Ketika Tanah Digerus, Sungai Dirusak: Kisah Tambang di Mojokerto

Operasi Tambang Ilegal di batas Desa Bening (Foto: Walhi Jawa Timur)
Operasi Tambang Ilegal di batas Desa Bening (Foto: Walhi Jawa Timur)
  • Gondang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Mojokerto. Dahulu wilayah ini dikenal sebagai kawasan pertanian yang subur. Namun sejak sekitar 2015, wajah Gondang berubah. Tanah-tanah pertanian mulai berlubang. Bukit-bukit digerus. Sungai dibelokkan. Semua demi tambang—yang sebagian besar ilegal.
  • Laporan WALHI Jawa Timur menunjukkan bahwa hampir seluruh aktivitas tambang yang terjadi di wilayah Kecamatan Gondang tergolong ilegal. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur mengonfirmasi bahwa sepanjang tahun 2020 hingga 2025, tidak ada satu pun Izin Operasi Produksi (IUP OP) yang diterbitkan untuk wilayah in.
  • Ironisnya, tambang-tambang ini berada di kawasan yang semestinya dilindungi. Menurut Perda Mojokerto Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Renacan Tata Ruang dan Tata Wilayah, Gondang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, yang tersebar di Pacet, Trawas, Jatirejo, dan Gondang, dengan luas mencapai 1.141,18 hektar.

Gondang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Mojokerto. Dahulu wilayah ini dikenal sebagai kawasan pertanian yang subur. Total terdapat 18 desa yang mayoritas warganya adalah petani, kawasan ini menggantungkan hidup dari tanah yang subur dan aliran sungai seperti Kali Galuh dan Kali Pikatan. Namun sejak sekitar 2015, wajah Gondang berubah. Tanah-tanah pertanian mulai berlubang. Bukit-bukit digerus. Sungai dibelokkan. Semua demi tambang—yang sebagian besar ilegal.

Tidak ada yang tahu pasti, kapan sekiranya aktivitas tambang pertama kali muncul. Namun menurut penuturan warga yang ditemui WALHI Jawa Timur pada November 2024, kegiatan penambangan mulai agresif sejak pertengahan 2010-an. Beberapa desa seperti Ngembat, Jatidukuh, Kalikatir, dan Bening jadi titik-titik utama. Bahkan, truk-truk pengangkut material tambang sempat mengakses jalan sempit desa dari dini hari hingga sore.

Baca juga: Menyoal Pemberian Konsesi Tambang untuk Universitas

Salah satu yang paling terdampak adalah Sungai Galuh di Desa Ngembat, aliran sungai tersebut dibelah oleh jalan buatan tambang. Warga menyebut air yang dulunya jernih kini keruh, bahkan berwarna cokelat seperti “kopi susu”. Fungsi sungai sebagai sumber air bersih dan irigasi rusak. Irigasi sawah pun ikut terganggu, dan sumur-sumur warga mengering.

Warga yang rumahnya dekat dengan lokasi tambang juga mengalami polusi udara dari debu, suara bising dari truk, hingga kerusakan rumah karena getaran alat berat. “Kami sampai harus berputar jauh hanya untuk ke desa sebelah karena jalan lama sudah rusak dan terputus,” kata salah seorang warga Desa Ngembat.

Selain itu, risiko longsor juga mengintai, terutama di daerah dataran tinggi seperti Dusun Seketi, Desa Jatidukuh. Tebing-tebing yang dikeruk hampir menyinggung permukiman. Beberapa warga bahkan mengaku pernah mendengar suara tanah longsor dari rumah mereka.

Ancaman dan Perlawanan: Ketika Warga Tak Mau Diam

Tidak semua warga memilih untuk pasrah. Sebagian memilih untuk melawan. Aksi penolakan pernah dilakukan warga dari Desa Jatidukuh, Bening, dan Ploso Bleberan yang bergabung menuntut penghentian tambang di Sungai Galuh. Mereka mengusir alat berat, bahkan menghadang dengan tidur di jalan.

Namun keberanian itu tidak datang tanpa risiko. Beberapa warga mengalami intimidasi. Ada yang ditawari suap agar tidak protes. Ada pula yang ditendang oleh preman bayaran setelah menolak. Seorang warga yang vokal terhadap kerusakan akibat tambang bahkan dilempari petasan dan dijauhi tetangga karena dicap “suka demo.”

Baca juga: Membungkam Suara Kritis Universitas dengan Konsesi Tambang Bekas

Meski begitu, semangat warga tetap kuat. “Kalau masyarakat diam saja, siapa yang akan peduli dengan tanah ini? Apa kita rela tanah diwariskan dalam keadaan rusak ke anak-cucu?” ujar seorang warga yang menolak tambang di Desa Ngembat.

Akan tetapi kondisi ekonomi yang semakin memburuk, pada akhirnya membuat sebagian warga justru akhirnya terlibat dalam aktivitas tambang. “Kami bergantung ke tambang karena tidak ada pilihan lain,” kata seorang warga Desa Jatidukuh yang kehilangan lahan garapannya akibat aktivitas penambangan.

Lemahnya Pengawasan dan Celah Regulasi

Laporan WALHI Jawa Timur menunjukkan bahwa hampir seluruh aktivitas tambang yang terjadi di wilayah Kecamatan Gondang tergolong ilegal. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur mengonfirmasi bahwa sepanjang tahun 2020 hingga 2025, tidak ada satu pun Izin Operasi Produksi (IUP OP) yang diterbitkan untuk wilayah ini. Beberapa pemilik tambang memang sempat mengajukan izin, tetapi masih berada pada tahap Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), sehingga seharusnya belum boleh melakukan kegiatan eksploitasi apa pun.

Namun fakta di lapangan berkata lain. Aktivitas tambang tetap berlangsung. Truk-truk pengangkut material tetap melintas setiap hari, tanah terus dikeruk, dan sungai-sungai tercemar. Ketika aparat penegak hukum turun ke lapangan, kegiatan tambang biasanya sudah dihentikan sementara. Penindakan pun terbatas dan tidak berkelanjutan.

Dalam beberapa kasus, WALHI Jawa Timur menemukan adanya pemilik tambang yang telah mengantongi IUP namun masa berlakunya sudah habis, dan hingga kini tidak ada kewajiban reklamasi yang dijalankan. Bahkan ketika dana jaminan reklamasi (jamrek) telah dicairkan, pihak tambang kerap mengelak dari tanggung jawab. “Tanahnya darimana, Pak?” demikian alasan yang disampaikan, seolah menutup ruang untuk pemulihan ekosistem yang rusak.

Baca juga: Mudaratnya Perguruan Tinggi Kelola Tambang

Koordinasi antar lembaga terkait juga lemah. Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), hingga aparat penegak hukum kerap melempar tanggung jawab. Ada yang menyatakan lokasi tambang bukan berada dalam kewenangannya. Bahkan status Sungai Galuh pernah dinyatakan “bukan sungai” oleh BBWS, yang memuluskan proses penerbitan izin. Situasi ini menjadi celah besar yang dimanfaatkan oleh pelaku tambang.

Ironisnya, tambang-tambang ini berada di kawasan yang semestinya dilindungi. Berdasarkan Peraturan Daerah Mojokerto Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Renacan Tata Ruang dan Tata Wilayah, Kecamatan Gondang termasuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, yang tersebar di Pacet, Trawas, Jatirejo, dan Gondang, dengan luas mencapai 1.141,18 hektar. Selain itu, terdapat kawasan sekitar mata air dengan radius perlindungan 100–200 meter dan zona rawan longsor yang juga ditetapkan berada di Gondang.

Namun, di sisi lain, wilayah yang sama juga ditetapkan sebagai kawasan pertambangan oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto. Kebijakan ini menunjukkan ketidakkonsistenan yang fatal. Bagaimana mungkin suatu wilayah ditetapkan sebagai kawasan lindung sekaligus kawasan tambang? Ketentuan yang tumpang tindih ini justru memberi ruang abu-abu bagi para pelaku tambang untuk tetap beroperasi dengan dalih “izin” yang seharusnya tak bisa diberikan di atas kawasan lindung dan rawan bencana.

Perlu Keseriusan Pemerintah Daerah

Tambang di Gondang bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah cermin dari ketidaktegasan negara dalam melindungi ruang hidup rakyat. Ketika izin tidak jelas, pengawasan lemah, dan reklamasi diabaikan, yang dikorbankan adalah masyarakat dan ekosistem lokal. Sementara itu, pelaku tambang—baik yang terang-terangan maupun yang berlindung di balik izin—tetap diuntungkan.

Warga Gondang sudah bicara. Mereka tidak menolak pembangunan. Tapi mereka menolak jika pembangunan hanya menjadi alasan untuk merusak tanah, mengeringkan sungai, dan mengorbankan hidup mereka. Kini giliran pemerintah Kabupaten Mojokerto yang bicara—dengan tindakan. Termasuk menindak tegas para pelaku tambang yang merusak kawasan pangan dan sungai. Selain itu, perlu pemberdayaan ekonomi bagi warga, karena salah satu alasan melakukan penambangan adalah faktor ekonomi yang lemah.

Terakhir dan tak kalah penting untuk disampaikan yakni, salah satu langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Mojokerto adalah memperbaiki regulasi mereka, khususnya rencana tata ruang. Karena penetapan kawasan pertambangan di wilayah lindung seperti Gondang tidak hanya bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan, tetapi juga membahayakan keselamatan masyarakat.

 


Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur