- Banggai Kepulauan kaya keragaman hayati di darat maupun lautan. Masyarakat bergantung hidup dari sektor perikanan, perkebunan dan pertanian. Kini, eksosistem karst di kabupaten di Sulawesi Tengah ini, terancam tambang.
- Aktivis lingkungan dan mahasiswa pun tergabung dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah (Sulteng) unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Sulteng, 7 September lalu. Mereka meminta Pemerintah Sulteng harus menghentikan segala pemberian izin untuk penambangan di kabupaten itu.
- Pemerintah Banggai Kepulauan punya program kampung iklim guna mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
- Beberapa desa sudah punya semacam model perlindungan berbasis masyarakat melalui kesepakatan pengelolaan alam desa dan rencana tata guna lahan. Secara partisipatif, masyarakat dan pemerintah desa di Banggai Kepulauan sudah melakukan kajian spasial keragaman hayati dan upaya-upaya pengurangan ancaman pada spesies endemik dan tekanan pada habitat pentingnya.
Sejumlah aktivis lingkungan dan mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Provinsi Sulteng dan Kantor DPRD Sulteng, Kamis (7/9/2023). Mereka meminta Pemerintah Provinsi Sulteng harus menghentikan segala pemberian izin rencana penambangan yang akan dilakukan di wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan.
Selain itu, mereka juga meminta Pemerintah Provinsi dan DPRD Sulteng harus mengevaluasi dan mencabut beberapa izin pencadangan dan juga satu izin Operasi Produksi (OP) yang akan melakukan kegiatan penambangan di Wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan. Pasalnya, sekitar 85 persen daratan Banggai Kepulauan adalah wilayah ekosistem karst yang menjadi objek vital bagi masyarakat setempat sebagai perlindungan terhadap tata air dan juga perlindungan keanekaragaman hayati.
Daratan Banggai Kepulauan seluas 2.489 Km2 dengan memiliki 12 Kecamatan, 141 Desa dan 3 Kelurahan, serta mempunyai penduduk sebanyak 117.526 jiwa. Data Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah menyebut, ada sekitar 31 perusahaan yang berencana melakukan penambangan batu gamping di Kawasan Karst Banggai Kepulauan, dan 1 perusahaan diantaranya sudah memiliki izin operasi produksi (OP) sejak tahun 2022 hingga 2025, yaitu PT. Aurora Cahaya Lestari seluas 113.70 hektar.
Tak hanya itu, 8 perusahaan lainnya masih berstatus pencadangan atau belum berproduksi dengan total luasan 1.011,00 hektar. Sedangkan, 23 perusahaan lainnya masih mendorong penyesuaian ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Banggai Kepulauan dengan total luasan 3.725,55 hektar. Koalisi Advokasi Karst Sulteng memperkirakan, lebih dari setengah atau sekitar 56 persen dari jumlah seluruh kecamatan di Banggai Kepulauan akan diduduki perusahaan tambang tersebut.
“Perusahaan-perusahaan ini pasti akan merusakan ekosistem Kawasan Karst Banggai Kepulauan dan ruang hidup masyarakat setempat. Sehingga, perlu Pemerintah Provinsi dan DPRD Sulteng menghentikan segala pemberian izin rencana penambangan yang akan dilakukan di wilayah itu serta mengevaluasi dan mencabut beberapa izin pencadangan dan izin Operasi Produksi (OP) yang sudah diberikan,” kata Mohammad Taufik dari Koalisi Advokasi Karst Sulteng.
Padahal, Kawasan Karst itu sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan dengan tujuan; terciptanya ekosistem karst secara sederhana, terpadu dan optimal; mewujudkan keseimbangan tata guna lahan dengan daya dukung ekosistem; serta mendorong terciptanya kelestarian mutu lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Perlindungan itu dibuat juga karena, kawasan bentang alam karst tersebut memiliki komponen geologi yang unik, berfungsi sebagai pengatur alami tata air, memiliki keanekaragaman hayati serta menyimpan nilai tambah, sehingga perlu untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaanya dalam rangka mencegah kerusakan guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Usai Perda itu dibuat, Kawasan Karst Banggai Kepulauan pun masuk dalam 4 Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di Indonesia yang wajib dilindungi dan dipertahankan dari kerusakan. KEE merupakan kawasan dengan ekosistem yang berada di luar kawasan konservasi baik yang merupakan tanah hak maupun bukan hak, yang secara ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati. KEE ini juga mampu menunjang kelangsungan kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga kawasan ini menjadi salah satu wilayah yang dilindungi.
