Kebijakan Pemerintahan Prabowo Subianto Mengarah ke Bunuh Diri Ekologi

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

“Selama seratus hari, nampaknya kebijakan pembangunan pemerintahan Prabowo Subianto mengarah pada tindakan bunuh diri ekologi,” ujar Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, “Persoalan lingkungan hidup benar-benar ditempatkan di bawah kepentingan ekonomi jangka pendek.”

Bunuh diri ekologi itu, lanjut Firdaus Cahyadi, nampak dari berbagai pernyataan Presiden Prabowo Subianto sendiri dan jajaran menterinya. Dalam pidato pelantikannya, Prabowo Subianto mendeklarasikan arah pembangunannya yang bertumpu pada swasembada pangan, energi yang berskala besar dan melanjutkan hilirisasi mineral kritis,”

“Para pendukung pemerintah menilai bahwa swasembada pangan, energi dan hilirisasi adalah perwujudan dari ideologi nasionalisme. Namun, bila ditelisik secara lebih dalam, ketiga program andalan Prabowo Subianto itu justru mengembalikan Indonesia ke era kolonialisme,” ungkapnya,

Baca juga: Walhi: Presiden Probowo Anti Sains ketika Melihat Sawit

Penyebabnya, jelas Firdaus Cahyadi, ketiga program andalan itu sejatinya untuk melayani pasar internasional dengan mengorbankan hak-hak masyarakat lokal atas lingkungan hidup yang sehat. Apalagi swasembada pangan yang digagas Prabowo Subianto bertumpu pada pertanian skala besar atau lebih sering disebut food estate.

Menurutnya, program food estate ini membutuhkan banyak lahan yang berpotensi mengalihfungsikan hutan alam dan juga meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat lokal. Hal yang sama juga terjadi pada swasembada energi Prabowo Subianto yang berbasiskan biofuel yang juga rakus terhadap lahan sehingga berpotensi merusak lingkungan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.

Kerakusan lahan untuk proyek energi dan juga pangan pemerintahan Prabowo Subianto itu dikonfirmasi oleh pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Ia mengungkapkan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto akan membuka lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektare atau hampir 2 kali lipat Pulau Jawa untuk sumber ketahanan pangan dan energi.

Baca juga: Rencana Ekspansi Sawit Bertentangan dengan Komitmen Penurunan Emisi

“Pernyataan Menteri Kehutanan itu muncul beberapa hari setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tentang perlunya ekspansi sawit, tanpa takut deforestasi,” pungkas Firdaus Cahyadi.

Sementara itu, lanjut Firdaus Cahyadi, hilirisasi mineral kritis (nikel) sudah merusak alam sejak dari hulunya, di pertambangan nikel. Ia bilang, masyarakat di sekitar pertambangan nikel banyak yang mengalami kesulitan memperoleh udara dan air bersih.

Publik, tegas Firdaus Cahyadi, harus menghentikan kebijakan pembangunan yang mengarah ke upaya bunuh diri ekologi ini. Menurutnya, jika publik terus mendiamkan upaya bunuh diri ekologi itu, cepat atau lambat publik sendiri yang akan menjadi korbannya.

“Aksi kolektif publik sangat diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia dari bunuh diri ekologi ini,” pungkasnya.

Staf Redaksi Benua Indonesia