Ubi Banggai dalam Cengkraman Tambang Batu Gamping

Salah satu tokoh perempuan adat Komba-Komba di Banggai Kepulauan sedang memegang Ubi Banggai (Foto: Sarjan Lahay)
Salah satu tokoh perempuan adat Komba-Komba di Banggai Kepulauan sedang memegang Ubi Banggai (Foto: Sarjan Lahay)
  • Karst di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, seperti di Pulau Peleng,  jadi target  perusahaan pertambangan batu gamping. Tempat gua, mata air, dan ruang hidup masyarakat ini jadi incaran jadi sebagai bahan campuran pengelolaan nikel. Ubi Banggai, sumber pangan warga juga simbol budaya di Pulau Peleng, salah satu yang terancam.
  • Ubi Banggai adalah tanaman tumbuh khusus di tanah karst Peleng. Ada sekitar 20 varietas lokal, masing-masing dengan nama dan karakteristik unik dalam bahasa lokal. Salah satu jenis paling populer adalah pulsus, ubi yang dipercaya bergizi tinggi dan dahulu menjadi makanan utama bayi.
  • Imran, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Balayo mengatakan, kehadiran tambang batu gamping di Pulau Peleng khawatir mengubah kehidupan masyarakat. Kalau lahan-lahan produktif menanam ubi Banggai hilang, masyarakat tak hanya kehilangan sumber ekonomi, juga tradisi kolektif yang selama ini menyatukan mereka. “Kami tidak hanya kehilangan tanah, juga cara hidup.”
  • Riset LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, karst Banggai Kepulauan ini memiliki kemampuan menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun untuk mencukupi seperempat kebutuhan air  bersih. Kawasan karst ini juga berperan dalam menyerap CO2 dari atmosfer. Untuk proses karstifikasi melepaskan kembali CO2, hingga rata-rata CO2 yang terserap cukup besar.

Pagi belum sepenuhnya mekar di lereng karst Pulau Peleng, Sulawesi Tengah. Embun masih menggantung di pucuk semak dan ilalang. Di sela kehijauan yang rapuh itu, tangan seorang perempuan paruh baya bergerak cekatan menyingkirkan gulma yang tumbuh liar. Ia menunduk, memungut umbi-umbi bertubuh gempal dari balik tanah yang retak oleh musim.

“Itu ubi Banggai,” katanya pendek, sembari mengusap keringat dengan lengan baju. “Sumber hidup kami, selain beras.”

Namanya Deslin Kalaeng. Warga Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan memanggilnya dengan sebutan Ibu Kampung Masyarakat Adat Tolobuono Komba-komba. Gelar yang lahir bukan karena gelar akademik atau garis darah bangsawan. Tapi karena ia menjadi suara yang tetap berdiri, ketika ancaman tambang batu gamping mulai mengepung desanya dari segala arah.

Ubi Banggai yang dipungutnya bukan sekadar pangan. Di Pulau Peleng, ubi itu adalah ingatan. Ia tumbuh sejak sebelum republik ini punya nama. Ia mekar di ladang-ladang kecil yang diwariskan antargenerasi, tanpa pupuk kimia, tanpa alat berat. Hanya tangan-tangan perempuan, seperti milik Deslin, yang sejak bocah terbiasa menyayat tanah dengan parang dan doa.

Kini tanah itu terancam berubah rupa. Di meja para pengusaha dan pejabat daerah, batu gamping dianggap emas putih yang menggiurkan. Karst Peleng—yang menyimpan gua, mata air, dan rahim kesuburan bagi pulau—diincar sebagai bahan campuran pengelolaan nikel. Suatu visi “pembangunan” yang tak menyisakan ruang untuk akar ubi ataupun suara ibu kampung.

Baca juga: Hidup dari Alam, Perempuan Adat Tolak Tambang Masuk Banggai Kepulauan

Deslin tahu, ia tak bisa melawan alat berat dengan tangan kosong. Tapi ia bisa merawat ingatan. Ia bisa bertutur, tentang bagaimana tanah ini dulu disucikan dalam ritus adat. Tentang anak-anak muda yang pergi ke kota, tapi tak lupa bercerita soal kampungnya yang hijau. Tentang malam-malam di mana ia duduk di pelataran rumah panggung, berbicara dengan para tetua, mencoba mencari cara menjaga bumi tanpa mengangkat senjata.

Matanya menyimpan cemas. Tapi juga keteguhan yang tak gamang. “Apa jadinya kalau batu gamping ini punah?” Deslin bertanya, kali ini dengan suara yang hampir tak terdengar. “Ubi tak bisa tumbuh. Air bisa hilang. Apa yang tersisa buat anak cucu?”

Ia lalu kembali menunduk, memungut sisa-sisa umbi yang belum terkumpul. Cahaya pagi mulai meninggi, mengusir kabut tipis di kaki bukit. Tapi bayang-bayang tambang justru kian mendekat. Di tanah yang dulu penuh nyanyian adat itu, kini tersisa dua pilihan: bertahan, atau menyerah pada logika pembangunan yang kian rakus. Namun, Deslin memilih bertahan, bersama ubi banggai dan tanah yang masih menyimpan kisah leluhur.

Pulau Peling kini menjadi incaran investasi pertambangan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2024, terdapat 39 izin lokasi pertambangan yang tersebar di pulau ini—terdiri dari 38 Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan satu Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan status operasi produksi (OPD). Izin-izin tersebut membentang di lima kecamatan dan 25 desa, dengan total luas mencapai 4.036,06 hektare.

Saat ini, 38 perusahaan batu gamping kini tengah mengupayakan perubahan status izin menjadi IUP produksi melalui mekanisme sosialisasi dan konsultasi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) ke warga desa. Tujuannya jelas: mempercepat proses legalisasi operasi tambang batu gamping.

Namun, langkah itu disambut gelombang penolakan. Bukan hanya karena potensi kerusakan lingkungan, tapi karena tambang mengancam sesuatu yang jauh lebih dalam—tanaman ubi banggai, simbol budaya dan sumber kehidupan masyarakat Banggai Kepulauan.

Deslin Kalaeng, salah satu tokoh perempuan adat Komba-Komba di Banggai Kepulauan sedang membawa Ubi Banggai (Foto: Sarjan Lahay)
Deslin Kalaeng, salah satu tokoh perempuan adat Komba-Komba di Banggai Kepulauan sedang membawa Ubi Banggai (Foto: Sarjan Lahay)

Ubi yang Menyimpan Sejarah

Ubi banggai adalah tanaman yang tumbuh khusus di tanah karst Peleng. Ada sekitar 20 varietas lokal, masing-masing dengan nama dan karakteristik unik dalam bahasa lokal. Salah satu jenis yang paling populer adalah pulsus, ubi yang dipercaya bergizi tinggi dan dahulu menjadi makanan utama bayi.

Imran, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Balayo tahu benar apa arti ubi banggai bagi warga. Di desa-desa Pulau Peleng, hampir setiap rumah memiliki lahan khusus untuk menanam ubi. Hasil panen menjadi tumpuan ekonomi keluarga: membiayai sekolah anak, membeli kebutuhan rumah tangga, hingga membangun rumah. “Motor saya beli dari uang jual ubi,” katanya dengan senyum bangga.

Setiap musim panen pertama, masyarakat menggelar malabot tumbe atau montomisi—upacara syukuran hasil panen. Warga membawa ubi ke rumah ibadah untuk diberkahi dan berdoa bersama.

Dalam perayaan ini, mereka juga membacakan mitos asal-usul ubi banggai: kisah tentang seorang anak bungsu dari tujuh bersaudara di Tiongkok yang mengorbankan diri untuk menjadi ubi demi menyelamatkan keluarganya dari kelaparan, dan hanya bisa tumbuh di Pulau Peleng.

“Cerita ini bukan dongeng kosong. Ini cara kami menjaga warisan dan mengingat asal-usul kami,” ujar Imran.

Di Pulau Peleng, kata dia, menanam ubi banggai bukan urusan individu. Itu kegiatan sosial. Sistem pertanian mereka menganut metode nomaden, di mana petani berpindah-pindah ladang agar tanah tidak rusak. Setiap petani biasanya menyiapkan lima bidang lahan yang digunakan secara bergiliran.

Baca juga: Tambang Datang, Mata Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang

Seluruh proses—mulai dari pembersihan lahan, penanaman, hingga panen—dilakukan bersama dalam semangat gotong royong, atau dalam istilah lokal disebut potomboni obat kembung. Laki-laki menebas pohon kecil untuk membuat tiang penyangga tanaman, perempuan membersihkan rumput, anak-anak menyiapkan bibit. Semua ikut ambil bagian.

“Ini bukan sekadar kerja. Ini ritual,” kata Imran.

Kehadiran tambang dikhawatirkan akan mengubah semua itu. Jika lahan-lahan produktif hilang, masyarakat tak hanya kehilangan sumber ekonomi, tetapi juga tradisi kolektif yang selama ini menyatukan mereka. “Kalau tambang datang, kami tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga cara hidup,” katanya.

Para pegiat lingkungan melihat skenario yang lebih luas. Selain Pulau Peleng, banyak wilayah karst di Indonesia yang nasibnya sama: dari Kendeng di Jawa hingga Maros di Sulawesi Selatan. Umumnya, pertambangan batu gamping dilakukan untuk kebutuhan industri. Tapi nilai ekonomi jangka pendek itu seringkali dibayar dengan hancurnya ekosistem abadi.

“Ubi banggai bisa terus ditanam berabad-abad kalau dijaga. Tapi tambang cuma butuh 10–20 tahun untuk menghabisi semuanya,” kata Yusman Direktur Perkumpulan Evergreen Indonesia.

Yusaman memperingatkan bahwa metode tambang seperti blasting (peledakan) bisa mengguncang struktur rongga karst yang saling terhubung, memicu keruntuhan, kehilangan sumber mata air, dan degradasi tanah. Sementara bagi warga, karst bukan sekadar batu. Di atas tanah karst itulah tumbuh ubi banggai—tanaman umbi yang bukan hanya jadi makanan pokok, tetapi juga simbol identitas budaya Banggai.

Harga ubi banggai di pasaran lokal cukup tinggi. Satu bakul (isi 24–30 biji) dihargai sekitar Rp350.000, dan hasil panen bisa mencapai Rp5 juta hingga Rp10 juta per musim. Pengelolaan hasil pun dilakukan secara arif: sebagian disimpan sebagai bibit, sebagian untuk konsumsi, dan sebagian dijual.

Imran menilai, kebijakan pembangunan seharusnya tidak melulu soal tambang dan izin eksploitasi. Ia berharap pemerintah melihat nilai lain dari Pulau Peling—nilai budaya, sejarah, dan keberlanjutan.

“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi jangan hilangkan warisan kami,” katanya.

Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng
Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng

Ubi Banggai dan Karst

Selain memiliki ikatan yang kuat dengan kehidupan dengan masyarakat, Ubi Banggai juga sangat bergantung pada ekosistem Karst Banggai Kepulauan. Kualitas Ubi Banggai sangat tergantung pada karakteristik tanah, dan gangguan pada formasi karst bisa menurunkan produktivitas drastis.

“Tanah yang kaya domato (batu gamping) menghasilkan ubi banggai yang bulat dan besar. Kalau tanahnya tak subur, hasilnya lonjong dan kecil,” ungkap Imran.

Kurang lebih 85% daratan Banggai Kepulauan adalah kawasan karst. Hasil penelitian Lipi pada tahun 2017 dan BPEE KLHK menjelaskan, batuan karst yang ada di pulau peleng ini memiliki fungsi ekosistem penyangga utama bagi kehidupan masyarakat, bak dari sektoe pertanian, atau sumber air bersih, hingga dan biodiversitas endemik.

Karst Banggai Banggai Kepulauan ini juga disebutkan memiliki kemampuan untuk menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun untuk mencukupi seperempat kebutuhan air  bersih. Kawasan karst tersebut juga berperan dalam menyerap CO2 dari atmosfer. Untuk proses karstifikasi melepaskan kembali CO2, sehingga rata-rata CO2 yang terserap cukup besar.

Dalam riset itu, terdapat sejumlah gua dan sungai bawah tanah, termasuk kolam-kolam air yang terperangkap di dalam ruang-ruang (chamber) gua. Keberadaan banyak mata air yang muncul dari celah-celah batuan menunjukkan bahwa kawasan ini merupakan sistem hidrologi karst dengan pola aliran multibasin.

Batu gamping terumbu di wilayah ini didominasi oleh dua tipe aliran utama, yaitu aliran difus (diffuse flow) dan aliran melalui celah (fissure flow). Kedua tipe aliran tersebut berperan penting dalam mensuplai air ke sistem sungai bawah tanah, yang pada gilirannya memberi kontribusi besar terhadap kemunculan mata air di permukaan.

Wandi, dari Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa jika seluruh konsesi tambang batu gamping dioperasikan, dampaknya akan sangat serius. Salah satu ancaman utamanya adalah hilangnya sumber air bersih yang vital bagi kehidupan masyarakat. Selain itu, keberadaan Ubi Banggai—sumber pangan utama bagi masyarakat di Banggai Kepulauan—juga terancam punah akibat terganggunya ekosistem alam.

“Sasaran eksploitasi pertambangan adalah batuan karst, yang berperan dalam menyediakan sumber air bersih serta mendukung kesuburan tanah untuk pertumbuhan tanaman, seperti Ubi Banggai,” ujar Wandi melalui rilis yang diterima.

Baca juga: Cerita Perempuan Melawan Sawit di Banggai; Dikriminalisasi Hingga Rumah Dibakar

Padahal, menurut Wandi, hasil riset dari KLHK dan LIPI telah memberikan rekomendasi agar lebih berhati-hati dalam pengelolaan batuan karst di Pulau Peleng. Bentangan karst di wilayah tersebut memiliki keunikan dan saling keterkaitan antar satu area dengan area lainnya. Jika satu wilayah mengalami kerusakan, katanya, dampaknya bisa menyebar dan mempengaruhi wilayah lain.

Terlebih lagi, kata Wandi, Kabupaten Bangkep telah memiliki Perda Pengelolaan Karst Nomor 16 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa kegiatan ekstraktif yang berpotensi merusak bentangan karst tidak diperbolehkan. Jika terjadi kerusakan pada karst, lanjutnya, dibutuhkan waktu hingga 200 tahun untuk pemulihannya, seperti yang tercantum dalam laporan KLHK 2023 BPEE.

Menurut Wandi, pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi di masa depan di Pulau Peleng. Hal ini terutama terkait dengan penghentian seluruh proses permohonan izin pertambangan batuan gamping dan pencabutan izin-izin yang sudah ada, baik yang berstatus WIUP maupun IUP.

“Jika tidak, pemerintah daerah berisiko menjadi aktor utama yang menciptakan ‘bom waktu’ bagi kehidupan di Pulau Peleng di masa yang akan datang,” jelas Wandi.

Bukan tanpa alasan. Wandi menilai bahwa pertambangan batuan gamping tidak hanya menghilangkan fungsi ekologis kawasan karst, tetapi juga berpotensi menghancurkan struktur sosial, budaya, hingga ekonomi masyarakat Banggai Kepulauan. Pasalnya, titik-titik konsesi WIUP dan IUP tambang batu gamping sebagian besar berada di wilayah pertanian produktif, yang jika dioperasikan, tentu akan menghancurkan sektor pertanian tersebut

Ubi Banggai, yang merupakan tanaman khas sekaligus pengganti beras bagi masyarakat setempat, juga ikut terancam akibat aktivitas tersebut.

Ia mengatakan bahwa tanaman musiman, khususnya Ubi Banggai, menjadi andalan bagi sebagian besar masyarakat di Pulau Peleng. Tanaman khas sekaligus pengganti beras ini hampir seluruh masyarakat mengenalnya dan menanamnya. Terlebih lagi, Ubi Banggai hanya dapat tumbuh di Pulau Peleng saja, namun tidak bisa tumbuh di wilayah lain di luar pulau tersebut.

“Bahkan di daratan Kabupaten Luwuk yang letaknya paling dekat dengan gugusan Pulau Banggai Peleng, Ubi Banggai tetap tidak dapat tumbuh. Bagi masyarakat Pulau Peleng, Ubi Banggai bukan hanya tanaman pangan pengganti beras, tetapi juga menjadi tumpuan utama mata pencaharian mereka selain dari hasil melaut,” ungkapnya.

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Kerusakan Permanen

Rencana penambangan batu gamping di Banggai Kepulauan bukan sekadar ancaman terhadap keberadaan Ubi Banggai yang menjadi ikon ekonomi daerah, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerusakan ekologis dan sosial yang bersifat permanen. Penelitian terbaru yang dilakukan Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), berjudul ‘No-Go Mining Zone di Jantung Pulau Peleng Bangkep’, mengungkapkan betapa krusialnya kawasan karst di Pulau Peleng yang kini terancam oleh ekspansi tambang.

Menurut riset yang diterbitkan pada awal Mei 2025 ini, KOMIU mencatat sedikitnya 11 dampak ekologis dan sosial yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas penambangan batu gamping tersebut. Dampaknya bukan hanya merusak kualitas udara dan air, tetapi juga mengancam kelestarian terumbu karang yang menjadi salah satu aset alam utama kawasan ini. Lebih dari itu, penambangan ini juga mengganggu keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemik seperti Tarsius pelengensis yang hanya ditemukan di wilayah ini.

Baca juga: Ketika Tanah Digerus, Sungai Dirusak: Kisah Tambang di Mojokerto

Namun, dampak tersebut bukan hanya menyentuh sektor lingkungan. Rencana penambangan ini juga berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat setempat. Penurunan kualitas lingkungan akan berdampak langsung pada komoditas unggulan Pulau Peleng, seperti Ubi Banggai dan rumput laut, yang menjadi sumber penghidupan utama bagi banyak keluarga.

Yulia Astuti, Koordinator Divisi Konservasi Sumber Daya Alam Yayasan KOMIU, menjelaskan bahwa wilayah yang akan dijadikan area pertambangan (WIUP dan IUP) berada di jantung Pulau Peleng, di mana wilayah tersebut meliputi sumber mata air yang vital bagi kehidupan lokal serta kawasan perlindungan yang dikelola oleh masyarakat.

“Jika eksploitasi alam di kawasan ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat besar. Keberlanjutan daerah aliran sungai (DAS) yang vital bagi Pulau Peleng akan terancam,” ujarnya.

Menurut Yulia, penambangan yang tak terkendali akan meningkatkan risiko bencana alam, seperti banjir dan kekeringan, yang sudah menjadi ancaman nyata di wilayah ini. Selain itu, aliran sedimen yang berasal dari tambang dapat mengancam pesisir pulau dan merusak ekosistem terumbu karang yang sangat kaya.

“Rencana penambangan ini tidak hanya merusak daratan, tetapi juga dapat mencemari laut dan merusak ekosistem pesisir yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat setempat,” kata Yulia dengan tegas.

Para perempuan mencari sumber air untuk keperluan keluarga mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Para perempuan mencari sumber air untuk keperluan keluarga mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Saat ini, kualitas udara dan air di wilayah Peling masih terjaga dengan sangat baik. Pengukuran yang dilakukan di Desa Balayon, Boyomoute, dan Komba-Komba menunjukkan bahwa udara tetap bersih sepanjang hari, bebas dari partikel berbahaya seperti PM2.5 dan PM10. Air di kawasan tersebut juga memiliki pH yang stabil dan bebas dari kontaminan logam berat—sebuah bukti nyata dari kelestarian alam yang masih terjaga.

Namun, Yulia memberikan peringatan keras, bahwa kondisi tersebut bisa berubah drastis jika tambang mulai beroperasi. Meskipun tingginya alkalinitas air di wilayah ini saat ini menjamin stabilitas ekosistem, ia menekankan bahwa tanpa pengelolaan yang tepat, risiko terhadap mikroorganisme yang bergantung pada keseimbangan alam tetap mengintai.

Hasil riset KOMIU ini menegaskan bahwa penambangan batu gamping di kawasan ini bukan hanya masalah lokal, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup ekosistem yang lebih luas. Jika tidak dihentikan, kerusakan yang ditimbulkan bisa bersifat jangka panjang, merusak kualitas hidup masyarakat Banggai Kepulauan, dan menghilangkan potensi alam yang selama ini menjadi andalan.

Baca juga: Mudaratnya Perguruan Tinggi Kelola Tambang

Menurut Yulia Astuti, pentingnya penetapan No-Go Mining Zone—area yang dilarang untuk eksploitasi tambang—di Banggai Kepulauan. Konsep ini bukan hanya soal melindungi lingkungan, tetapi juga tentang menjamin keselamatan sosial, hukum, dan budaya bagi masyarakat setempat.

“Beberapa wilayah di Banggai Kepulauan, seperti area kelola masyarakat, situs budaya, dan sumber mata air, harus dipetakan sebagai No-Go Mining Zone,” kata Yulia.

Menurutnya, area ini memiliki nilai ekologis dan sosial yang tak bisa digantikan. Jika area-area tersebut dieksploitasi, dampaknya tidak hanya akan merusak ekosistem yang sudah rapuh, tetapi juga mengancam kearifan lokal dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

Penetapan kawasan ini sebagai zona larangan penambangan bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Keanekaragaman hayati yang tinggi, sumber mata air yang vital, serta situs-situs budaya yang kaya, menjadi alasan kuat untuk menjaga area tersebut dari ancaman eksploitasi yang dapat merusak keseimbangan ekologis dan sosial.

“Dengan langkah ini, diharapkan bisa tercipta sebuah model pembangunan yang berkelanjutan, yang tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan alam dan kesejahteraan masyarakat Banggai Kepulauan di masa depan,” pungkasnya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.