Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
  • Belum 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah muncul rencana yang mengkhawatirkan. Pemerintah menyatakan, mau buka 20 hektar hutan untuk sumber ketahanan pangan, energi dan air mengkhawatirkan berbagai kalangan. 
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyatakan bahwa pembukaan kawasan hutan seluas 20 juta hektar diperkirakan akan melepaskan emisi dalam jumlah sangat besar.
  • Supintri Yohar, Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara menyoroti risiko  bencana karena nafsu pemerintah buka hutan besar-besaran ini. Apalagi,kalau  pembukaan di hutan primer.
  • Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, rencana pemerintah ini berisiko menggerus masyarakat adat dari ruang hidup. Hutan-hutan alam di wilayah adat terancam. 

Belum 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah muncul rencana yang mengkhawatirkan. Pemerintah menyatakan, mau buka 20 hektar hutan untuk sumber ketahanan pangan, energi dan air mengkhawatirkan berbagai kalangan.  Ide ini bakal memperparah kerusakan lingkungan, berujung krisis iklim dan bencana.

Pembukaan hutan seluas dua kali pulau Jawa ini akan mendongkrak deforestasi Indonesia yang menurut data Global Forest Watch (GFW) periode 2001-2022 mencapai 10.295.005 hektar. Langkah ini pun tak  sejalan dengan komitmen net zero emission (NZE) pemerintah, bahkan  memicu konflik dengan masyarakat adat dan ancaman bencana.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa rencana proyek pembukaan 20 juta hektar hutan untuk keperluan pangan dan energi berpotensi menjadi langkah legalisasi deforestasi yang memicu kiamat ekologis. Proyek ini dapat mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat Indonesia.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyatakan bahwa pembukaan kawasan hutan seluas 20 juta hektar diperkirakan akan melepaskan emisi dalam jumlah sangat besar. Hal ini dapat menyebabkan dampak buruk seperti bencana ekologis, kekeringan, pemanasan global, gagal panen, dan penyebaran penyakit zoonosis.

Dampak serius lainnya adalah kerusakan terhadap biodiversitas dan munculnya potensi konflik agraria yang dapat memicu kekerasan serta kriminalisasi, seiring dengan penerapan pendekatan keamanan dalam proyek ini. Selain itu, kata Uli, proyek ini berisiko memperburuk masalah kebakaran hutan dan lahan, terutama jika kawasan yang dibuka mencakup lahan gambut yang sangat rentan terbakar.

Baca juga: Hutan Gorontalo Terancam Deforestasi di Tengah Proyek Transisi Energi

Dampak lainnya adalah kerusakan terhadap biodiversitas dan potensi konflik agraria, yang dapat memicu kekerasan serta kriminalisasi akibat pendekatan keamanan untuk memastikan kelancaran proyek ini. Ia bilang, proyek ini juga akan memperburuk persoalan kebakaran hutan dan lahan, terutama jika kawasan yang dibuka merupakan lahan gambut yang sangat rentan terbakar.

“Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang terkena dampak proyek ini berisiko tergusur, sementara komunitas pesisir akan menghadapi ancaman pengungsian akibat perubahan iklim,” kata Uli Arta Siagian melalui rilis yang diterima Mongabay, Kamis 2 Januari 2025 lalu.

Menurut Uli, Kementerian Kehutanan seharusnya menjadi penjaga hutan-hutan kita. Sebagai penjaga, kementerian ini seharusnya yang paling depan dalam menghalangi rencana pembongkaran hutan, bukan malah merencanakan dan melegitimasi pembukaan hutan atas nama pangan dan energi.

“Ini menunjukkan bahwa Presiden dan Menteri Kehutanan tidak memahami tugas dan tanggung jawab mereka,” jelas Uli.

Saat ini, kata Uli, sekitar 33 juta hektar hutan telah dibebani oleh izin di sektor kehutanan. Selain itu, 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, sementara 7,3 juta hektar hutan sudah dilepaskan, dengan 70% di antaranya untuk perkebunan sawit.

Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI
Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI

Uli tegaskan, penguasaan hutan oleh korporasi ini telah menimbulkan berbagai persoalan dan krisis yang sulit untuk dipulihkan. Alih-alih menegakkan hukum dan menuntut pertanggungjawaban dari korporasi, katanya, pemerintah justru terus tunduk pada kepentingan korporasi dengan legitimasi kerusakan hutan.

“Narasi pemerintah untuk memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi, dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas,” tegas Uli.

