Mengurai Bom Waktu Krisis Agraria Warisan Buruk Jokowi

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2024, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah dilantik secara resmi melalui Sidang Paripurna MPR RI, Minggu, 20 Oktober 2024. Dengan pelantikan ini, Prabowo secara resmi akan memimpin pemerintahan Indonesia selama lima tahun ke depan.

Setelah dilantik, Prabowo-Gibran tidak mempunyai waktu lama untui bersantai, sebab pekerjaan rumah (PR) besar warisan buruk dari satu dekade Pemerintahan Jokowi telah menunggu untuk dituntaskan.

Jokowi pada awal pemerintahannya telah menjanjikan agenda land reform 9 (sembilan) juta hektar untuk menyelesaikan konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.

Namun, dalam periode pemerintahannya, konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah justru semakin melonjak, alih-alih mampun menyelesaikan dua persoalan struktural tersebut.

Periode 2015-2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi 2.939 letusan konflik agraria di atas tanah seluas 6,3 juta hektar dengan korban mencapai 1,7 juta rumah tangga petani.

Baca juga:Food Estate di Papua: Ketahanan Pangan atau Kehancuran Alam?

Letusan konflik agraria menyebabkan 2.442 orang mengalami kriminalisasi, 905 orang menjadi korban kekerasan, 84 orang tertembak dan 72 orang tewas akibat pola-pola penanganan yang represif di lapangan.

Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, fakta ini menunjukkan terjadi kenaikan lebih 100 % dibandingkan jumlah dan dampak konflik agraria selama 10 tahun Pemerintahan SBY.

Di saat yang sama, lebih dari 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu, di dalamnya praktik mafia sawit, mafia tambang dan mafia kayu semakin subur (Sawit Watch, ESDM dan LHK, 2024).

Menurut Dewo. di tengah terus meluasnya penguasaan tanah oleh korporasi di tiga sektor tersebut, tanah yang dikuasai oleh petani semakin sempit, di mana 17 juta petani di Indonesia saat ini bersatus gurem atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

“Lonjakan konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi adalah imbas dari kegagalan Jokowi menjalankan agenda reforma agraria sejati, sesuai mandat konstitusi,” kata Dewi Kartika melalui rilis yang diterima.

“Dewi bilang, reforma agraria dimanipulai hanya sebatas bagi-bagi sertifikat dan distribusi tanah di area-area non-konflik,” sambungnya.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Lebih fatal lagi, kata Dewi, pemerintahan Jokowi selama 10 tahun terakhir tidak menjalankan reforma agraria yang bertujuan membebaskan desa-desa, tanah pertanian, perkampungan serta wilayah adat dari klaim-klaim Negara oleh PTPN, Perhutani, Asset Pemda, HTI, tanah register dan area konservasi.

Ie menegaskan, pemerintahan Jokowi melanggar UUPA 1960 dengan tetap mempraktekkan asas domein verklaring sehingga seolah negara menjadi pemilik tanah yang berlaku sewenang-wenang sehingga petani dan masyarakat adat di mata pemerintah dianggap tinggal menumpang di atas tanahnya sendiri.

Bahkan, katanya, pemerintah memelihara konflik agraria masyarakat dengan BUMN perkebunan dan klaim kawasan hutan negara, dan selalu bertindak represif kepada masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari klaim hutan negara dan BUMN.

Padahal, katanya, BUMN bobrok seperti PTPN dan Perhutani selain selalu merugi, selalu meminta penambahan modal negara. Sepanjang pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tidak pernah meredistribusikan dan mengembalikan tanah petani dan masyarakat adat yang telah dirampas oleh PTPN dan Perhutani.

Tidak ada satu pun Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang berkonflik dengan PTPN dan Perhutani berhasil diselesaikan dan diredistibusikan kepada rakyat oleh Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan dan Menteri BUMN. Padahal Presiden mengetahui hambatan yang dihadapi rakyat terkait konflik agraria PTPN-Perhutani.

Baca juga: Masa Depan Lingkungan Hidup Suram di Tangan Kabinet Merah Putih

“Tidak ada koreksi dan penegakkan hukum terhadap praktik domeinverklaring kehutanan, manipulasi expired HGU dan tanah terlantar BUMN,” ujarnya.

Parahnya, Skema Perhutanan Sosial, Perkebunan Sosial/Distribusi Manfaat dan/atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan PTPN merupakan regulasi kontra-RA karena melanggengkan klaim sepihak negara atas tanah dan atas nama kawasan hutan.

Dari sisi regulasi, pemerintahan Jokowi semakin meliberalisasi kebijakan agraria melalui UU Cipta Kerja dan produk turunannya yang terkait Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, dll.

Termasuk melakukan pengkhianatan terhadap Konstitusi dan UUPA 1960 dengan memberikan hak atas tanah (HGU dan HGB) hampir dua abad kepada para investor di IKN. Lebih buruk dari UU Agraria Kolonial 1870 yang hanya memberikan konsesi selama 75 tahun.

Pemaksaan program food estate, kata Dewi, sebagai jawaban atas krisis pangan yang melanda Indonesia membuktikan bahwa Pemerintahan Jokowi anti-petani. Melalui food estate, pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan yang lebih bertumpu pada korporasi pangan sebagai penyedia pangan.

“Padahal food estate menyimpan beberapa masalah yang mengancam kedaulatan petani dan pertanian rakyat,” ungkapnya.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Pertama, food estate bermasalah secara paradigma sebab hendak menggantikan petani sebagai produsen pangan dan menggantinya dengan perusahaan skala besar; keduafood estate memperluas praktik-prakti perampasan tanah seperti yang terjadi di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, dan Merauke.

ketiga, memperparah kerusahakan lingkungan sebab pengadaan tanah FE berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara massal. Ia bilang, inilah sekelumit warisan buruk pemerintahan Jokowi di bidang agraria yang akan menjadi PR besar pemerintahan Prabowo untuk menuntaskannya.

“Perlu terobosan dan kemauan politik yang kuat dari pasangan Prabowo-Gibran untuk dapat mengurai benang merah masalah agraria yang ditinggalkan Jokowi,” ucapnya.

Dalam visi-misinya, Prabowo-Gibran masih sangat sempit dan parsial dalam menempatkan agenda reforma agraria, bahkan hanya menjadi program kecil. Namun nilai plus-nya, agenda RA ditempatkan di bawah program swasembada pangan.

“ Artinya Prabowo menyadari bahwa agenda RA tidak bisa dilepaskan dari agenda pertanian dan pangan,” katanya.

Namun, kata dia, beberapa hal yang perlu menjadi catatan adalah, rencana Prabowo yang akan terus melanjutkan program Food Estate dan Bank Tanah. Padahal, dua program ini merupakan akar masalah yang memperparah konflik agraria dan menghambat pelaksanaan reforma agraria selama ini.

Persoalan-persoalan itu, kata Dewi, adalah bom waktu jika tidak diselesaikan secara cepat dan tepat oleh Prabowo. Kita harus melihat mengingat kembali tentang ideologi dan semangat para pendiri bangsa ini melahirkan UUPA 1960.

“Sebagai jalan revolusi kaum tani dan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri mereka dari penindasan kolonolisme berbasis penghisapan atas tanah dan sumber-sumber agraria,” ujarnya.

Agar warisan buruk agraria ini dapat diatasi, KPA mendesak kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk melaksanakan langkah perombakan fundamental dan struktural sebagai berikut:

  1. Menjalankan Reforma Agraria Sejati sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA 1960 dan menempatkannya sebagai basis pembangunan nasional dengan melakukan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani dan perempuan petani, serta menyelesaikan seluruh konflik agraria struktural sebagai proses pemulihan hak-hak korban perampasan tanah dan penggusuran, selanjutnya Negara menjamin ketersediaan modal, pendidikan, teknologi tepat guna, benih, pupuk, infrastruktur pertanian dan pasar yang berkeadilan.
  2. Sebagai pelaksana Reforma Agraria, Presiden harus membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden, dengan pelibatan Organisasi Rakyat. Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa Reforma Agraria benar-benar dijalankan sesuai tujuannya.
  3. Mencabut regulasi anti petani dan rakyat, yakni UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, dll., serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung, sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan agar demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan.
  4. Melakukan koreksi menyeluruh atas klaim-klaim sepihak negara atas nama kawasan hutan atau hutan (milik) negara, melalui penataan batas ulang kehutanan untuk mengeluarkan puluhan ribu desa, kampung, wilayah adat, kebun masyarakat, sawah, wilayah tambak masyarakat dan lumbung-lumbung pangan nasional milik rakyat.
  5. Menteri-menteri Kabinet Prabowo-Gibran yang berkaitan dengan bidang agraria seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Kementerian Kehutanan, Kementerian BUMN, Kementerian KKP, dan Kementerian Koperasi harus mempunyai visi yang selaras dengan pelaksanaan reforma agraria, pembangunan pedesaan dan pertanian dapat terlaksana sesuai mandat Konstitusi dan UUPA 1960.
  6. Mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang, korupsi agraria dan mafia tanah serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perumusan regulasi yang koruptif dan manipulatif yang berorientasi pada kepentingan bisnis dan PSN, yang telah merampas demokrasi, kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat. Menghentikan dan menghukum berat praktik para mafia impor pangan yang telah menghancurkan sendi-sendi produksi petani, nelayan, peternak dan petambak garam, serta melemahkan pemenuhan hak atas pangan bahkan kedaulatan pangan
  7. Membubarkan dan menghentikan PSN dan Badan Bank Tanah yang telah merampas tanah-tanah petani dan masyarakat adat dan telah membajak serta menyelewengkan tanah objek reforma agraria bagi rakyat, menjadi objek pengadaan tanah bagi para pengusaha.
  8. Membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, Kaum Miskin Perkotaan dan Aktivis Agraria yang dipenjara serta dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah, sekaligus menghentikan cara-cara kekerasan dan otoriter dalam penanganan konflik agraria. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkoreksi dan mencabut pasal-pasal yang digunakan oleh pengusaha, pemerintah dan penegak hukum untuk mengkriminalisasikan masyarakat, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi UU Konservasi, UU P3H, UU Perkebunan, UU Minerba, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, UU ITE dan UU KUHP;
  9. Melindungi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan wilayah tangkap nelayan dari ancaman investasi yang merampas dan merusak lingkungan, demi keberlangsungan hidup kaum nelayan sebagai penghasil pangan khususnya ikan bagi segenap rakyat.
  10. Menghentikan food estate dan mengedepankan pembangunan pedesaan berbasiskan, pertanian pangan alami dan ekologis, peternakan dan perikanan yang berpusat pada kepentingan rakyat dalam kerangka RA Sejati, dimana pusat-pusat produksi dan industri milik petani dan nelayan dapat berkembang, saling terhubung dengan proses industrialisasi nasional yang mensejahterakan kaum buruh, sehingga hubungan desa-kota saling memperkuat.

Demikian sikap politik ini kami buat dan sampaikan, agar menjadi perhatian oleh semuah pihak, khususnya pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Gibran.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.