Potret Food Estate Kalteng: Ditanam Padi, Justru Tumbuh Sawit

Lahan food estate sawah di Kalteng, malah berubah untuk persialan tanam sawit. Foto: Pantau Gambut
Lahan food estate sawah di Kalteng, malah berubah untuk persialan tanam sawit. Foto: Pantau Gambut
  • Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Kalimantan Tengah makin tak jelas. Proyek yang pemerintah gadang-gadang pengentasan krisis pangan dengan menanam sawah itu di lapangan malah jadi tanaman sawit perusahaan, dan sebagian jadi semak belukar.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, food estate di Kalteng itu makin meyakinkan kalau proyek pangan ini salah satu modus penguasaan lahan skala besar yang dapat merusak lingkungan dan meminggirkan masyarakat.
  • Berdasarkan data Sawit Watch, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era pemerintahan Joko Widodo (2015-2024) sebesar 698.566 hektar atau 69.856,6 hektar pertahun. Lahan baku sawah jadi salah satu target utama perubahan alih fungsi jadi kebun sawit.
  • Hana Saragih, dari Riset dan Advokasi FIAN Indonesia mengatakan, potret proyek food estate di Kalteng merupakan bagian dari kegagalan pemerintah mencari solusi atas ancaman krisis pangan. Padahal, solusi krisis pangan berada pada komunitas produsen pangan skala kecil, karena mereka mampu menyediakan dengan sumber daya terbatas.

Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Kalimantan Tengah makin tak jelas. Proyek yang pemerintah gadang-gadang pengentasan krisis pangan dengan menanam sawah itu di lapangan malah jadi tanaman sawit milik perusahaan, dan sebagian jadi semak belukar.

Pantau Gambut menemukan semak belukar di 12 dari 30 titik yang dikunjungi, sementara sebagian lahan lainnya telah dibuka untuk pencetakan sawah baru. Namun, dari 18 titik yang dibuka, 15 terbengkalai, sementara 3 titik telah berubah menjadi perkebunan sawit milik perusahaan.

Temuan terbaru Pantau Gambut menyatakan, 274,67 hektar lahan food estate di Desa Palingkau Asri, Palingkau Jaya, dan Tajepan, Kabupaten Kapuas jadi kebun sawit. Tanaman ini dikuasai konsesi oleh PT Wira Usahatama Lestari (WUL), dengan area pembukaan baru pada April-Mei terdapat di Tajepan.

“Berdasarkan peta, lokasi itu untuk area ketahanan pangan. Faktanya ada sawit… Kami ada foto-foto yang menunjukkan lahan di Tajepan sedang disiapkan jadi sawit,” kata Juma Maulana, GIS Officer Pantau Gambut, dalam peluncuran riset terbaru mereka ‘Swanelangsa Pangan di Lumbung Nasional’, di Jakarta, Oktober lalu.

Berdasarkan hasil pemantauan terdokumentasi, terlihat jelas lahan yang ditanami sawit dan sedang disiapkan.

Dalam riset ini, Pantau Gambut melakukan pemantauan terhadap peta kerja proyek studi investigasi desain (SID) food estate Kalimantan Tengah yang dikeluarkan Pemerintah Kalteng. Area dalam Peta Kerja SID merupakan lahan yang akan jadi ekstensifikasi food estate yang sebagian besar berada dalam eks pembukaan lahan gambut (PLG) 1 juta hektar era Soeharto.

Di lahan yang ekstensifikasi sampai 16.643,6 hektar itu, Pantau Gambut menentukan 30 titik pemantauan spesifik di lahan eks-PLG. Perkebunan sawit ada di tiga titik sampel. Lahan yang jadi kebun sawit berada di dalam titik lokasi FE 19, 24, dan 27, sesuai peta kerja SID.

Area food estate di Kalimantan Tengah dengan lahan sudah terbuka dan jadi apa? Foto: Pantau Gambut
Area food estate di Kalimantan Tengah dengan lahan sudah terbuka dan jadi apa? Foto: Pantau Gambut

Tebang dan Terlantarkan

Tak hanya jadi sawit, food estate sawah di Kalteng juga jadi semak belukar. Padahal, 2.945 hektar tutupan pohon sudah menghilang sepanjang 2022 di food estate ini. Kalau dikonversi, jumlah ini sama dengan luas 4.207 lapangan sepak bola.

Hilangnya tutupan pohon ini tersebar di 12 desa terdampak. Desa Pantai dan Mandomai, dengan kehilangan tutupan pohon luas.

Hasil analisis Pantau Gambut menemukan ekstensifikasi food estate di kawasan dengan tutupan pohon rapat. Bahkan, pembukaan terlihat melampaui batas yang ditentukan berdasarkan peta kerja SID, karena meluas ke kawasan sekitar.

Meskipun demikian, pembukaan ini tidak ditunjukkan dengan tanaman pangan. Dari 30 titik area eks PLG yang dikaji Pantau Gambut, 18 titik mengalami pembukaan lahan. Dari 18 titik itu, 15 titik sudah terbuka kini terbengkalai seluas sekitar 4.159, 62 hektar.

“Kalau proses dikerjakan, di wilayah-wilayah itu ada tanaman. Temuannya,  sebagian besar merupakan semak belukar,” kata Wahyu. “Artinya selama tiga tahun ini tidak ngapa-ngapain.”

Baca juga: Food Estate di Papua: Ketahanan Pangan atau Kehancuran Alam?

Masalah tidak berhenti di sana. Kegagalan food estate Kalteng, di wilayah lama ataupun lokasi ekstensifikasi terlihat dengan ketidaksesuaian lahan gambut untuk padi jenis irigasi atau tadah hujan.

Perlu usaha luar biasa untuk memaksa varietas itu tumbuh subur di lahan ekstensifikasi. Sekitar 4.207 hektar lahan gambut yang sudah dibuka itu harus ditaburi kapur atau dolomit. Ini harus dilakukan untuk menaikkan tingkah pH tanah dan menetralkan keasaman.

Pantau Gambut mengambil tiga dari lima blok lahan eks PLH sebagai sampel pemantauan kelayakan penanaman padi. Dari tiga blok seluas 243.216 hektar itu, Pantau Gambut menemukan hanya 1% yang benar-benar sesuai untuk lahan pertanian.

“Sudahlah… ngaku saja kalau (lahan) itu tidak sesuai. Sulit sekali dipaksakan untuk padi,” kata Wahyu.

Pantau Gambut menemukan hanya 10% dari 30 titik sampel yang memiliki kesesuaian tinggi untuk ditanami padi. Ada kecurigaan proses penetapan lahan ekstensifikasi tanpa pertimbangan matang dan hanya untuk memenuhi target cetak sawah baru.

Wahyu khawatir lahan gambut yang sudah terbuka dan dibiarkan terbengkalai itu akan memperparah potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selama ini sangat tinggi di Kalteng.

Gambut yang sudah terbuka dan terpapar matahari serta udara akan membuat ekosistem ini rusak dan mudah terbakar. “Pemerintah lagi-lagi keras kepala dan tidak mau belajar dari masa lalu,” cetusnya.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, food estate di Kalteng itu membenarkan dan meyakinkan bahwa proyek ketahanan pangan ini salah satu modus penguasaan lahan skala besar yang dapat merusak lingkungan akan meminggirkan masyarakat.

“Proyek yang membangun kebun pangan ini tujuannya adalah hanyalah penguasaan lahan,” kata Uli Arta Siagian pada Selasa 5 November 2024 lalu.

Selain penguasaan lahan, kata Uli, food estate juga akan menguntungkan korporasi besar saja, sementara petani akan kehilangan fungsinya yang menjadi produsen pangan. Ia bilang, pemerintah akan selalu gagal kalau pembangunan pangan hanya berpusat pada pertanian skala besar yang dikelola oleh korporasi.

Baca juga: Keluar dari Kemelut dan Legacy Buruk Food Estate

Apalagi, kata Uli, masyarakat di sekitar proyek food estate itu hanya dipinggirkan atau tidak dilibatkan secara langsung dan karakteristik wilayah mereka tidak menjadi hal dasar. Terlebih lagi, katanya, perusahaan mengelola food estate tidak punya pengalaman mengelola lahan gambut dengan baik.

“Pengalaman perusahaan-perusahaan ini hanya memiliki jejak kerusakan gambut saja. Terutama melakukan kanalisasi gambut yang menjadi penyebab utama ekosistem gambut rusak,” jelasnya.

Ketika negara menyerahkan pengelolaan gambut ke perusahaan, kata Uli, maka dipastikan pengelolaannya akan gagal. Hal itu juga akan memicu kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan cerita terpinggirnya masyarakat sekitar. Ia bilang, itulah yang terjadi sejak zaman Soeharto sampai sekarang.

Menurutnya, negara harus bertanggung jawab atas proyek food estate yang gagal di Kalteng, dan telah ditanami sawit oleh perusahaan. Ia bilang, negara juga harus menindak tegas perusahaan yang telah membangun kebun sawit di wilayah proyek ketahanan pangan itu.

“Harusnya ada proses evaluasi atas PSN dalam bentuk food estate yang ada di Kalteng. Perusahaan yang bangun kebun sawit di dalam proyek itu juga perlu ditindak secara hukum,” tegasnya.

Praktik Tak Lazim

Konversi lahan pangan menjadi kebun sawit sebenarnya bukan praktik tak lazim. Satu dekade kepemimpinan Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi), banyak praktik itu terjadi Indonesia.

Berdasarkan data Sawit Watch, alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) sebesar 698.566 hektar atau 69.856,6 hektar/tahun. Lahan baku sawah menjadi salah satu target utama terjadi perubahan alih fungsi jadi kebun sawit.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, apa yang terjadi di proyek food estate di Kalteng itu memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pemerintah sepertinya tidak punya kekuatan untuk meminimalisir alih fungsi lahan pangan ke perkebunan sawit.

Hal itu juga sejalan dengan riset yang mereka lakukan selama Jokowi memimpin Indonesia. Walaupun pemerintah memiliki kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), katanya, lahan pangan adalah salah satu wilayah yang sangat mudah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Padahal, kata Achmad, ketika lahan pangan sudah ditetapkan menjadi PLP2B, tidak boleh ada perubahan alih fungsi, baik itu perkebunan sawit, infrastruktur bahkan untuk pengembangan kawasan industri. Kebijakan PLP2B sudah diturunkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) di setiap daerah.

Baca juga: Terbukti Selalu Gagal, Pertanian Food Estate Bukan Jawaban Pemenuhan Pangan Nasional

Ironisnya, katanya, kebijakan itu seperti jadi pajangan saja, tidak ada praktik di lapangan. Fenomena ini yang kemudian ditemukan Sawit Watch selama Jokowi menjabat, dan itu tidak hanya terjadi di proyek food estate, tetapi proyek pangan lainnya yang dibuat oleh pemerintah.

“Konversi lahan pangan menjadi perkebunan sawit seharusnya tidak terjadi dengan adanya kebijakan PLP2B. Namun, dilapangan kita menemukan banyak praktik itu,” kata Achmad Surambo pada Selasa 5 November 2024 lalu.

Ia melihat apa yang terjadi pada proyek food estate di Kalteng contoh yang sangat bagaimana konversi lahan pertanian terbukti beralih fungsi jadi kebun sawit. Menurutnya, jika praktik itu tidak ditindak pemerintah, maka lahan proyek ketahanan pangan selamanya akan jadi perkebunan sawit.

Giorgio Budi Indrarto, Deputy Director, MADANI Berkelanjutan berpikir serupa. Ia khawatir, lahan pangan diserobot oleh perkebunan sawit itu akan mengganggu sistem pangan Indonesia. Menurutnya, perlu ada pembenahan secara menyeluruh atas pangan di Indonesia.

Giorgio bilang, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi tidak memperbaiki kondisi pangan seperti yang dijanjikan, Justru kondisi pangan Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Menurutnya, jika Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ingin mengatasi persoalan pangan, maka harus melakukan hal yang berkebalikan dengan apa yang dilakukan Jokowi. Ia bilang, program yang dikembangkan harus menjadikan penghasil pangan skala kecil sebagai subyek.

“Dan diikuti dengan pengaturan sumber-sumber agraria bagi masyarakat serta mengunci budget untuk kedaulatan pangan sebagai bentuk komitmen yang berkelanjutan guna mengatasi persoalan pangan saat ini,” kata Giorgio Budi Indrarto melalui rilis yang diperoleh.

Gagal atasi Krisis Pangan

Hana Saragih, Staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia mengatakan, potret proyek food estate di Kalteng merupakan bagian dari gagalnya pemerintah mencari solusi atas ancaman krisis pangan. Padahal solusi krisis pangan sendiri berada pada komunitas produsen pangan skala kecil, karena mereka mampu menyediakan pangan dengan sumber daya yang terbatas.

FIAN Indonesia sendiri menilai setidaknya ada 2 hal yang menyebabkan proyek pengembangan pangan skala besar itu akan gagal mengatasi ancaman krisis pangan di Kalteng.

Pertama, mega proyek food estate ini tidak menggunakan perspektif hak atas pangan dan gizi sebagai landasan kebijakan. Pasalnya, Food Estate yang kemudian disebut sebagai kawasan sentra produksi pangan lebih ditujukan untuk penyediaan cadangan pangan dan ekspor.

Kedua, adanya praktik pengabaian hak atas tanah dan sumber daya alam. Di semua lokasi proyek lumbung pangan, baik di Mantangai Hulu, Kalumpang, di Kabupaten Kapuas, maupun di Gunung Mas (Sepang Kota dan Tewai Baru), tidak pernah ada konsultasi publik bahkan sosialisasi mengenai proyek food estate.

Hana bilang, pemerintah menjalankan proyeknya dengan pendekatan top-bottom, atau tidak pernah ada upaya memastikan perlindungan akses dan kontrol atas tanah dan sumber daya. Seperti tidak ada menanyakan tentang status tanah yang masuk dalam plot proyek menurut versi penduduk setempat.

Adapun 2 penyebab itu berdampak cukup serius terhadap 3 kehidupan masyarakat setempat. Pertama; penghancuran sistem pangan lokal secara sistematik yang membuat hilangnya tradisi “menyeha tanah” sebagai larangan bakar untuk menyiapkan ladang.

Baca juga: Enam Pemimpin Muda Indonesia Berjuang untuk Keanekaragaman Hayati Dunia di Kolombia

“Ketergantungan pangan pokok dari pasar akhirnya menjadi pilihan satu-satunya, karena penanaman dan pengembangan benih lokal terhenti akibat petani tidak lagi bisa berladang,” kata Hana Saragih pada Selasa 5 November 2024 lalu

Kedua, infiltrasi agro toksik atau bahan kimia pertanian. Ia bilang, dengan adanya larangan membakar, pemerintah lebih leluasa untuk mempromosikan pertanian yang menggunakan bahan kimia pertanian dan benih hibrida sebagai cara bertani yang lebih aman.

Ketiga, perluasan pangan ultra proses (ultra process food). Misalnya, mie instan awalnya hanya tak jadi beban ketika dibeli, berubah menjadi beban pengeluaran rumah tangga yang dikeluhkan oleh ibu-ibu setiap hari. Kondisi itu disebabkan karena beras tak lagi diproduksi sendiri, tetapi harus dibeli.

Untuk menghemat uang belanja dan waktu memasak, karena kerja jadi harus tambah banyak untuk mendapatkan uang tunai, mie instan dan penyedap rasa sintetis menjadi pilihan utama. Akibatnya gizi masyarakat perlahan dikendalikan oleh korporasi pangan melalui konsumsi mie instan tersebut.

“Untuk menghemat biaya belanja dan waktu memasak, mie instan dan penyedap rasa sintetis menjadi pilihan utama. Akibatnya gizi masyarakat perlahan dikendalikan oleh korporasi pangan melalui konsumsi mie instan tersebut,” jelasnya.

Fenomena itu sangat jelas dijabarkan dalam penelitian FIAN Indonesia dengan empat organisasi lainnya dengan judul “Memantau Hak Atas Pangan dan Gizi Seputar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah” yang terbit pada Desember 2022 lalu.

Persiapan kebun sawit di lahan food estate sawah di Kalteng. Foto: Pantau Gambut
Persiapan kebun sawit di lahan food estate sawah di Kalteng. Foto: Pantau Gambut

Bukan Jawaban Krisis Pangan Nasional

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, proyek food estate bukan jawaban pemenuhan pangan nasional, atau krisis pangan. Pasalnya, proyek ini terbukti selalu gagal, dan hanya menimbulkan kontroversi serta masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya seperti yang terjadi di Papua.

Anehnya, kata Dewi, meskipun menuai masalah, dari perencanaan hingga pelaksanaan, pemerintah tetap mengulang proyek pengembangan pangan skala besar dengan dalil krisis pangan. Padahal, katanya, mega proyek ketahanan pangan itu justru menyebabkan konflik agraria dan ketimpangan tanah.

Dewi memberitahukan empat bahaya mendasar hadirnya proyek Food Estate yang harus diwaspadai. Pertama, masalah politik pangan, di mana proyek ini bertujuan menggantikan petani sebagai produsen pangan dengan korporasi besar, yang mengancam ketahanan pangan rakyat.

Kedua, akan terjadi perampasan tanah, seperti i terjadi di Papua dan Merauke. Tanah adat Papua yang telah diakui sebagai wilayah hak masyarakat adat, kini dirampas atas nama ketahanan pangan, yang justru memicu konflik agraria dan pelanggaran HAM.