Menurutnya, selama pangan dan energi masih diletakkan dalam kerangka bisnis, keadilan bagi rakyat dan lingkungan tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, hal ini justru akan memperburuk masalah dan memperdalam krisis sosial-ekologis. Padahal, katanya, pangan dan energi adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara secara adil dan berkelanjutan.

Jika pemerintah ingin penuhi pangan dan energi secara adil dan berkelanjutan, katanya, seharusnya pemerintah menjadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi dan konsumsi pangan dan energi. Ia tegaskan, pengakuan dan perlindungan hak rakyat atas wilayahnya menjadi hal yang terpenting.

“Sumber dan pengelolaan pangan dan energi juga harus berasal dan sesuai dengan karakteristik wilayah tempat dimana pangan dan energi dihasilkan,” pungkasnya.

Baca juga: Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi

Senada, Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa proyek pembukaan 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi jelas akan memiliki dampak serius terhadap ekosistem dan lingkungan. Pasalnya, luas hutan yang akan digunakan dalam proyek ini sangat besar, luasnya hampir dua kali lipat Pulau Jawa.

Saat ini saja, kata Arie, luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 18,15 juta hektar, yang sudah mendekati atau bahkan melampaui kapasitas lingkungan. Kondisi ini, lanjut Arie, akan semakin memburuk jika proyek pengembangan untuk pangan dan energi tersebut tetap dilanjutkan, dan itu berpotensi memperburuk krisis iklim yang tengah dihadapi.

Padahal, laporan tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang dirilis pada akhir tahun 2023 lalu menyebutkan, Emisi karbon dioksida (CO2) Global di tahun 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dalam sektor lahan.

Menurutnya, pemerintah telah salah kaprah melihat cara membangun ketahanan pangan dan energi hingga harus mengorbankan 20 juta hektar hutan. Alih-alih membuat ketahanan pangan dan energi, katanya, kebijakan ini justru merupakan solusi palsu yang akan membawa Indonesia dalam jurang krisis iklim dan bencana ekologis yang lebih parah.

“Jika produksi pangan dibangun dalam skala besar dan siklusnya berdampak pada krisis iklim, justru hasil produksi pangan akan menurun. Oleh karena itu, pemerintah keliru dalam menyikapi masalah pangan dengan solusi pembukaan lahan dalam skala besar,” ujar Arie Rompas kepada Mongabay pada 2 Januari 2025 lalu.

Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Kebijakan pangan saat ini, kata Arie, hanya berfokus pada korporasi, bukan lagi pada kesejahteraan petani. Sederhananya, posisi petani sebagai produsen pangan akan digantikan oleh korporasi. Model seperti ini, lanjutnya, akan mengancam eksistensi petani, dan pada akhirnya, bisa membuat petani semakin terpinggirkan, bahkan hilang sama sekali.

Menurut Arie, produksi pangan seharusnya berlandaskan pada konsep-konsep yang mendukung penyelamatan alam, dengan melibatkan para petani. Hal ini penting karena petani adalah sumber utama pangan yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola pertanian secara beragam dan berkelanjutan.

Arie meyakini bahwa jika pemerintah menyediakan sarana produksi, menyediakan lahan, memberikan kepastian lahan, serta mengembangkan teknologi pertanian para petani, maka krisis iklim pangan dapat diatasi tanpa harus mengorbankan 20 juta hektar hutan. Ia bilang, negara akan memperoleh keuntungan, dan para petani dapat sejahtera karena terus menyediakan pangan.

“Sayangnya, pemerintah saat ini justru memprioritaskan pertanian kepada korporasi. Kebijakan ini seakan memberikan ‘karpet merah’ bagi korporasi, memungkinkan mereka mengakumulasi keuntungan di atas krisis lingkungan dan krisis pangan yang semakin mendalam,” jelas Arie.

Adapun soal energi, kata Arie, pemerintah juga justru mendorong penggunaan Biodiesel dengan mendorong adanya pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, kebijakan ini merupakan solusi palsu yang tidak menyelesaikan masalah krisis energi, malah justru memicu emisi yang lebih besar akibat ekspansi perkebunan sawit.

Baca juga: Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan

Di sisi lain, pemerintah justru memberikan subsidi besar kepada korporasi-korporasi besar, ketimbang mendukung produktivitas petani sawit mandiri. Padahal, menurut Arie, luas kebun sawit yang dimiliki oleh petani sawit mandiri saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan B40, tanpa perlu adanya ekspansi lahan lagi.

Arie mengatakan bahwa model ekstraktif sumber daya alam (SDA) masih menjadi dasar ekonomi Indonesia, dan pemerintah melihat eksploitasi SDA yang ada saat ini sebagai hal yang sangat penting. Dalam konteks ini, lanjutnya, pemerintah cenderung mengabaikan masalah lingkungan dan sosial dalam pengelolaan SDA.

Alhasil, kata Arie, kebijakan energi dan pangan yang dibuat pemerintah saat ini tidak menyelesaikan masalah yang ada. Sebaliknya, pemerintah justru akan membuat masalah baru dengan menggunakan pendekatan penggunaan lahan skala luas sebagai basis sosial mereka untuk melakukan ekspansi modal, tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas.

“Siapa yang akan menguasai 20 juta hektar hutan itu? pasti hanya segelintir orang, karena mereka tidak akan peduli dengan dampak sosial dan lingkungan. Mereka akan memonopoli lahan sebagai basis ekonominya untuk mengeruk SDA dan menguasai lahan-lahan tersisa,” jelasnya.

Arie memprediksi bahwa proyek pangan dan energi yang akan merambah 20 juta hektar hutan dapat menggagalkan komitmen iklim Indonesia, termasuk dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement) menahan pemanasan global jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI

Adapun dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. Menurutnya, proyek 20 juta hektar ini sangat jelas bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia.

“Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Proyek 20 juta hektar hutan akan memperburuk dampak perubahan iklim, karena emisi dari sektor tata guna lahan akan meningkat secara signifikan,” pungkasnya.

Picu Konflik Agraria dan Menggerus Masyarakat Adat

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, proyek rakus lahan ini akan memicu masalah peningkatan konflik agraria yang berkepanjangan. Apalagi, proyek ini sepertinya akan melegitimasi aparat keamanan, seperti polisi dan tentara dalam memuluskan megaproyek ini. Petani hingga Masyarakat Adat disinyalir akan tergerus akibat proyek ini.

Data dari KPA mencatat bahwa antara 2005 hingga 2024, terjadi sekitar 4.472 konflik di 12 juta hektar lahan yang berdampak pada 2,6 juta petani. Sektor-sektor seperti perkebunan, properti, infrastruktur, kehutanan, pertambangan, hingga pertanian menjadi penyumbang utama konflik agraria di Indonesia.

Roni Septian Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA Nasional, mengatakan bahwa konsekuensi dari dibukanya industri ekstraktif baru pasti akan memicu konflik agraria, termasuk proyek 20 juta hektar ini. Katanya, hal ini serupa dengan yang terjadi pada industri ekstraktif lainnya, yang mayoritas memang telah memicu konflik agraria

Baca juga: Lembaga Keuangan Terlibat Merusak Hutan Indonesia

Meski begitu, Roni mengaku pesimis dengan rencana proyek 20 juta hektar tersebut. Menurutnya, lahan dan hutan yang tersisa saat ini hampir tidak ada, karena sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif dari berbagai sektor. Ia bilang, saat ini tidak ada lagi lahan yang dapat digunakan untuk proyek tersebut.

“Kecuali, proyek ini bisa masuk akal jika pemerintah mengambil alih sebagian wilayah yang dikuasai perusahaan-perusahaan saat ini. Namun, jika pemerintah berniat membuka lahan baru, hal itu perlu dipertanyakan, karena saat ini hampir tidak ada lahan yang tersisa,” kata Roni Septian Maulana kepada Mongabay, pada Jumat 3 Januari 2024.

Menurut data Auriga dan Walhi 2022, sekitar 30.322.634 hektar kawasan hutan di Indonesia dikuasai oleh ratusan korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), baik itu dalam bentuk kegiatan penebangan kayu selektif atau logging maupun kebun kayu. Sementara, ada sekitar 10 juta hektar konsesi tambang di Indonesia, menurut ada Juli 2022.

Pada tahun 2023, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 17,3 juta hektare, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Angka ini berdasarkan pemutakhiran peta tutupan kelapa sawit yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian.

Sementara itu, data wilayah adat yang sedang diusulkan kepada pemerintah mencakup 30 juta hektar. Luas Perhutanan Sosial (PS) di Indonesia per September 2023 tercatat mencapai 6,3 juta hektar. Selain itu, data dari KPA mencatat bahwa tanah pertanian milik masyarakat seluas 22 juta hektar.

Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Potret ini, kata Roni, membuktikan bahwa hampir tidak ada lagi tanah atau lahan yang bisa digunakan untuk proyek pangan dan energi yang membutuhkan 20 juta hektar tersebut. Menurutnya, mega proyek yang direncanakan pemerintah ini sangat tidak masuk akal, karena tidak didasarkan pada rasionalitas yang jelas.

“Proyek 20 juta hektar ini sangat paradoks. Pasalnya, pemerintah merencanakan untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2025, namun di sisi lain, lahan pangan yang ada justru akan dikonversi. Hal ini sangat aneh dan tidak masuk akal,” jelasnya.

Dalam proyek energi, katanya, seharusnya pemerintah fokus pada intensifikasi sawit rakyat yang sudah ada, daripada melakukan ekspansi untuk mendukung penerapan bahan bakar campuran biodiesel 40 persen (B40). Selain itu, pemerintah juga perlu mengambil alih izin-izin sawit yang saat ini dikuasai oleh perusahaan asing untuk mendukung proyek ketahanan energi.

Hal yang sama juga berlaku untuk proyek ketahanan pangan. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada revitalisasi lahan pertanian yang sudah ada dan melibatkan petani dalam proses produksi pangan, bukan menggantikan mereka dengan korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan.

Menurutnya, jika pemerintah mendukung petani melalui kebijakan yang tepat, seperti penyediaan teknologi, perbaikan infrastruktur pertanian, dan perbaikan benih, petani pasti mampu memproduksi pangan sesuai dengan kebutuhan negara. Dengan cara ini, katanya, tidak perlu menambah masalah baru, apalagi dapat menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor.

Baca juga: Bank-Bank Besar di Indonesia Mendanai Kerusakan Hutan

“Proyek 20 juta hektar untuk pangan dan energi ini hanya akan menambah masalah baru saja. Proyek ini hanya menguntungkan korporasi saja,” pungkasnya.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, rencana proyek pembukaan 20 juta hektar hutan untuk keperluan pangan dan energi berpotensi menggerus masyarakat adat dari ruang hidup mereka. Ia bilang, hutan-hutan alam yang saat ini dijaga oleh Masyarakat adat pasti akan ikut terancam.

Kerentanan akan Masyarakat adat yang akan tergerus dari proyek ini juga disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum soal perlindungan Masyarakat adat dan Komunitas lokal. Pasalnnya, kata Rukka, sudah lebih satu decade Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) belum juga disahkan oleh pemerintah pusat dan DPR.

Saat ini, kata Rukka, sekitar 30 juta hektar wilayah adat telah diusulkan kepada negara untuk dijadikan hutan adat, tetapi hingga kini hanya sekitar 265 ribu hektar yang telah ditetapkan sebagai hutan adat. Padahal, katanya, 60 persen wilayah adat yang diusulkan itu berada dalam kawasan hutan.

“Pelanggaran hak, dan kekerasan terhadap Masyarakat adat banyak sekali terjadi dalam kawasan hutan,” kata Rukka Sombolinggi kepada Mongabay, 2 januari 2024 lalu.

Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Tanpa adanya kepastian perlindungan bagi masyarakat adat, kata Rukka, hutan adat yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat dan komunitas lokal justru dianggap sebagai tanah kosong yang diklaim sebagai milik negara. Situasi ini berpotensi memicu pelanggaran hak, kekerasan, dan pelanggaran HAM yang serius.

Sejak awal 2015, kata Rukka, Komnas HAM telah melakukan Inkuiri Nasional terkait pelanggaran hak masyarakat adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Inkuiri Nasional ini merupakan respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan milik negara.

Dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM itu, katanya, mengidentifikasi seperti apa saja karakter dan bentuk kekerasan yang dialami Masyarakat Adat dalam kawasan hutan yang diakibatkan oleh Undang-undang kehutanan. Alhasil, banyak sekali kasus-kasus yang ditemukan, dan banyak Masyarakat Adat mengalami kekerasan hingga tergerus dari ruang hidup mereka.

Mestinya, kata Rukka, Presiden Prabowo membuka kembali laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tersebut, menyelesaikan masalah yang ada, dan kemudian membahas langkah selanjutnya terkait pengelolaan kawasan hutan. Menurutnya, masalah klaim kawasan hutan di wilayah adat juga harus segera diperjelas.

Rukka menegaskan bahwa wilayah adat yang selama ini diklaim sebagai kawasan hutan negara harus segera rekognisi dan dikembalikan kepada Masyarakat Adat. Ia menekankan bahwa hutan bukanlah tanah kosong, melainkan kawasan yang dihuni oleh masyarakat dengan peradaban khas yang telah lama dijaga oleh Masyarakat Adat.

“Sepertinya Presiden Prabowo ini sama sekali buta dengan realitas Negara kita. Komitmen indonesia untuk capaian mengatasi perubahan iklim tinggi sekali, kok malah mau rusak hutan. Apalagi, hutan itu sudah sumber kedaulatan pangan, kok malah mau dirusak,” pungkasnya.

 


Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.