Food Estate di Papua: Ketahanan Pangan atau Kehancuran Alam?

Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
  • Papua Selatan menjadi wilayah lumbung pangan nasional yang sudah beberapa terbukti gagal. Menggunakan label Proyek Strategis Nasional (PSN), mega proyek besutan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto itu diragukan berhasil
  • Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, Pemerintah Indonesia sepertinya tidak kapok-kapok dalam membangun kembali sistem pertanian menggunakan model food estate yang sudah terbukti berulang kali gagal.
  • Martin Hadiwinata, Koordinator FIAN Indonesia mengatakan, sistem pertanian dengan menggunakan model food estate akan memberikan dampak buruk terhadap sistem pertanian pangan lokal.
  • Tak hanya pangan lokal, hadirnya food estate di Merauke Papua Selatan juga akan merusak ekosistem alami di Tanah Papua. Pasalnya, Tanah Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia

Pemerintah Indonesia sangat terlihat ngotot untuk membuat Merauke, Papua Selatan menjadi wilayah lumbung pangan nasional yang sudah beberapa terbukti gagal. Menggunakan label Proyek Strategis Nasional (PSN), mega proyek besutan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto itu diragukan berhasil, serta akan berisiko buruk terhadap alam, sekaligus memperpanjang konflik agraria.

Diketahui, proyek food estate Jokowi dan Prabowo di Merauke yang akan memakan lahan seluas 2,29 juta hektar ini merupakan dua proyek yang berbeda. Jokowi luncurkan program perkebunan tebu dan industri bioetanol dengan luas 1,11 juta hektar di Merauke Selatan, sedangkan Prabowo membuat program cetak sawah di wilayah utara Merauke seluas 1,18 hektar.

Kedua tokoh ini menjalankan proyek food estate itu secara sendiri-sendiri. Jokowi menggunakan tangan Bahlil Lahadalia, ketika menjabat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk menggaet investor dalam menjalankan proyek tersebut yang akan membutuhkan investasi sebesar US$8 miliar atau setara Rp 130 triliun (asumsi kurs Rp16.252,15).

Sementara, Prabowo, melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengajak sejumlah pengusaha pengusaha, termasuk pengusaha asal Kalimantan Selatan Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam untuk membuka lahan. Pada akhir Juli 2024 lalu, Haji Isam telah memborong 2 ribu ekskavator yang akan digunakan dalam mega proyek tersebut.

Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, Pemerintah Indonesia sepertinya tidak kapok-kapok dalam membangun kembali sistem pertanian menggunakan model food estate yang sudah terbukti berulang kali gagal. Menurutnya, food estate yang akan di Merauke seperti akan mengulang kesalahan yang sama.

Benar, proyek food estate yang digagas Jokowi dan Prabowo ini bukan program pertama kali. Pada tahun 2010, program serupa dengan nama Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pernah dibuat juga di Merauke dengan luas lahan 1,2 juta hektar. Namun, karena sebagian besar wilayah ini merupakan lahan gambut, program ini dinyatakan gagal.

Pada 2011, Pemerintah Indonesia juga pernah membuat program food estate bernama Delta Kayan Food Estate (DeKaFe) di Bulungan, Kalimantan Utara. Di atas lahan 50 ribu hektar, Pemerintah Indonesia menanam kedelai, jagung, kopi, kelapa sawit, cabai, cokelat, kelapa, hingga karet. Akibat kerap dilanda banjir dan kondisi lahannya tidak sesuai, proyek itu dinyatakan gagal lagi.

Wilayah konsesi PT Global Papua Abadi (GPA), salah satu perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Wilayah konsesi PT Global Papua Abadi (GPA), salah satu perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Pada 2020 lalu juga, Pemerintah Indonesia kembali lagi membuat proyek food estate di Kalimantan Tengah yang dibangun di bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi seluas 30 ribu hektar. Akibat pola tanam yang dipaksakan, proyek itu lagi-lagi gaga.

Ironisnya, pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia kembali membuat proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah dengan menanam gandum dan singkong di luas tanah 31 ribu hektar. Tetapi, karena tidak memiliki kajian lingkungan yang maksimal dan berkonflik dengan masyarakat, proyek tersebut gagal lagi.

“Model pertanian pangan ala food estate itu sudah berulang kali gagal setiap periode Pemerintah Indonesia. Nampaknya ke depan belum ada kebaruan, dan terus mengulang kesalahan yang sama,” kata Dewi Sartika seperti dikutip di Kompas TV

Dewi menerangkan empat bahaya dari program food estate. Pertama, berkaitan dengan politik pangan yang merubah peran dan fungsi petani Indonesia dari produsen pangan dialihkan ke perusahaan-perusahaan yang menjadi produsen pangan. Artinya, politik pangan Indonesia akan dikontrol oleh para pengusaha dan konglomerat, bukan lagi petani.

Skema itu, katanya, yang terjadi dalam bisnis perkebunan kelapa sawit. Dimana, Indonesia yang menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia, tetapi petani sawitnya sangat menderita, bahkan harus membayar lebih besar biaya untuk membeli minyak goreng untuk. Pasalnya, bisnis tersebut itu dikontrol oleh korporasi.

“Skema itu bisa akan terjadi dalam politik pangan kita. Dimana, food estate akan menggantikan posisi strategis yang merupakan produsen pangan Indonesia. Mereka akan dipinggirkan dengan sistem pertanian berbasis korporasi,” Jelas Dewi

Kedua, kata Dewi, program food estate sarat dengan perampasan tanah. Dalam catatan KPA, katanya, program food estate telah terbukti menimbulkan konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena tanah-tanah yang ditargetkan dalam program itu berasal dari tanah produktif milik petani dan masyarakat adat.

Dewi bilang, program food estate Jokowi dan Prabowo ini sangat “lapar tanah” yang memiliki potensi besar menciptakan konflik agraria karena berasal dari praktik-praktik perampasan tanah. Terlebih lagi, katanya, Tanah Papua adalah tanah masyarakat adat yang sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Papua.

Suku Awyu dan suku Moi saat mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di kawasan Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) pagi ini. (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)
Suku Awyu dan suku Moi saat mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di kawasan Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) pagi ini. (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)

Perampasan lahan yang masif dalam program food estate itu didorong akibat sudah ditetapkan sebagai PSN. Data KPA per Juli 2024  menyebut, PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria seluas 571 ribu hektar. Proyek-proyek ini tersebar di berbagai bidang, mulai dari energi, infrastruktur, pabrik, real estate, hingga pangan seperti food estate.

Alih-alih mendistribusikan tanah ke petani dan buruh tani, katanya, pemerintah justru akan menghancurkan sistem pertanian rakyat melalui model pertanian berbasis korporasi. Padahal, wilayah menjadi sasaran program itu adalah pusat-pusat produksi pangan rakyat yang masih tersisa yang sedang diperkuat melalui agenda reforma agraria.

Pertanian berbasis korporasi sudah beberapa kali terbukti gagal dan justru tidak menjadi jawaban dan krisis pangan yang di gembor-gemborkan oleh pemerintah,” tegasnya

Ketiga, kata Dewi, dampak adanya program food estate bisa memicu kerusakan lingkungan. Pasalnya, program lumbung pangan ini bersifat monokultur yang dapat membuat tingkat kesuburan tanah menurun dan bisa memberikan dampak cukup serius terhadap ketidakseimbangan ekologis, hingga penghancuran alam.

Ia bilang, sistem-sistem pertanian monokultur itu harusnya sudah tidak dilakukan karena sudah terbukti gagal sejak orde baru. Menurutnya, pemerintah harusnya konsisten menjalankan agenda reforma agraria dalam memperkuat kaum tani yang selama ini menjadi produsen utama Indonesia.

“Program food estate ini sangat bertentangan dengan agenda reforma agraria karena ada praktik-praktik perampasan lahan milik petani dan masyarakat adat. Kita berharap sistem food estate itu tidak perlu lagi dilanjutkan,” ucap Dewi.

Ke empat, kata Dewi, hampir semua program food estate yang dibuat oleh pemerintah tidak ada pelibatan partisipasi masyarakat secara substansial. Menurutnya, masyarakat kerap disingkirkan tanpa kompromi dengan alibi proyek ketahanan pangan yang sudah berkali-kali gagal.

Seharusnya, kata Dewi, pemerintah menggunakan dana program ketahanan pangan lebih efektif untuk memperkuat pertanian rakyat melalui koperasi atau badan-badan usaha milik petani. Bukan mengganti posisi petani dengan korporasi yang menjadi produsen pangan. Ia bilang, pemerintah baru harusnya memperbaiki sistem pertanian pangan Indonesia.

 

Tegakan pohon di hutan di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)
Tegakan pohon di hutan di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Merusak Sistem Pangan Lokal

Martin Hadiwinata, Koordinator FIAN Indonesia mengatakan, sistem pertanian dengan menggunakan model food estate akan memberikan dampak buruk terhadap sistem pertanian pangan lokal. Dimana, petani dan masyarakat adat akan kehilangan tugas dan fungsinya sebagai produsen pangan lokal, dan akan digantikan dengan korporasi.

Padahal, kata Martin, negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia atas pangan dan gizi. Hal itu sangat jelas diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) 1966.

Menurutnya, hak atas pangan dan gizi tidak hanya mewajibkan tersedianya pangan, tetapi bagaimana negara berkewajiban memastikan kemandirian produksi pangan terjaga dan dapat mencukupi secara layak untuk seluruh rakyat. Katanya, kewajiban negara adalah menghormati, melindungi, dan memfasilitasi hak atas pangan dan gizi bagi masyarakatnya.

Kewajiban negara itu, katanya, termasuk tidak melakukan perampasan lahan milik petani, dan perampasan hutan milik masyarakat adat yang dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Negara justru wajib melakukan perlindungan terhadap sumber-sumber pangan tersebut, sekaligus memfasilitasi petani untuk meningkatkan kapasitas dalam memenuhi pangan mereka secara mandiri.

Sayangnya, katanya, pemerintah justru sedang mendorong korporasi menjadi produsen pangan melalui program food estate dengan menggeser peran dan fungsi petani yang sejatinya merupakan produsen pangan Indonesia. Padahal, katanya, 70 persen pangan dunia berasal dari petani-petani kecil.

“Artinya, krisis pangan ini sebenarnya terjadi akibat ada keberpihakan negara terhadap korporasi. Sedangkan petani memarginalkan oleh negara,” kata kata Martin Hadiwinata, dalam diskusi yang digelar oleh FWI pada Jumat 4 Oktober 2024 lalu.

Menurutnya, pemerintah hanya melihat bahwa food estate sebagai solusi untuk menyediakan pangan saja, tidak melihat ploblem struktural, seperti: penguasaan sumber daya yang timpang; dan petani gurem meningkat. Adapun agenda reforma agraria juga tidak dijalankan oleh pemerintah.

Ia bilang, logika pemerintah mengatasi krisis pangan dengan membuat program food estate sangat keliru, dan tidak akan memberikan dampak positif dalam perlindungan hak atas pangan oleh masyarakat. Sebaliknya, kata dia, food estate di Papua Selatan hanya akan alat menghancurkan sistem pangan lokal petani dan masyarakat adat di Papua.

Apalagi, katanya, proyek itu mengabaikan prinsip yang memberikan hak kepada masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan atas tindakan yang akan memengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka. Ia bilang, proyek besutan Jokowi dan Prabowo ini menambah masalah tenurial di Papua.

Desa yang berada di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana
Desa yang berada di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

“Hadirnya food estate merupakan bentuk kesengajaan negara dalam menghancurkan sistem pangan lokal khususnya masyarakat adat. Hal itu adalah pelanggaran kewajiban dalam menghormati system pangan yang dimiliki oleh Masyarakat,” tegasnya

Food estate juga, katanya, akan membuka jalan korporasi atau oligarki untuk menjadi penyedia pangan dengan cara “merampas tanah” dan sumber-sumber agraria miliki petani dan Masyarakat adat. Katanya, itu adalah pelanggaran terhadap kewajiban yang melindungi hak atas pangan Masyarakat.

Selain itu, katanya, food estate akan memperpanjang cerita pelanggaran HAM di Papua karena pemerintah kerap menggunakan aparat keamanan dalam menjalankan proyek tersebut. Sikap pemerintah itu, katanya, sudah melanggar kewajiban memenuhi dengan memfasilitasi produksi pangan lokal kepada produsen pangan skala kecil dan masyarakat adat setempat.

“Melalui food estate, sistem pangan di Indonesia dibajak oleh korporasi-korporasi yang rakus lahan,” tegasnya

Padahal, katanya, petani dan masyarakat adat yang menjadi produsen pangan lokal sudah kondisi yang tidak baik-baik saja. Dalam catatan FIAN Indonesia, banyak petani di Indonesia sudah tidak lagi mengkonsumsi pangan yang tidak sehat karena situasi kemiskinan dalam 10 tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan karena ada perampasan lahan yang sangat masif oleh pemerintah.

Misalnya, data KPA dalam 10 tahun terakhir menyebut, terjadi perampasan sumber-sumber agraria sebanyak 2.939 konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar yang berdampak kepada 1,75 juta rumah tangga. Ia bilang, konflik agraria itu mendorong lebih dari setengah penduduk Indonesia tidak bisa mengakses makanan yang bergizi.

Dampak lanjutannya, kata Martin, terjadi tren pergeseran penduduk miskin di indonesia yang memburuk. Dimana, golongan miskin menjadi semakin miskin, dan golongan rentan miskin menjadi miskin. Disisi lain, katanya, masyarakat Indonesia terpaksa mengeluarkan lebih dari 50% pendapatannya untuk mendapatkan makanan.

Ia bilang, potret itu menggambarkan mayoritas dari masyarakat Indonesia memiliki kerentanan pangan sangat tinggi. Menurutnya, temuan itu seharusnya menjadi rujukan pemerintah dalam membangun pangan lokal agar bisa kokoh, bukan membangun lumbung pangan yang dikendalikan oleh korporasi.

“Saat ini, para petani sulit untuk mengakses keuangan untuk menjaga sistem pangan lokal mereka karena tidak dipedulikan pemerintah. Korporasi justru diberikan karpet merah melalui food estate yang merampas lahan petani dan masyarakat adat,” tuturnya

Hutan di Tanah Papua yang diandalkan oleh masyarakat adat sebagai sumber penghidupan. (Yayasan EcoNusa)
Hutan di Tanah Papua yang diandalkan oleh masyarakat adat sebagai sumber penghidupan. (Yayasan EcoNusa)

Merusak Ekosistem Alami

Tak hanya pangan lokal, hadirnya food estate di Merauke Papua Selatan juga akan merusak ekosistem alami di Tanah Papua. Pasalnya, Tanah Papua merupakan benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia, karena 40% hutan primer tersisa di Indonesia berada tanah cendrawasih ini.

Data Auriga Nusantara menyebut, kurung waktu 2 dekade (2000-2022) tanah Papua telah kehilangan hutan alam mencapai 688.438 hektar. Pada tahun 2023 lalu, tanah Papua telah kehilangan 55.981 hektare hutan alam.

Adapun Papua Selatan menjadi provinsi yang menyumbang angka deforestasi terbesar di Tanah Papua yang mencapai 12.640 hektar. Hadirnya proyek lumbung pangan ini disinyalir akan menjadi driver deforestasi baru, setelah perkebunan sawit, kebun energi, dan tambang yang ada di Tanah Papua.

Amelia Puhili, dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, food estate pasti akan memicu deforestasi besar-besar di Merauke Papua Selatan. Kondisi itu akan memberikan dampak buruk terhadap pengrusakan ekosistem alami yang menjadi perlindungan lingkungan masyarakat adat dan komunitas lokal yang ada di Merauke.

“Ekosistem alami merupakan kesinambungan dari lingkungan biotik dan abiotik. Jika itu terganggu dengan adanya Food Estate, pasti berdampak pada bencana ekologis hingga memperburuk dampak perubahan iklim,” kata Amelia Puhili, dalam diskusi yang digelar oleh FWI pada Jumat 4 Oktober 2024 lalu.

Apalagi, kata Amelia, di beberapa titik di lokasi proyek food estate menjadi daerah resapan air. Jika deforestasi terjadi, pasti daerah resapan air akan terganggu yang bisa memicu banjir hingga kekeringan. Belum lagi bicara soal ancaman keanekaragaman hayati yang ada di wilayah tersebut yang menjadi kunci dari ekosistem alami.

Diketahui, Papua merupakan pulau terbesar di Indonesia yang dikaruniai kekayaan alam dan keragaman ekosistem yang sangat luar biasa. Jurnal Nature tahun 2020 berhasil mengungkapkan Tanah Papua memiliki jumlah spesies flora tertinggi di dunia, yaitu 13.634 spesies (68% endemik), mengalahkan Madagaskar yang sebelumnya meraih rekor tertinggi dunia.

Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Penelitian yang dilakukan oleh 99 peneliti dari 19 negara membuktikan bahwa hutan-hutan di Tanah Papua menaungi ratusan ribu spesies flora dan fauna. Sebagian besar adalah endemik yang tak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk cenderawasih, burung ikonik yang keindahannya terkenal hingga dunia internasional.

Bahkan para peneliti memprediksi, dalam 50 tahun ke depan terdapat 3.000-4.000 tumbuhan jenis baru (spesies baru) di Tanah Papua. Salah satu jenis baru tersebut adalah Dendrobium sagin Saputra & Schuit, seperti yang dipublikasi di Jurnal Phytotaxa pada September 2020 lalu. Jenis baru anggrek tersebut menambah angka kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam buku “Ekologi Papua” yang ditulis oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International pun menemukan, pulau terbesar kedua (setelah Greenland) ini merupakan salah satu gudang flora dan fauna endemik di dunia karena memiliki hutan rimba tropis tua terluas yang di Asia Pasifik. Dengan begitu, Tanah Papua adalah “surga bagi keanekaragaman hayati”.

Menurut Amelia, jika Food Estate akan merusakan ekosistem dan habitat yang ada, maka flora dan fauna yang ada di Tanah Papua bisa ikut terancam, bahkan bisa mempercepat kepunahan sejumlah satwa endemik yang berstatus “terancam punah”, termasuk burung cendrawasih.

Selain itu, kata Amelia, pengetahuan lokal masyarakat adat yang tersimpan dalam ekosistem alami itu juga bisa hilang akibat adanya proyek tersebut. Pasalnya, menurut analisis Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), terdampak 24 wilayah adat di Papua Selatan dengan luas 3,3 juta hektar yang semakin terancam mega proyek tersebut.

“Pengetahuan lokal masyarakat adat papua itu tersimpan di dalam ekosistem, seperti hutan, tumbuhan-tumbuhan tertentu, dan satwa-satwa tertentu. Jika ini semua hilang, maka pengetahuan lokal mereka pun akan hilang,” jelasnya.

Johnny Teddy Wakum, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mengatakan, masyarakat Papua Selatan dan Masyarakat Adat sering membuat aksi penolakan proyek lumbung pangan tersebut. Pasalnya, pemerintah tidak sedikit pun memberikan informasi soal rencana proyek tersebut ke masyarakat Papua Selatan dan Masyarakat Adat.

Salah satu pos jaga milik perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Salah satu pos jaga milik perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Johnny bilang, pemerintah tidak memberikan informasi secara terbuka kepada masyarakat adat terkait tanah mereka masuk dalam wilayah proyek food estate. Sebaliknya, pemerintah justru menipu Masyarakat Adat dengan menyatakan bahwa tidak ada izin proyek food estate yang diterbitkan diatas tanah adat.

“Faktanya, hampir semua wilayah sasaran untuk program food estate berada dalam tanah adat milik masyarakat,” kata Johnny Teddy Wakum, dalam diskusi yang digelar oleh FWI pada Jumat 4 Oktober 2024 lalu.

Saat masyarakat melakukan perlawanan dengan menolak proyek tersebut, kata Johnny, pemerintah tidak pernah menanggapinya. Ironisnya, narasi yang dibangun pemerintah justru menyebut bahwa masyarakat adat menerima proyek lumbung pangan tersebut. Ia bilang, itu pembohongan publik yang dibuat oleh pemerintah.

Menurutnya, pemerintah sudah melakukan pelanggaran atas UU Nomor 2 Tahun 2001, Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Pemerintah juga tidak menggunakan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang merupakan ruang bagi masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan atas tindakan yang akan memengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka.

FPIC sendiri merupakan hak khusus yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Prinsip ini telah berkembang sejak Perang Dunia II dan dipromosikan untuk mendukung upaya menjamin martabat dan derajat kemanusiaan. Ia bilang, perusahaan datang tanpa kompromi dengan masyarakat dan langsung melakukan pembabatan hutan.

Tak hanya itu, katanya, dalam Putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat juga sangat jelas menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Artinya, proyek lumbung pangan milik Jokowi dan Prabowo tidak bisa dibangun di atas wilayah hutan adat milik beberapa marga di Merauke.

Parahnya, kata Johnny, pemerintah justru memobilisasi militer untuk mengamankan proyek lumbung pangan tersebut. Dimana, setidaknya ada sekitar 5 batalyon markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dibangun di Merauke untuk menjaga mega proyek itu. Katanya, kondisi ini juga membuat masyarakat takut juga untuk secara lantang menolak proyek itu.

“Pemerintah melakukan propaganda seolah-olah masyarakat adat setuju dengan proyek Food Estate ini. Padahal faktanya itu tidak benar,” tegasnya.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.