- Melalui Revisi Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), Perguruan Tinggi diusulkan bisa kelola tambang, dengan alasan sebagai upaya untuk mendukung pendanaan institusi pendidikan.
- Aulia Hakim, Pendiri Ruang Setara (RASERA) Project menilai, langkah ini menunjukkan ketidakmampuan para elit politik di DPR-RI dalam memahami dan mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
- Firdaus Cahyadi, Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy juga menilai, elite politik terus menunjukkan kegagalan berpikir dalam mengelola sumber daya alam. Gagasan itu mencerminkan kesalahan besar dalam cara pandang mereka terhadap pengelolaan alam.
- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan ini sangat kental dengan nuansa politik patronase, di mana izin pertambangan lebih dilihat sebagai “bagi-bagi kue” kepada loyalis pemerintah. ICW juga menilai, kebijkan ini berpotensi besar terjadinya korupsi.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) resmi menyetujui usulan Badan Legislatif (Baleg) terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah usulan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) Minerba bagi perguruan tinggi, yang disebut-sebut sebagai upaya untuk mendukung pendanaan institusi pendidikan.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco, menyampaikan bahwa pemberian IUP untuk perguruan tinggi dimaksudkan untuk membantu pembiayaan kampus. Usulan tersebut juga mencakup ketentuan bahwa perguruan tinggi yang bisa mengelola tambang harus memiliki badan usaha.
Tujuan dari revisi UU Minerba ini seperti sebuah aturan yang sejajar dengan pemberian izin tambang kepada organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Namun, usulan ini mendapat tanggapan keras dari berbagai organisasi masyarakat sipil.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Jarah Cagar Alam Panua
Aulia Hakim, Pendiri Ruang Setara (RASERA) Project menilai, langkah ini menunjukkan ketidakmampuan para elit politik di DPR-RI dalam memahami dan mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatur pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Apa yang dicetuskan oleh Baleg DPR RI, bersama Wakil Ketua DPR dan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), adalah kemunduran dalam tata kelola sumber daya alam,” tegas Aulia.
“Ini adalah proyek politik yang tidak hanya lemah dalam hal kemampuan berpikir, tetapi juga tidak memiliki komitmen terhadap kesejahteraan rakyat,” sambungnya.
Aulia mempertanyakan apakah langkah memberi konsesi tambang kepada perguruan tinggi benar-benar akan menyelesaikan persoalan rakyat, seperti pembiayaan universitas dan mengurangi dominasi modal asing dalam industri pertambangan.
“Jika ingin memutus dominasi modal asing, mengapa tidak memberikan pengelolaan tambang kepada serikat buruh tambang atau perusahaan daerah? Atau mendorong nasionalisasi aset tambang yang saat ini dikuasai oleh swasta?” ungkapnya.

Menurutnya, langkah yang tepat untuk mewujudkan tata kelola tambang yang adil bukanlah dengan memberikan izin kepada organisasi massa agama atau perguruan tinggi.
Aulia kemudian menyoroti kondisi di Sulawesi Tengah, yang saat ini menjadi pusat industri pertambangan di kawasan Indonesia Timur.
Pada tahun 2021, Sulawesi Tengah tercatat memiliki 1.150 izin usaha pertambangan (IUP), yang tersebar di 13 kabupaten/kota. Namun, izin-izin tersebut dikeluarkan tanpa antisipasi yang memadai terhadap dampak ekologis.
Sumber daya alam di Sulawesi Tengah kini menjadi ladang cuan bagi segelintir elit, sementara masyarakat harus menanggung dampak kerusakan lingkungan, termasuk deforestasi seluas setengah juta hektare dan bencana ekologis seperti banjir dan longsor.
Baca juga: Selamatkan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan dari Kepungan Tambang
Di sektor pertambangan nikel, misalnya, terdapat area tambang seluas 92.604 hektar yang dikelola oleh 37 perusahaan dengan izin usaha pertambangan. Angka ini tercatat hingga 2021.
Belum lagi izin-izin untuk tambang batuan yang tersebar di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala, yang terus meningkat setiap tahunnya.
“Apa yang terjadi di Sulawesi Tengah menjadi contoh nyata betapa buruknya tata kelola pertambangan di Indonesia,” kata Aulia.
Aulia pun mendesak DPR RI untuk menghentikan proyek politik yang dinilai hanya menguntungkan elit politik tertentu dan tidak membawa manfaat bagi rakyat. Ia juga menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk menyatakan sikap tegas terkait kebijakan ini.
“Presiden Prabowo harus dapat menafsirkan dengan benar amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kepentingan segelintir pihak,” ujarnya.

Publik Harus Tolak Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi
Senada, Firdaus Cahyadi, Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy juga menilai, elite politik terus menunjukkan kegagalan berpikir dalam mengelola sumber daya alam.
“Salah satu contoh nyata adalah gagasan pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi yang mencerminkan kesalahan besar dalam cara pandang mereka terhadap pengelolaan alam,” kata Firdaus
Menurutnya, revisi UU Minerba yang tengah digulirkan mencuatkan ide kontroversial tentang pembagian konsesi tambang untuk perguruan tinggi. Ia bilang, alasan untuk memberikan konsesi tambang sebagai cara mendanai kampus jelas tidak masuk akal.
“Masih banyak alternatif lain untuk mendanai perguruan tinggi tanpa harus mengorbankan lingkungan hidup,” tegasnya.
Menurut Firdaus, pembagian konsesi tambang kepada perguruan tinggi hanya mempertegas model pembangunan ekstraktif yang semakin merusak alam. Katanya, kerusakan lingkungan ini pasti akan memicu perlawanan dari masyarakat.
Ia menilai, pemberian konsesi kepada organisasi massa (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi adalah cara untuk meredam protes masyarakat yang kini mulai sadar akan pentingnya perlindungan lingkungan.
Baca juga: Tangkap Cukong Tambang Emas Ilegal di Hutan Boliyohuto Gorontalo!
Firdaus menjelaskan, ormas agama yang terlibat dalam pengelolaan tambang akan cenderung meredam kritik dengan memanfaatkan interpretasi sepihak terhadap ajaran agama.
Sementara itu, katanya, perguruan tinggi yang menerima konsesi tambang berpotensi menghasilkan argumen yang terkesan ilmiah untuk membenarkan atau bahkan menormalisasi dampak buruk dari eksploitasi tambang.
Ia bilang, elite politik yang memberikan konsesi tambang kepada ormas agama dan perguruan tinggi sekolah menugaskan kedua institusi ini, yang seharusnya menjadi simbol moral dan intelektual, untuk membodohi masyarakat tentang bahaya kerusakan alam akibat pertambangan.
Firdaus juga menanggapi alasan nasionalisme yang berkembang, yang menyebutkan bahwa sebagian besar tambang kini dikuasai oleh pihak asing. Ia tegasnya, alasan tersebut sama sekali tidak berdasar.
“Baik asing maupun nasional, penguasaan tambang tidak bisa mengurangi dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan,” ucapnya.
Menurutnya, publik harus bersuara keras menolak gagasan pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi dan tidak terjebak dalam argumentasi yang disamarkan dengan klaim nasionalisme.

Tak Sesuai dengan Prinsip-prinsip Konstitusional
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, menilai bahwa prosedur revisi UU Minerba yang dilalui tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional, karena melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasalnya, di tengah masa reses, Baleg DPR dengan cepat dan tanpa keterlibatan publik, menyelenggarakan rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Dalam waktu singkat setelah rapat panitia kerja tertutup untuk menyusun RUU, rapat pleno tertutup digelar dan memutuskan bahwa RUU Minerba 2025 menjadi inisiatif DPR. Selain itu, ICW juga mencatat dua persoalan utama dalam draf RUU Minerba yang beredar pada 20 Januari 2025.
Dalam Pasal 51 ayat (1), 51A ayat (1), dan 75 ayat (2), RUU ini mengusulkan perluasan subjek penerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Baca juga: Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga Menolak Tambang Laut
Yassar Aulia Peneliti ICW mengatakan, izin tersebut kini dapat diberikan kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan dan perguruan tinggi melalui badan usaha yang mereka miliki.
“Ketentuan ini sejatinya ingin melegitimasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 yang sebelumnya memberikan prioritas kepada Ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang,” kata Yassar Aulia
ICW menilai bahwa motif di balik kebijakan ini sangat kental dengan nuansa politik patronase, di mana izin pertambangan lebih dilihat sebagai “bagi-bagi kue” kepada loyalis pemerintah ketimbang sebagai kebijakan yang didasarkan pada urgensi pengelolaan tambang yang kompeten.
Menurut ICW, memberikan hak pengelolaan tambang kepada Ormas keagamaan atau perguruan tinggi yang tidak memiliki pengalaman di sektor ini tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga berisiko membuka pintu bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Penjelasan dalam RUU Minerba 2025 yang hanya menyebutkan akselerasi keterlibatan perguruan tinggi dan Ormas keagamaan dalam upaya “meningkatkan nilai tambah” semakin menunjukkan betapa kaburnya tujuan dari ketentuan tersebut.

Kekhawatiran ICW ini tidaklah tanpa dasar. Mengingat pada revisi UU Minerba 2020 lalu, sejumlah pasal terkait perpanjangan lisensi kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara (PKP2B) terbukti hanya menguntungkan segelintir elite kaya yang ada di balik perusahaan tambang.
“Pola-pola korupsi seperti regulatory capture atau state capture sudah lama marak di sektor ekstraktif ini. Jika RUU Minerba baru ini disahkan, ICW memperingatkan bahwa hal tersebut hanya akan memperluas ruang bagi aktor-aktor pemburu rente,” jelas Yassar Aulia
Adapun Pasal 51A, 51B, dan 75 dalam RUU Minerba 2025 mengatur pemberian izin tambang—baik untuk WIUP mineral logam, batubara, maupun hilirisasi—secara prioritas, yang artinya izin dapat diberikan tanpa melalui proses lelang yang selama ini diatur.
Egi Primayogha, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW mengatakan, dengan hilangnya sistem lelang ini, ICW melihat potensi besar terjadinya korupsi dalam pemberian izin tambang.
Menurut Egi, tanpa indikator yang jelas dan terukur, skema prioritas ini berpotensi menciptakan ruang bagi badan usaha—baik swasta, Ormas keagamaan, maupun perguruan tinggi—untuk melakukan praktik suap atau memanfaatkan pengaruh politik demi mendapatkan izin.
Baca juga: Tambang Datang, Mata Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang
Tingginya potensi korupsi di sektor pertambangan bukanlah hal baru. Berdasarkan catatan ICW dari penindakan kasus oleh aparat penegak hukum, sejak 2016 hingga 2023, negara tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 24,8 triliun akibat korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam.
“Menghilangkan proses lelang dan memperluas pemberian izin tanpa transparansi justru akan menambah beban korupsi yang semakin sulit untuk dikendalikan,” jelas Egi Primayogha
ICW menilai, daripada memperburuk kondisi dengan memberi ruang bagi praktik korupsi lebih lanjut, lebih baik pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh tata kelola sektor pertambangan, terutama di titik-titik rentan yang muncul selama proses lelang izin usaha pertambangan.
ICW mendesak DPR untuk menghentikan seluruh proses revisi RUU Minerba 2025 yang menurutnya telah disusun secara terburu-buru dan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip partisipasi publik yang sah.
“ICW juga menuntut agar pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk lebih berhati-hati dalam menyetujui kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir elite,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments