Ancaman di Balik 1,1 Juta Hektar Perhutanan Sosial Jadi Padi Gogo

Hutan Alam di Bentang Alam Popayato (Foto: FWI)
Hutan Alam di Bentang Alam Popayato (Foto: FWI)
  • Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi lahan perhutanan sosial (PS) yang akan dimanfaatkan dalam proyek Hutan Cadangan Pangan. Sekitar 1,9 juta hektar lahan perhutanan sosial akan dialokasikan untuk proyek ini, dengan sekitar 1,1 juta hektar diantaranya direncanakan untuk penanaman padi gogo.
  • Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengkritik rencana tanam padi gogo di perhutanan sosial. Ide itu, katanya, tidak berdasar penelitian kuat dan cenderung dipaksakan tanpa kajian ekologis maupun sosial memadai. Proyek hutan cadangan pangan di perhutanan sosial bisa mengulangi kegagalan proyek pangan serupa.
  • Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia mengatakan, proyek inijelas berwatak top-down dan tidak partisipatif mengulangi pola pengembangan proyek pangan seperti skema food estate selama ini. Mulai dari proses identifikasi lokasi, penentuan luas lahan, jenis tanaman pangan, hingga pilihan model budidaya, semua tanpa melibatkan masyarakat sebagai aktor utama.
  • Selain prediksi gagal dan memicu konflik agraria, proyek cadangan pangan di perhutanan sosial juga berisiko tinggi menyebabkan deforestasi baru, meskipun pemerintah mengklaim akan menggunakan sistem agroforestri. Faktanya, sebagian besar wilayah itu masih bertutupan hutan baik, hingga sulit membayangkan penanaman tanaman pangan tanpa membuka hutan terlebih dahulu.

Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi lahan perhutanan sosial (PS) yang akan dimanfaatkan dalam proyek Hutan Cadangan Pangan. Sekitar 1,9 juta hektar lahan perhutanan sosial akan dialokasikan untuk proyek ini, dengan sekitar 1,1 juta hektar diantaranya direncanakan untuk penanaman padi gogo.

Proyek ini merupakan bagian dari program strategis seluas 20,6 juta hektar yang digagas oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran, mencakup hutan cadangan untuk kebutuhan pangan, energi, dan air.

Hingga Agustus 2024, luas perhutanan sosial di Indonesia telah mencapai lebih dari 8 juta hektar. Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan secara lestari yang melibatkan masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, menjaga keseimbangan lingkungan, serta memperkuat dinamika sosial dan budaya.

Skema Perhutanan Sosial terdiri atas lima bentuk pengelolaan, yaitu: Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan skema Kemitraan. Hingga saat ini, sekitar 1,3 juta kepala keluarga dan terdapat 138 komunitas masyarakat hukum adat terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan perhutanan sosial di berbagai wilayah Indonesia.

Baca juga: 282 Ribu Hektar Hutan Gorontalo dalam Cengkraman Proyek Bioenergi Nasional

Dari total lebih dari 8 juta hektar lahan perhutanan sosial, sebanyak 1,9 juta hektar yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) definitif, akan dijadikan bagian dari proyek cadangan pangan. Dari luas tersebut, sekitar 389.406 hektar dinilai sesuai untuk ditanami padi gogo.

Selain itu, dari sekitar 3,7 juta hektar lahan perhutanan sosial yang masih bersifat indikatif (belum memiliki Surat Keputusan), sekitar 755.932 hektar di antaranya juga dinilai cocok untuk penanaman padi gogo. Dengan demikian, total luas perhutanan sosial yang dianggap cocok untuk tanaman padi gogo mencapai sekitar 1.145.338 hektar.

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa proyek Hutan Cadangan Pangan yang akan mengalihkan fungsi hutan di wilayah perhutanan sosial untuk penanaman padi gogo merupakan langkah yang keliru. Mereka menyoroti bahwa rencana ini berpotensi mengulangi kegagalan proyek-proyek serupa seperti food estate yang sebelumnya pernah dijalankan oleh pemerintah.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyampaikan kritik tajam terhadap rencana penanaman padi gogo di wilayah perhutanan sosial. Menurutnya, ide tersebut tidak memiliki dasar penelitian yang kuat dan cenderung dipaksakan tanpa kajian ekologis maupun sosial yang memadai. Proyek hutan cadangan pangan yang kini diarahkan ke kawasan perhutanan sosial juga disinyalir akan mengulangi kegagalan serupa.

