Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang tidak usah takut membuka sawit dan rencana ekstenfikasi sawit tidak terlalu mengejutkan, karena rencana itu sudah terbaca dari kebijakan dan program yang ada saat ini.
Meskipun demikian, pernyataan yang lebih kontroversial datang dari klaim Prabowo bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tidak menyebabkan deforestasi hanya karena tanaman sawit memiliki daun, sebuah pandangan yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang presiden.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun dari WALHI Nasional mengatakan, sebagai pemimpin negara, seharusnya Prabowo berbicara berdasarkan sains, pengetahuan, riset, dan fakta-fakta yang sahih, bukan berdasarkan pernyataan yang tidak berdasar dan bertentangan dengan temuan ilmiah yang telah ada.
“Pernyataan seperti ini berisiko mengaburkan pemahaman masyarakat tentang masalah lingkungan yang sangat kompleks dan mendesak,” kata Uli Arta Siagian melalui rilis yang dikirim ke Mongabay, pada 1 Januari 2025.
Faktanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 mengeluarkan pernyataan tegas yang menyatakan bahwa kelapa sawit bukanlah tanaman hutan, dan ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan telah menimbulkan berbagai masalah ekologis dan hukum.
Dalam rilis tersebut, KLHK merinci praktik perkebunan sawit yang bersifat ekspansif, monokultural, dan sering kali dilaksanakan tanpa prosedur yang benar di dalam kawasan hutan, yang mengarah pada kerusakan lingkungan yang masif.
“Praktik-praktik ini telah menciptakan masalah besar dalam hal hukum, hidrologi, serta dampak sosial yang merugikan masyarakat sekitar,” jelasnya.
Menurut Uli, pernyataan Presiden Prabowo yang membela ekspansi sawit tanpa mempertimbangkan data dan fakta yang disampaikan oleh lembaga pemerintah sendiri sangat jauh dari kebenaran ilmiah dan praktis yang ada.
Baca juga: Tahun 2024: Tata Kelola Sawit Indonesia Masih Karut Marut
“Pernyataan Presiden Prabowo ini tidak didasarkan pada data dan fakta yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sendiri,” jelasnya.
Berdasarkan data terbaru dari KLHK, sekitar 3,2 juta hektar kawasan hutan telah terkonversi menjadi perkebunan sawit ilegal, yang berarti lebih dari 3 juta hektar hutan telah hilang akibat ekspansi sawit dalam skala besar.
Data itu, kata Uli, menegaskan bahwa pernyataan Prabowo yang menganggap bahwa ekspansi sawit tidak berhubungan dengan deforestasi sangat tidak akurat, karena data resmi menunjukkan sebaliknya.
Dengan kata lain, kata Uli, presiden telah mengabaikan informasi yang valid dan bersumber dari lembaga negara sendiri dalam menyampaikan pandangannya kepada publik, yang berpotensi menyesatkan opini publik mengenai dampak lingkungan dari industri kelapa sawit.
Selain menyebabkan deforestasi, kata Uli, ekspansi sawit juga memberikan dampak merugikan yang lebih luas, seperti polusi udara, kerusakan sungai, krisis air bersih, banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan yang sering kali terjadi setiap musim kemarau.
“Semua masalah lingkungan ini berimbas pada kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan memberi beban berat pada ekosistem yang sudah rapuh,” ujarnya.
Bahkan, pada awal Desember 2024, para Special Rapporteurs dan Kelompok Kerja PBB mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia, terkait pelanggaran hak-hak masyarakat Adat, degradasi lingkungan hidup, intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang meluas di industri kelapa sawit.
Surat tersebut juga menyoroti dampak negatif dari operasi raksasa kelapa sawit, termasuk anak-anak perusahaan dari Astra Agro Lestari (AAL) yang beroperasi di Sulawesi. Ini semakin memperpanjang daftar keprihatinan global terkait industri kelapa sawit Indonesia, yang sudah lama mendapat sorotan internasional.
Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang
“Skspansi perkebunan sawit skala besar berpotensi memperburuk berbagai masalah, termasuk memperpanjang rantai konflik agraria yang sudah berlangsung lama,” ujarnya.
Uli menjelaskan, konflik-konflik ini tidak hanya merusak hubungan antara masyarakat dengan perusahaan, tetapi juga menciptakan kerusakan lingkungan yang semakin meluas, termasuk kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi setiap tahun.
Tak hanya itu, katanya, ekspansi ini juga dapat memperburuk bencana ekologis yang semakin sulit diatasi, serta mendorong terjadinya korupsi di sektor perkebunan sawit yang selama ini sudah banyak melibatkan aktor-aktor negara yang memiliki kepentingan dalam industri ini.
Apalagi dalam pernyataannya, Prabowo meminta polisi dan tentara menjaga perkebunan sawit. Menurutnya, pernyataan ini berbahaya sekali, karena presiden menginstruksikan secara terbuka di publik, bahwa polisi dan tentara harus menjaga sawit.
Disisi lain, katanya, fakta yang ada menunjukkan bahwa aparat kepolisian dan tentara cenderung berpihak pada perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam sengketa agraria dengan masyarakat lokal.
Dalam banyak kasus, aparat keamanan sering kali terlibat dalam intimidasi, kekerasan, dan bahkan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menuntut hak mereka atas tanah yang digusur atau dirampas oleh perusahaan-perusahaan sawit.
Menurutnya, jika instruksi Prabowo untuk melibatkan polisi dan tentara dalam pengamanan perkebunan sawit dilaksanakan, berpotensi melegitimasi pendekatan kekerasan yang sudah sering terjadi di lapangan.
Ia tegaskan, bahwa instruksi tersebut dapat memperburuk situasi, karena akan memberi sinyal bahwa pendekatan keamanan adalah solusi dalam menghadapi masalah agraria dan konflik sosial yang melibatkan perusahaan sawit.
“Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita menganggap bahwa instruksi ini akan melegitimasi pendekatan keamanan dalam pelaksanaan operasi produksi perusahaan sawit yang akan semakin menambah jumlah kasus intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat,” tegas Uli
Leave a Reply
View Comments