- Petani sawit di Buol, Sulawesi Tengah, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah, kemitraan plasma sawit dengan perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP), tidak menguntungkan apalagi mensejahterakan, para pemilik tanah pun terjerat utang.
- Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, yang HIP lakukan menyentuh para petani pemilik lahan dalam siklus utang yang sulit terputus. Besaran hutang yang diklaim perusahaan juga, tidak ada bukti dan catatan rinci yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Eep Saepulloh dari Sawit Watch mengatakan, perusahaan, sering mengalokasikan dana untuk petani plasma dengan cara-cara tidak transparan. Fenomena itu, sering ditemukan pada masalah kemitraan di perkebunan sawit, salah satunya, konflik kemitraan petani plasma Buol dan PT HIP.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU) juga menemukan memutuskan, HIP terbukti melanggar Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20/2008 dalam pelaksanaan kemitraan dengan Koptan Amanah. Gopprera Panggabean, Ketua Majelis dalam sidang 9 Juli 2024 juga memutuskan HIP kena denda Rp1 miliar.
“Kalau lahan 1 hektar, bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Kalau 2 hektar bisa langsung membeli mobil,”
Itulah janji perusahaan PT Hardaya Inti Plantations (HIP) kepada warga Desa Winangun, Kecamatan Bukal, Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada tahun 2007 silam. Saat itu, warga Desa Winangun diminta menyerahkan kendali atas tanah mereka kepada perusahaan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan imbalan bagian keuntungan.
Namun, janji tinggal janji, sangat jauh panggang dari api. Hampir dua dekade kemudian, mereka tidak memperoleh keuntungan apapun dari perusahaan. Ironisnya, mereka justru terjebak dalam labirin kemiskinan, bahkan seolah-olah disengaja ditenggelamkan dalam utang oleh perusahaan dengan jumlah ratusan juta rupiah.
“Lebih dari 16 tahun, kami sudah bekerjasama dengan HIP, tapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan hasil apapun. Anehnya, kami justru dibebankan utang yang begitu besar oleh perusahaan,” kata Aripin Abdul Asis, seorang warga Desa Winangun pada Juli 2024 lalu.
Warga Desa Winangun adalah salah satu desa yang penduduknya merupakan warga transmigrasi yang berasal dari berbagai daerah. Mereka pindah dan tinggal di Desa Winangun sejak tahun 1995 melalui program transmigrasi pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Dalam program transmigrasi itu, setiap kepala keluarga mendapatkan 2 hektar lahan dari negara sebagai modal mereka. 1 hektar dibangunkan satu unit rumah siap huni dan menjadi wilayah pekarangan yang bisa ditanami tanaman pertanian. Sementara lahan 1 hektar yang disebut LU 2 menjadi wilayah yang bisa dimanfaatkan apa saja.
Baca juga: Di Bangkal Seruyan: ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’
Hadirnya warga transmigrasi di Desa Winangun juga bersamaan dengan hadirnya HIP, anak perusahaan dari PT Central Cipta Murdaya atau lebih dikenal dengan nama Group CCM. Pada 1998, HIP mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dari Pemerintah dengan seluas 22.780,866 hektar untuk membangun perkebunan kelapa sawit di wilayah berdampingan dengan warga transmigrasi.
HGU itu menjadi alat HIP melakukan pembukaan lahan (Land clearing) untuk ditanami kebun sawit. Perusahaan yang dimiliki keluarga Siti Hartati Tjakra Murdaya ini pun membuat pabrik pengolahan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk mendorong percepatan produksi mereka.
Pada tahun 2007, perusahaan mulai menjejaki kemitraan dengan warga di desa sekitar kebun sawit mereka dengan membangun program kemitraan plasma. Perusahaan berjanji tentang “kemakmuran” kepada warga dengan memberikan 70 persen bagi hasil dari kebun milik warga yang akan dimasukkan dalam skema plasma.
Hingga 2011, HIP menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah desa sekitar dengan berhasil meyakinkan 1650 orang warga yang memiliki 4.700 hektar lahan. Mereka semua dimasukkan dalam program kemitraan plasma melalui tujuh koperasi tani (Koptan), yakni; Koptan Amanah, Plasa, Bersama, Awal Baru, Bukit Pionoto, Idaman, dan Fi-Sabilillah.
“Kami di kumpul di balai desa, dan perusahaan melakukan sosialisasi program plasma ini dengan janji mensejahterakan masyarakat. Semua apa yang disampaikan oleh perusahaan sangat manis dan meyakinkan saat itu” kata Aripin Abdul Asis saat mengenang dirinya pertama kali hadir di sosialisasi yang dilakukan HIP pada 17 tahun lalu.
Adapun untuk pendaftaran kemitraan plasma itu, warga diharuskan mengambil pinjaman bank untuk membiayai pembangunan kebun sawit yang mencapai Rp 25 juta per hektar. Caranya, warga harus menyerahkan lahan mereka ke perusahaan untuk dijadikan agunan pinjaman ke bank, dan secara kolektif mereka akan menanggung utang yang mencapai miliaran rupiah.
Ketentuan pasti dari setiap kemitraan plasma itu ditetapkan dalam kontrak yang dibuat antara perusahaan perkebunan dan warga, yang secara kolektif diwakili oleh sebuah koperasi. Kontrak-kontrak ini akan mengatur tanah dan keuangan seluruh warga pemilik lahan selama sedikitnya 25 tahun.
Namun dalam kasus HIP, kontrak-kontrak itu tidak memberikan sedikit ruang negosiasi bahkan tidak ada ruang negosiasi kepada warga. Hal itu berdasarkan analisis Benua Indonesia terhadap dokumen perjanjian kerjasama antara HIP dan Koptan Amanah, salah satu Koptan yang memiliki 1.269 hektar lahan dengan jumlah Petani 1.260 orang.
Dalam perjanjian kerjasama antara HIP dan Koptan Amanah itu menjelaskan, koperasi mengalihkan kendali uang hasil pinjaman petani pemilik lahan di bank kepada HIP, dan perusahaan memperoleh keleluasaan atas bagaimana pinjaman tersebut dibelanjakan dalam rangka pembangunan kebun sawit.
Ketika kebun plasma berbuah, koperasi memberikan perusahaan kewenangan langsung untuk menghitung biaya tidak langsung (overhead) pengelolaan perkebunan dan memotongnya dari pendapatan koperasi. Biaya tersebut termasuk biaya pemeliharaan, pupuk, panen, dan pengangkutan Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik HIP.
Apabila hasil penjualan TBS belum dapat menutupi angsuran kredit dan bunga Bank, biaya pemeliharaan, biaya panen, biaya transportasi TBS ke pabrik PT HIP, biaya tidak langsung (overhead) sebesar 5% total biaya pemeliharaan, maka Koptan Amanah akan mendapat pinjaman Dana Talangan dari PT HIP untuk menutupi kekurangan tersebut.
Selama Koptan Amanah masih memerlukan dana talangan dari PT HIP, maka Petani pemilik lahan belum dapat menerima sebagian hasil penjualan TBS, tetapi akan mendapat pinjaman sebesar Rp 25.000 per Petani per bulan yang akan dibayarkan setiap triwulan.
Baca juga: Ratusan Petani Plasma Buol Datangi DPRD, Tuntut Penyelesaian Konflik Kemitraan
Untuk membayar angsuran dana talangan dan bunga HIP, biaya pemeliharaan, biaya panen, dan transportasi TBS ke pabrik HIP, serta biaya tidak langsung (overhead), maka surplus dari penjualan TBS akan dipotong 50 persen. Sisanya akan diberikan kepada Petani Plasma Koptan Amanah.
Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan, kontrak-kontrak ini akan memberi kewenangan secara penuh kepada perusahaan dan memberikan hak terbatas kepada petani bagaimana pinjaman mereka dibelanjakan, serta bagaimana perusahaan menghitung biaya dan laba. Ia tegaskan, kontrak itu “sangat tidak adil”.
“Kontrak-kontrak ini sangat menguntungkan perusahaan dan sangat merugikan petani pemilik lahan,” kata Ali Paganum.
Apa yang dikatakan Ali Paganum ini selaras dengan temuan Benua Indonesia di lapangan. Lebih dari 10 orang petani plasma yang diwawancarai mengaku terpinggirkan serta menjadi mitra pasif dan minor di perkebunan kelapa sawit mereka sendiri yang telah dikelola oleh perusahaan HIP.
Alih-alih mendapatkan keuntungan yang besar, mereka malah dibayar kurang dari Rp. 10 ribu per bulan. Bahkan, beberapa dari mereka tidak memperoleh penghasilan apapun selama hampir dua dekade sampai sekarang, sejak perusahaan HIP telah melakukan panen awal.
“Kami sama sekali tidak diberikan bagi hasil dari perusahaan. Padahal, perusahaan telah melakukan panen di kebun kami,” kata Paulus Tato salah satu petani di Desa Winangun, Kabupaten Buol yang tergabung dalam Koptan Amanah.
Ditenggelamkan dalam Utang
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi petani plasma di Buol. Selain hanya memperoleh sedikit atau bahkan tidak memperoleh apapun keuntungan plasma dari perusahaan, mereka justru seperti sengaja ditenggelamkan dalam utang dengan jumlah ratusan juta rupiah per orang.
Di Koptan Amanah misalnya, pembiayaan pembangunan kelapa sawit mencapai Rp 25 juta per hektar. Melalui koperasi dan perusahaan, mereka mendapatkan pinjaman kredit Investasi dari Bank Mandiri Cabang Makassar sebesar Rp 25.127.000.000 dengan jaminan agunan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) seluas 1000 hektar.
Pinjaman yang diberikan itu memiliki jangka waktu 13 tahun sejak penarikan kredit pertama termasuk masa tenggang waktu angsuran (grace periode) selama 5 tahun yaitu dari tahun 2008 sampai tahun 2013. Sementara fasilitas Kredit Investasi Interest During Construction (KI-IDC) bunga masa pembangunan sebesar 11.997.000.000.
Adapun bunga pada tingkat tahunan dari pinjaman itu sebesar 15 persen, dan jumlah total bunga atas Kredit Investasi tersebut sebesar Rp 17.960.929.167. Jika pinjaman kredit Investasi dari Bank Mandiri Cabang Makassar ditambah KI-IDC dan bunga Kredit Investasi, pinjaman Koptan Amanah hanya berjumlah Rp. 55.084.929.167.
Pinjaman-pinjaman ini yang kemudian dikelola oleh HIP secara penuh, dan secara kolektif para petani plasma akan menanggung utang yang mencapai puluhan juta rupiah per orang. Untuk melunasi utang-utang tersebut, masyarakat bergantung pada perusahaan HIP yang mengembangkan dan memelihara perkebunan dengan baik agar bisa memperoleh laba.
Namun, sejumlah petani plasma Buol yang ditemui Benua Indonesia mengaku justru memiliki utang Rp 140 juta hingga 151 juta selama hampir sudah dekade setelah kebun mereka ditanami sawit. Jumlah utang itu berdasarkan pengakuan perusahaan kepada mereka, tetapi besarnya utang itu tidak transparansi disampaikan perusahaan.
Baca juga: Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan
‘’Kami diberitahukan perusahaan bahwa memiliki utang sebesar Rp 142 Juta per orang. Kami tidak diberitahu ini utang dari mana dan mengapa sebanyak itu. Perusahaan tidak transparan soal utang itu. Disisi lain, kita tidak dapat hasil apa-apa,” kata Paulus Tato.
Perusahaan HIP disinyalir memanfaatkan ketidakterbukaan dalam skema kemitraan untuk mengelola perkebunan dengan cara yang menguntungkan mereka dengan mengorbankan petani plasma Buol. Sederhananya, model kemitraan plasma telah menciptakan “efisiensi finansial” bagi perusahaan, sambil menumpuk utang pada petani pemilik lahan.
Ironisnya, model kemitraan antara HIP dan Koptan Amanah juga memberikan kontribusi yang tidak signifikan terhadap pendapatan petani karena “banyaknya pemotongan” yang dilakukan perusahaan terhadap pendapatan mereka. Di mana, biaya tidak langsung (overhead) sebesar 5%, dan surplus dari penjualan TBS akan dipotong 50 persen.
Hal itu yang juga terungkap dalam persidangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada awal Juli 2024 lalu. Dalam sidang putusan tersebut, HIP ternyata pernah mengajukan tambahan biaya sebesar kurang lebih Rp 8 miliar untuk pembangunan kebun Plasma Koptan Amanah, tanpa sepengetahuan petani pemilik lahan.
Selain itu, HIP juga ternyata kembali mengajukan tambahan sebesar kurang Rp 16 miliar untuk pembangunan tambahan lahan kebun Plasma seluas 123,7 hektar. Namun, HIP tidak dapat menjelaskan dan menunjukan bukti serta rincian atas biaya pembangunan sehingga Koptan Amanah menolak untuk mengakui tambahan utang tersebut.
Anehnya, HIP justru menyatakan Koptan Amanah memiliki utang sebesar Rp 364.013.076.632 sejak tahun 2008 sampai bulan Agustus 2020. Utang tersebut terdiri dari total pengeluaran sebesar Rp 183.890.986.117, ditambah bunga pinjaman perusahaan sebesar Rp180.122.090.515,00.
Adapun per bulan November 2020, HIP pun kembali menyatakan Koptan Amanah memiliki Utang Rp142.186.676.055. Utang tersebut terdiri dari Pengeluaran Untuk Investasi, Pengelolaan & Pemeliharaan dikurangi penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dan ditambah pinjaman perusahaan.
Pada bulan Agustus 2022, HIP menyebut lagi bahwa Koptan Amanah memiliki Utang
Rp 151.677.540.287. Utang tersebut terdiri dari pengeluaran untuk land clearing, tebang jalur, pembangunan jalan, parit-parit, cover pembangunan, penanaman, sampai menjadi menghasilkan.
HIP mengklaim, pembiayaan pengeluaran tersebut ditanggung sepenuhnya oleh mereka tanpa mendapat dukungan dari mana pun. HIP merekrut tenaga kerja dari luar untuk melaksanakan tugas lapangan yang seharusnya dilakukan anggota Koptan Amanah, membiayai berbagai gangguan, termasuk tuntutan kesejahteraan kepada HIP di saat Tanaman Belum Menghasilkan.
Biaya tersebut termasuk bunga sebesar 4% dan lain-lain ditambah pengalihan hutang Koptan Amanah dari Bank Mandiri kepada Inti dan bunga sebesar 13,4% serta Hutang Ditunda (Moratorium). Artinya, setiap orang petani anggota Koptan Amanah memiliki utang sekitar Rp 151 juta, jika memiliki lahan 1 hektar.
Namun, KPPU menemukan, utang anggota Koptan Amanah sebesar Rp 151.677.540.287 itu sangat tidak jelas asal usulnya. Pasalnya, HIP memiliki bukti seperti dokumen yang menunjukkan rincian biaya, termasuk biaya pembangunan kebun plasma miliki Koptan Amanah. HIP juga disebut tidak transparan dalam penyusunan rincian biaya pembangunan.
Berdasarkan penelusuran KPPU, klaim besaran utang itu juga bertentangan dengan data pendapatan atas penjualan TBS kebun Plasma Koptan Amanah periode tahun 2011 sampai tahun 2022 yang telah menghasilkan TBS sebanyak 124.608.382 Kg. Pasalnya, kebun sawit Koptan Amanah telah mencapai produktivitas 80-100 ton per hari dengan usia 11 sampai dengan 14 tahun.
Dari produksi itu, Koptan Amanah tercatat telah membayar angsuran pokok dan bunga KI Efektif dan KI IDC secara bertahap ke Bank Mandiri dengan total pembayaran sebesar Rp 49.915.759.230 sejak tahun 2013 sampai 2020. Hal itu berdasarkan dokumen data realisasi pencairan dan angsuran Kredit Bank Mandiri Koperasi Tani Plasma Amanah yang diperoleh.
Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan
Artinya, dari hasil produksi TBT dan pembayaran semua kewajiban Koperasi menunjukkan bahwa hutang Koptan Amanah tidak sebesar klaim utang yang disampaikan HIP di bulan Agustus 2022. Meskipun pembayaran semua kewajiban sudah dipotong, para anggota Koptan Amanah harusnya sudah mendapatkan SHU dari hasil produksi sejak 2013.
Alih-alih memperoleh keuntungan plasma dari perusahaan, anggota Koptan Amanah belum pernah memperoleh SHU dari penjualan TBS, sejak kebun memasuki masa tanaman menghasilkan (TM) hingga masa puncak produksi. Mereka hanya beberapa kali memperoleh dana Jatah Hidup (Jadup) dari HIP yang belakangan juga diklaim sebagai utang.
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan, apa yang dilakukan HIP ini sebagai upaya untuk menjebak para petani pemilik lahan dalam siklus utang yang sulit diputus. Besaran utang yang diklaim perusahaan juga, katanya, tidak memiliki bukti dan catatan rinci yang bisa dipertanggungjawabkan.
Disisi lain, kata Fatrisia, para petani pemilik lahan juga sampai hari ini juga tidak diberikan akses informasi soal hasil produksi dan hasil penjualan TBS. Menurutnya, fenomena ini tidak hanya menurunkan kesejahteraan mereka, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup keluarga mereka atas ketidakpastian masa depan.
“Utang yang diklaim perusahaan dengan jumlah yang begitu besar ini sebagai upaya agar para petani pemilik lahan tidak mampu membayar. Dengan begitu, tanah milik petani ini akan terus dikuasai oleh perusahaan,” Fatrisia Ain.
Perampasan Tanah
Menenggelamkan petani dalam utang yang begitu besar disinyalir menjadi salah satu cara perusahaan untuk melakukan perampasan tanah (land clearing). Pasalnya, para petani pemilik lahan seperti ingin dipinggirkan dengan menghilangkan hak atas tanah mereka dengan menjebak mereka dalam siklus utang yang cukup besar dan sulit dilunasi.
Ali Paganum mengatakan, konflik kemitraan antara Koptan Amanah dan HIP sedikit memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana perusahaan berusaha membelenggu para petani plasma dalam utang yang begitu besar dengan tujuan merampas lahan. Padahal, katanya, produksi TBS dari kebun Koptan Amanah terbukti produktif.
Apa yang dikatakan Ali Paganum selaras dengan temuan KPPU yang menyebutkan bahwa, produksi TBS di kebun Koptan Amanah terus mengalami peningkatan yang signifikan, dan bisa melunasi pinjaman di Bank Mandiri, sekaligus dengan bunganya sesuai jadwal angsuran jatuh tempo pada bulan September 2021. Anggota koperasi pun bisa mendapatkan SHU.
Namun, kata Ali, temuan KPPU menyebut HIP justru diam-diam mengalihkan utang Koptan Amanah di Bank Mandiri ke perusahaan HIP sebesar Rp.8.800.000.000 pada 16 April 2021. Pengalihan utang itu disertai dengan penyerahan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan 877 SHM anggota Koptan Amanah dari Bank Mandiri ke HIP.
Menurut Ali, tindakan sepihak mengalihkan utang Koptan Amanah dari Bank Mandiri kepada HIP menunjukkan posisi tawar dominan perusahaan untuk memutuskan secara sepihak mengenai mekanisme penyelesaian pembayaran utang Koptan Amanah dan lama waktu pembayarannya.
Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera
“Ini jelas-jelas praktik culas perusahaan untuk menguasai lahan anggota Koptan Amanah. Para petani pemilik lahan akan dijerat dengan utang yang entah sampai kapan akan dilunasi,” jelas Ali.
Ironisnya lagi, kata Ali, perusahaan HIP justru mengalihkan pengelolaan kebun milik anggota Koptan Amanah ke PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI). Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, UKMI ini adalah perusahaan baru yang dibentuk pada 27 Februari 2023 lalu, yang belum memiliki pengalaman untuk mengelola kebun kelapa sawit.
Berdasarkan penelusuran profil perusahaan menggunakan data resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) yang diunduh pada 7 September 2024, hampir semua pemilik saham UKMI adalah Penerima Kuasa dari Kantor Law Firm MR & Partner Law Office yang mewakili HIP dalam perkara kemitraan dengan anggota Koptan Amanah di KPPU.
“Ini satu bagian dari skema perampasan lahan agar petani terus terjerat dalam utang. Apalagi, SHM tanah petani berada di tangan perusahaan dan akan ditahan terus menerus,” ujarnya.
Ara Simanjuntak, peneliti dari Northwestern University berpikir hal serupa. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh HIP merupakan strategis akumulasi kapital yang sudah didesain sedemikian rupa agar para petani pemilik lahan bisa terus terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus.
Ara bilang, utang merupakan teror finansial yang akan menghantui setiap hari, sekaligus sangat eksploitatif, apalagi bunganya cukup besar. Dalam perkebunan-perkebunan skala besar seperti kelapa sawit, utang menjadi bisnis tersendiri untuk menjebak para petani agar lahannya bisa dirampas.
Disisi lain, kata Ara, utang yang dibebankan kepada petani ini juga kerap jadi strategi perusahaan untuk mengalihkan beban dan risiko, serta ingin mendapatkan subsidi kredit dari pemerintah.
Meski begitu, kata Ara, perkebunan kelapa sawit bukanlah investasi yang bebas risiko. Kebakaran lahan, fluktuasi harga minyak kelapa sawit, dan panas atau hujan yang berlebihan dapat memengaruhi pendapatan perusahaan hingga petani plasma. Kondisi itu, katanya, bisa ikut memperpanjang jangka waktu yang diperlukan untuk melunasi utang.
Apalagi, katanya, kelapa sawit merupakan tanaman monokultur yang sangat mudah rapuh jika terjadi guncangan harga minyak sawit. Ia bilang, tanaman monokultur juga justru membuat petani sangat ketergantungan dengan utang, karena tidak memiliki tanaman lainnya yang bisa menjadi sumber penghidupan lain.
“Karena monokultur, petani kerap terus terjebak dalam utang. Padahal utang ini adalah salah satu sumber perampasan property, seperti perampasan tanah,” kata Ara Simanjuntak dalam diskusi yang digelar Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS).
Baca juga:Aksi Penghentian Sementara Operasional Kebun Petani Plasma Buol Terus Dicekal
Eep Saepulloh dari Sawit Watch memberikan sedikit gambaran yang lebih jelas mengapa utang petani plasma di perusahaan terus mengalami peningkatan. Ia bilang, perusahaan kerap mengalokasikan dana talangan kepada petani plasma dengan cara-cara yang tidak transparan.
Fenomena itu, kata Cepot sapaan akrabnya, sering ditemukan di masalah kemitraan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit, salah satunya konflik kemitraan antara petani plasma Buol dan perusahaan HIP. Ia bilang, alokasi dana talangan tidak transparan jadi sumber masalah utama membuat utang petani jadi besar dan berkepanjangan.
