BANJIR bandang hebat yang melanda Taman Nasional Yellowstone pada tahun 2022 mengejutkan para ilmuwan dan pengelola lahan di Amerika Serikat. Sebagai taman nasional pertama yang diresmikan pada tahun 1872, Yellowstone telah mengalami berbagai fenomena alam, namun banjir sebesar ini belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir.
Taman nasional yang luasnya hampir mencapai 900 ribu hektare ini mencatat hampir satu juta pengunjung setiap bulannya selama musim panas antara tahun 2014-2018, menurut data National Park Services, badan federal Amerika Serikat yang mengelola taman nasional.
Pertanyaannya, apakah perubahan iklim berperan dalam peristiwa tragis ini? Laporan yang diterbitkan pada Juni 2021, Greater Yellowstone Climate Assessment, sebenarnya sudah memprediksi perubahan signifikan akibat peningkatan suhu, kenaikan curah hujan, serta pola musiman yang berubah.
Laporan ini didasarkan pada data pengamatan berkala selama periode 1950-2018 dan memproyeksikan tren perubahan iklim hingga tahun 2100. Meski demikian, banjir bandang yang terjadi pada 12 Juni 2022 tetap tidak terantisipasi. Hujan deras yang ekstrem, dipadukan dengan pencairan salju yang cepat, menjadi faktor utama yang memicu bencana ini.
Peristiwa ini kontras dengan kebakaran masif di Yellowstone pada tahun 1988, yang disebabkan oleh kondisi kering. Fenomena-fenomena ini menunjukkan dinamika lingkungan yang semakin sulit diprediksi di era perubahan iklim.
National Park Services (NPS) telah mengembangkan dokumen Planning for a Changing Climate: Climate-Smart Planning and Management in the National Park Service pada tahun 2021 untuk mengidentifikasi berbagai opsi pendekatan adaptasi iklim dalam pengelolaan taman nasional. Dokumen ini menawarkan rencana yang komprehensif, strategis, dan dapat diimplementasikan untuk mengantisipasi dampak kenaikan suhu global.
Kerangka kerja ini mencakup enam tahapan penting, yakni: (1) menginformasikan proses perencanaan, (2) menilai kerentanan dan risiko iklim, (3) mengevaluasi dampak iklim terhadap tujuan pengelolaan, (4) mengidentifikasi strategi adaptasi yang potensial, (5) memilih strategi adaptasi yang prioritas, dan (6) menerapkan, melacak efektivitas, serta melakukan penyesuaian terhadap strategi tersebut sesuai perkembangan kondisi lapangan.
Lalu, pelajaran apa yang dapat diambil bagi Indonesia, yang memiliki 53 taman nasional (Statistik Ditjen KSDAE, 2020) dengan total luas lebih dari 16 juta hektare? Taman-taman nasional ini dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan digunakan untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan, penelitian, pelatihan, budidaya, serta pariwisata.
Dengan karakteristik zonasi yang beragam, seperti zona inti, rimba, pemanfaatan, serta zona tradisional, rehabilitasi, religi budaya, dan sejarah, setiap taman nasional membutuhkan pendekatan adaptasi iklim yang berbeda sesuai dengan fungsinya.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah menetapkan standar, kriteria, dan indikator untuk destinasi wisata berkelanjutan, termasuk taman nasional. Potensi ekonomi taman nasional dalam sektor pariwisata alam sangat signifikan, dengan total lebih dari 3,3 juta pengunjung pada tahun 2020 dan penerimaan negara mencapai 53 miliar rupiah.
Oleh karena itu, risiko dampak perubahan iklim harus menjadi perhatian serius agar bencana alam yang tak terduga tidak mengurangi potensi ekonomi ini. Terutama taman nasional yang banyak diminati wisatawan, seperti Gunung Gede Pangrango, Gunung Ciremai, Bromo Tengger Semeru, Alas Purwo, Gunung Halimun Salak, Baluran, dan Gunung Merbabu di Pulau Jawa, serta taman nasional di luar Jawa seperti Bantimurung Bulusaraung di Sulawesi Selatan, Komodo di Nusa Tenggara Timur, dan Bali Barat di Bali.
Adaptasi iklim yang tepat akan memastikan keberlanjutan ekosistem sekaligus menjaga kelangsungan manfaat ekonomis dan ekologis taman nasional.
Diharapkan semua taman nasional di Indonesia telah menyusun rencana pengelolaan yang mempertimbangkan pendekatan adaptasi iklim, terutama jika taman-taman tersebut ingin berkembang menjadi destinasi wisata berkelanjutan. Langkah ini sangat penting mengingat perubahan iklim yang semakin signifikan dan dampaknya terhadap ekosistem serta pengelolaan kawasan konservasi.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kehutanan, telah memiliki pedoman penyusunan rencana pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru, yang diterbitkan pada tahun 2017. Selain itu, seluruh taman nasional baru-baru ini memperbarui Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) mereka, yang didasarkan pada inventarisasi kawasan, penataan zonasi, serta aspirasi para pihak dan rencana pembangunan daerah.
Tahapan perencanaan ini mencakup: (1) penentuan target konservasi, (2) identifikasi ancaman langsung terhadap target konservasi, (3) analisis dan prioritisasi sumber ancaman, (4) pengembangan strategi dan rencana aksi untuk mengurangi ancaman dan/atau meningkatkan status kesehatan ekosistem, serta (5) pemantauan keberhasilan strategi.
Namun, dengan dinamika dunia yang semakin cepat berubah, khususnya terkait dampak perubahan iklim, rencana pengelolaan taman nasional harus lebih reflektif terhadap tantangan adaptasi. Pembaruan dan revisi RPJP taman nasional sangat relevan, karena banyak pengelolaan yang belum sepenuhnya mempertimbangkan perubahan iklim sebagai ancaman besar.
Sebagai contoh, dalam Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Komodo (2000-2025), ancaman pemanasan global masih tergolong rendah terkait kepunahan spesies lokal, perubahan struktur komunitas, dan kerusakan terumbu karang.
Demikian pula, RPJP Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (2008-2027) yang mengidentifikasi kebakaran hutan sebagai tantangan utama, namun belum memanfaatkan proyeksi ancaman perubahan iklim. Ini menunjukkan bahwa penggunaan data observasi dan analisis proyeksi iklim belum sepenuhnya dimaksimalkan dalam perencanaan taman nasional.
Oleh karena itu, integrasi analisis perubahan iklim dalam perencanaan pengelolaan taman nasional menjadi kunci dalam memastikan bahwa kawasan-kawasan konservasi ini dapat beradaptasi dan bertahan menghadapi tantangan lingkungan di masa depan, serta tetap memberikan manfaat ekologis dan ekonomis yang optimal.
Dunggio dan Gunawan (2009) dalam studinya menegaskan bahwa kurangnya dukungan data penelitian menjadi tantangan utama yang harus diatasi dalam pengelolaan taman nasional. Meskipun taman nasional tertua di Indonesia, yang ditetapkan pada tahun 1980, masih relatif muda dibandingkan dengan Yellowstone, pembangunan basis data observasi berkala sangat penting sebagai landasan untuk pengelolaan jangka panjang, khususnya dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Sebagai contoh, kegiatan pilot studi baru-baru ini telah dilakukan untuk mendukung perencanaan pengelolaan, termasuk analisis risiko perubahan iklim terhadap ekosistem terumbu karang dan padang lamun di Taman Nasional Wakatobi.
Kejadian kebakaran lahan yang berulang di beberapa taman nasional, seperti di Pulau Rinca di Taman Nasional Komodo pada tahun 2021 yang disebabkan oleh cuaca kering dan angin kencang, serta insiden serupa di Gili Lawa pada 2018, menunjukkan bahwa cuaca ekstrem telah berdampak nyata.
Selain itu, kebakaran yang melanda Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pada musim kemarau di tahun yang sama serta kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai pada 2017, menyoroti pentingnya analisis tren iklim untuk pengelolaan risiko di masa depan. Nadhifa (2020) dalam penelitiannya, yang dibimbing oleh Prof. Bambang Hero Saharjo, pakar forensik kebakaran dari Institut Pertanian Bogor, mengungkap bahwa faktor cuaca ekstrem menjadi penyebab utama kebakaran berulang di taman-taman nasional tersebut.
Namun, di tengah tantangan tersebut, terdapat pencapaian yang patut dibanggakan. Beberapa taman nasional Indonesia telah menerima penghargaan internasional, seperti Equator Prize 2020 (Taman Nasional Kayan Mentarang) atas pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat adat, serta Global Human Settlement Awards 2019 (Taman Nasional Bali Barat) untuk kategori “Perencanaan dan Desain”.
Selain itu, enam taman nasional Indonesia telah diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, yaitu Lorentz, Komodo, Kerinci Seblat, Ujung Kulon, Bukit Barisan Selatan, dan Gunung Leuser, karena memiliki nilai universal luar biasa dan memenuhi kriteria seleksi yang ketat, serta berkomitmen dalam perlindungan dan pengelolaannya.
Dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, rencana pengelolaan dan implementasinya harus mengedepankan penggunaan data ilmiah hasil observasi yang berkelanjutan. Informasi ilmiah ini menjadi investasi jangka panjang yang dapat digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan di lapangan, serta analisis tren masa depan.
Dokumentasi ini perlu melalui proses pengujian dan tinjauan untuk memastikan akurasi pengumpulan dan pemrosesan data. Selain itu, kemitraan yang kuat antara peneliti dan pembuat kebijakan dapat menghasilkan perencanaan yang lebih matang dan keputusan yang didasarkan pada data ilmiah, seperti yang dilakukan Taman Nasional Yellowstone melalui analisis data jangka panjang untuk memprediksi perubahan iklim.
Pada akhirnya, konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua. Diharapkan pengelolaan taman nasional di Indonesia dapat siap menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjadi destinasi wisata berkelanjutan yang diakui secara global.
Leave a Reply
View Comments