“Proyek-proyek food estate yang selama ini dilakukan di kawasan non-hutan saja banyak yang gagal, apalagi jika padi gogo ditanam di wilayah perhutanan sosial yang memiliki kompleksitas lebih tinggi,” ujarnya.

Benar, proyek ketahanan pangan yang digagas oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran ini bukan program pertama kali. Pada tahun 2010, program serupa dengan nama Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pernah dibuat juga di Merauke dengan luas lahan 1,2 juta hektar. Namun, karena sebagian besar wilayah ini merupakan lahan gambut, program ini dinyatakan gagal.

Pada 2011, Pemerintah Indonesia juga pernah membuat program food estate bernama Delta Kayan Food Estate (DeKaFe) di Bulungan, Kalimantan Utara. Di atas lahan 50 ribu hektar, Pemerintah Indonesia menanam kedelai, jagung, kopi, kelapa sawit, cabai, cokelat, kelapa, hingga karet. Akibat kerap dilanda banjir dan kondisi lahannya tidak sesuai, proyek itu dinyatakan gagal lagi.

Pada 2020 lalu juga, Pemerintah Indonesia kembali lagi membuat proyek food estate di Kalimantan Tengah yang dibangun di bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi seluas 30 ribu hektar. Akibat pola tanam yang dipaksakan, proyek itu lagi-lagi gagal.

Ironisnya, pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia kembali membuat proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah dengan menanam gandum dan singkong di luas tanah 31 ribu hektar. Tetapi, karena tidak memiliki kajian lingkungan yang maksimal dan berkonflik dengan masyarakat, proyek tersebut gagal lagi.

Rio, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa untuk menjawab kedaulatan dan kebutuhan pangan, pemerintah seharusnya mengoptimalkan lahan subur di luar kawasan hutan, bukan memaksakan proyek di perhutanan sosial. Ia juga menegaskan pentingnya melibatkan petani, bukan korporasi, serta melindungi wilayah pangan lokal yang sudah ada.

Baca juga: Hutan Indonesia Masih Jadi Korban Eksploitasi

“Perhutanan sosial masih memiliki fungsi hutan yang besar. Jika ditanami padi gogo secara monokultur, maka fungsi ekologis hutan akan tergerus. Fokus utama perhutanan sosial seharusnya memperkuat fungsi hutannya, bukan justru melemahkannya lewat praktik yang berisiko merusak,” jelasnya.

Rencana penanaman padi gogo di 1,1 juta hektar wilayah perhutanan sosial dinilai berisiko tinggi memicu konflik agraria dan menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), apalagi jika kedepan rencana ini dilekatkan status Proyek Strategis Nasional (PSN). Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) per Juli 2024 menyebut, PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria dengan total luas konflik mencapai 571 ribu hektar.

Rio menegaskan bahwa situasi akan semakin buruk jika korporasi dilibatkan dalam proyek ini. Menurutnya, keterlibatan industri hanya akan menjadikan proyek ini berorientasi pada keuntungan ekonomi, bukan pada perlindungan hutan atau kepentingan masyarakat. artinya, Selain meningkatkan eskalasi konflik, proyek ini akan memicu bencana ekologis di Indonesia.

Dalam konteks bencana, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat bahwa antara 2015 hingga 2022, negara mengalami kerugian sebesar Rp101,2 triliun akibat bencana hidrometeorologi yang dipicu oleh perubahan lanskap ekosistem penting seperti hutan. Walhi juga memprediksi potensi kerugian negara mencapai Rp3.000 triliun jika proyek pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi terus dilanjutkan.

“Proyek hutan cadangan pangan berpotensi menjadi sumber konflik baru dan menggerus sistem pangan lokal. Saya melihat proyek ini menyimpan kepentingan terselubung untuk merampas tanah milik masyarakat,” kata Rio.

Eliyanus Pemua Adat Moa dan Prasetyo Hetta, Ketua BPD Desa Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Eliyanus Pemua Adat Moa dan Prasetyo Hetta, Ketua BPD Desa Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Ancam deforestasi

Selain diprediksi gagal dan memicu konflik agraria, proyek cadangan pangan di wilayah perhutanan sosial juga berisiko tinggi menyebabkan deforestasi baru, meskipun pemerintah mengklaim akan menggunakan sistem agroforestri. Faktanya, sebagian besar wilayah tersebut masih memiliki tutupan hutan yang baik, sehingga sulit membayangkan penanaman tanaman pangan bisa dilakukan tanpa membuka hutan terlebih dahulu.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) Tahun 2025 menunjukkan bahwa hutan alam yang tersisa di kawasan hutan sebesar 80,1 juta hektar. Dari jumlah tersebut, hutan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati hanya tersisa 16,2 juta hektar, sementara hutan lindung yang memiliki peran ekologis dalam menjaga keseimbangan lingkungan tersisa 22,3 juta hektar.

Adapun hutan produksi—yang selama ini menjadi sasaran berbagai bentuk eksploitasi, mulai dari pembalakan hingga alih fungsi lahan—kini hanya menyisakan 41,5 juta hektare. Angka-angka ini menggambarkan betapa kritisnya kondisi hutan di Indonesia, yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan.

Tak hanya mencatat kondisi hutan alam yang semakin menyusut, FWI juga menyoroti deforestasi yang terjadi di wilayah perhutanan sosial. Sejak program ini berjalan pada tahun 2017 hingga 2023, tercatat lebih dari 351 ribu hektare hutan hilang di kawasan-kawasan yang seharusnya dikelola secara lestari oleh masyarakat. Menariknya, periode antara 2017 hingga 2021 menjadi fase paling kritis, di mana deforestasi mencapai angka 324 ribu hektare.

Meskipun program hutan cadangan pangan belum diterapkan, deforestasi di wilayah perhutanan sosial tersebut mencerminkan semakin menyempitnya ruang bagi hutan alam untuk menjalankan fungsi ekologis dan sosialnya. Hal itu dapat terjadi karena dibanyak tempat Perhutanan Sosial justru ditunggangi oleh korporasi dan elit-elit pemilik tanah dalam skala yang besar.

Baca juga: Hutan Indonesia Dijerat Ambisi Hijau Jepang dan Korea Selatan

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, menilai bahwa proyek hutan cadangan pangan yang akan dibangun di wilayah perhutanan sosial mencerminkan disorientasi dan inkonsistensi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Ia memperingatkan bahwa proyek ini berpotensi mendorong deforestasi besar-besaran.

“Belum ada proyek Hutan Cadangan Pangan saja, deforestasi sudah terjadi. Apalagi jika proyek ini tetap dijalankan tanpa pertimbangan yang matang,” Anggi Putra Prayoga pada 20 Mei 2025 lalu.

Tak hanya itu, kata Anggi, rencana menanam padi gogo di kawasan perhutanan sosial bertentangan dengan berbagai komitmen global Indonesia, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, pengurangan emisi dalam kerangka Nationally Determined Contributions (NDC), serta pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD).

Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini bertolak belakang dengan target FoLU Net Sink 2030 yang justru menekankan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sebagaimana dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri. Ia bilang, program ini juga akan menggerus pangan lokal yang berada di setiap daerah-daerah di Indonesia.

“Rencana menanam padi gogo di kawasan perhutanan sosial bisa jadi tidak sesuai dengan kultur budidaya tanaman masyarakat setempat. Sebab, hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki pangan lokalnya sendiri, seperti sagu di Papua,” ujar Anggi.

Hal ini sejalan dengan temuan FIAN Indonesia, yang menunjukkan bahwa praktik produksi pangan secara monokultur dan dalam skala besar justru mendorong kelangkaan sumber pangan. Padahal, hutan selama ini menjadi sumber pangan yang melimpah sekaligus wilayah cadangan pangan bagi masyarakat. Namun, fungsi tersebut semakin hilang akibat alih fungsi hutan dan lahan.

Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia, menilai bahwa konsep agroforestri yang diusung dalam proyek Hutan Cadangan Pangan perlu dikritisi secara lebih mendalam. Menurutnya, tidak cukup hanya menerima klaim bahwa agroforestri adalah model pengelolaan yang ramah lingkungan. Diperlukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa praktik di lapangan benar-benar sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan tidak merugikan masyarakat setempat.

“Pertanyaannya kemudian, seperti apa kondisi tegakan pohon atau tipe hutan di lokasi-lokasi perhutanan sosial yang menjadi sasaran pengembangan padi gogo ini? Apakah struktur vegetasinya memungkinkan penerapan agroforestri secara ideal?,” kata Mufida pada 21 Mei 2025 lalu.

Sebenarnya, kata Mufida, selama lokasi perhutanan sosial tersebut tidak berada di kawasan hutan lindung, budidaya tanaman sela seperti padi gogo masih diperbolehkan menggunakan input kimia, termasuk pupuk fosfor (P). Masalahnya, dalam praktiknya, tanaman sela harus mampu bersaing untuk mendapatkan cahaya matahari karena keberadaan tegakan pohon yang cukup rapat dapat menghambat penetrasi cahaya langsung ke tanaman bawah.

Sebuah penelitian tentang budidaya padi gogo dalam sistem agroforestri dengan tegakan pohon sengon, yang menjadi referensi Mufida, menunjukkan bahwa meskipun pohon sengon membantu meningkatkan kesuburan tanah melalui fiksasi nitrogen (N), budidaya padi gogo tetap memerlukan tambahan pupuk fosfor (P) untuk tumbuh secara optimal.

Baca juga: Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan

Artinya, kata dia, walaupun dikemas dalam narasi keberlanjutan, proyek ini tetap bersandar pada model pertanian skala luas yang padat input dan dikendalikan oleh korporasi—baik dari aspek benih, lahan, bahan kimia, hingga tenaga kerja. Hal ini mengaburkan tujuan awal perhutanan sosial sebagai bentuk pengelolaan berbasis masyarakat, dan membuka ruang dominasi aktor-aktor besar dalam rantai pasok pangan nasional.

“Melihat kondisi tersebut, patut dipertanyakan: industri agrokimia mana yang akan mendapat ‘jatah’ dari proyek besar ini—mulai dari benih hingga input kimia? Sebab, meskipun dikemas dalam konsep agroforestri, proyek ini tetap menggunakan sistem produksi padi gogo skala luas yang bergantung pada lahan, benih yang dikendalikan korporasi, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, kata Mufida, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rendahnya intensitas cahaya di bawah tegakan sengon meningkatkan potensi gabah hampa pada padi gogo. Sederhananya, jika pemerintah menargetkan produksi padi gogo yang tinggi di wilayah perhutanan sosial, maka konsekuensinya adalah harus mengurangi—bahkan bisa jadi menghilangkan—tegakan pohon yang menghalangi masuknya cahaya matahari.

Dengan demikian, upaya mengejar produksi padi gogo di wilayah perhutanan sosial atas nama ketahanan pangan justru berisiko mendorong alih fungsi hutan dan memicu gelombang deforestasi baru. Proyek ini cenderung lebih menguntungkan industri besar ketimbang memperkuat kemandirian petani atau komunitas lokal.

Meskipun diklaim sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan berbasis agroforestri dan perhutanan sosial, secara struktural proyek ini masih bergantung pada model produksi korporasi. Hal ini dapat mengulang pola lama—masyarakat hanya menjadi tenaga kerja, sementara nilai tambah ekonomi dinikmati oleh industri hulu dan hilir yang menguasai rantai pasok.

“Dengan skema ini, yang diuntungkan justru korporasi, sementara masyarakat atau petani justru terpinggirkan dari wilayah kelola mereka sendiri,” ujar Mufida.

Kondisi hutan Pohuwato yang kini menjadi wilayah konsesi BTL dan terancam rusak akibat deforestasi. Foto: FWI
Kondisi hutan Pohuwato yang kini menjadi wilayah konsesi BTL dan terancam rusak akibat deforestasi. Foto: FWI

Skema Perhutanan Sosial Bermasalah

Sebenarnya, bahkan sebelum munculnya proyek Hutan Cadangan Pangan, skema perhutanan sosial sudah menuai kritik. Skema ini dinilai belum mampu mendorong kelestarian lingkungan maupun kemandirian ekonomi masyarakat dari sektor hutan—dua tujuan utama yang sejak awal dijanjikan.

Anggi menjelaskan bahwa setelah izin perhutanan sosial diberikan, tidak ada upaya serius untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai pemegang izin—baik dalam hal kelembagaan, pengelolaan kawasan, maupun pengelolaan usaha. Inilah yang menjadi akar persoalan inkonsistensi di tingkat tapak.

“Di tingkat tapak, implementasi skema perhutanan sosial justru menunjukkan anomali, karena tidak sejalan dengan tujuan utamanya,” kata Anggi. “Temuan kami juga terkonfirmasi dengan adanya tingkat deforestasi yang cukup tinggi di wilayah-wilayah perhutanan sosial,”

Artinya, kata Anggi, skema perhutanan sosial ini sangat “bermasalah” karena tidak didukung oleh kapasitas kelembagaan yang kuat, kemampuan pengelolaan kawasan yang memadai, maupun kapasitas usaha di tingkat tapak. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru mendorong penanaman padi gogo di kawasan perhutanan sosial—alih-alih memperkuat fondasi dasar pengelolaannya terlebih dahulu.

“Apapun proyeknya, kalau masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam teknik budidaya, kelembagaan, maupun pengelolaan kawasan usaha, maka besar kemungkinan proyek itu justru akan berdampak negatif,” ujar Anggi.

Senada, FIAN Indonesia juga mengkritik skema Perhutanan Sosial yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan konflik tenurial dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari reforma agraria sejati. Menurut Mufida, skema ini hanya memberikan akses terbatas untuk mengelola kawasan hutan—bukan hak kepemilikan—dengan berbagai ketentuan yang tidak partisipatif dan masih didominasi oleh logika kontrol negara atas tanah.

Baca juga: Hutan Rusak, Jabodetabek Banjir

“Akses tersebut pun dibatasi oleh ketentuan-ketentuan administratif yang sering kali tidak disusun secara partisipatif. Relasi kuasa antara negara dan masyarakat sekitar kawasan hutan tetap tidak setara sejak awal proses program ini berjalan,” jelas Mufida.

Dalam penelitian jenjang Sarjana-nya, Mufida menemukan bahwa Perhutanan Sosial pada dasarnya adalah bentuk pseudo common property—yaitu sistem yang tampak seolah-olah melepaskan kontrol negara atas tanah kepada masyarakat, namun pada kenyataannya hak kepemilikan tetap berada di bawah rezim negara. Masyarakat hanya diberikan hak kelola terbatas, tanpa jaminan legal atas kepemilikan tanah itu sendiri.

Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa pemerintah merasa berwenang untuk secara sepihak menunjuk 1,9 juta hektar lahan Perhutanan Sosial sebagai lokasi proyek pengembangan agroforestri pangan, tanpa harus melibatkan pemegang hak kelola dalam proses pengambilan keputusan.

Proyek ini, kata Mufida, jelas berwatak top-down dan tidak partisipatif—mengulangi pola pengembangan proyek pangan seperti yang terlihat pada skema food estate selama ini. Mulai dari proses identifikasi lokasi, penentuan luas lahan, jenis tanaman pangan, hingga pilihan model budidaya, semuanya dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sebagai aktor utama di lapangan.