Meskipun utang di Bank bisa terbayarkan, katanya, utang dari alokasi dana talangan akan menjadi “dalil” perusahaan untuk terus menahan SHM milik petani pemilik lahan. Sejatinya, kata dia, utang akan membawa petani plasma dalam ketidakpastian akan hidup sejahtera, dan menghilangkan hak mereka atas tanah sendiri.
“Dengan adanya utang, petani tidak akan menempuh kesejahteraan. Petani akan terus miliki utang dan entah sampai kapan akan lunas, seperti yang terjadi ” Eep Saepulloh dalam diskusi yang digelar TPOLS.
Siti Hartati Murdaya Presiden Direktur PT. Central Cipta Murdaya (CCM Group), perusahaan induk HIP menepis semua tuduhan terkait petani plasma di sengaja ditenggelamkan dalam utang oleh perusahaannya dengan jumlah ratusan juta rupiah. Ia mengklaim, pihaknya telah mengeluarkan uang yang begitu besar untuk pembangunan kebun sawit milik petani.
Statement itu disampaikan Siti Hartati Murdaya kepada para petani pemilik lahan melalui telepon, ketika HIP melakukan panen paksa menggunakan aparat keamanan pada 19 Agustus 2024 lalu. Saat itu, mantan bendahara partai Demokrat itu mengatakan, sampai sekarang HIP masih membayar bunga atas utang milik petani di Bank.
Tak hanya itu, Siti Hartati Murdaya pun mengklaim, perusahaannya tidak merugikan petani dan memiliki catatan lengkap terkait pemberian bagi hasil kepada petani. Hanya saja, katanya, akibat anggota Koptan Amanah terus melakukan aksi penghentian operasional kebun, perusahaannya mengalami krisis keuangan.
Ia mengaku, sejak bulan Mei 2024, biaya operasional kebun sawit sudah dibiayai oleh PT UKMI, bukan lagi HIP. Ia bilang, perusahaan sudah mengalami kerugian yang begitu besar akibat aksi penghentian sementara operasional kebun yang dilakukan para petani pemilik lahan. Bahkan, katanya, saat ini HIP terancam bubar.
ia bilang, HIP membiayai biaya operasional kebun sawit itu terakhir pada bulan April 2024 lalu, dan sisanya UKMI yang membiayai sampai dengan sekarang. Meski begitu, katanya, petani pemilik lahan masih memiliki utang kepada HIP, dan otomatis pemilik lahan juga sudah memiliki utang ke UKMI. Ia bilang, uang petani pemilik lahan yang ada di HIP harus dibayar.
“Akibat aksi penghentian sementara yang dilakukan oleh pemilik lahan, utang milik petani juga makin besar karena tidak ada pemasukan yang diterima HIP. Sehingga yang membiayai operasional kebun sekarang ini adalah PT UKMI,” jelasnya.
Baca juga: Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol M. Muchlis
Namun, apa yang disampaikan Siti Hartati Murdaya ini tidak sangat bertolak belakang dengan temuan KPPU yang menyatakan bahwa HIP telah melakukan pelanggaran kemitraan. Dimana, HIP tidak transparansi dalam perhitungan biaya pembangunan kebun sawit milik Koptan Amanah, hingga tidak transparan dalam pengelolaan dan pembelian hasil TBS.
KPPU juga menemukan, HIP tidak memberikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan kebun plasma kepada mitra plasma, dalam hal ini adalah Koptan Amanah, selama masa kerja sama kemitraan. KPPU memutuskan, HIP terbukti melanggar pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dalam pelaksanaan kemitraannya dengan Koptan Amanah.
“HIP juga dikenakan sanksi denda sebesar Rp1 miliar yang wajib dibayarkan paling lama 30 hari sejak Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht),” kata Gopprera Panggabean, Ketua Majelis dalam sidang putusan pada tanggal 9 Juli 2024 lalu.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments