Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga Menolak Tambang Laut

Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga saat melakukan aksi menolak tambang laut. (Foto: Polresta Pangkal Pinang)
Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga saat melakukan aksi menolak tambang laut. (Foto: Polresta Pangkal Pinang)

Kondisi ekologis di Kepulauan Bangka Belitung terus mengalami degradasi yang parah setiap tahunnya. Industri penambangan timah menjadi kontributor utama kerusakan lingkungan, dengan dampak negatif yang terlihat jelas.

Perusahaan-perusahaan tambang, baik milik negara maupun swasta, berkewajiban memulihkan lahan bekas tambang agar kembali optimal. Namun, janji pemulihan ini sering kali tidak terwujud, mengingat temuan kondisi ekologis di Bangka Belitung menunjukkan hasil yang minim.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat bahwa luasan terumbu karang di Bangka Belitung menurun drastis dari 82.259,84 hektar pada 2015 menjadi hanya 12.474,54 hektar pada 2017. Selain itu, mangrove juga hilang seluas 240.467,98 hektar dari total awal 273.692,81 hektar.

Kerusakan ini berdampak pada ekosistem laut yang terganggu, mengakibatkan hilangnya mikrobiologi, organisme, dan sumber daya laut lainnya. Temuan di darat memperlihatkan kondisi serupa, di mana terdapat 12.607 kolong tambang dengan total luasan 15.579,747 hektar.

Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kepulauan Bangka Belitung, menyatakan bahwa bisnis pertambangan timah mengabaikan aspek ekologis. Ia menegaskan bahwa negara membiarkan pemilik modal mengeruk keuntungan tanpa memenuhi kewajiban reklamasi.

Baca juga: Di Bangkal Seruyan: ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’

Desa Batu Beriga, yang dihuni oleh masyarakat etnis Melayu secara turun temurun, memiliki hubungan yang arif dengan alam, terutama laut. Masyarakat setempat mempraktikkan metode berkelanjutan seperti panteng-lareng dan taber laot dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Perairan Desa Batu Beriga masih terjaga kelestariannya, dengan riset Walhi menunjukkan bahwa empat dari enam kategori kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) ada di sana. Kawasan ini juga menjadi rumah bagi beragam biota laut, termasuk Penyu Hijau, Nautilus, dan Dugong.

Ahmad Subhan Hafidz memperingatkan bahwa rencana penambangan akan berdampak buruk bagi masyarakat lokal dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Masyarakat Batu Beriga, bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi sipil, menolak rencana penambangan oleh PT Timah.

PT Timah mengklaim telah memenuhi semua persyaratan, termasuk IUP Produksi dan PKKPRL, namun keabsahannya diragukan. Partisipasi aktif masyarakat Batu Beriga dalam proses konsultasi publik terkait rencana ini justru diabaikan.

Pasal 4 huruf b Permen KP No. 12 tahun 2024 menggarisbawahi pentingnya keterlibatan masyarakat terdampak dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Namun, partisipasi masyarakat lokal dalam proses ini tidak terpenuhi, melanggar prinsip yang telah ditetapkan.

Baca juga: Ratusan Petani Plasma Buol Datangi DPRD, Tuntut Penyelesaian Konflik Kemitraan

Konflik telah ditanam oleh negara melalui PT Timah yang meminggirkan proses demokrasi. Penyusunan dokumen hanya melibatkan elit, sementara masyarakat Batu Beriga tidak dilibatkan dalam keputusan yang akan mempengaruhi hidup mereka,” katanya.

Masyarakat Batu Beriga melihat rencana penambangan ini sebagai kepentingan ekonomi-politik pemilik modal semata. Mereka, sebagai nelayan, akan kehilangan sumber penghidupan dan hak atas laut yang menjadi bagian dari tradisi mereka.

Kekhawatiran masyarakat juga mencakup upaya negara yang berpotensi mengikis nilai-nilai tradisional mereka. Tradisi taber laut, yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, berisiko hilang jika penambangan dilanjutkan.

Ahmad bilang, PT Timah berpotensi untuk memaksakan operasionalnya dengan menggunakan kebijakan yang merugikan masyarakat. Pendekatan represif terhadap perlawanan masyarakat Batu Beriga dapat memicu konflik sosial yang lebih luas.

“Namun, masyarakat Batu Beriga bersama aliansi mereka bertekad untuk melawan penambangan di laut mereka. Mereka menegaskan bahwa laut adalah milik rakyat, bukan milik segelintir orang pemilik modal,” jelasnya.

Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga mengeluarkan seruan tegas untuk menghentikan rencana penambangan. Mereka menuntut pencabutan IUP PT Timah di perairan Batu Beriga dan penetapan kawasan tersebut sebagai Zero Tambang.

Staf Redaksi Benua Indonesia