- Kecelakaan kerja kembali terjadi di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 25 Oktober 2024, sekitar pukul 16.30 WITA.
- Yayasan Tanah Merdeka mencatat, kecelakaan kerja yang dialami oleh Andri pada bulan akhir September lalu, dan Laode Gunawan pada 25 Oktober lalu itu menambah deretan kecelakaan kerja di kawasan IMIP sebanyak 18 kali dalam tahun 2024.
- Masalah ini muncul dari berbagai faktor, termasuk proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh, dan sistem kerja dengan beban tinggi yang memaksa buruh untuk mengambil lembur agar dapat memperoleh upah yang layak.
- Jam kerja dan upah pokok menjadi masalah yang pelik bagi para buruh di IMIP, karena upah pokok masih di bawa UMK. Para buruh di IMIP memaksakan diri untuk lembur kerja demi menerima upah tambahan agar dapat bertahan hidup.
Kecelakaan kerja kembali terjadi di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 25 Oktober 2024, sekitar pukul 16.30 WITA. Insiden ini disebabkan oleh kebakaran di PT Dexin Steel Indonesia (PT DSI), yang mengakibatkan satu orang pekerja, Laode Gunawan, seorang operator Hoist Crane, tewas, satu orang pekerja lainya luka ringan.
Berdasarkan keterangan pekerja, suara ledakan cukup keras yang menyebabkan kebakaran itu terjadi di areal kolam limbah. Sebuah rekaman video amatir yang tersebar di media sosial menunjukan api hitam membakar dinding dan hoist crane. Meski begitu, penyebab ledakan tersebut belum diketahui. Namun, peristiwa ini menambah deretan kecelakaan kerja di kawasan IMIP.
Dedy Kurniawan Media Relations Head IMIP mengonfirmasi kejadian tersebut. Ia membenarkan dua karyawannya menjadi korban, satu meninggal dan satu lainnya terluka. Namun, katanya, perusahaan belum mengetahui penyebab pasti insiden maut tersebut. “Penyebab kecelakaan masih dalam proses investigasi,” kata Dedy seperti dikutip dari media Tempo.co pada 26 Oktober 2024 lalu.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat Insiden ledakan di kawasan industri IMIP dalam kurun waktu 2023-2024 cukup meningkat. Salah satunya tragedi paling berdarah terjadi pada pada 24 Desember 2023 silam di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang banyak memakan korban pekerja.
Pasca insiden tersebut ledakan, kecelakaan kerja juga terjadi di beberapa perusahaan yang beroperasi di kawasan IMIP. Pada 28 September 2024 lalu misalnya, seorang pekerja bernama Andri yang bekerja di Divisi Kiln Conveyor PT. Walsin Nickel Industrial Indonesia (WNII) meninggal dunia saat bekerja.
Berdasarkan penjelasan Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM), Andri meninggal saat bekerja di area kerjanya sekitar jam setengah 6 pagi WITA. Ia meninggal dalam keadaan kepala pecah dan diduga tergiling conveyor terlebih dahulu, lalu jatuh dari ketinggian lebih dari 20 meter.
Baca juga: Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali
Yayasan Tanah Merdeka mencatat, kecelakaan kerja yang dialami oleh Andri pada bulan akhir September lalu, dan Laode Gunawan pada 25 Oktober lalu itu menambah deretan kecelakaan kerja di kawasan IMIP sebanyak 18 kali dalam tahun 2024.
Catatan Trend Asia, sejak 2015-2023, terjadi 93 kecelakaan kerja di smelter nikel di Indonesia. ITSS, penyumbang tertinggi kematian pekerja, termasuk dalam insiden ledakan pada Desember 2023 yang mengakibatkan 21 korban tewas dan 30 luka-luka.
Rentetan kecelakaan kerja yang terus berulang di dalam kawasan IMIP menjadikan industri nikel ini, seperti medan maut bagi pekerja yang bertaruh nasib disana. Sirine ambulance hampir setiap hari berbunyi mengangkut pekerja yang celaka akibat kerja. nyawa seolah tak ada nilainya di mata manajemen IMIP.
Serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil selalu mengecam setiap insiden yang terjadi di IMIP agar ada tindakan perbaikan. Akan tetapi hal itu seperti diabaikan oleh pemerintah terkait. Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tengah, Kementerian ketenagakerjaan serta Kementerian Perindustrian seperti tidak bekerja untuk melakukan pengawasan dan memberikan sanksi.
Azis staf kampanye Yayasan Tanah Merdeka mengatakan, manajemen IMIP tak pernah berbenah dalam perbaikan sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Menurutnya, ledakan smelter yang terjadi di wilayah IMIP seperti hanya angin lalu saja, peristiwa itu tak penting bagi mereka.
Banyak pekerja tewas dan cacat permanen dalam setiap insiden kecelakaan kerja. Hal tersebut dikarenakan sangat lemahnya penerapan sistem K3 di dalam kawasan IMIP. Pekerja dituntut untuk terus berproduksi sementara upah dan sistem K3 tidak diberikan secara layak.
Menurut Azis, seharusnya perusahaan mengambil kebijakan untuk berhenti dulu produksi, ketika terjadi terus insiden kecelakaan kerja. Selain untuk perbaikan alat, itu juga sebagai bentuk penghormatan kepada korban serta peringatan kepada pekerja lain akan bahaya di area kerja. Tetapi, katanya, kebijakan itu tidak perna dilakukan oleh IMIP sebagai pemilik kawasan.
Sebaliknya, kata Azisl, IMIP cenderung tertutup dan seolah tidak ada yang terjadi. Seharusnya pemerintah mengintervensi IMIP agar berhenti produksi. Namun, pemerintah pun juga acuh tak acuh, berbela sungkawa saja tidak, padahal belum sampai sebulan kasus kematian Andri di PT. WNII terjadi.
“Yang terpenting adalah bagaimana cuan bisa terus diraup dengan mengorbankan buruh-buruhnya, yang nyawanya lebih murah daripada harga nikel. Itu saja di logika manajemen PT. IMIP,” kata Azis melalui rilis pada 26 Oktober 2024.
Adapun sifat pasif manajemen IMIP, kata Azis, juga didukung oleh lemahnya regulasi K3. UU No. 1 Tahun 1970 yang sangat lemah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja. Hal ini terlihat jelas dalam hal sanksi jika pengusaha melanggar K3. Sanksinya hanya berupa pidana paling lama 3 bulan atau denda paling besar Rp. 100.000. Sudah 54 tahun UU 1970 ini berlaku, tapi tak pernah direvisi.
Adapun sifat pasif manajemen IMIP, kata Azis juga didukung oleh lemahnya regulasi K3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja, terutama terkait sanksi bagi pengusaha yang melanggar K3. Sanksi yang ada hanya berupa pidana maksimum 3 bulan atau denda tertinggi Rp 100.000.
“Meskipun undang-undang ini telah berlaku selama 54 tahun, hingga kini belum ada revisi yang dilakukan,” jelasnya.
Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar
Moh Taufik, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng mengatakan, kecelakaan kerja yang terus berulang di kawasan industri IMIP menunjukkan perlunya tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah. Keduanya, kata dia, memiliki kewenangan untuk mengawasi sistem keselamatan kerja di wilayah industri nikel.
Upik, sapaan akrabnya mengatakan, sudah saatnya memberikan sanksi yang tegas kepada perusahaan-perusahaan yang tidak melindungi K3 bagi seluruh pekerja. ia mengingatkan kepada pemerintah, bahwa produksi nikel, yang saat ini menjadi mineral andalan untuk teknologi rendah karbon dalam mengatasi perubahan iklim, seharusnya tidak mengorbankan buruh dan lingkungan.
“Semangat hilirisasi nikel yang terus didorong pemerintah untuk memberikan nilai tambah bagi negara dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya tambang, seharusnya tidak mengorbankan para pekerja,” kata Upik melalui rilis yang diterima pada 26 Oktober 2024 lalu.
Menurutnya, harusnya buruh yang bekerja di sektor nikel menjadi kelompok yang diuntungkan dengan peralihan teknologi rendah karbon. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Buruh, katanya, terus alami kecelakaan kerja berulang di kawasan industri nikel yang menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan jaminan dan keamanan yang layak.
Negara, kata Upik, seharusnya mengambil sikap tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar, dengan memberikan sanksi yang dapat mencakup penghentian kegiatan hingga pencabutan izin operasi. Jika tidak, katanya, akan menguatkan keyakinan bahwa negara tampaknya kehilangan kedaulatan atas sumber daya alamnya, lebih tunduk pada kepentingan investasi.
Olehnya, Jatam Sulteng mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan audit sistem manajemen K3 di seluruh perusahaan yang mengelola nikel di kawasan industri IMIP. Upik bilang, kecelakaan kerja yang terus terjadi menunjukkan bahwa para pekerja menjadi korban berulang kali.
“Audit K3 ini sangat penting untuk memastikan keselamatan pekerja di kawasan industri nikel,” jelasnya.
Jatam Sulteng juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap keamanan kerja buruh di kawasan industri PT IMIP, sesuai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3. Jika tidak, kata Upik, akan banyak lagi pekerja di kawasan industri nikel yang menjadi korban.
Mengaburkan Hubungan Kerja
Kasus kecelakaan kerja yang berulang di IMIP berakar dari sistem ketenagakerjaan yang tidak manusiawi. Masalah ini muncul dari berbagai faktor, termasuk proses perekrutan yang tidak transparan, fleksibilitas mutasi buruh, dan sistem kerja dengan beban tinggi yang memaksa buruh untuk mengambil lembur agar dapat memperoleh upah yang layak.
Gambaran sistem ketenagakerjaan yang tidak manusiawi di IMIP itu dijelaskan dalam riset yang ditulis oleh Rasamala Hijau Indonesia (RHI) dan Trend Asia yang berjudul “Sengkarut Perburuhan Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)”. Riset yang terbit pada September 2024 itu menemukan bagaimana karut-marut perburuhan di IMIP berakar dari sistem ketenagakerjaan yang inkonsisten.
Dalam proses perekrutan buruh, IMIP berperan sebagai penyalur tenaga kerja untuk sekitar 40 perusahaan yang beroperasi di kawasan tersebut. Saat ini, setidaknya terdapat 91.581 buruh yang bekerja di IMIP, di mana 72.815 di antaranya terdaftar dalam payroll perusahaan tenant IMIP, dan 18.766 orang merupakan buruh kontraktor lokal.
IMIP menerapkan sistem manajemen terpadu, yang mengkonsolidasikan semua kantor Human Resource Development (HRD) dari perusahaan-perusahaan tenant ke dalam satu gedung General Affair (GA). Gedung ini berfungsi sebagai pusat kebijakan dan implementasi ketenagakerjaan di tingkat kawasan, memudahkan koordinasi dan pengawasan terhadap seluruh aspek manajemen tenaga kerja.
Di dalam Gedung GA, proses mulai dari perekrutan, penempatan buruh, hingga keputusan pemindahan pekerja antarperusahaan berlangsung secara terintegrasi. Dengan demikian, IMIP memiliki kontrol yang lebih besar atas manajemen sumber daya manusia di seluruh kawasan industri, yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Riset menunjukkan bahwa peran IMIP sebagai penyalur tenaga kerja menciptakan fleksibilitas mutasi buruh yang merugikan. Praktik mutasi yang dilakukan secara sporadis, tanpa dokumentasi resmi atau persetujuan dari pekerja, berkontribusi pada ketidakpastian dan ketidakadilan dalam hubungan kerja.
Hal ini diperkuat oleh ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disepakati pada akhir tahun 2023. Pada Poin 10 dalam Pasal 5 tentang Hak Perusahaan, dinyatakan bahwa perusahaan berhak memindahkan karyawan antar jabatan dan jenis pekerjaan, yang memperkuat posisi IMIP dalam mengatur buruh sesuai kepentingan mereka.
Baca juga: SLAPP Terus Meningkat di Kawasan Industri Nikel Morowali
Salah satu prinsip mutasi menurut UU Ketenagakerjaan adalah kewajiban perusahaan untuk menyampaikan informasi yang jelas agar asas ketenagakerjaan terpenuhi. Namun, kenyataannya IMIP tidak menerapkan prinsip ini, sehingga hubungan kerja buruh menjadi kabur dan tidak jelas.
Praktik pengalihan kepemilikan buruh juga umum terjadi, di mana beberapa perusahaan baru seperti PT Guan Ching De Metal Rolling (GCDMR), PT Logistics Angin Selatan (LAS), dan PT Cemerlang Servis Perawatan (CSP) menerima buruh dari perusahaan lain.
Arko Tarigan, Juru Kampanye Energi Trend Asia mengatakan, apa yang dilakukan oleh IMIP sebagai upaya untuk mengaburkan hubungan kerja, yang seharusnya jelas antara pekerja dan perusahaan. Ia bilang, banyak buruh terikat kontrak dengan satu perusahaan tetapi ditempatkan di perusahaan lain.
“Kebijakan ini umumnya diterapkan oleh perusahaan kontraktor di IMIP dan menciptakan kebingungan bagi pekerja mengenai hak dan tanggung jawab mereka,” kata Arko Tarigan pada 26 Oktober 2024 lalu.
Arko menambahkan, ada juga praktik “penempatan sementara” untuk buruh yang ditemukan dalam riset mereka. Di mana buruh dipindahkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk jangka waktu singkat. Penempatan ini biasanya berlangsung selama tiga hingga enam bulan sebelum buruh kembali bekerja di perusahaan asal mereka.
Buruh-buruh dalam unit kerja ini sering kali tidak menyadari bahwa mereka bekerja untuk perusahaan kontraktor. Proses penempatan buruh ke perusahaan lain juga tidak diatur dengan jelas, dan sering kali buruh hanya menerima instruksi dari atasan untuk berpindah ke lokasi kerja yang baru dengan kondisi yang lebih berat.
Selain itu, kata Arko, terdapat pula kasus di mana perusahaan menitipkan atau meminjamkan buruhnya ke perusahaan lain. Kebijakan penitipan buruh ini biasanya terjadi selama proses pembangunan konstruksi, di mana buruh yang sudah diterima bekerja di satu perusahaan harus dititipkan ke perusahaan lain jika perusahaan asalnya belum beroperasi.
Frekuensi rotasi dan mutasi yang tinggi di IMIP menyebabkan buruh berada dalam posisi keamanan kerja yang rendah. Tanpa pemahaman yang jelas mengenai daya tawar mereka, baik sebagai individu maupun anggota serikat buruh, kebijakan ini meningkatkan kerentanan buruh terhadap manipulasi, terutama saat terjadi masalah dengan perusahaan.
Arko bilang, kebijakan itu juga menyulitkan buruh untuk mengklaim hak-hak mereka, seperti masa kerja dan upah yang seharusnya mereka terima. Katanya, tekanan psikologis dan sosial meningkat akibat perpindahan yang tidak menentu, yang menghalangi buruh untuk berkembang secara sosial dan profesional.
“Kebijakan rotasi dan mutasi membuat buruh tidak mengetahui hak-hak mereka. Apalagi, masa kerja buruh di perusahaan tempat mereka rotasi dan mutasi tidak dihitung oleh IMIP,” jelasnya.
Menurutnya, kebijakan rotasi dan mutasi berfungsi sebagai medium bagi perusahaan untuk memperkuat posisi tawar mereka terhadap buruh. Risetnya menunjukkan bahwa buruh yang menolak kebijakan mutasi seringkali dihadapkan pada ancaman pemecatan, mencerminkan ketidakseimbangan posisi dalam negosiasi antara buruh dan perusahaan.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali
Kebijakan perpindahan kerja di IMIP memungkinkan perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar pesangon kepada buruh yang mengalami mutasi. Hubungan antar perusahaan di IMIP, terutama di antara tenant yang tergabung dalam grup Tsingshan, memudahkan pelaksanaan kebijakan mutasi yang merugikan buruh.
“Kami menemukan, dokumen mutasi hanya berupa daftar nama pekerja tanpa pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban antarperusahaan. Ini melemahkan perlindungan bagi buruh dalam proses mutasi dan pengalihan tenaga kerja,” ungkapnya.
Tak hanya itu, menurut Arko, pemberlakuan kebijakan mutasi ini diduga bertujuan untuk mempertahankan upah yang rendah dengan cara meniadakan promosi dan pengupahan berdasarkan masa kerja. Ia bilang, kebijakan itu bisa menekan biaya pesangon IMIP, karena mutasi antar perusahaan tidak memerlukan pembayaran pesangon sesuai masa kerja.
Pihaknya menemukan, beberapa buruh bahkan lebih memilih untuk mengundurkan diri daripada menjalani mutasi, yang semakin mengurangi biaya operasional bagi IMIP. Menurutnya, hubungan industrial itu berpotensi menyulitkan buruh dalam mengorganisir diri dalam serikat, sekaligus memperlemah posisi tawar mereka.
Di sisi lain, katanya, kebijakan mutasi dan model penempatan kerja di IMIP menunjukkan bahwa buruh memiliki potensi kekuatan negosiasi yang signifikan ketika mereka bersatu. Contohnya, buruh dari PT HYNC dan mekanik dari PT OSMI yang dialihkan ke PT CSP berhasil memperjuangkan kontrak kerja yang lebih transparan melalui aksi kolektif.
“Kekuatan kolektif buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka di tempat kerja dapat terwujud jika didukung oleh serikat yang kuat. Berserikat menciptakan peluang bagi buruh untuk menuntut perlindungan dan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan di IMIP,” ujarnya.
Jam Kerja dan Upah yang Pelik
Jam kerja dan upah pokok menjadi masalah yang pelik bagi para buruh di IMIP. Pasalnya, riset yang dilakukan oleh RHI dan Trend Asia menunjukkan bahwa upah pokok buruh di IMIP berkisar antara Rp3.000.000 hingga Rp3.100.000. Angka tersebut masih di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Morowali, yang ditetapkan sebesar Rp3.236.848.
Disisi lain, biaya hidup di Morowali termasuk cukup mahal. Harga bahan pokok dan BBM yang tinggi berbanding terbalik dengan upah rendah yang diterima buruh setiap bulan. Riset itu menemukan, para buruh di IMIP memaksakan diri untuk menggandakan jam kerja demi menerima upah tambahan agar dapat bertahan hidup.
Pasalnya, untuk menerima upah yang layak, buruh harus menjalankan lembur. IMIP memiliki dua sistem kerja (non-shift dan shift) dengan wajib lembur selama satu jam. Buruh yang bekerja non-shift akan bekerja selama 8 jam kerja termasuk lembur wajib setiap hari selama satu jam, dengan upah yang diterima antara 3.800.000 hingga 7.000.000.
Adapun buruh yang bekerja dengan sistem dua shift tiga regu selama 12 jam menerima upah sekitar rata-rata Rp8.900.000. Sedangkan buruh yang bekerja dengan sistem tiga shift tiga regu, durasi kerja delapan jam termasuk lembur long shift sekitar dua jam, menerima upah bulanan senilai antara Rp.7.500.000 – Rp8.000.000.
Walaupun mendapat upah tambahan, buruh kesulitan membagi waktu untuk aktivitas lain, terutama jika bekerja shift malam selama tujuh hari berturut-turut. Riset juga menunjukkan bahwa sistem kerja ini berdampak negatif pada buruh perempuan hamil, dengan beberapa kasus keguguran terkait dengan beban kerja yang berat.
Baca juga: Orang Muda Meminta Penghentian Penggunaan PLTU Batubara
Jam kerja yang panjang, pekerjaan yang bertumpu pada penggunaan alat berat di suhu panas, dan paparan bahan kimia membuat buruh berada di kondisi rentan. Namun, riset itu menemukan banyak buruh menilai fasilitas kerja hingga APD yang diberikan perusahaan masih belum memadai untuk menjaga keselamatan.
Arko Tarigan mengatakan, minimnya fasilitas yang layak, seperti layanan kesehatan dan transportasi antar-jemput, adalah kritik yang terus disuarakan oleh buruh. Alih-alih memperbaiki situasi ini, Klinik milik IMIP justru membatasi kuota pelayanan kesehatan, yang menyulitkan buruh mendapatkan respons cepat, terutama dalam situasi krusial.
Potret minimnya fasilitas yang layak dari IMIP itu sangat tergambar jelas dalam peristiwa kecelakan kerja yang terjadi pada 24 Desember 2023 lalu. Saat itu, para korban ledakan smelter PT ITSS terpaksa dirujuk ke rumah sakit hanya dengan menggunakan truk.
“Selain itu, nihilnya halte bus yang layak dan keterbatasan armada bus antar-jemput dari perusahaan berdampak pada efektivitas waktu kerja dan istirahat buruh. Kondisi ini membuat buruh sangat rentan alami kecelakaan kerja,” kata Arko
Senada dengan Arko, Wandi Kampainer Walhi Sulteng mengatakan, sistem kerja yang diterapkan oleh IMIP sangat menyiksa para buruh. Disisi lain, manajemen perusahaan maunya proses produksi tidak berhenti dan hanya mengejar target. Menurutnya, ini masalah utama yang menyebabkan kecelakaan kerja terus terjadi, dan perusahaan mengabaikan sistem K3.
Wandi, menekankan bahwa hilirisasi nikel tidak hanya tentang keuntungan yang selalu digembar-gemborkan, tetapi juga harus mencakup peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pekerja. Jika tidak, tema hilirisasi dan isu “dekarbonisasi” nikel sebagai komoditas pengganti fosil untuk baterai listrik hanya akan menjadi manipulasi demi kepentingan bisnis oligarki.
Menurut Wandi, perlunya audit dan transparansi terkait insiden kecelakaan kerja yang terus terjadi, dan dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem K3 di kawasan IMIP. Ia juga meminta, pemerintah pusat dan daerah juga harus melakukan proses hukum terhadap pimpinan dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.
“Pihak perusahaan berkewajiban memberikan jaminan dan kompensasi yang layak kepada korban dan keluarganya, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum,” kata Wandi melalui rilis yang diterima pada 26 Oktober 2024 lalu.
Arko berharap, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bisa mengambil sikap tegas atas insiden kecelakaan kerja yang terus terjadi di industri nikel di Indonesia. Ia meminta, pemerintah bisa melakukan moratorium perizinan tambang nikel untuk menghindari dampak buruk yang akan terjadi lagi.
Ia juga meminta pemerintahan yang baru ini bisa melakukan pengkajian kembali soal proyek hilirisasi nikel yang saat ini justru sangat merugikan masyarakat, bukan menguntungkan. Termasuk izin pembangunan smelter yang memberikan dampak buruh terhadap buruh yang kerap alami kecelakaan kerja akibat sistem K3 diabaikan.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Terjadi Lagi, Nyawa Seperti Tak Ternilai di IMIP
Hal itu sebagaimana ditemukan dalam riset mereka yang menyebut hilirisasi yang dikehendaki Presiden Joko Widodo justru tidak mengurangi angka kemiskinan di provinsi-provinsi industri nikel. Dimana, hilirisasi nikel tidak memberi perubahan struktural untuk perbaikan kesejahteraan buruh industri pengolahan nikel Indonesia.
Di sisi lain, kata Arko, kecelakaan yang telah merenggut puluhan nyawa belum mendorong Indonesia untuk memiliki regulasi perlindungan buruh yang komprehensif di sektor pertambangan dan pengolahan. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam upaya menjaga keselamatan dan kesehatan para pekerja.
“Isu hilirisasi sebagai strategi meningkatkan kesejahteraan rakyat masih patut dipertanyakan. Kondisi kerja yang melibatkan alat berat, suhu tinggi, dan paparan bahan kimia dalam jam kerja panjang membuat buruh sangat rentan,” jelasnya.
Olehnya, kata Arko, kualitas pembukaan lapangan kerja yang diharapkan dari program hilirisasi perlu ditelaah kembali. Adapun pembukaan lapangan kerja seharusnya disertai dengan perbaikan sistem ketenagakerjaan. Namun, katanya, kecelakaan yang terus terjadi di industri nikel menunjukkan bahwa pemerintah dan perusahaan mengabaikan sektor K3.
“Pemerintah juga tampak inkonsisten dan tidak transparan dalam menangani hak buruh dan korban K3 yang terus berjatuhan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kesejahteraan buruh tidak menjadi prioritas dalam pelaksanaan hilirisasi,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments