- Revisi UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2025 atas inisiatif DPR. Berbagai kalangan masyarakat sipil mengingatkan, agar revisi tak sembarangan, tetapi mengedepankan kepentingan masyarakat adat/lokal maupun lingkungan hidup.
- Erwin Dwi Kristianto, anggota Perkumpulan HuMa, menyebut pengaturan hak pengelolaan hutan pada Bab V UU 41/1999 belum sejalan dengan pengaturan berbasis hak penguasaan atas tanah dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
- Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), mengatakan, UU Kehutanan belum efektif memberantas perusakan hutan dan melindungi sumber daya alam. Analisis FWI, sekitar 30% kerusakan hutan terjadi di kawasan lindung dan konservasi. 50% karena kebijakan pemerintah.
- Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, skeptis terhadap revisi UU Kehutanan yang tengah diproses. Menurutnya, kebijakan transisi energi terus mengandalkan lanskap hutan, berpotensi membuat revisi disusupi kepentingan korporasi.
Sudah lebih dari dua dekade, Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi payung hukum dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di Indonesia. Regulasi ini menjadi benteng pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, serta melindungi sumber daya alam di Indonesia.
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, UU Kehutanan ini perlu direvisi kembali. Pasalnya, berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan telah berubah signifikan. Dalam implementasinya, UU Kehutanan dinilai kurang memadai dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.
Penetapan kawasan hutan negara, misalnya, sering dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat, yang memicu konflik lahan. Hak kelola tradisional dan kearifan lokal masyarakat adat terabaikan, dan mereka kerap dikriminalisasi ketika menjalankan praktik adat yang bertumpu pada pengelolaan hutan.
Baca juga: Efisiensi Anggaran: Apakah Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Konservasi?
Apalagi, saat ini pemerintah Indonesia sedang merencanakan untuk membuka 20 juta hektar hutan untuk keperluan pangan, yang memperburuk situasi. Hal tersebut diprediksi akan memperburuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Bahkan, masyarakat adat disinyalir semakin terpinggirkan dari ruang hidup mereka.
Een Suryani, perempuan adat dari Masyarakat Adat Kasepuhan Karang, menceritakan dampak besar UU Kehutanan terhadap kelompoknya, terutama dalam hal akses pendidikan. Karena wilayah mereka berada dalam kawasan hutan, satu-satunya sekolah yang bisa dibangun di desa mereka hanyalah Sekolah Dasar (SD).
“Pendidikan di Masyarakat Adat Kasepuhan Karang masih sangat terbatas, karena hanya SD yang ada saja. Sementara sekolah lainnya, seperti SMP dan SMA harus menempuh perjalanan jauh lagi,” kata Een Suryani ketika menjadi narasumber di acara HuMaVoice pada Kamis 23 Januari 2025 lalu.
Akibat terbatasnya akses pendidikan, kata Een, sebagian besar perempuan adat hanya bersekolah hingga SD, dan hanya laki-laki yang lebih banyak melanjutkan pendidikannya. Ia bilang, kondisi serupa juga mereka alami saat berusaha mengakses fasilitas kesehatan yang memadai.

Andiko Sutan Mancahyo, anggota Perkumpulan HuMa, mengakui bahwa apa yang disampaikan Een Suryani selaras dengan temuan di lapangan selama pendampingan. Ia menjelaskan, desa-desa yang berada dalam kawasan hutan kesulitan membangun infrastruktur, sementara pemerintah daerah (Pemda) kesulitan memberikan solusi atas masalah ini.
Menurutnya, politik yang terkandung dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut membuat pengakuan masyarakat hanya sampai ke level subsistem. Artinya, meskipun ada pengakuan wilayah adat, negara masih saja membatasi pengelolaan hutan kepada masyarakat adat. Ia bilang, hal itu juga yang membuat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sangat lambat.
Di sisi lain, pengelolaan hutan sering kali terpusat pada pemerintah dan perusahaan besar, sementara masyarakat yang bergantung pada hutan jarang diberi kesempatan untuk dilibatkan. Ia menilai, UU Kehutanan saat ini belum cukup inklusif dan adil bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, seperti masyarakat adat dan komunitas lokal.
Baca juga: Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi
Apa yang dikatakan Andiko ini selaras dengan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang menyebutkan, ada sekitar 30 juta hektar wilayah adat telah diusulkan untuk dijadikan hutan adat, namun hingga kini hanya sekitar 265 ribu hektar yang ditetapkan. Sekitar 60 persen wilayah adat yang diusulkan berada dalam kawasan hutan, yang menjadi salah satu penyebab lambatnya pengakuan hutan adat.
Sedangkan, data Walhi menyebutkan sekitar 33 juta hektar hutan telah dibebani izin di sektor kehutanan. Selain itu, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, sementara 7,3 juta hektar hutan sudah dilepaskan, dengan 70% di antaranya untuk perkebunan sawit.
Padahal, kata Andiko, banyak masyarakat yang tinggal di kawasan hutan atau memiliki ketergantungan ekonomi terhadap hutan, seperti petani dan pengrajin. Namun, status kawasan hutan yang sering kali dianggap sebagai “milik negara” justru mengabaikan kenyataan bahwa banyak dari mereka telah bermukim di dalam atau sekitar kawasan hutan sejak lama.
Ironisnya, katanya, sebagian besar masyarakat tersebut tidak diakui dalam struktur hukum yang ada, sehingga keberadaan dan hak mereka atas tanah dan sumber daya alam di kawasan hutan sering kali terpinggirkan. Olehnya, revisi UU Kehutanan penting untuk memberikan ruang bagi pengakuan hak ulayat dan akses bagi masyarakat yang selama ini hidup berdampingan dengan hutan.

Dengan fenomena ini, Andiko berharap Pemerintahan Prabowo-Gibran dapat mengevaluasi politik kehutanan Indonesia, termasuk merevisi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ia bilang, pengelolaan hutan di Indonesia sudah berubah, banyak desa yang berkembang di kawasan hutan, dan kepentingan manusia terhadap hutan juga telah berkembang seiring waktu.
“Politik kehutanan telah mengalami perubahan signifikan, diikuti dengan perkembangan ekonomi kehutanan. Terlebih lagi, saat ini banyak kawasan hutan di Indonesia yang dihuni oleh masyarakat adat,” kata Andiko Sutan Mancahyo ketika menjadi narasumber di acara HuMaVoice pada Kamis 23 Januari 2025 lalu.
Erwin Dwi Kristianto, anggota Perkumpulan HuMa juga berpikir serupa. Menurutnya, pengaturan hak pengelolaan hutan pada Bab V. UU Nomor 41 Tahun 1999 belum sejalan dengan pengaturan berbasis hak penguasaan atas tanah, seperti yang diatur di dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Baca juga: Hutan Gorontalo Terancam Deforestasi di Tengah Proyek Transisi Energi
Pasalnya, dalam UU PA disebutkan bahwa hak penguasaan tanah terbagi menjadi tiga, yakni tanah yang dikuasai negara, tanah yang dibebani hak, dan tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat atau tanah ulayat. Erwin bilang, ketiga hak penguasaan tanah ini akan berdampak pada penentuan subjek hak pengelolaan hutan serta model pemanfaatan hutan yang akan diterapkan.
“Ketiga hak penguasaan tanah tersebut akan memiliki konsekuensi pada siapa subjek hak pengelolaan hutan, dan bagaimana bagaimana model pemanfaatan hutan yang akan dilakukan,” kata Erwin Dwi Kristianto.
Saat ini, kata Erwin, banyak kawasan hutan di Indonesia yang masih berada dalam status tumpang tindih, baik antara kawasan hutan negara, hak masyarakat, maupun penggunaan lainnya. Status ini sering menyebabkan konflik antara masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak swasta. Ia bilang, banyak masyarakat adat yang menjadi korban atas konflik agraria ini.
Erwin yakin, revisi UU Kehutanan akan memberi ruang lebih besar bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, sehingga pengelolaannya lebih berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak. Ia juga berharap revisi ini bisa mengklarifikasi status kawasan hutan, mengurangi ketidakpastian hukum, dan mencegah sengketa yang bisa memicu konflik agraria.

Belum Cukup Efektif Melindungi Hutan
UU Kehutanan yang telah berusia sekitar 25 tahun ini dinilai belum cukup efektif dalam memberantas perusakan hutan dan melindungi sumber daya alam di Indonesia. Berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia (FWI), sekitar 30 persen kerusakan hutan terjadi di kawasan hutan lindung dan konservasi, sementara 50 persen kerusakan disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI mengatakan, hutan lindung hingga hutan konservasi yang ada di semua pulau di Indonesia saat ini sudah mulai habis akibat dikonversi dan dirusak. Ia bilang, industri ekstraktif seperti perusahaan kelapa sawit yang terus melakukan ekspansi menjadi penyebab utama hutan di Indonesia makin terpuruk.
“Hutan Indonesia saat ini tidak baik-baik saja. Konsep perlindungan hutan dalam UU Kehutanan tidak bisa mempertahankan hutan Indonesia,” kata Anggi Putra Prayoga ketika menjadi narasumber di acara HuMaVoice pada Kamis 23 Januari 2025 lalu.
Anggi bilang, data tren tutup hutan Indonesia periode 2021-2023 dari FWI menunjukkan bahwa deforestasi terus terjadi di seluruh pulau di Indonesia. FWI mencatat sekitar 689 ribu hektar hutan Indonesia mengalami deforestasi pada periode 2022-2023. Sementara itu, rata-rata laju kerusakan hutan terbesar terjadi pada periode 2017-2021, dengan luas mencapai 2,5 juta hektar.
Saat ini, kata Anggi, deforestasi semakin mengarah ke Pulau Papua akibat berbagai kebijakan proyek pemerintah, seperti proyek pangan, bioenergi, perkebunan, dan kehutanan. Pada periode 2022-2023, sekitar 500 ribu hektar hutan di tanah Papua mengalami deforestasi. Ia menilai, semua temuan kerusakan hutan ini disebabkan oleh Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memberikan kemudahan perizinan.
“Pemerintah melihat hutan sebagai komoditas yang harus dieksploitasi secara besar-besaran. Ini yang menjadi penyebab utama hutan di Indonesia terus mengalami deforestasi, apalagi ada proyek hilirisasi yang diterapkan pemerintah,” jelasnya.
Baca juga: Kebun Energi Datang, Hutan Pohuwato Terancam
Menurut peta konsesi dan peta hutan Indonesia milik FWI periode 2021-2023, sekitar 25,6 juta hektar hutan Indonesia berada dalam konsesi korporasi perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Sementara itu, 64,6 juta hektar hutan berada di luar konsesi, dan 2,31 juta hektar hutan alam mengalami tumpang tindih.
Ironisnya, Anggi mengungkapkan bahwa lebih dari 50 persen hutan alam yang tersisa saat ini direncanakan akan rusak akibat berbagai proyek berlabel hijau. Menurutnya, rencana ini berpotensi memicu dampak buruk, seperti bencana hidrometeorologi, dan semakin menggerus kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Belum lagi, katanya, ada rencana penerbitan izin baru seluas 13,5 juta hektar di kawasan hutan Indonesia, dengan sekitar 2,5 juta hektar di antaranya dialokasikan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Terlebih lagi, ada rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk keperluan pangan dan energi berpotensi menjadi langkah legalisasi deforestasi.

Melihat semua data tersebut, kata Anggi, revisi UU Kehutanan tidak cukup hanya sebatas perubahan teks, melainkan paradigma dalam UU Kehutanan juga harus diperbaharui dengan mempertimbangkan sumber agraria yang dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan hutan. Pasalnya, UU Kehutanan saat ini tidak menganggap manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan.
Hal ini tercermin dalam klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebutkan bahwa 106 juta hektar kawasan hutan di Indonesia merupakan milik negara. Sayangnya, menurut riset FWI, penetapan kawasan hutan tersebut tidak diakui oleh masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidup di dalam kawasan hutan tersebut.
“Ketika 106 juta hektar kawasan hutan ditetapkan sebagai milik negara, kenyataannya kawasan tersebut tidak diakui oleh masyarakat yang tinggal di dalamnya. Saat proses tata batas dilakukan, masyarakat yang telah bermukim di kawasan hutan justru disisihkan, karena pemerintah menganggap wilayah itu adalah tanah kosong,” jelas Anggi.
Menurut Anggi, persoalan yang dihadapi hutan saat ini bukan sekadar soal manajemen atau kondisi hutan yang semakin menyusut. Lebih dari itu, yang perlu dilihat adalah bagaimana sumber daya agraria yang dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan hutan seharusnya dipahami dalam konteks yang lebih luas.
Anggi mengatakan, UU Kehutanan saat ini kurang mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat yang bergantung pada hutan. Pengelolaan hutan dalam UU Kehutanan hanya mengutamakan konservasi tanpa mempertimbangkan hak dan kebutuhan masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Meskipun bertujuan melindungi hutan, kata Anggi, UU Kehutanan tidak cukup fleksibel dalam menghadapi tantangan baru, seperti perubahan iklim dan penurunan keanekaragaman hayati. Selain itu, saat ini banyak kegiatan pertambangan ilegal yang marak di kawasan hutan, dengan ada 1.899 izin tambang seluas 4,5 juta hektar tanpa IPPKH berada dalam kawasan hutan.
Baca juga: Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi
Menurut Anggi, UU Kehutanan perlu diubah untuk memperkuat penanggulangan praktik ilegal sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Revisi harus mencakup pengakuan lebih jelas terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat, serta memungkinkan partisipasi mereka dalam pengelolaan hutan.
Tak hanya itu, kata Anggi, perubahan UU Kehutanan harus mengutamakan pengelolaan sumber daya alam yang efisien dan transparan. Selama ini, pengelolaan hutan sering diwarnai praktik korupsi dan penyalahgunaan izin, yang menyebabkan kerusakan lingkungan parah. Ia bilang, revisi UU ini diharapkan mampu merespon tantangan global, seperti perubahan iklim.
“Revisi UU Kehutanan bertujuan memperbaiki pengelolaan hutan, menyeimbangkan konservasi dan kebutuhan sosial-ekonomi, serta memperkuat perlindungan lingkungan dan sumber daya alam. Ini juga penting untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan kerusakan ekosistem,” ungkapnya.

Bisa Disusupi Kepentingan Korporasi?
Meski begitu, Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun dari WALHI Nasional, mengaku skeptis terhadap revisi UU Kehutanan yang sedang diproses. Menurutnya, kebijakan transisi energi yang terus mengandalkan hutan sebagai lanskapnya berpotensi membuat revisi ini disusupi kepentingan korporasi.
Apalagi, kata Uli, pernyataan kontroversial Presiden Prabowo yang menyebut kebun kelapa sawit tidak menyebabkan deforestasi karena memiliki “daun” membuatnya revisi UU Kehutanan akan jauh dari perlindungan hutan yang sebenarnya. Terlebih lagi, ada rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk proyek pangan dan energi.
“Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa latar belakang revisi UU Kehutanan ini benar-benar untuk melindungi hutan dan memulihkan hak-hak masyarakat adat,” kata Uli Arta Siagian dalam acara HuMaVoice pada Kamis 23 Januari 2025 lalu.
Baca juga: Lembaga Keuangan Terlibat Merusak Hutan Indonesia
Bukan hanya itu, kata Uli, pada 21 Januari 2025, Prabowo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang juga kontroversial. Dalam peraturan tersebut, Ketua Pengarah Satgas Penertiban Kawasan Hutan adalah Kementerian Pertahanan, dengan sebagian besar struktur Satgas terdiri dari TNI dan Polri.
Uli bilang, Perpres tersebut akan membangkitkan militerisasi dan akan mengabaikan konflik tenurial yang sudah terjadi lama. Pasalnya, Perpres itu memandang keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan yang menjadi korban konflik tenurial dianggap sama dengan sawit ilegal dan tambang ilegal.
Uli menilai, Perpres tersebut akan digunakan pemerintah untuk menertibkan masyarakat di kawasan hutan demi melancarkan proyek pangan, energi, dan proyek strategis nasional (PSN) lainnya yang sedang direncanakan atau yang sedang dibangun. Ia bilang, negara memandang lebih mudah menertibkan masyarakat daripada korporasi.
Valdi Liropia, Tenaga Ahli Komisi IV DPR RI, mengatakan revisi UU Kehutanan masih dalam proses penyusunan naskah akademik. Pihaknya siap mendengarkan masukan dari berbagai lembaga dan organisasi masyarakat sipil terkait UU Nomor 41 Tahun 1999. Ia menyadari, banyak yang terdampak dari sektor kehutanan tersebut.
“Banyak masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan, dan ini yang tidak diperhatikan dalam UU Kehutanan tersebut. Sehingga perlu untuk dilakukan revisi,” kata Valdi Liropia ketika menjadi narasumber di acara HuMaVoice pada Kamis 23 Januari 2025 lalu.
Valdi bilang, revisi UU Kehutanan akan menitikberatkan pada memanusiakan manusia, dengan mengakui manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan, mengingat mereka telah lama tinggal dan bermukim di kawasan hutan. Menurutnya, keterlibatan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam revisi UU Kehutanan tersebut.
Baca juga: Bank-Bank Besar di Indonesia Mendanai Kerusakan Hutan
Ia menambahkan bahwa revisi UU Kehutanan perlu masukan komprehensif untuk menjawab persoalan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, termasuk mendorong penyelesaian masalah yang sedang dihadapi masyarakat adat saat ini. Ia menegaskan, revisi ini akan menjadi solusi untuk penetapan hutan adat milik masyarakat adat.
“Organisasi masyarakat sipil atau masyarakat adat bisa menyurat ke DPR untuk beraudiensi, atau bisa mengusulkan rapat dengar pendapat umum (RPDU) untuk membahas soal revisi UU Kehutanan. Kami juga sudah berdiskusi bersama pakar-pakar secara informal untuk meminta masukan” jelasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments