Eksploitasi Nikel Diduga Jadi Penyebab Bencana Ekologis di Desa Labota

Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.
Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.

Pada 29 Desember 2024, banjir kembali melanda Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, yang terletak sangat dekat dengan kawasan industri nikel Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Curah hujan deras di sekitar kawasan industri nikel ini menyebabkan banjir parah yang bercampur dengan lumpur dari hulu, yang diduga akibat eksploitasi tambang nikel di sepanjang pegunungan.

Menurut Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sulawesi Tengah, Sebanyak 200 jiwa terdampak langsung dan terpaksa mengungsi ke rumah kerabat.

Selain itu, lima unit kos-kosan dilaporkan terendam, dengan satu unit mengalami kerusakan ringan hingga saat ini, air masih menggenang di beberapa titik desa.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai, banjir yang berulang ini diduga akibat dari eksploitasi tambang nikel yang berada di sepanjang pegunungan.

Walhi Sulteng mencatat, terdapat 53 izin IUP Operasi Produksi dengan total luas 118.139 hektar di Kabupaten Morowali, hampir seluruhnya berada di sepanjang lanskap pegunungan.

Diketahui bahwa pemilik konsesi yang paling besar adalah PT Bintang Delapan Mineral (BDM) dengan luasan 20.765.000 hektar.

Baca juga: Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali

Wandi, Kampanye WALHI Sulteng, menilai bahwa bencana ekologis di Desa Labota ini menjadi peringatan penting terkait ketidakseimbangan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Ambisi eksploitasi sumber daya alam telah menyebabkan hilangnya pepohonan dan pembukaan tambang yang meluas, mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan.

“Hal ini mempercepat aliran air yang membawa material tanah ke daerah yang lebih rendah,” kata Wandi melalui siaran pers.

Peningkatan aktivitas tambang nikel di Morowali merupakan bagian dari program hilirisasi nikel yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat.

“Sebagian besar tambang yang beroperasi di wilayah ini memasok ore nikel untuk kawasan IMIP,” jelasnya.

Menurutnya, jika pemerintah hanya melihat aktivitas pertambangan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi semata, bencana ekologis di masa depan akan semakin parah dan dampaknya semakin meluas.

“Masyarakat setempat akan terus menjadi korban dari dampak eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali,” ungkapnya.

Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar

Diketahui, IMIP adalah kawasan industri yang memiliki luas 4,000 hektar di Desa Fatuvia dan Labota, Kecamatan Bahodopi.

Di wilayah ini, setidaknya ada 52 tenant yang saling terintegrasi untuk memproduksi empat klaster nikel: Stainless Steel, Nickel Pig Iron (NPI), Carbon Steel, dan MHP untuk komponen baterai.

Sejak beroperasi hampir 10 tahun lalu, IMIP telah memberikan dampak signifikan bagi masyarakat, namun perusahaan tampaknya telah mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan.

Walhi Sulteng mendesak Kementerian KLHK dan ESDM, untuk segera memberlakukan moratorium dan melakukan evaluasi terhadap seluruh aktivitas pertambangan di wilayah pegunungan Morowali.

“UU No. 32 Tahun 2009 dengan jelas mengamanatkan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan,” ujarnya

Jika terbukti perusahaan melanggar aturan lingkungan, katanya, maka sanksi serius harus dijatuhkan untuk memberikan efek jera dan memperbaiki tata kelola pertambangan.

“Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2021, pelanggaran dapat dikenakan pidana, denda, pencabutan izin, serta sanksi administrasi,” pungkasnya.

Staf Redaksi Benua Indonesia