujuan menemukan bahwa produk yang tiba bukan furnitur kayu jati seperti tercantum dalam dokumen V-Legal, melainkan furniture dari kayu kelengkeng (longan wood).
Dalam sistem saat ini, tidak semua produk kehutanan harus menjalani pemeriksaan fisik (stuffing) sebelum ekspor. Misalnya, produk furnitur dari pelaku UMKM dikecualikan dari pemeriksaan fisik oleh surveyor seperti PT Sucofindo. Celah ini memungkinkan manipulasi jenis kayu tanpa terdeteksi pada tahap verifikasi akhir.
Artinya, kata Ichwan, dalam sistem saat ini saja, tidak semua produk kehutanan menjalani pemeriksaan fisik (stuffing) sebelum ekspor. Misalnya, produk furnitur dari pelaku UMKM dikecualikan dari pemeriksaan fisik oleh surveyor seperti PT Sucofindo. Celah inilah, katanya, yang memungkinkan terjadinya manipulasi jenis kayu tanpa terdeteksi di tahap verifikasi akhir.
Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas sistem verifikasi. Ia bilang, JPIK telah mengklarifikasi hal ini kepada lembaga sertifikasi terkait, yang menyebutnya sebagai kesalahan penulisan. Namun, melihat dampak sistemiknya terhadap kredibilitas SVLK di mata dunia, pihaknya menilai ini lebih mirip penyimpangan disengaja (modus operandi), bukan sekadar kelalaian administratif.
“Kasus ini memperlihatkan bahwa sekalipun dalam kerangka regulasi yang ketat, SVLK masih dapat dimanipulasi. Maka bila deregulasi diberlakukan—terutama dengan menghapus kewajiban dokumen V-Legal—risiko manipulasi data, peredaran kayu ilegal, dan hilangnya kepercayaan pasar internasional terhadap produk kayu Indonesia akan semakin besar dan sulit dikendalikan,” tegas Ichwan.

Risiko Sanksi dan Pembatasan Akses Pasar Global
Di ranah diplomasi dan hubungan perdagangan internasional, perubahan kebijakan ini dapat mengirimkan sinyal negatif kepada mitra dagang. Indonesia bisa dilihat sebagai pihak yang tidak serius menegakkan perjanjian perdagangan legal dan berkelanjutan, termasuk Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) dengan Uni Eropa dan Inggris.
Menurut Denny Bhatara, kebijakan deregulasi yang berpotensi merusak citra produk kayu Indonesia serta membuka celah illegal logging dan perdagangan kayu ilegal, dapat membuat Indonesia berisiko terkena sanksi dan pembatasan akses pasar global. Dampak jangka panjangnya tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melemahkan hubungan diplomatik dan posisi tawar Indonesia di perdagangan internasional.
Deregulasi ini juga membawa dampak serius bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang selama ini menjadi tulang punggung industri kehutanan Indonesia. Denny mengatakan, ketidakpastian regulasi akan semakin mempersulit kepatuhan UKM, terutama bagi yang kekurangan sumber daya untuk mengelola sistem yang terfragmentasi antara produk bersertifikat dan tidak bersertifikat.
Akibatnya, kata Denny, akses UKM ke pasar global yang mensyaratkan standar legalitas dan keberlanjutan akan semakin terhambat. Hal ini mempersempit peluang ekonomi dan penghidupan bagi jutaan pekerja dan pelaku usaha kecil. Dampaknya bukan hanya mengancam kelangsungan bisnis UKM, tetapi juga menggerus potensi pertumbuhan ekonomi daerah yang bergantung pada industri kehutanan.
“Di tengah berbagai tantangan, memperkuat SVLK adalah langkah strategis untuk menjaga legalitas, keberlanjutan, dan reputasi Indonesia sebagai pemasok kayu yang kredibel dan bertanggung jawab di mata dunia. Kepercayaan pasar yang dibangun melalui sistem ini membuka akses ke pasar premium dan memperkuat posisi Indonesia di perdagangan global,” tegas Denny.
Baca juga: Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan
Lebih dari itu, kata Denny, sistem yang transparan, kredibel, dan kuat dapat menarik investasi, memperkuat kemitraan ekonomi, serta mengurangi kebingungan dan ketidakpastian. Hal ini penting untuk melindungi UKM agar bisa bersaing secara adil dan memanfaatkan peluang pasar global.
Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF) juga berpikir serupa. Menurutnya, deregulasi untuk melemahkan SVLK ini bukan hanya persoalan teknis administratif, tetapi mengandung risiko besar terhadap keuangan negara. Dalam jangka pendek maupun panjang, katanya, Indonesia bisa mengalami kerugian finansial yang serius, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Salah satu risiko terbesar dari pelemahan SVLK adalah meningkatnya potensi peredaran kayu ilegal. Tanpa mekanisme verifikasi yang kuat, seperti yang diatur dalam SVLK, kayu hasil pembalakan liar bisa dengan mudah masuk ke pasar legal. Ini bukan sekadar persoalan lingkungan — ini adalah persoalan keuangan negara,” kata Willem Pattinasarany.
Willem menjelaskan, Kayu ilegal tidak tercatat dalam sistem perpajakan dan penerimaan negara. Artinya, tidak ada pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak ada pembayaran royalti kehutanan, dan tidak ada kontribusi terhadap kas negara. Jika praktik ini meluas, kata dia, maka potensi kehilangan pendapatan dari sektor kehutanan bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.

Selain itu, kata Willem, maraknya kayu ilegal akan merusak iklim usaha bagi pelaku industri kayu yang taat aturan. Ketidaksetaraan ini berpotensi mematikan pelaku usaha legal, mengurangi basis pajak, serta memperlebar ruang gelap ekonomi ilegal di sektor kehutanan. Ia bilang, melemahkan SVLK sama saja dengan membuka kembali pintu ke masa kelam perdagangan kayu ilegal yang pernah mencoreng nama Indonesia di mata dunia.
Padahal, kata dia, SVLK berperan penting sebagai jaminan legalitas kayu Indonesia di pasar internasional, terutama di Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Keberadaan sertifikat SVLK memungkinkan produk kayu Indonesia masuk pasar Uni Eropa di bawah skema FLEGT, tanpa perlu sertifikasi tambahan.
Jika SVLK dilemahkan, menurutnya, Indonesia bisa kehilangan kepercayaan pasar global. Produk kayu Indonesia akan dicurigai sebagai berisiko tinggi, dan berisiko ditolak atau dibatasi. Negara-negara lain seperti Vietnam dan Malaysia, yang kini gencar memperkuat sistem sertifikasinya, siap merebut pasar yang selama ini diisi oleh Indonesia.
“Kerugian akibat kehilangan pasar ekspor ini bukan angka kecil. Hilangnya sebagian dari pasar ini akan berarti penurunan devisa secara langsung, penutupan lapangan kerja, dan terganggunya stabilitas industri kehutanan nasional,” jelasnya.
Baca juga: Hutan Rusak, Jabodetabek Banjir
Menurutnya, deregulasi ini akan membuat pengawasan terhadap legalitas kayu juga menjadi lemah, yang membuat praktik pembalakan liar akan semakin tak terkendali. Hutan-hutan yang selama ini terlindungi akan menjadi target empuk. Akibatnya, degradasi lingkungan meningkat, yang berujung pada kerusakan ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati, dan naiknya risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor.
“Semua ini memiliki konsekuensi finansial tidak langsung yang besar. Pemerintah harus mengeluarkan dana miliaran rupiah setiap tahun untuk penanggulangan bencana, pemulihan lingkungan, rehabilitasi hutan, dan perlindungan infrastruktur,” ucapnya.
JPIK juga memandang, deregulasi ini akan dipandang sebagai sinyal negatif oleh negara-negara mitra dagang, Mereka bisa saja memperketat pengawasan, memberlakukan pembatasan, atau bahkan mencoret Indonesia dari daftar negara dengan sistem verifikasi terpercaya. Apalagi, saat ini UE kini sedang mengimplementasikan regulasi EUDR yang sangat ketat, dan kebijakan deregulasi semacam ini jelas bertentangan dengan arah kebijakan tersebut.
Muhammad Ichwan menjelaskan bahwa deregulasi ini dapat mempengaruhi penilaian Uni Eropa terhadap Indonesia dalam implementasi EUDR. Kepercayaan internasional terhadap komoditas kehutanan Indonesia berpotensi menurun, yang bisa berdampak tidak hanya pada kayu, tetapi juga pada komoditas lain seperti sawit, karet, dan kopi yang terkait dengan tata kelola hutan.
“Di tengah meningkatnya tren regulasi ‘zero deforestation commodities’ di berbagai negara, Indonesia justru tampil sebagai negara yang melemahkan instrumen pengendalian deforestasi,” sesalnya.

Ichwan juga menekankan bahwa deregulasi ini melemahkan akuntabilitas dan transparansi dalam rantai pasok kayu. Lemahnya transparansi membuka ruang bagi korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan izin—yang pada akhirnya mengancam masa depan hutan Indonesia. Ia bilang, Ini merupakan kemunduran besar dari reformasi tata kelola kehutanan pasca-reformasi.
Bukan hanya itu, kata Ichwan, deregulasi ini akan ikut berdampak kepada komunitas adat dan masyarakat lokal yang selama ini terlibat atau terdampak oleh praktik kehutanan. Pasalnya, kata dia, komunitas adat dan lokal selama ini diuntungkan dari sistem SVLK karena ada ruang untuk partisipasi, pemantauan, dan pengaduan.
“Dengan pelemahan SVLK, maka akses masyarakat untuk memastikan hak-haknya dilindungi semakin tertutup, dan perusahaan-perusahaan bisa kembali beroperasi tanpa transparansi. Konflik lahan, perampasan wilayah adat, dan pelanggaran HAM sangat mungkin meningkat sebagai konsekuensi dari deregulasi ini,’ katanya.
Dengan begitu, Kaoem Telapak, JPIK, JURnaL Celebes, IWGFF dan 52 organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membatalkan rencana deregulasi perdagangan kayu tersebut.
Baca juga: UU Kehutanan Akan Direvisi, Bisa Disusupi Kepentingan Korporasi?
Sebagai gantinya, pemerintah perlu bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan serta para pemangku kepentingan untuk merumuskan kebijakan perdagangan yang menjawab tantangan tarif tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi jangka panjang.
Selain itu, mereka juga meminta pemerintah perlu lebih aktif mempromosikan produk kayu Indonesia melalui berbagai platform internasional, seperti Broader Market Recognition Coalition.
“Kerja sama konstruktif dengan mitra dagang utama seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat harus diperkuat untuk mendukung dan memperluas pengakuan terhadap sistem SVLK,” kata Denny Bhatara, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak.
Saya menghubungi Haryo Limanseto, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk meminta tanggapan terkait desakan organisasi masyarakat sipil yang menolak rencana deregulasi perdagangan kayu tersebut.
Namun, Haryo tidak memberikan penjelasan mendalam mengenai desakan tersebut. Ia hanya mengarahkan agar pertanyaan seputar deregulasi dialamatkan langsung ke Kementerian Perdagangan.
“Untuk deregulasi sedang difinalisasi di kementerian teknis, Mas. Mohon bisa ditanyakan ke Humas Kementerian Perdagangan,” jawabnya singkat.
Tulisan ini sebelumnya terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silakan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments