Nyawa Buruh kembali Melayang di Kawasan Industri IMIP

Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.
Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.
  • Kematian pekerja di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terus saja terjadi. Kali ini, Yanser, operator dump truck di perusahaan Zhongxing Telecommunication Equipment Company Limited (ZTE) yang berada di kawasan IMIP, meninggal dunia saat mencuci unit kerjanya di area kolam perusahaan, Kamis (15/5). 
  • Rhoesmanto, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) IMIP mengatakan, korban tewas setelah tersengat listrik dari kabel terkelupas di area kerja yang tergenang air hujan. Peristiwa itu makin mempertegas lemahnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang diterapkan pihak perusahaan. 
  • Sejak awal 2023 hingga Mei 2025, tercatat 43 buruh meninggal dunia di kawasan IMIP karena berbagai insiden. Mulai dari ledakan tungku, kecelakaan listrik, kebakaran, kelelahan ekstrem, tailing jebol, hingga tekanan untuk mengejar target produksi yang tidak manusiawi. IMIP bukan hanya simbol pertumbuhan industri, tetapi juga ladang kematian bagi buruh. 
  • PT IMIP adalah potret ambisi hilirisasi nikel yang sarat ironi. Di tengah banyak kritik atas kerusakan lingkungan dan rangkaian kecelakaan kerja, IMIP dan  19 tenan perusahaan di dalamnya justru mendapat ‘proper biru’ dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Menurut Wandy, Manager Kampanye Walhi Sulteng. predikat ‘proper biru’ itu bertolak belakang dengan berbagai kerusakan lingkungan akibat kehadiran IMIP dan perusahaan di dalamnya. 

Kabar duka kembali menyelimuti dunia buruh di kawasan industri. Seorang buruh bernama Yanser, operator dump truck ORE nikel di perusahaan Zhongxing Telecommunication Equipment Company Limited (ZTE) yang beroperasi di Kawasan Industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, meninggal dunia saat hendak mencuci unit kerjanya di area kolam perusahaan, pada pada 15 Mei 2025.

Menurut keterangan Rhoesmanto, Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) IMIP Morowali, kematian Yanser diduga kuat disebabkan oleh sengatan listrik dari kabel terkelupas di area kerja yang tergenang air hujan. Ia menegaskan bahwa kejadian ini kembali menunjukkan kelalaian dan abainya perusahaan dalam menjamin keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi seluruh buruh.

“Sistem K3 seharusnya mampu melindungi setiap pekerja. Namun kenyataannya, sistem ini kembali gagal. Perusahaan tidak belajar dari kematian demi kematian yang terus berulang,” tegas Rhoesmanto.

ZTE merupakan salah satu dari puluhan perusahaan yang beroperasi di kawasan industri IMIP. Menurut Ali Akbar, Kepala Departemen Pendidikan dan Propaganda SBIPE IMIP, persoalan di kawasan ini bukan hanya soal tingginya produksi stainless steel, NPI, karbon steel, dan bahan baku kendaraan listrik, melainkan juga menyangkut nyawa buruh yang terus dipertaruhkan demi target produksi.

SBIPE mencatat, sejak awal 2023 hingga Mei 2025, sedikitnya 43 buruh telah meninggal dunia di kawasan IMIP akibat berbagai insiden kerja, seperti ledakan tungku, kecelakaan listrik, kebakaran, kelelahan ekstrim, hingga tekanan target produksi yang tidak manusiawi.

“Kawasan IMIP bukan hanya simbol pertumbuhan industri, tetapi juga ladang kematian bagi buruh,” tegasnya.

SBIPE-IMIP Morowali menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga almarhum Yanser, seraya mengecam keras kelalaian perusahaan ZTE dan pengelola kawasan IMIP yang terus gagal menjamin keselamatan pekerja.

SBIPE menuntut langkah-langkah tegas dan segera, untuk melakukan penghentian sementara seluruh operasional ZTE untuk melaksanakan investigasi menyeluruh dan independen. Mereka juga meminta ada pemberian kompensasi penuh dan transparan bagi keluarga korban.

Selain itu, SBIPE juga mendesak harus ada evaluasi total terhadap sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di seluruh tenant kawasan IMIP, serta dengan melibatkan secara aktif serikat buruh dalam pengawasan ketenagakerjaan di semua level. Negara juga diminta Negara Harus bertanggung jawab dan menindak secara tegas pengelola Kawasan.

Baca juga: Mengapa Kecelakaan Kerja Terus Terjadi di Kawasan Industri IMIP?

“Setiap kematian buruh adalah kegagalan sistemik. Gagalnya perusahaan, gagalnya negara, dan gagalnya semua pihak yang memilih diam. Yanser bukan angka. Ia adalah manusia, punya keluarga, punya mimpi, dan hak untuk hidup dengan selamat dan bermartabat,” tegas Ali Akbar.

SBIPE-IMIP Morowali juga menyerukan kepada seluruh buruh, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil, serta media massa untuk tidak tunduk dan diam. “Saatnya bangkit, bersuara, dan melawan segala bentuk ketidakadilan yang dipelihara oleh pengusaha yang zalim,” pungkasnya.

Yayasan Tanah Merdeka (YTM) turut angkat suara atas meninggalnya Yanser, operator dump truck ore nikel di ZTE, yang tewas akibat tersengat listrik saat mencuci unit kerjanya di area tergenang air. YTM meminta, PT IMIP harus  bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terus terjadi di kawasan industri tersebut.

Sepanjang tahun 2025, YTM mencatat terjadi 8 kasus kecelakaan kerja yang berdampak pada keselamatan dan kesehatan kerja (K3), dengan total 7 pekerja meninggal dunia. 7 orang yang meninggal dunia itu termasuk Yanser, seorang operator dump truck, yang kehilangan nyawanya akibat tersengat listrik pada 15 Mei 2025 kemarin.

Rentetan kecelakaan kerja yang terus berulang di dalam kawasan IMIP menjadikan industri nikel ini, seperti medan maut bagi pekerja yang bertaruh nasib disana. Sirine ambulance hampir setiap hari berbunyi mengangkut pekerja yang celaka akibat kerja. nyawa seolah tak ada nilainya di mata manajemen IMIP.

Serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil selalu mengecam setiap insiden yang terjadi di IMIP agar ada tindakan perbaikan. Akan tetapi hal itu seperti diabaikan oleh pemerintah terkait. Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah, Kementerian ketenagakerjaan serta Kementerian Perindustrian seperti tidak bekerja untuk melakukan pengawasan dan memberikan sanksi.

Mohammad Azis, Kepala Divisi Kampanye Yayasan Tanah Merdeka sangat menyayangkan apa yang terjadi di IMIP. Korban-korban terus berjatuhan begitu gampang. Sementara perbaikan sistem manajemen K3 (SMK3) tidak dibenahi secara serius oleh manajemen PT IMIP beserta tenant-tenantnya.

“Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga tak punya langkah serius. Seharusnya pemerintah memerintahkan perusahaan agar menghentikan produksi sementara ketika kecelakaan terjadi,” kata Mohammad Azis melalui rilis yang diterima Mongabay.

Alih-alih memperbaiki SMK3, kata dia, yang terjadi justru pemerintah sekadar menggembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Morowali dari sukses hilirisasi nikel, yang, sebenarnya berdiri di atas mayat-mayat para pekerja.

Ia bilang, YTM mencatat pada tahun 2024 terdapat 81 pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja di kawasan-kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah. Dari 81 korban, 14 pekerja di antaranya meninggal dunia, 25 luka-luka, 40 mengalami keracunan, dan 2 pekerja lainnya pingsan.

“Semua kasus kecelakaan kerja tersebut tak pernah ditangani secara sungguh-sungguh. Perusahaan dibiarkan berproduksi terus-menerus tanpa jeda untuk evaluasi,” pungkasnya.

Para pekerja kembali berangsur normal pascakecelakaan kerja jam 06.15 WITA di pabrik ferrosilikon PT ITSS yang berada di kawasan IMIP. Foto: Humas IMIP
Para pekerja kembali berangsur normal pascakecelakaan kerja jam 06.15 WITA di pabrik ferrosilikon PT ITSS yang berada di kawasan IMIP. Foto: Humas IMIP

K3 hanya Omon-omon

Senada, Wandi, Manager Kampanye Walhi Sulteng mengatakan bahwa kecelakaan kerja yang terus terjadi di IMIP ini adalah bukti nyata tidak ada perbaikan dalam sistem manajemen K3 yang menjadi kewajiban perusahaan. Menurutnya, kecelakaan kerja yang terus terjadi seperti hanya angin lalu saja, peristiwa itu tak penting bagi IMIP.

Wandi mengungkapkan, Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah pada Tahun 2022 pernah mengklaim bahwa telah melakukan perbaikan sistem manajemen K3 di IMIP. Ironisnya, kecelakaan kerja masih saja terus terjadi di IMIP hingga saat ini. Menurutnya, apa yang diklaim Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah sangat omong kosong karena tidak sesuai dengan kenyataan.

“Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan ini masih, diikuti dengan kecelakaan kerja sangat masif,” kata Wandi kepada Mongabay, pada 16 Mei 2025.

Ia bilang, ketika Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah dan IMIP benar-benar serius melakukan perbaikan K3, pasti tidak ada lagi peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi. Namun, apa yang dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah dan IMIP sangat jauh panggang dari api. Pasalnya, kecelakaan kerja masih saja terus terjadi hingga saat ini.

Adapun sifat acuh tak acuhnya Pemerintah Pemerintah Sulawesi Tengah, dan IMIP ini didukung oleh oleh lemahnya regulasi K3. UU No. 1 Tahun 1970 dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja, terutama terkait sanksi bagi pengusaha yang melanggar K3. Sanksi yang ada hanya berupa pidana maksimum 3 bulan atau denda tertinggi Rp 100.000. Sudah 54 tahun UU 1970 ini berlaku, tapi tak pernah direvisi.

Menurut Wandi, regulasi K3. UU No. 1 Tahun 1970 ini perlu direvisi untuk memberikan sanksi kepada perusahaan secara serius ketika tidak menerapkan K3 dengan baik. Ia bilang, lemahnya regulasi K3. UU No. 1 Tahun 1970 membuat perusahaan sangat abai dalam menerapkan sistem manajemen K3 yang baik, dan membuat banyak pekerjaan kehilangannya nyawa.

“Regulasi K3. UU No. 1 Tahun 1970 ini sangat tidak seimbang dengan apa yang dikorbankan oleh para pekerja. Bahkan, banyak para pekerja kehilangan nyawa, tetapi regulasinya sangat tidak kuat untuk melindungi mereka. Nyawa ini tidak sebanding dengan investasi, sehingga regulasi ini perlu direvisi,” jelas Wandi.

Selain itu, Wandi juga mendesak Pemerintah Sulawesi Tengah harus tegas untuk melakukan evaluasi K3 secara menyeluruh, termasuk melakukan peninjauan kembali upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah. Menurutnya, perbaikan K3 yang diklaim Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah hanya hanya omon-omon, tidak ada realisasi di lapangan.

Ia juga mendorong ada pelibatan serikat buruh dalam melakukan evaluasi K3 secara menyeluruh agar transparansi dan akuntabilitas bisa diketahui oleh publik. Hal itu juga dapat membuat klaim perusahaan yang selama ini menyatakan telah menerapkan K3 dengan baik, bisa diverifikasi secara langsung oleh buruh untuk membuktikan kenyataan yang sebenarnya.

Lebih lanjut, Wandi menegaskan, kecelakaan kerja yang terus berulang  di kawasan industri IMIP menunjukkan perlunya tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah. Keduanya, kata dia, memiliki kewenangan untuk mengawasi sistem keselamatan kerja di wilayah industri nikel. Ia bilang, sudah saatnya memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan K3 dengan baik ke seluruh pekerja.

Baca juga: Kebun Sawit Rasa Kolonial: Buruh Masih Terus Terpinggirkan

Ia mengingatkan kepada pemerintah, bahwa produksi nikel, yang saat ini menjadi mineral andalan untuk teknologi rendah karbon dalam mengatasi perubahan iklim, seharusnya tidak mengorbankan buruh dan lingkungan. Menurutnya, harusnya buruh yang bekerja di sektor nikel menjadi kelompok yang diuntungkan dengan peralihan teknologi rendah karbon.

Negara, kata dia, seharusnya mengambil sikap tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar, dengan memberikan sanksi yang dapat mencakup penghentian kegiatan hingga pencabutan izin operasi. Jika tidak, katanya, akan menguatkan keyakinan bahwa negara tampaknya kehilangan kedaulatan atas sumber daya alamnya, lebih tunduk pada kepentingan investasi.

“Di lapangan, buruh terus alami kecelakaan kerja berulang di kawasan industri nikel yang menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan jaminan dan keamanan yang layak,” ungkapnya.

Namun, kata Wandi, dengan berbagai fakta-fakta yang memilukan itu, Kementerian Lingkungan Hidup justru memberikan penghargaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (proper) biru kepada PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan 19 perusahaan tenant yang beroperasi di kawasan industri itu.

Padahal, kata wand, 20 perusahaan penyandang proper biru itu justru punya catatan buruk tentang eksploitasi lingkungan di Morowali, termasuk tidak menerapkan dengan baik sistem manajemen K3 yang memicu banyak korban jiwa meninggal dunia.

Diketahui, penyerahan penghargaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) periode 2023-2024 ini diberikan kepada 67 perusahaan di Sulawesi Tengah pada akhir bulan April 2025 lalu. Sebanyak 20 perusahaan, termasuk PT IMIP, yang beroperasi di kawasan industri nikel mendapatkan kriteria proper biru.

Penghargaan proper biru itu diberikan berdasarkan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia No 129 Tahun 2025. Penghargaan menunjukkan perusahaan telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Adapun penilaian tersebut adalah tata kelola air, kerusakan lahan, pengendalian pencemaran laut, pengelolaan limbah B3, pengendalian pencemaran udara, pengendalian pencemaran air, implementasi AMDAL. Namun, menurut Wandi, penghargaan tersebut bentuk Greenwashing untuk membiarkan perusahaan di IMIP agar terus melakukan eksploitasi yang dapat merusakan lingkungan.

Artinya, kata Wandi, pemerintah sangat acuh tak acuh dengan apa yang dilakukan IMIP berserta 19 perusahaan lainnya yang berada di wilayah industrinya yang telah merusak lingkungan sekitar, serta tidak menerapkan sistem manajemen K3 dengan baik hingga memicu korban jiwa. Padahal, kata dia, sangat banyak laporan media dan riset yang menyebut semua perusahaan di IMIP sangat ahli merusak lingkungan.

“Penghargaan yang diberikan ini seperti cara pemerintah untuk membiarkan IMIP dan 19 perusahaan yang ada di dalamnya untuk terus mengeksploitasi nikel tanpa harus memperhatikan masalah lingkungan,” jelasnya.

Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP
Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP

Ketenagakerjaan yang tidak Manusiawi

Kasus kecelakaan kerja yang berulang di IMIP berasal dari sistem ketenagakerjaan yang dianggap tidak manusiawi. Masalah ini timbul dari berbagai faktor, seperti proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh, serta sistem kerja dengan beban tinggi yang memaksa buruh untuk bekerja lembur agar dapat memperoleh upah yang layak.

Riset Rasamala Hijau Indonesia (RHI) dan Trend Asia dengan judul “Sengkarut Perburuhan Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)”yang terbit pada September 2024 ini menggambarkan bagaimana ketidakpastian dan ketidakadilan dalam hubungan kerja di IMIP berakar dari sistem ketenagakerjaan yang inkonsisten tersebut.

Di wilayah industri ini, IMIP berfungsi sebagai penyalur tenaga kerja untuk sekitar 40 perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut. Saat ini, terdapat sekitar 91.581 buruh yang bekerja di IMIP, dengan 72.815 buruh terdaftar dalam payroll perusahaan tenant IMIP, dan 18.766 orang bekerja untuk buruh kontraktor lokal.

Dalam riset itu, IMIP ternyata menerapkan sistem manajemen terpadu, di mana semua kantor Human Resource Development (HRD) dari perusahaan-perusahaan tenant digabungkan dalam satu gedung General Affair (GA) yang jadi pusat kebijakan dan implementasi ketenagakerjaan di tingkat kawasan.

Proses perekrutan, penempatan, hingga pemindahan buruh antar perusahaan dilakukan secara terintegrasi di Gedung GA. Dengan demikian, IMIP memiliki kontrol lebih besar atas manajemen tenaga kerja di seluruh kawasan industri, yang dapat membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang.

Riset ini mengungkapkan bahwa fleksibilitas mutasi buruh yang diterapkan oleh IMIP justru merugikan pekerja. Praktik mutasi yang dilakukan secara sporadis tanpa dokumentasi resmi atau persetujuan pekerja menambah ketidakpastian dan ketidakadilan dalam hubungan kerja. Praktik mutasi ini membuat hubungan kerja menjadi kabur dan tidak jelas.

Hal itu diperburuk oleh ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disepakati pada akhir tahun 2023. Dalam Pasal 5, Poin 10, tentang Hak Perusahaan, dinyatakan bahwa perusahaan berhak memindahkan karyawan antar jabatan dan jenis pekerjaan, memperkuat posisi IMIP dalam mengatur buruh sesuai kepentingan mereka.

Baca juga: Kecelakaan Kerja Terjadi Lagi, Nyawa Seperti Tak Ternilai di IMIP

Riset itu juga menemukan, IMIP sengaja mengaburkan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan dengan cara mutasi. Pasalnya, banyak buruh yang terikat kontrak dengan satu perusahaan, namun ditempatkan di perusahaan lain.

Di samping itu, terdapat juga praktik penempatan sementara, di mana buruh dipindahkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk jangka waktu singkat, biasanya tiga hingga enam bulan. Buruh dalam unit kerja ini sering kali tidak menyadari bahwa mereka bekerja untuk perusahaan kontraktor.

Frekuensi rotasi dan mutasi yang tinggi di IMIP menyebabkan buruh berada dalam posisi yang kurang aman secara pekerjaan. Kondisi ini yang disinyalir menjadi salah satu penyebab banyak terjadinya kecelakaan kerja di wilayah IMIP. Selain praktik mutasi, Jam kerja dan upah pokok menjadi masalah yang pelik bagi para buruh di IMIP.

Riset RHI dan Trend Asia menunjukkan bahwa upah pokok buruh di IMIP berkisar antara Rp3.000.000 hingga Rp3.100.000. Angka tersebut masih di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Morowali, yang ditetapkan sebesar Rp3.236.848. Sementara itu, biaya hidup di Morowali cukup tinggi, memaksa buruh menambah jam kerja untuk bertahan.

Riset itu menemukan, para buruh di IMIP memaksakan diri untuk menggandakan jam kerja demi menerima upah tambahan agar dapat bertahan hidup. Banyak dari mereka harus terpaksa bekerja dengan waktu 13 jam agar mendapatkan menerima upah bulanan senilai antara Rp.7.500.000 – Rp8.000.000.

Jam kerja yang panjang, pekerjaan yang bertumpu pada penggunaan alat berat di suhu panas, dan paparan bahan kimia membuat buruh berada di kondisi rentan. Tak heran, banyak juga dari mereka mengalami kecelakaan kerja akibat kelalaian hingga kelelahan. Ironisnya, fasilitas kerja hingga APD yang diberikan perusahaan masih belum memadai untuk menjaga keselamatan.

Hal ini sejalan dengan hasil survei Federasi Pertambangan dan Energi KSBSI (FPE KSBSI), yang mengidentifikasi empat penyebab utama tingginya kecelakaan kerja di IMIP: kelalaian pekerja, kondisi lingkungan kerja, APD yang tidak memadai, dan kerusakan alat.

Faktor-faktor tersebut mencerminkan persoalan serius dalam implementasi sistem K3 di kawasan industri tersebut. Survei juga mencatat bahwa banyak pekerja mengalami kelelahan akibat jam kerja yang berlebihan—rata-rata mencapai 56 jam per minggu atau sekitar 225 jam per bulan—yang tentunya meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Ketika pekerja di klinik IMIP melakukan aksi protes. (Foto: Istimewa)
Ketika pekerja di klinik IMIP melakukan aksi protes. (Foto: Istimewa)

Catur Widi dari Rasamala Hijau mengatakan, dengan sistem yang diterapkan oleh IMIP, buruh selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bahkan, katanya, Mereka beresiko kehilangan nyawa, mengalami cacat permanen, atau bahkan menghadapi sanksi hingga pemecatan akibat insiden di tempat kerja.

“Risiko ini semakin tinggi di kawasan industri seperti IMIP, yang dikenal dengan jam kerja yang panjang, karakter industri berat, serta penggunaan bahan kimia dan panas tinggi. Dalam kondisi seperti itu, keselamatan dan nyawa buruh menjadi semakin rentan,” kata Catur Widi kepada Mongabay, pada Jumat 16 Mei 2025.

Menurut Catur, kecelakaan kerja yang terus terjadi di IMIP—dan sering kali merenggut nyawa buruh—menunjukkan bahwa standar serta penerapan K3 di kawasan IMIP bermasalah. Padahal, sektor tambang dan pengolahan hasil tambang merupakan industri dengan risiko kecelakaan tinggi.

Seharusnya, kata Catur, standar K3 yang diterapkan jauh lebih ketat untuk melindungi buruh. Namun kenyataannya tidak demikian. Hal itu pun diperkuat oleh pengakuan Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah pada 25 Februari 2025 lalu yang menyebut dari banyaknya tenant di IMIP, baru PT Huayue Nickel Cobalt (HYNC) yang sepenuhnya memenuhi kriteria implementasi SMK3.

“Sumber internal juga menyebut bahwa PT RISUN Wei Shan Indonesia baru-baru ini memperoleh Golden Flag untuk SMK3. Artinya, selama bertahun-tahun hanya segelintir tenant yang patuh terhadap standar K3, meski mereka beroperasi di sektor dengan risiko tinggi. Ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan komitmen keselamatan di kawasan industri tersebut,” katanya.

Catur menegaskan bahwa minimnya penerapan SMK3 di kawasan industri IMIP seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Audit dan pengawasan terhadap aspek keselamatan kerja harus dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan berkelanjutan.

Baca juga: Pakai-Pakai Dulu, Celaka Kemudian di Morowali

Pasalnya, kata dia, sejak kebijakan hilirisasi nikel diteken pada Januari 2020, kecelakaan kerja di IMIP terus terjadi. Namun, implementasi SMK3 di banyak tenant masih sangat lambat. Hal Ini menunjukkan adanya pembiaran terhadap pelanggaran keselamatan kerja yang bisa berdampak fatal bagi buruh.

Ia bilang, pemerintah seharusnya tidak hanya menjadi fasilitator investasi, tetapi juga bertindak sebagai pengawas yang tegas. Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang berulang kali mengalami kecelakaan kerja fatal, seperti di IMIP, perlu dikenai sanksi tegas.

“Tanpa langkah konkret dari negara, keselamatan buruh akan terus dikorbankan atas nama pertumbuhan industri. Jangan hanya mengejar produksi tanpa melindungi pekerja,” pungkasnya.

Dedy Kurniawan, Media Relations Head IMIP tidak banyak berkomentar terkait kecelakaan kerja yang dialami Yanser. Menurut dia, korban adalah karyawan perusahaan kontraktor lokal Morowali yakni PT Baraq Cipta Karya (BCK), hingga dia tidak memiliki wewenang untuk memberikan tanggapan.

“Silakan konfirmasi ke perusahaan bersangkutan, karena untuk perusahaan kontraktor lokal, kami tidak berwenang untuk memberikan komentar,” katanya kepada Mongabay Sabtu (17/5/25).

Meski begtu, Dedy tak menjawab pertanyaan soal tudingan yang menyebut IMIP tidak menerapkan sistem manajemen K3 dengan baik. Dia bilang,  tidak bisa melarang atau mencegah pikiran pihak-pihak tertentu untuk menuding perusahaannya secara negatif.

“Yang jelas, kami bersama para tenant selalu berusaha melaksanakan dan mematuhi manajemen K3 sesuai aturan yang berlaku.”

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.