Desa yang berada di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana
Desa yang berada di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

Kebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang

  • Jutaan hektar hutan Papua, dalam ancaman. Perkebunan tebu dengan label untuk swasembada gula ada bioethanol berisiko berisiko membuka hutan alam dalam skala besar di hutan alam tersisa di nusantara ini.  
  • Presiden Joko Widodo belum lama ini menandatangani keputusan presiden. Dalam kappres itu dijelaskan pembentukan satgas untuk percepatan investasi perkebunan tebu terintegrasi dengan industri gula, bioetanol, dan pembangkit listrik biomassa yang memerlukan fasilitasi, koordinasi, dan perizinan berusaha bagi pelaku usaha.
  • Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara mengatakan, rencana pemerintah pengembangan 2 juta hektar lahan tebu pasti mengancam hutan alam tersisa di Papua, terutama Papua Selatan. Sampai 2022, katanya, sisa hutan alam di Papua Selatan tinggal 8,5 juta hektar.
  • Alih-alih ketahanan pangan dan pengembangan bioetanol untuk kurangi energi fosil, rencana perkebunan skala besar di Papua justru melanggengkan deforestasi dan berubah menjadi penyumbang emisi, memperparah kerusakan hutan konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, hingga kelangsungan masyarakat adat.  

Pada 19 April 2024 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Dalam Keppres itu juga, Jokowi menunjuk Bahlil Lahadalia Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, selaku Ketua Satuan Tugas (Satgas). Sementara, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional menjadi Wakil Ketua Sargas.

Dalam Keppres itu dijelaskan pembentukan Satgas itu bertujuan untuk percepatan pelaksanaan kegiatan investasi perkebunan tebu terintegrasi dengan industri gula, bioetanol, dan pembangkit listrik biomassa yang memerlukan fasilitasi, koordinasi, dan perizinan berusaha bagi pelaku usaha.

Adapun Satgas yang dibentuk ini diberikan sejumlah tugas, mulai menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan serta pengumpulan data dan dokumen yang diperlukan dalam rangka percepatan swasembada gula dan bioetanol.

Satgas juga ini nantinya akan memfasilitasi ketersediaan lahan yang sesuai dengan komoditas tebu; serta mengoordinasikan penyelesaian administrasi pertanahan atas tanah yang diperoleh melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan/atau mekanisme pengadaan tanah.

Selain itu, Satgas juga akan memfasilitasi pelaku usaha dalam pemenuhan persyaratan dasar dan perizinan berusaha untuk percepatan pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri.

Selanjutnya, fasilitas investasi yang dibutuhkan pelaku usaha untuk percepatan pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri beserta sarana dan prasarana penunjang akan juga akan diberikan serta difasilitasi oleh Satgas ini.

Tak hanya itu, Satgas ini juga akan memfasilitasi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pelaku usaha dalam melakukan pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar lokasi perkebunan tebu terintegrasi dengan industri.

Tegakan pohon di hutan di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)
Tegakan pohon di hutan di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Selanjutnya, Satgas ini akan melakukan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam rangka percepatan pemberian perizinan berusaha dan pemberian fasilitas investasi yang dibutuhkan pelaku usaha untuk percepatan pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri beserta sarana dan prasarana penunjang.

Diketahui, Keppres Nomor 15 Tahun 2024 ini adalah turunan dari Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel), yang akan dikembangkan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Adapun perkebunan tebu di Merauke merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai lanjutan dari program Food Estate dengan tujuan mendukung percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol sebagai bahan bakar nabati.

Menurut Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), setidaknya ada sekitar 2 juta hektare lahan yang akan digunakan dalam untuk perkebunan tebu skala besar di ujung timur Indonesia itu. Nilai investasi yang dibutuhkan mencapai US$8 miliar atau setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252,15).

Dengan nilai investasi yang cukup besar itu, bakal terdapat 5 konsorsium dalam negeri yang akan terlibat untuk mengembangkan proyek tersebut. PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN) atau Sugar Co dan Wilmar Group pun bakal bergabung ke dalam konsorsium tersebut.

Yuliot, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM mengatakan, konsorsium itu akan membangun 5 pabrik gula, lahan pabrik gula, sekaligus produksi bioetanol, kebun, dan pembangkit listrik dengan kapasitas 120 megawatt (120 MW).

“Lahan seluas 2 juta ha tersebut bakal dibagi menjadi empat klaster, di mana alokasi terbesar adalah untuk bagian perkebunan. Total investasi secara keseluruhan dari konsorsium,” kata Yuliot seperti dikutip di Bloomberg Technoz.

Artinya, lahan tebu dengan luas 2 juta hektar di Merauke itu bakal dikelola oleh swasta dan BUMN. Saat ini, proyek tersebut sudah mulai berjalan dan sedang dalam tahapan pembibitan awal dengan luas lahan pembibitan mencapai 120 hektar, yang dikembangkan oleh PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri.

Sementara bibit tebu yang digunakan itu diimpor dari negara Australia, dan diperkirakan proses pembibitan itu akan butuh waktu hingga 11 bulan.

Hutan di Tanah Papua yang diandalkan oleh masyarakat adat sebagai sumber penghidupan. (Yayasan EcoNusa)
Hutan di Tanah Papua yang diandalkan oleh masyarakat adat sebagai sumber penghidupan. (Yayasan EcoNusa)

Ancam Bentang Terakhir Hujan Hutan Tropis Indonesia

Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, perencanaan pengembangan perkebunan tebu skala besar untuk percepatan swasembada gula dan bioetanol di Pulau Papua ini akan mengancam benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia. Pasalnya, 40% hutan primer tersisa di Indonesia berada di Papua.

Data Auriga Nusantara menyebut, kurung waktu 2 dekade (2000-2022) tanah Papua telah kehilangan hutan alam mencapai 688.438 hektar. Pada tahun 2023 lalu, tanah Papua telah kehilangan 55.981 hektare hutan alam, dan Papua Selatan menjadi provinsi yang menyumbang angka deforestasi terbesar di Tanah Papua yang mencapai 12.640 hektar.

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara mengatakan, rencana pemerintah melakukan pengembangan 2 juta hektar lahan tebu pasti akan mengancam keberadaan hutan alam tersisa di Papua, khususnya Papua Selatan. Hingga tahun 2022, katanya, sisa hutan alam di Papua Selatan tinggal 8,5 juta hektar.

Artinya, luasan lahan yang dibutuhkan perkebunan tebu skala besar untuk percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol itu memerlukan lahan hampir separuh dari hutan alam yang tersisa di Papua Selatan.

“Jika pada tahun 2022 telah terjadi deforestasi oleh sawit seluas 116.009 hektar, maka tahun-tahun kedepan kita akan bisa menduga apa penyebab deforestasi di tanah Papua Selatan,” kata Hilman Afif pada 1 Mei lalu.

Hilman bilang, berdasarkan Izin Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) di Papua Selatan, seluas 58.148 hektar telah dialokasikan untuk perkebunan tebu. Pemegang izin tersebut adalah PT Cendrawasih Jaya Mandiri, PT Global Papua Abadi dan PT Karya Bumi Papua. Katanya, lebih dari 40% diantaranya atau seluas 25.654 hektar masih berupa hutan alam.

“25.654 hektare Ini adalah sisa hutan alam yang paling memungkinkan untuk hilang sebab berada di dalam izin PKH,” jelasnya

Menurut Hilman, alih-alih melakukan pengembangan bioetanol sebagai solusi mengurangi bahan bakar fosil yang dianggap kotor, rencana Pemerintah Indonesia ini justru berpotensi menjadi pemicu pelepasan emisi akibat pembabatan hutan alam tersisa.

Ia bilang, rencana pengembangan kebun tebu skala besar untuk percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan menjadi alarm bagi masyarakat sipil dan komunitas lokal untuk melakukan pengawasan ketat dalam melindungi hutan alam Papua sebagai pertahanan terakhir hutan Indonesia.

“Kita tidak ingin hutan Papua menjadi korban dari kebijakan yang ugal-ugalan. Seperti yang telah terjadi di Kalimantan Tengah dalam kegagalan pembangunan food estate yang justru lebih banyak menghadirkan kerusakan bagi lingkungan daripada menciptakan swasembada pangan,” tegasnya

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI) berpikir hal serupa. Katanya, proyek pangan dan energi ini akan menjadi driver deforestasi baru, setelah perkebunan sawit, kebun energi, dan tambang. Ia bilang, ini adalah ancaman serius terhadap hutan alam di Papua yang merupakan benteng terakhir hutan Indonesia.

Data Auriga Nusantara yang dirilis pada akhir Maret 2024 menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia memang kembali meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 257.384 hektar, naik menjadi 230.760 hektar pada tahun 2023. Ironisnya, hampir semua deforestasi di Indonesia itu berada di kawasan hutan negara.

Sementara, 12.612 hektar dari temuan deforestasi 2023 itu berada di dalam 142 kawasan konservasi yang mayoritas berada di Papua. Sedangkan deforestasi di dalam kawasan konsesi mencapai 121.728 hektar. Angka deforestasi di dalam kawasan konsesi ini belum termasuk konsesi perkebunan tebu.

“Proyek pangan dan energi ini deforestasi terencana, dan hutan alam di Papua memang akan disengaja direncanakan untuk dirusak untuk dikonversi menjadi perkebunan, salah satunya perkebunan tebu,” kata Anggi Putra Prayoga, pada 26 April lalu.

Deforestasi terencana ini, kata Anggi, sudah masuk dalam kebijakan Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 yang sebagai salah satu usaha utama Indonesia memenuhi komitmen melawan krisis iklim dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement).

Dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 itu, pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama “pembangunan besar-besaran dengan skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana”. Melalui skema deforestasi terencana, pemerintah mengizinkan pembukaan hutan untuk berbagai kegiatan, seperti perkebunan sawit, hingga PSN perkebunan tebu.

Dalam riset Greenpeace Indonesia berjudul “Main Api dengan Deforestasi” menemukan, dalam rencana operasional FOLU Net Sink 2030, akan ada potensi deforestasi terencana maupun tidak terencana selama 2013-2030 sebesar 4,22 juta hektar. Padahal, deforestasi pada 2013-2019 yang tercatat dalam dokumen yang sama sudah mencapai 4,80 juta hektar atau lebih luas dari Negara Belanda.

Anggi bilang, ada sekitar 1,5 juta hektar hutan alam di Pulau Papua yang masuk dalam deforestasi terencana, dan sangat berisiko melampaui target pemerintah dalam FOLU Net Sink 2030. Artinya, deforestasi terencana yang ada di dalam FOLU Net Sink 2030 akan menjadi bumerang bagi kelangsungan hutan di tanah air, termasuk di Papua.

Alih-alih ketahanan pangan dan pengembangan bioetanol untuk kurangi energi fosil, katanya, rencana perkebunan skala besar di Pulau Papua justru melanggengkan deforestasi dan berubah menjadi penyumbang emisi; memperparah kerusakan hutan yang bernilai konservasi tinggi; keanekaragaman hayati; hingga kelangsungan masyarakat adat dan lokal.

“Ini bertolak belakang dengan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Termasuk akan bertolak belakang dengan komitmen dan target iklim Indonesia yang sudah disepakati,” jelasnya

Menjepit Gudang Biodiversitas Dunia

Sebagai pulau terbesar di Indonesia yang dikaruniai kekayaan alam dan keragaman ekosistem yang sangat luar biasa, Tanah Papua adalah surga bagi keanekaragaman hayati. Jurnal Nature tahun 2020 berhasil mengungkapkan fakta bahwa Tanah Papua memiliki jumlah spesies flora tertinggi di dunia, yaitu 13.634 spesies (68% endemik), mengalahkan Madagaskar yang sebelumnya meraih rekor tertinggi dunia.

Penelitian yang dilakukan oleh 99 peneliti dari 19 negara membuktikan bahwa hutan-hutan di Tanah Papua menaungi ratusan ribu spesies flora dan fauna. Sebagian besar adalah endemik yang tak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk cenderawasih, burung ikonik yang keindahannya terkenal hingga dunia internasional.

Bahkan para peneliti memprediksi, dalam 50 tahun ke depan terdapat 3.000-4.000 tumbuhan jenis baru (spesies baru) di Tanah Papua. Salah satu jenis baru tersebut adalah Dendrobium sagin Saputra & Schuit, seperti yang dipublikasi di Jurnal Phytotaxa pada September 2020 lalu. Jenis baru anggrek tersebut menambah angka kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam buku “Ekologi Papua” yang ditulis oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International pun menemukan, pulau terbesar kedua (setelah Greenland) ini merupakan salah satu gudang flora dan fauna endemik di dunia karena memiliki hutan rimba tropis tua terluas yang di Asia Pasifik.

Namun, fantastisnya luas lahan yang dibutuhkan untuk dikonversi menjadi perkebunan tebu skala besar di Papua Selatan menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati di Tanah Papua sebagai imbas deforestasi besar-besaran. Bahkan, proyek pangan dan energi diprediksi akan mempercepat kepunahan sejumlah satwa endemik yang berstatus “terancam punah”, termasuk burung cendrawasih.

Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengatakan, perkebunan tebu skala besar yang akan dibangun di Papua Selatan ini akan menjadi ancaman baru terhadap keanekaragaman hayati, salah satunya burung cendrawasih yang selama ini menjadi simbol orang asli Papua. Ia bilang, jika burung cendrawasih tergerus, maka identitas orang asli Papua juta ikut tergerus.

Padahal, kata Maikel, semua keanekaragaman hayati di Tanah Papua ini sudah tergerus dengan hadirnya berbagai sektor ekstraktif, seperti perkebunan sawit, kebun energi, tambang, hingga proyek Food Estate yang sebelumnya sudah ada di Papua. Perkebunan tebu skala besar, katanya, akan membawa mimpi buruk dan pasti menggerus semua ekosistem yang ada di Tanah Papua, termasuk Kangguru Papua Selatan, sarang semut (Musamus), hingga daerah gambut.

Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace
Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

“Perkebunan tebu skala besar akan memperburuk kondisi lingkungan, serta menambah deforestasi di Papua Selatan yang saat ini sedang terjadi. Proyek ini hanya akan mengulangi kegagalan pemerintah atas proyek Food Estate yang sudah gagal,” kata Maikel Primus Peuki pada 2 Mei 2024 lalu.

Dini Hardiani Has, Dosen Manajemen Hutan di Universitas Satya Terra Bhinneka berpikir hal serupa. Ia bilang, jika hutan papua eksploitasi dan dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu skala besar pasti akan menghilangkan banyak habitat spesies endemik. Apalagi, lahan yang dibutuhkan untuk proyek pangan dan energi ini dua kali lipat lebih besar dari Provinsi Banten.

Menurut Dini, kehilangan habitat ini bisa menyebabkan penurunan populasi spesies, terutama spesies endemik Papua yang tidak ditemukan di tempat lain. Bahkan, spesies endemik yang menuju ke jurang kepunahan jika rumahnya benar-benar akan rusak. Ia bilang, ini adalah alarm yang buruk bagi hutan hujan tropis terakhir di Indonesia.

Tak hanya itu, kata Dini, dengan adanya pembukaan hutan besar-besaran, akan terjadi  fragmentasi ekosistem. Dimana ketika hutan dibuka untuk perkebunan, ekosistem yang tadinya terhubung menjadi terfragmentasi. Hal ini menyebabkan populasi hewan dan tumbuhan terisolasi, sehingga berpotensi mengurangi keanekaragaman genetik dan menghambat aliran genetik antar-populasi.

“Akibatnya, spesies yang memerlukan habitat luas untuk migrasi dan wilayah jelajah untuk mencari makan dan kawin dapat terpengaruh dan terjadinya kompetisi antar satwa apabila habitatnya menyempit,” kata Dini Hardiani Has pada 2 Mei lalu

Bukan hanya itu, kata Dini, dampak lanjutannya dari dikonversikan hutan menjadi kebun tebu skala besar adalah bisa memicu perburuan satwa liar secara masif, hingga akan terjadi pembalakan liar (illegal logging) karena akses ke hutan sudah terbuka. Kondisi ini juga, katanya, akan memperburuk dampak perubahan iklim.

“Papua merupakan surga bagi keanekaragaman hayati di Indonesia, bahkan dunia. Perkebunan tebu skala besar yang direncanakan pemerintah adalah alarm yang buruk bagi hutan hujan tropis terakhir di Indonesia,” pungkasnha

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.