Salah satu pasal dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) menyatakan, perlindungan KEE harus dilakukan melalui pencegahan, penanggulangan dan perbaikan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama dan penyakit serta melakukan penjagaan kawasan secara efektif.

Bupati Bupati Banggai Kepulauan pun membuat Surat Keputusan Nomor 224 Tahun 2022 Tentang Penetapan Kawasan Bernilai Penting Bagi Konservasi Keanekaragaman Hayati Ekosistem Karst Banggai Kepulauan. Pasalnya, di wilayah itu, ada 124 sumber mata air, 1 sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan, yang semuanya terhubung dengan karst tersebut. Selain itu, ada 5 danau di wilayah itu, satu diantaranya adalah Danau Paisupok di Kecamatan Bulagi Utara yang sudah terkenal karena airnya sebening kaca.
Inventarisasi Burung Indonesia tahun 2017 menyebutkan, Kawasan Karst Banggai Kepulauan ini didominasi batuan gamping yang mengalami karsifikasi atau proses pelarutan yang berlangsung selama jutaan tahun, sehingga bentangan alam kawasan karst ini memiliki rongga bawah permukaan sebagai sumber air dan menjadi habitat satwa. Hal ini menjadikan Kawasan Karst Banggai Kepulauan ini sebagai reservoir air bawah tanah raksasa yang memiliki sistem drainase sendiri, dan menjadi kunci untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan.
Dengan memiliki formasi geologis unik dan kompleks seperti itu, ekosistem Karst Banggai Kepulauan ini menjadi tempat habitat penting bagi beragam flora dan fauna khas, langka serta endemik. Selain menjadi wilayah vital bagi sumber-sumber penghidupan masyarakat sekitar, kawasan ini juga bisa menjadi tempat penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga tempat rekreasi dan wisata.
Sayangnya, kata Mohammad Taufik, kawasan karst yang memiliki aspek abiotik dan biotik dengan luas 232.843 hektar dengan ketebalan mencapai 900 mdpl ini sedang terancam keberadaannya akibat adanya puluhan perusahaan tambang batu gamping yang mencoba masuk dan beroperasi di wilayah tersebut. Katanya, Pemerintah Daerah, Provinsi, dan DPRD Sulteng harus memandang serius hal ini akan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan tidak akan rusak akibat hadirnya investasi yang merusak itu.
“Mayoritas masyarakat Banggai Kepulauan bercorak pertanian, perikanan, dan perkebunan. Dengan hadirnya perusahaan pertambangan batu gamping, diprediksi akan merusakan sumber penghidupan mereka,” kata Mohammad Taufik yang juga Direktur Jatam Sulteng
Jemianto Maliko, Ketua AMAN Banggai Kepulauan mengatakan, ada sekitar 27 komunitas masyarakat adat di Banggai Kepulauan, 5 diantaranya berada di wilayah izin perusahaan tambang batu gamping yang masih dalam proses pencadangan maupun sudah operasi produksi. Katanya, hutan adat yang menjadi wilayah sakral sudah direncanakan akan ditambang oleh perusahaan.
Menurut Jemianto, kondisi ini membuat masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia, khususnya di Banggai Kepulauan semakin terpuruk dan terus dimarginalkan untuk mengelola wilayah adatnya. Padahal, wilayah ada itu menjadi sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah dikelola sejak dulu.
Jemianto bilang, hadirnya puluhan perusahaan batu gamping di Banggai Kepulaun akan memperpanjang praktek keberpihakan Negara ke korporasi. Di sisi lain, pengakuan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat pun masih minim, bahkan mereka masih terus terancam, dan wilayahnya dirampas, hingga mengalami kekerasan serta dikriminalisasi.
“Dengan hadirnya puluhan perusahaan yang berencana ingin masuk, secara otomatis akan mengganggu hak-hak dari masyarakat adat di Banggai Kepulauan, termasuk hutan adat mereka” kata Jemianto Maliko di Diskusi Publik yang dibuat oleh dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah, akhir Agustus lalu.

Tujuh Spesies Endemik Terancam
Kawasan Karst Banggai Kepulauan ini terletak di kawasan Wallacea dengan keanekaragaman hayati tinggi. Riset riset Burung Indonesia Oktober 2020 hingga Januari 2021 menyebutkan, ada tujuh spesies endemik yang terancam punah, di Pulau Peling, Banggai Kepulauan, dengan jangkauan dan populasi terbatas di seluruh wilayah. Spesies diantaranya, lima spesies burung, dua spesies mamalia.
Pertama; spesies burung yang terancam punah adalah Gagak Banggai (Corvus unicolor). Spesies burung Gagak ini sebelumnya pernah dianggap punah, namun akhirnya ditemukan kembali oleh ahli burung Indonesia Mochamad Indrawan pada tahun 2007 dan 2008 di Pulau Peling, Banggai Kepulauan pada tahun 2007 dan 2008. Kini, Gagak Banggai masuk dalam daftar merah terancam punah dengan status (critically endangered/CR) menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau IUCN.
Ketua; celepuk banggai atau burung hantu Banggai (Otus mendeni). Spesies burung hantu kecil berwarna coklat dengan mata kuning dan jambul berbulu ini merupakan endemik Pulau Peling, Banggai Kepulauan. Akibat populasinya terus menurun, sejak 2016 spesies ini masuk daftar merah spesies terancam punah menurut IUCN dengan status rentan (vulnerable/VU).
Ketiga; burung walik banggai (Ptilinopus subgularis). Spesies merupakan burung merpati berukuran besar berwarna abu-abu dan hijau yang hidup dan menjadi endemik di Banggai Kepulauan. Akibat habitatnya terganggu karena aktivitas penebangan kayu dan pembukaan lahan untuk pertanian, spesies ini akhirnya masuk dalam daftar merah spesies terancam punah menurut IUCN dengan status (vulnerable/VU).
Keempat; burung gosong sula (Megapodius bernsteinii). Spesies ini masuk dalam daftar merah spesies terancam punah dengan status rentan (vulnerable/VU) oleh IUCN karena populasinya menurun drastis, ditambah dengan pengamatan hilangnya dan degradasi habitat yang luas dan sangat parah. Tekanan perburuan yang tinggi diduga menjadi penyebab utama turunya populasi spesies ini.
Kelima; burung mandar muka-biru (Gymnocrex rosenbergii). Spesies burung mandar ini masuk dalam family Rallidae, dan menjadi endemik di Pulau Sulawesi dan Banggai Kepulauan. Akibat populasinya terus menurun karena habitatnya terganggu, IUCN memasukan spesies ini ke daftar merah spesies terancam punah dengan status rentan (vulnerable/VU) pada tahun 2016.
Keenam; tarsius pulau peleng (Tarsius pelengensis). Spesies primata ini dianggap langka karena hanya terdapat di Pulau Peling, Banggai Kepulauan. Layaknya tarsius, hewan ini bersifat nokturnal dan dapat memutar kepalanya sampai 180 derajat. Hewan ini merupakan karnivora yang menyukai mangsa hewan hidup, kebanyakan adalah serangga. Pada 2015, IUCN memasukan spesies ini ke daftar merah spesies terancam punah dengan status genting (endangered/EN).
Ketujuh; kuskus beruang sulawesi yang juga dikenal sebagai phalanger beruang Sulawesi (Ailurops ursinus). Spesies masuk dalam keluarga Phalangeridae yang endemik di Sulawesi, termasuk di Banggai Kepulauan. Sayangnya, akibat perburuan, perdagangan hewan peliharaan, dan penggundulan hutan, spesies ini masuk daftar merah spesies terancam punah oleh IUCN dengan status rentan (vulnerable/VU).

Andi Faisal Alwi, Sulawesi Program Officer Burung Indonesia mengatakan, tujuh jenis spesies itu sangat bergantung dari keseimbangan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan, dan rata-rata keterancamannya karena berkurangnya hutan sebagai habitat mereka. Artinya, jika puluhan perusahaan tambang batu gamping benar-benar masuk dan beroperasi di Kawasan Karst Banggai Kepulauan, pasti keberadaan spesies itu semakin terancam, bahkan bisa memicu kepunahan.
Disisi lain, katanya, Pulau Peling Banggai Kepulaun ini merupakan salah satu pulau kecil yang memiliki tekanan dan ancaman cukup serius, termasuk berkembangnya populasi penduduk dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang belum sepenuhnya berkelanjutan. Ia bilang, deforestasi dan degradasi habitat dengan ekosistem karst yang rapuh membuat pulau ini sangat rencam dari dampak perubahan iklim.
“Pulau Peling Banggai Kepulaun ini sangat rentan dengan perubahan iklim. Risiko kelangkaan air dan ancaman kekeringan cukup tinggi di pulau ini. Sehingga, pulau ini tidak bisa ditambang,” kata Andi Faisal Alwi saat menjadi narasumber di Diskusi Publik yang dibuat oleh dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah, akhir Agustus lalu.
Ia bilang, dengan dibentuknya peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan menjadi salah satu dasar bahwa Pulau Peling benar-benar tidak boleh dirusak. Apalagi, Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan sudah menetapkan Taman Keanekaragaman Hayati Kokolomboi di Dusun Kokolomboi Desa Leme-leme Kecamatan Buko sebagai salah satu bentuk nyata perlindungan karst.
Tak hanya itu, katanya, Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan sementera menjalankan program kampung iklim yang mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Bahkan, beberapa desa sudah memiliki semacam model perlindungan berbasis masyarakat melalui kesepakatan pengelolaan alam desa dan rencana tata guna lahan.
Secara partisipatif, katanya, masyarakat dan pemerintah desa di Kabupaten Banggai Kepulauan sudah melakukan kajian spasial keragaman hayati dan upaya-upaya pengurangan ancaman pada spesies endemik dan tekanan pada habitat pentingnya. Ia bilang, regulasi yang dibuat di tingkat desa itu juga melindungi sumber-sumber mata air, dan mendorong masyarakat mulai melakukan metode pengelolaan pertanian yang berkelanjutan.
Namun, semua upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah dan masyarakat itu disinyalir akan menjadi sia-sia jika puluhan perusahaan tambang batu gamping akan masuk dan mengeksploitasi Kawasan Karst Banggai Kepulauan. Bahkan, wilayah pesisir yang beririsan dengan kawasan konservasi perairan akan terancam ekosistemnya jika pertambangan batu gamping ini beroperasi.
“Perlu ada dukungan publik yang kuat terhadap perlindungan konservasi dan keanekaragaman hayati di Pulau Peling, Banggai Kepulauan. Katanya, perencanaan, kebijakan, dan pelaksanaan pembangunan pemerintah dan penataan ruang harus didasarkan pada perspektif ekologis,” tegas Andi Faisal Alwi

Perlu Valuasi Ekonomi
Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) mengatakan, perlu ada analisis valuasi ekonomi yang dibuat untuk memberikan pertimbangan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan agar puluhan perusahaan tambang batu gamping itu tidak diizinkan masuk ke daerah tersebut. Ia bilang, valuasi ekonomi bisa menjadi basis argumentasi yang kuat untuk memberikan saran ke pemerintah daerah untuk memilih batu gamping atau pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan secara berkelanjutan.
Valuasi ekonomi adalah sebuah upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDAL). Tujuannya; Menentukan nilai ekonomi total dari suatu SDAL yang berada dalam suatu kawasan ekosistem tertentu; Menentukan nilai jasa lingkungan tertentu dari suatu ekosistem atau sumberdaya alam dan lingkungan; Menentukan nilai kerusakan lingkungan dengan tujuan menentukan nilai ganti rugi; serta Menentukan nilai dampak lingkungan dari suatu kegiatan pembangunan.
Misalnya, dalam sektor kelautan. Banggai Kepulaun sendiri sudah ditetapkan menjadi salah satu kawasan industri perikanan halal dan akan menjadi kawasan penyangga perikanan bagi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Provinsi Kalimantan Timur. Gifvents bilang, berdasarkan perhitungan sederhana yang dilakukan dengan dasar data BPS menunjukan, nelayan di Banggai Kepulaun ada sekitar 2 ribuan orang.
Asumsinya, jika satu orang nelayan bisa menangkap gurita 1 ekor dengan harga paling rendah Rp. 53 ribu rupiah, dalam sehari total pendapatan semua jumlah nelayan itu bisa mencapai Rp. 100 juta lebih. Katanya, jika pendapatan dalam sehari itu dijumlahkan dalam setahun, pajak penghasilan (PPh) yang bisa didapatkan oleh pemerintah daerah bisa mencapai Rp. 4 miliar lebih. Perhitungan itu pun hanya diambil dari sektor perikanan gurita, belum ke sektor perikanan lainnya.
“Kalau perikanan gurita itu diintervensi dengan skema buka tutup, pasti kuantitas dan kualitas gurita bisa akan lebih meningkat. Misalnya, dalam 1 ekor gurita bisa mencapai berat 3 kilogram dengan harga per-kilogram Rp. 53 ribu rupiah. Jika dijumlahkan dalam setahun, PPh yang bisa dihasilkan bisa mencapai Rp. 13 miliar,” kata Gifvents Lasimpo
Gifvents bilang, dengan perhitungan valuasi ekonomi ini bisa menggambarkan bahwa pendapatan daerah bisa ditopang dari sektor perikanan gurita, bukan harus dari perusahaan pertambangan batu gamping yang dapat merusak ekosistem Banggai Kepulauan. Ia bilang, PPh yang berasal dari sektor gurita itu bisa disubsikikan ke layanan publik lainnya, hingga pembangunan infrastruktur.
“Ketika valuasi ekonomi ini dibuat dengan kajian yang baik dengan berbasis bukti, pasti pemerintah daerah akan ada pilihan solusi yang rasional dan pasti mereka bisa menerimanya dengan baik,” kata Gifvents

Rusli Moidady, Ketua Forum Penataan Ruang (FPR) Banggai Kepulauan mengaku, pihaknya masih sementara membahas terkait penyesuaian tata ruang dengan perencanaan tambang batu gamping di wilayahnya. Meskipun begitu, penyesuaian tata ruang itu harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan.
Rusli bilang, terbukanya lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan asli daerah memang sangat dibutuhkan, tetapi juga perlu menghitung dampak tambang agar tidak merusak lingkungan yang menyebabkan banjir, erosi dan berkurangnya sumber air bersih di Banggai Kepulauan.
“Tentu perlu dilakukan kajian secara hati-hati dan profesional dan mengkaji dari nilai manfaat dan dampaknya itu sendiri,” kata Rusli Moidady seperti dikutip di VOA Indonesia
Sementara itu, Ihsan Basir, Bupati Banggai Kepulauan mengaku, pihaknya telah mengirim surat kepada kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk meninjau kembali wilayah pertambangan di Kabupaten Banggai Kepulauan. Dirinya juga tidak sepakat wilayahnya di tambang, karena pihaknya akan memfokuskan wilayah itu pada tiga hal, yaitu; agriculture, minapolitan dan wisata,
“Secara subyektif saya berpikir Banggai Kepulauan ini lebih baik difokuskan pada tiga hal tadi: agriculture, minapolitan dan wisata, kalau tambang, saya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam, dan kedua secara konstitusional memang masih terbuka, maka kita tidak bisa menyalahkan pihak-pihak yang mengajukan proposal untuk penambangan,” kata Ihsan Basir seperti dikutip di VOA Indonesia
Ihsan bilang, hidrologi karst di Banggai Kepulauan memiliki fungsi yang sangat besar untuk masyarakat sekitar, termasuk sumber mata air. Jika itu akan ditambang, ekosistem Karst Banggai Kepulauan akan terganggu. Katanya, argumentasi itu yang disampaikan pihaknya ke Kementerian ESDM melalui surat yang dikirim.
“Tapi pada sisi lain, saya juga tidak lantas bisa secara otoriter menolak tambang karena ini secara aturan masih terbuka,” jelas Ihsan Basir.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting, Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments