- Sejak akhir 2024 hingga April 2025, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda para pekerja di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Data SBIPE mencatat sebanyak 81 buruh telah kehilangan pekerjaan secara bertahap dalam rentang waktu Desember 2024 hingga April 2025.
- Lebih dari sekadar PHK, para buruh juga menghadapi kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Mereka sering dipaksa bekerja lembur tanpa kontrak kerja yang jelas dan tidak menerima kompensasi lembur sesuai ketentuan.
- Menurut SBIPE, kondisi ini mencerminkan praktik perbudakan modern, di mana pekerja dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi dan hak-haknya diabaikan. Menurut Anti-Slavery International, perbudakan modern meliputi kerja paksa, eksploitasi upah, dan kondisi kerja yang berbahaya.
- Dengan demikian, dampak dari pemutusan hubungan kerja ini tidak hanya dirasakan oleh para buruh sebagai individu, tetapi juga menyentuh ribuan anggota keluarga yang kehidupan sehari-harinya turut terdampak. Ini adalah krisis yang menjalar ke dalam struktur sosial yang lebih luas, bukan sekadar persoalan tenaga kerja semata.
Hilirisasi nikel, yang diharapkan menjadi tonggak kemajuan industri nasional, ternyata menyimpan sisi gelap berupa pelanggaran hak-hak buruh. Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), sebagai salah satu pusat hilirisasi strategis, kini menjadi saksi bisu praktik eksploitasi tenaga kerja yang menyerupai perbudakan modern.
Sejak akhir 2024 hingga April 2025, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda para pekerja di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Data Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) mencatat sebanyak 81 buruh telah kehilangan pekerjaan secara bertahap dalam rentang waktu Desember 2024 hingga April 2025.
Ironisnya, pemutusan hubungan kerja ini dilakukan secara sepihak oleh perusahaan tanpa melalui proses musyawarah atau perundingan dengan para pekerja maupun perwakilan serikat buruh. Alasan efisiensi yang dikemukakan tidak disertai bukti objektif dan dilakukan tanpa dialog, sehingga tindakan tersebut cacat secara hukum maupun moral.
Lebih dari sekadar PHK, para buruh juga menghadapi kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Mereka sering dipaksa bekerja lembur tanpa kontrak kerja yang jelas dan tidak menerima kompensasi lembur sesuai ketentuan. Sistem kerja shift selama 12 jam per hari, lima hari dalam seminggu, melampaui batas maksimal 40 jam kerja per minggu yang diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021.
Menurut SBIPE, kondisi ini mencerminkan praktik perbudakan modern, di mana pekerja dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi dan hak-haknya diabaikan. Menurut Anti-Slavery International, perbudakan modern meliputi kerja paksa, eksploitasi upah, dan kondisi kerja yang berbahaya.
Sayangnya, pemerintah terkesan abai terhadap penderitaan para buruh. Tidak ada intervensi signifikan untuk menghentikan praktik ini. Pembiaran pelanggaran hak-hak buruh di KIBA menggambarkan bagaimana perbudakan modern masih dibiarkan hidup dan berkembang di balik jargon industrialisasi dan pembangunan.
Baca juga: Nyawa Buruh kembali Melayang di Kawasan Industri IMIP
Siapa sangka, pada bulan April lalu, PT. Huadi Nickel Alloy mengakhiri hubungan kerja sekitar 81 buruh di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) melalui pemutusan hubungan kerja dengan dalih efisiensi. Kini, sekitar 950 buruh di PT. Huadi Tahap Satu Ya Ta dan PT. Huadi Tahap Dua Wuzhou terancam kehilangan pekerjaan.
“Informasi ini terungkap melalui pertemuan yang digelar oleh manajemen PT Huadi Nickel Alloy Indonesia pada 25 Juni 2025. Pertemuan tersebut melibatkan seluruh leader Tahap 1 dan Tahap 2, bertempat di ruang pertemuan Pos 1, dan membahas rencana perusahaan untuk merumahkan sejumlah karyawan,” kata Junaid Judda, Ketua SBIPE KIBA.
Pihak yang hadir dalam pertemuan tersebut merupakan perwakilan perusahaan mulai dari Manager HRD PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia oleh Andi Adrianti Latippa, Human Resources Tahap 1 (PT. Yatai 1 dan PT. Yatai 2) atas nama Sunardilla Human Resources Tahap 2 atas nama Rey (PT. Wuzhou) serta HR Tahap awal atas nama Kalla.
Junaid bilang, tidak ada bukti kesejahteraan yang nyata. Warga di sekitar KIBA justru harus menanggung polusi yang ditimbulkan oleh perusahaan. Kini, para buruh pun merasakan dampaknya melalui hilangnya mata pencaharian. Artinya, warga telah ‘dibunuh’ dua kali oleh perusahaan—pertama lewat pencemaran lingkungan, dan kedua lewat pemutusan hubungan kerja
Lebih lanjut, berdasarkan informasi yang dihimpun, sekitar 950 buruh terdampak berasal dari dua perusahaan yang beroperasi di kawasan KIBA di bawah naungan PT Huadi Nickel Alloy. Kedua perusahaan tersebut adalah PT Wuzhou, yang telah merumahkan sekitar 350 buruh sejak 1 Juli 2025, dan PT Yatai, yang direncanakan akan merumahkan sekitar 600 buruh dalam waktu dekat.
“Fakta ini memunculkan pertanyaan besar terkait skema dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan KIBA. Janji-janji manis yang dulu digaungkan kini berubah menjadi kenyataan pahit bagi para pekerja,” Jelasnya.
Baca juga: Kebun Sawit Rasa Kolonial: Buruh Masih Terus Terpinggirkan
Pada tanggal 1 Juli 2025, sebanyak 350 buruh telah diberhentikan (PHK) oleh PT Wuzhou. Sementara itu, PT Yatai — atau dalam hal ini, PT Huadi Nickel Alloy Tahap Satu Ya Tai — dikabarkan akan melakukan PHK terhadap sekitar 600 buruh. Namun, proses PHK ini masih menunggu hingga persediaan material ore nikel habis.
Jika benar PHK terselubung dilakukan oleh PT Huadi Tahap Satu Ya Tai, kata dia, maka total jumlah buruh yang terdampak PHK dapat melebihi 1.000 orang. Jenis PHK yang terjadi bervariasi, mulai dari PHK karena efisiensi, PHK atas permintaan sendiri (risagh), PHK mendesak, hingga yang paling banyak jumlahnya: PHK terselubung melalui skema dirumahkan atau “break”.
Angka 950 buruh yang terdampak tentu berpotensi terus membengkak, menciptakan gelombang korban baru baik secara sosial maupun ekonomi. Jika dihitung secara kasar, katanya, jumlah ini akan meningkat tajam apabila memperhitungkan tanggungan dari masing-masing buruh—mulai dari anak-anak, pasangan (suami atau istri), hingga orang tua yang bergantung pada penghasilan mereka.
Dengan demikian, dampak dari pemutusan hubungan kerja ini tidak hanya dirasakan oleh para buruh sebagai individu, tetapi juga menyentuh ribuan anggota keluarga yang kehidupan sehari-harinya turut terdampak. Ini adalah krisis yang menjalar ke dalam struktur sosial yang lebih luas, bukan sekadar persoalan tenaga kerja semata.
Menurutnya, keputusan perusahaan untuk merumahkan buruh tanpa dasar hukum yang jelas serta tanpa melibatkan partisipasi penuh dari para buruh dan serikat pekerja merupakan bentuk nyata pengingkaran terhadap prinsip-prinsip hubungan industrial yang adil dan berkeadilan.
“Kami menyerukan kepada seluruh buruh di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia untuk tidak tinggal diam. Ketika hak-hak pekerja dilanggar secara terang-terangan, maka sikap diam bukanlah pilihan. Perlawanan kolektif adalah keniscayaan demi mempertahankan martabat dan hak-hak dasar sebagai pekerja,” tegasnya.
Baca juga: Terbukti Tak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi Gugat Balik GNI
“Belum lagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan perusahaan, yang setiap hari harus berhadapan dengan polusi udara, pencemaran lingkungan, serta degradasi kualitas hidup akibat aktivitas industri. Ini menambah lapisan persoalan yang tak bisa dipandang secara parsial,” sambungnya.
Ia bilang, dampak dari krisis ini bukan hanya tentang hilangnya pekerjaan semata. Ada siklus kehidupan yang saling bertaut: ketika seorang buruh kehilangan pekerjaannya, maka terganggu pula kesejahteraan keluarga, stabilitas sosial, hingga lingkungan tempat tinggal yang ikut terpapar dampaknya. Dengan kata lain, kerugian yang ditimbulkan bersifat menyeluruh dan sistemik.
“Apakah ada pilihan lain selain bertahan? Jawabannya jelas: tidak. Kenyataan pahit ini terungkap dalam proses Perundingan Bipartit, di mana kondisi buruh di KIBA digambarkan sangat memprihatinkan. Para buruh tidak mendapatkan upah yang layak, tidak memiliki jaminan sosial, sering bekerja di luar jam kerja standar, dan tidak menerima upah lembur,” ucapnya.
Situasi ini menjadi gambaran nyata dari bentuk kekerasan struktural yang dialami buruh setiap hari—sebuah kenyataan yang tidak boleh diabaikan dan harus segera diatasi. SBIPE memberikan tanggapan keras atas pertemuan yang berlangsung pada 25 Juni, yang dinilai jauh dari keberpihakan terhadap kepentingan buruh.
“Pertemuan tersebut tidak mencerminkan itikad baik dan mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan buruh yang diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan,” tegasnya.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh SB-IPE pada tanggal 25 Juni 2025, terdapat enam catatan kritis terkait pertemuan tersebut.
Catatan pertama menyatakan bahwa pertemuan tersebut tidak representatif. Pertemuan ini tidak dapat dianggap sebagai forum resmi yang mewakili suara buruh secara menyeluruh. Para pemimpin dari Tahap 1 dan Tahap 2 bukanlah perwakilan sah dari seluruh karyawan, apalagi dari serikat buruh.
“Tidak ada mandat maupun proses musyawarah yang melibatkan buruh untuk menentukan siapa yang berwenang mewakili mereka dalam pengambilan keputusan penting seperti ini,” katanya.
Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera
Catatan kedua, skema pengupahan yang ditawarkan tidak memiliki dasar hukum. Skema pembayaran sebesar Rp1.000.000 per bulan bagi karyawan yang dirumahkan tidak jelas landasan hukumnya dan bertentangan dengan ketentuan pemberian hak ganti rugi kepada pekerja. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak normatif buruh yang harus dilindungi.
Catatan ketiga, tidak ada kepastian mengenai jangka waktu buruh yang dirumahkan. Ketidakjelasan durasi status dirumahkan ini menciptakan ketidakpastian yang sangat merugikan para pekerja. Kondisi ini berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dan tekanan psikologis yang berat bagi buruh dan keluarga mereka.
Catatan keempat, pertemuan tersebut minim partisipasi dan tidak transparan. Para leader tidak diberikan ruang yang memadai untuk menyampaikan pendapat, pertimbangan hukum, ataupun keberatan selama pertemuan berlangsung. Proses ini sama sekali tidak partisipatif dan cenderung berjalan secara sepihak.
Catatan kelima, kesepakatan yang dihasilkan tidak sah secara perwakilan. Apabila ada kesepakatan yang diambil dalam pertemuan tersebut, hal itu tidak dapat dijadikan dasar hukum atau kebijakan yang sah. Pasalnya, kesepakatan tersebut tidak melalui proses musyawarah dengan pekerja maupun serikat buruh yang merupakan entitas yang diakui secara hukum dalam hubungan industrial.
Catatan keenam, penggunaan istilah “break” atau “off” sebagai upaya menghindari kewajiban hukum. Penggunaan istilah-istilah tersebut oleh perusahaan menjadi indikasi kuat adanya upaya untuk mengelak dari tanggung jawab hukum terkait status hubungan kerja dan hak normatif buruh. Ini merupakan manipulasi bahasa yang sengaja dilakukan untuk melemahkan posisi pekerja dalam struktur ketenagakerjaan.
Berdasarkan uraian di atas, SB-IPE menegaskan bahwa setiap kebijakan yang berdampak pada status kerja buruh harus mengedepankan prinsip keadilan, keterbukaan, serta mematuhi ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Kami menolak segala bentuk kebijakan sepihak yang merugikan pekerja dan tidak melibatkan proses dialog sosial yang sah dan demokratis.
Menerutnya, perusahaan berusaha menghindari tanggung jawab dengan istilah-istilah seperti ‘dirumahkan’, ‘break’, atau ‘off’. Tidak ada istilah-istilah tersebut dalam perselisihan hak yang diakui secara hukum. Ini hanyalah strategi perusahaan untuk lepas dari kewajiban saat terjadi PHK.
“Lebih jauh lagi, perusahaan telah melakukan pelanggaran serius terhadap hak-hak buruh yang selama ini dirampas oleh pengusaha selama buruh bekerja di Kawasan Industri Bantaeng,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments