Bank-Bank Besar di Indonesia Mendanai Kerusakan Hutan

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Laporan Banking on Biodiversity Chaos menemukan sekitar USD 30,5 miliar mengalir untuk mendanai komoditas yang berisiko terhadap hutan, mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis.

TuK Indonesia bersama Koalisi Forests & Finance merilis laporan Banking on Biodiversity Collapse (BOBC), sebuah data komprehensif mengenai peran pendanaan besar dalam mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan tropis.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sejak Perjanjian Paris, bank-bank di Indonesia seperti Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI menjadi bank terbesar di Asia Tenggara yang meresikokan hutan di Indonesia.

Berdasarkan kapitalisasi pasar (Juni 2023) bank-bank ini menyediakan pembiayaan sekitar USD 30,5 miliar (40%) dari total kredit bagi perusahaan kelapa sawit, pulp & kertas, karet dan kayu yang beroperasi di Indonesia.

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengungkapkan bahwa laporan ini menjadi bukti bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (LST atau “ESG”) bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal hingga gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati.

Menurut Lindah, seharusnya bank-bank ini ikut menjalankan penegakkan komitmen Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan yang merisikon hutan, dan meminta perusahaan-perusahaan ini mematuhi komitmen tersebut sebagai syarat pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah non-NDPE mereka.

“Namun, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas belum ada satupun dari lima bank terbesar di Indonesia itu yang mengadopsinya, padahal bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Jepang baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE,” ungkap Linda.

Lindah menambahkan, faktor-faktor kegagalan lainnya diakibatkan karena sektor keuangan Indonesia belum membahas risiko terkait perusahaan bayangan yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup-grup perusahaan produsen terbesar di Indonesia.

Selain itu, kata dia, melemahnya Taksonomi Hijau OJK sebagai regulator yang berubah menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada awal tahun 2024 ini melemahkan pedoman lingkungan hidup di beberapa sektor termasuk energi dan pertambangan.

“Sehingga hal itu memberikan sinyal yang membingungkan bagi pelaku pasar keuangan mengenai di mana mereka harus mengalokasikan modalnya.

Terlebih lagi, TKBI telah menghapuskan kategori ‘merah’ sama sekali untuk sejumlah kegiatan berdampak tinggi – misalnya, pertambangan nikel tanpa ada batas waktu yang jelas mengenai berapa lama kategori transisi ini akan berakhir.

Dalam laporan itu menunjukan, perusahaan-perusahaan penerima kredit diantaranya; Sinar Mas Group (SMG) – pengendali Asia Pulp & Paper dan Golden Agri Resources – teridentifikasi menerima 38% dari kredit yang dikucurkan untuk sektor ini, sedangkan Royal Golden Eagle (RGE) Group menerima US$ 5,8 miliar.

Serupa dengan SMG, pembiayaan kepada RGE sebagian besar ditujukan pada pulp & paper, dan sebagian kecil ditujukan pada minyak sawit. Padahal perusahaan ini memiliki rekam jejak pelanggaran HAM yang berkepanjangan dalam operasional sawitnya.

Bayu Herinata Direktur Walhi Kalteng mengungkapkan, masih ada sekitar 5.000-an orang di Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan hingga saat ini masih menuntut plasma di perkebunan sawit PT. Tapian Nadenggan, anak usaha Sinar Mas Group.

Bayu bilang, perusahaan itu sudah beroperasi sejak dua dekade lalu, tapi sampai hari ini belum merealisasikan salah satu kewajiban, yaitu; membangun kebun untuk masyarakat sekitar atau plasma.

“Untuk menuntut itu, masyarakat telah melakukan aksi-aksi demonstrasi di lapangan sejak tahun 2022, dan sampai hari ini belum mendapatkan kepastian terkait tuntutan yang disampaikan kepada perusahaan,” kata Bayu

Tak hanya itu, kata Bayu, Sinar Mas Group dan Best Agro International Group di Kalimantan Tengah telah melakukan aktivitas perusakan lingkungan seperti deforestasi hutan, beraktivitas pada ekosistem gambut, melakukan pencemaran sungai dan danau.

“Kedua grup besar itu juga telah melakukan pelanggaran HAM termasuk perampasan wilayah, sengketa lahan, intimidasi, kekerasan sampai menyebabkan korban kriminalisasi dan meninggal dunia,” jelasnya

Bayu mendesak agar bank-bank yang memberikan pendanaan dan perusahaan pembeli harus menuntut dan memastikan perusahaan mentaati dan menjalankan komitmen yang telah dibuat dalam kebijakan dan aturan yang berlaku.

Sementara itu, berdasarkan pendokumentasian Pusaka, ada 20 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan perkebunan skala luas di Papua. Salah satunya adalah Korindo Group atau Tunas Sawa Erma Group (berubah nama sejak 2021) yang menguasai lahan 148.652 hektar melalui tujuh perusahaan.

“investasi yang masuk di Papua telah menyebabkan meluasnya alih fungsi kawasan hutan adat menjadi areal usaha komoditi komersial dan beralihnya kontrol penguasaan dan pemilikan tanah dan hutan kepada segelintir pemodal, yang menyingkirkan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.” Kata Franky Samperante, Direktur Pusaka menilai,

Lebih lanjut, Franky menilai bahwa brutalnya akumulasi kapital dalam sektor perkebunan kelapa sawit telah berkontribusi dalam peningkatan laju deforestasi dan bencana ekologi, cuaca ekstrim, kekeringan dan kebakaran lahan, gizi buruk dan kelaparan, serta kekerasan fisik dan mental.

Melalui laporan tersebut, TuK INDONESIA bersama Koalisi Forest & Finance menuntut lembaga keuangan seperti perbankan dan regulator keuangan seperti OJK untuk segera mengambil langkah-langkah dalam menyelaraskan aliran keuangan mereka agar sejalan dengan tujuan kebijakan publik internasional.

Sektor keuangan didesak harus mengadopsi setidaknya 5 prinsip dasar, yang mencakup menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati, menghormati dan memprioritaskan hak-hak Masyarakat Adat dan lokal.

Juga mendorong transisi energi yang berkeadilan, memastikan integritas ekosistem LST, dan menyelaraskan tujuan kelembagaan lintas sektor, isu, dan instrumen.

 


Artikel ini bersumber dari siaran pers dari TUK Indonesia. Baca artikel sumber.

Staf Redaksi Benua Indonesia