Lebih ironis lagi, katanya, objek perhutanan sosial yang direncanakan untuk ditanami padi gogo tersebut saat ini dikelola oleh lebih dari satu juta kepala keluarga. Namun, keberadaan mereka tidak dijadikan pertimbangan utama dalam perencanaan proyek. Ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap prinsip dasar reforma agraria yang sejati: pengakuan, perlindungan, dan redistribusi hak atas tanah kepada rakyat.

Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Bayangkan, kata Mufida, nasib lebih dari satu juta kepala keluarga yang selama ini mengelola lahan perhutanan sosial. Mereka hanya diberi hak kelola, bukan hak atas tanah. Kini, lanjutnya, mereka menghadapi risiko yang sama seperti yang terjadi dalam proyek food estate di Sumatera Utara—dimobilisasi menjadi buruh di atas lahan yang telah mereka rawat dan kelola selama bertahun-tahun.

Dalam konteks proyek padi gogo, kata dia, para petani di perhutanan sosial berisiko dipaksa meninggalkan sistem budidaya yang telah mereka kembangkan secara mandiri. Sebagai contoh, banyak di antara mereka yang menanam kapulaga di sela tegakan pohon sebagai bagian dari strategi agroekologi berbasis kearifan lokal.

“Kini, mereka yang sebelumnya memiliki otonomi sebagai pesanggem atau petani mandiri justru dihadapkan pada kemungkinan menjadi buruh tani dalam proyek food estate—mengerjakan sesuatu yang tidak mereka rancang, tidak mereka pilih, dan tidak mereka kuasai,” jelasnya.

Dengan kata lain, hak yang paling mendasar telah dirampas: kedaulatan untuk menentukan tanaman apa yang dibudidayakan, bagaimana cara membudidayakannya, dan untuk siapa hasilnya. Ia bilang, posisi petani akan bergeser dari pengelola aktif menjadi tenaga kerja pasif dalam proyek pemerintah yang berwatak top-down.

“Lebih dari sekadar kehilangan kendali atas tanah, tetapi petani juga akan kehilangan posisi tawar, kehilangan martabat, dan kehilangan perlindungan ekologis—karena proyek ini sendiri berpotensi gagal dan merusak kawasan hutan yang selama ini mereka rawat,” ungkapnya.

Menurut Mufida, masalah mendasar yang seharusnya menjadi fokus penyelesaian adalah penggusuran petani sebagai aktor utama dalam produksi pangan. Namun, pendekatan yang diambil pemerintah saat ini justru mempercepat proses tersebut.

Baca juga: UU Kehutanan Akan Direvisi, Bisa Disusupi Kepentingan Korporasi?

Melalui skema-skema proyek seperti food estate dan agroforestri pangan, katanya, petani tidak lagi diposisikan sebagai subjek utama, melainkan direduksi menjadi buruh tani—bahkan sering kali tanpa upah layak—dalam model pertanian kontrak atau kemitraan semu yang tidak berpihak kepada mereka.

Alih-alih memperkuat posisi petani, pendekatan ini meminggirkan mereka dari pengambilan keputusan atas tanah, jenis tanaman, sistem budidaya, hingga distribusi hasil. Dalam banyak kasus, kata dia, kemitraan tersebut hanya menjadi pembenaran administratif atas pengambilalihan kontrol produksi oleh negara dan korporasi.

Lebih jauh lagi, persoalan ketersediaan bahan pangan tidak akan pernah benar-benar terjawab selama pemerintah tetap terjebak dalam paradigma sempit yang mengagung-agungkan produksi padi sebagai satu-satunya tolok ukur ketahanan pangan.

Menurutnya, paradigma tersebut tidak hanya usang, tetapi juga berbahaya karena mengabaikan pentingnya diversifikasi dan keanekaragaman pangan, yang sejatinya jauh lebih relevan dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan dan kelestarian ekologi.

“Seharusnya, yang dilakukan adalah mengidentifikasi sistem pangan lokal yang sudah ada, lalu memberikan fasilitasi agar sistem tersebut semakin kuat dan berdaya. Bukan justru membawa proyek dari luar dan memaksakan ambisi yang tidak lahir dari kebutuhan masyarakat,” pungkasnya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.