“Bukan Kami yang Merusak, Tapi Tambang yang Menghancurkan Masa Depan”

Gambaran masa depan tambang nikel. Sumber: walhisulsel
Gambaran masa depan tambang nikel. Sumber: walhisulsel

“Petani dan Perempuan Loeha Raya Menanggapi Stigma Akademisi: Bukan Kami yang Merusak, Tapi Tambang yang Menghancurkan Masa Depan


Mereka tak datang dengan alat berat, tak menebang hutan dengan ekskavator, tak menggali tanah dalam-dalam untuk mengambil nikel. Mereka datang dengan bibit merica, parang, dan harapan. Tapi justru mereka yang dituding menghancurkan masa depan.

Pernyataan dari seorang akademisi Universitas Hasanuddin, Dr. Yahya, MA, dalam berita bertajuk “Tanam Merica di Hutan Lindung: Siap-siap Korbankan Masa Depan untuk Keuntungan Sesaat,” menggugah amarah yang selama ini membara dalam diam.

Bagi petani dan perempuan Loeha Raya, tudingan itu tak ubahnya tamparan keras dari menara gading yang selama ini mereka hormati—bukan karena kekuasaan, tapi karena seharusnya ilmu berpihak pada keadilan.

“Masa depan apa yang dimaksud? Masa depan tambang?” tanya Hasmah Kaso, seorang perempuan petani, matanya nyalang menatap lereng-lereng hutan yang makin digerogoti. “Kalau masa depan itu datang dari tambang, maka yang kami tahu, ia datang membawa kerusakan.”

Sejarah yang Dilupakan, Luka yang Diabaikan

Untuk memahami kemarahan itu, kita harus kembali ke tahun 1968. Tahun ketika pemerintah Indonesia pertama kali memberikan Kontrak Karya kepada PT International Nickel Indonesia (INCO)—yang kini bernama PT Vale Indonesia Tbk. Tanpa proses konsultasi yang sungguh-sungguh, wilayah Loeha Raya dimasukkan ke dalam peta konsesi tambang. Sejak saat itu, kehidupan warga tak lagi sama.

Sawah-sawah mereka perlahan tenggelam akibat naiknya permukaan Danau Towuti, yang menurut warga disebabkan oleh aktivitas tambang. Mata pencaharian hancur, ruang hidup menyempit. Dalam keterdesakan itulah, warga Loeha Raya—banyak di antaranya perempuan—beralih menanam merica di lereng-lereng bukit.

“Merica adalah simbol hidup kami hari ini,” kata Hasmah. “Ia bukan hasil rakus, tapi hasil bertahan.”

Namun, pilihan itu kini dianggap sebagai ancaman. Bukan oleh korporasi tambang, bukan oleh pemerintah yang menggelontorkan izin, tapi oleh akademisi yang seharusnya menjadi juru bicara kebenaran.

Siapa Sebenarnya Perusak?

Ali Kamri Ali, Ketua Asosiasi Petani Lada Loeha Raya, merasa heran. Tuduhan bahwa petani merica merusak hutan dianggapnya sebagai pengalihan isu dari masalah yang lebih besar—ekspansi tambang nikel.

“Sejak lama kami hidup berdampingan dengan hutan. Kami mengambil rotan, damar, hasil hutan lain dengan cara yang lestari,” katanya. “Kami bahkan tidak pernah membuka hutan besar-besaran. Justru tambanglah yang menebas, menggali, dan mengubah topografi.”

Fakta bahwa pemerintah justru memperpanjang izin tambang—alih-alih mengevaluasi dampaknya—menambah ironi situasi. Pada 26 Februari 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk PT Vale di Blok Tanamalia. Padahal, kontrak karya perusahaan itu seharusnya berakhir pada 2025.

“Kalau masa depan itu tambang, maka masa depan kami sudah dicuri sejak dulu,” ujar Ali getir.

Perempuan dan Tanah yang Mereka Jaga

Apa yang sering luput dari sorotan media dan akademisi adalah peran perempuan dalam menjaga hutan. Di Loeha Raya, perempuan bukan sekadar pendamping, mereka adalah pelaku utama pertanian merica—mencangkul, menanam, memanen, bahkan mengatur distribusi hasilnya. Merica bagi mereka bukan sekadar hasil bumi, tapi alat perjuangan.

“Dari merica, kami bisa menyekolahkan anak, membiayai kebutuhan rumah tangga, hingga membangun kemandirian,” kata Hasmah. “Kami tidak ingin kaya raya, kami hanya ingin bertahan hidup dengan martabat.”

Namun martabat itulah yang kini dipertaruhkan. Bukan karena salah mereka, tapi karena narasi-narasi dari luar yang menyederhanakan persoalan seolah hanya soal ‘perusakan hutan oleh petani’.

Akademisi yang Terpisah dari Realitas

Risal, salah satu pemuda Loeha Raya, menyuarakan kekecewaannya pada dunia kampus. Baginya, suara akademisi yang mestinya membawa terang, kini justru mengaburkan kebenaran.

“Universitas Hasanuddin seharusnya menjadi rumah akal sehat. Tapi mengapa justru abai terhadap suara rakyat kecil?” katanya.

Ia merujuk pada riset WALHI Sulsel yang telah memetakan kerusakan ekologis di Loeha Raya, termasuk akibat aktivitas tambang. “Adakah bukti bahwa petani merica menyebabkan longsor, pencemaran air, atau kerusakan masif seperti tambang?” tanyanya. “Mengapa yang kecil disalahkan, dan yang besar dibiarkan?”

Kemarahan itu bukan tanpa dasar. Bagi masyarakat Loeha Raya, stigma dari dunia akademik lebih menyakitkan daripada tekanan dari pemerintah atau perusahaan. Karena stigma itu bisa mematikan harapan, merusak solidaritas, dan menghalangi dukungan publik.

Tuntutan dari Akar Rumput

Dengan latar belakang itu, masyarakat Loeha Raya menyampaikan tuntutan yang terang dan tegas:

  1. Hentikan semua izin dan hentikan eksplorasi tahap II PT Vale Indonesia di Blok Tanamalia sebelum ada persetujuan utuh dari masyarakat Loeha dan Ranteangin, terutama petani dan perempuan.
  2. Hentikan kriminalisasi dan narasi menyesatkan terhadap petani. Akademisi harus bertanggung jawab atas stigma yang melemahkan perjuangan masyarakat.
  3. Akui dan lindungi wilayah kelola rakyat Loeha Raya, terutama perkebunan merica sebagai bentuk pengelolaan hutan yang selaras dengan alam.
  4. Libatkan masyarakat, khususnya perempuan, dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak pada ruang hidup.
  5. Akhiri kemitraan akademik yang tidak mendengarkan suara rakyat dan hanya melanggengkan logika eksploitasi.

Petani Bukan Perusak, Tapi Penjaga

Ini bukan sekadar pernyataan sikap. Ini adalah jeritan dari tanah yang semakin sempit, dari hidup yang dipinggirkan oleh kepentingan modal. Petani Loeha Raya bukan hanya sedang bertani. Mereka sedang mempertahankan ruang hidup, harga diri, dan masa depan.

“Kalau hari ini kami dicap sebagai perusak karena menanam merica, maka besok jangan salahkan kami kalau kami tak lagi percaya pada ilmu dan negara,” ujar Risal.

Dan mungkin, itulah yang paling mengerikan dari semua ini: ketika masyarakat tak lagi percaya pada kebenaran yang lahir dari kampus, karena kebenaran itu telah dibeli oleh tambang.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.