Pohon-Pohon di Indonesia terus lenyap demi ambisi ekonomi. Di balik paradoks keuntungan jangka pendek, apa harga sebenarnya yang harus kita bayar?
Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia, menyimpan kekayaan ekologis yang tak ternilai dalam hutan tropisnya. Pohon, sebagai penopang utama ekosistem ini, memainkan peran krusial yang melampaui fungsi fisiknya.
Mereka menyerap karbon dioksida yang berlimpah di atmosfer, sehingga menghasilkan oksigen yang menopang kehidupan dan bertindak sebagai penjaga iklim alami. Lebih dari itu, pohon juga menjadi benteng pelindung bagi keanekaragaman hayati, melindungi spesies flora dan fauna unik yang hanya ada di hutan tropis kita.
Namun, di tengah kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim global, terjadi ironi besar. Pohon-pohon yang seharusnya menjadi sekutu terkuat dalam mitigasi perubahan iklim justru terus ditebang tanpa henti demi keberlanjutan ekonomi bangsa.
Dalam rentang beberapa dekade terakhir, ribuan hektar hutan di Indonesia lenyap tergantikan oleh perkebunan kelapa sawit, tambang batu bara, atau proyek infrastruktur yang masif. Keputusan ini menunjukkan paradoks antara kebutuhan ekonomi yang terus mendesak dengan kenyataan ekologi yang semakin kritis.
Baca juga: Ancaman di Balik 1,1 Juta Hektar Perhutanan Sosial Jadi Padi Gogo
Sebagai contoh, sektor kelapa sawit, yang menyumbang devisa besar bagi Indonesia, menjadi salah satu penyebab utama deforestasi. Hutan primer sering kali dihancurkan untuk memberi ruang bagi perkebunan baru, meskipun semua tahu bahwa dampaknya sangat merusak lingkungan.
Tidak jauh berbeda, tambang batu bara dan proyek-proyek infrastruktur besar lainnya juga menambah daftar panjang penyebab hilangnya hutan di tanah air kita.
Paradoks ini mencerminkan dilema yang dihadapi Indonesia di satu sisi, ada tekanan untuk memenuhi target ekonomi, sementara di sisi lain, ada keharusan untuk menjaga keseimbangan alam yang menjadi dasar keberlanjutan hidup.
Apakah bangsa ini mampu menemukan jalan tengah yang bijak antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup?

Deforestasi Untuk Ekspansi Ekonomi
Ironisnya, di tengah kebutuhan global akan mitigasi perubahan iklim, pohon-pohon yang menjadi kunci bagi keberlanjutan bumi justru terus ditebang secara masif. Indonesia kehilangan rata-rata 3,5 juta hektar hutan setiap tahun antara tahun 2000 dan 2020, menurut data Global Forest Watch.
Wilayah seperti Kalimantan, Sumatera, dan Papua menjadi pusat deforestasi akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, tambang batu bara, bahkan hingga proyek infrastruktur hasil dari project strategis nasional.
“Memprioritaskan ekonomi dengan menebang hutan ibarat meminum racun demi menghilangkan rasa haus. Manfaatnya singkat, tapi dampaknya mematikan.”
Ini adalah sebuah ironi besar di tengah urgensi global untuk mengatasi perubahan iklim, pohon yang menjadi penjaga ekosistem justru ditebang demi ambisi ekonomi yang bersifat sementara. Sayangnya kebutuhan ekonomi jangka pendek sering kali menjadi dalih utama dan pembenaran.
Baca juga: 282 Ribu Hektar Hutan Gorontalo dalam Cengkraman Proyek Bioenergi Nasional
Ironisnya, alibi dari deforestasi sering kali dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk pertumbuhan ekonomi bangsa, padahal kenyataannya kerugian ekologis nya yang justru berdampak lebih luas.
Laporan Bank Dunia pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa bencana akibat dari kerusakan ekologis seperti banjir, longsor, dan kabut asap merugikan Indonesia hingga triliunan rupiah setiap tahunnya, jauh melampaui manfaat ekonomi yang diperoleh dari eksploitasi hutan.
Paradoks ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh bangsa ini bagaimana menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian alam. Bahkan hanya menjadikan keuntungan sementara bagi segelintir pihak sehingga membawa beban besar bagi bangsa secara keseluruhan.
Lebih jauh, deforestasi juga mencerminkan ketimpangan sosial-ekonomi. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset bersama sering kali dimanfaatkan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. Di wilayah seperti Papua, pembukaan lahan untuk perkebunan sering kali mengorbankan hak adat dan memperburuk kemiskinan di komunitas sekitar.

Menukar Deforestasi dengan Solusi
Costa Rica telah membuktikan bahwa melestarikan hutan dapat berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan stategisnya untuk pembayaran jasa lingkungan (payment for ecosystem services).
Mereka memberikan insentif langsung kepada masyarakat untuk menjaga hutan. Hasilnya, tutupan hutan Costa Rica meningkat dari 26% menjadi 52% hanya dalam tiga dekade. Kebijakan ini tak hanya menambah tutupan hijau, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor konservasi.
Indonesia dapat belajar dari keberhasilan ini dengan mengadopsi pendekatan serupa yang disesuaikan dengan konteks lokal. Program seperti “Progaram Kampung Iklim” dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa menjadi pijakan awal.
Baca juga: Hutan Indonesia Masih Jadi Korban Eksploitasi
Untuk meningkatkan efektivitas, program ini memerlukan penguatan berupa insentif ekonomi nyata, seperti subsidi bagi masyarakat yang berpartisipasi, serta pengawasan berbasis teknologi melalui drone atau satelit untuk memastikan keberlanjutan kegiatan reforestasi.
“Pembangunan yang dikatakan bijaksana adalah pembangunan yang berjalan seiring dengan pelestarian.”
Selain itu, pendekatan yang bisa dikombinasikan yakni berbasis agroforestri yang menjadi solusi jangka panjang. Di Kalimantan Tengah, sebuah desa berhasil meningkatkan pendapatan hingga 30% dengan menanam pohon buah dan tanaman herbal tanpa perlu membuka lahan baru.
Agroforestri ini tak hanya mendukung keseimbangan ekosistem tetapi juga memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal, menciptakan hubungan saling menguntungkan antara manusia dan alam.
Tentu langkah konkret lainnya khusus bagi perusahan besar adalah program reforestasi offset, di mana perusahaan yang merusak lingkungan diwajibkan untuk menanam kembali pohon di area terdegradasi. Kebijakan ini dapat diintegrasikan dengan insentif fiskal untuk perusahaan yang memenuhi target keberlanjutan.
Dengan pendekatan ini, restorasi hutan tidak hanya menjadi kewajiban lingkungan tetapi juga peluang ekonomi bagi banyak pihak, terutama masyarakat lokal yang dilibatkan dalam proses reforestasi.
Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.
Leave a Reply
View Comments