Ketiga, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembukaan hutan dan penebangan kayu untuk proyek food estate. Dewi bilang, food estate akan merusak alam dan habitat satwa, serta berdampak langsung pada masyarakat Papua yang bergantung pada tanah dan hutan untuk hidup mereka.

Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang

Keempat, kegagalan yang terus berulang dalam setiap proyek Food Estate. Pasalnya, sejak era Soeharto, SBY, hingga Jokowi, proyek-proyek besar ini selalu gagal mencapai tujuan dan malah menyisakan masalah agraria, deforestasi, dan kerusakan sosial-ekonomi.

Ia bilang, sejarah kegagalan proyek pertanian berbasis korporasi menunjukkan bahwa model ini tidak efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan. Setiap proyek food estate di Indonesia, dari PLG hingga MIFEE dan FE Jokowi, telah gagal karena salah lokasi, korupsi, dan pengabaian kepentingan masyarakat adat.

Alih-alih untuk ketahanan pangan, katanya, proyek ini berpotensi untuk kembali menjarah hutan, merusak lingkungan, dan memperburuk ketimpangan agraria. Menurutnya, pemerintah harus belajar dari kegagalan ini dan mengubah arah kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

“Untuk itu, KPA mendesak pemerintah baru untuk keluar dari kemelut dan legacy buruk Food Estate dengan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan,” kata Dewi Kartika melalui Siaran Pers yang diperoleh.

Dewi menambahkan, proyek food estate hanya menguntungkan elit politik dan bisnis, sementara tanah rakyat dijadikan “ladang permainan” dengan dalih ketahanan pangan. Ia mendesak, pemerintahan yang baru harus segera mencabut kebijakan food estate dan menggantinya dengan Reforma Agraria sejati untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi petani.

Pembukaan lahan oleh perusahaan sawit di lahan food estate sawah Kalteng. Foto: Pantau Gambut
Pembukaan lahan oleh perusahaan sawit di lahan food estate sawah Kalteng. Foto: Pantau Gambut

Menurutnya, Reforma Agraria akan menjadi jalan untuk menciptakan swasembada dan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Adapun food estate, katanya, adalah legacy buruk dari pemerintahan Jokowi dan sebelumnya, yang terbukti gagal dan merugikan petani serta rakyat kecil.

“Program ini harus dihentikan dan digantikan dengan kebijakan yang mendukung petani sebagai pilar utama pembangunan pangan,” tegasnya.

Dewi menjelaskan, pembangunan pertanian harus memprioritaskan petani sebagai produsen pangan utama, bukan korporasi atau militer. Pemerintah juga seharusnya memperkuat usaha pertanian rakyat dengan dukungan teknologi, pelatihan, dan infrastruktur yang sesuai, agar kapasitas produksi petani meningkat.

Ia menambahkan, Indonesia masih memiliki 17 juta petani kecil dengan potensi lahan yang sangat besar untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Jika dikelola dengan baik, katanya, usaha pertanian rakyat bisa menciptakan surplus pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Seharusnya, kata Dewi, pemerintah perlu memfokuskan peran korporasi pada hilir, seperti distribusi dan pemasaran pangan, bukan pada penguasaan lahan atau produksi pangan. Menurutnya, perusahaan harus mendukung petani dengan menyediakan teknologi tepat guna, pelatihan, dan akses pasar yang lebih baik.

Baca juga: Mengapa Kecelakaan Kerja Terus Terjadi di Kawasan Industri IMIP?

Adapaun proyek food estate, katanya, seharusnya beralih ke model koperasi pertanian, yang dimiliki dan dikelola oleh petani. Pemerintah bisa bekerja sama dengan petani melalui koperasi untuk mengembangkan usaha pertanian yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan atau tanah rakyat.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu membuka lahan baru atau merusak hutan untuk proyek food estate, melainkan mendukung pengembangan lahan yang sudah dimiliki petani. Ia percaya, dengan memberikan akses ke teknologi, modal, dan infrastruktur yang memadai, petani bisa mengembangkan usaha mereka lebih maju dan modern.

Ia berharap, dana yang selama ini dialokasikan untuk food estate sebaiknya dialihkan untuk memperkuat usaha pertanian rakyat yang sudah ada. Menurutnya, dengan dukungan yang tepat, koperasi petani bisa mengolah hasil panen, meningkatkan kualitas pangan, dan bahkan mengembangkan sektor peternakan serta produk organik.

Ia menegaskan, Reforma Agraria adalah jalan untuk mengatasi masalah agraria dan ketahanan pangan di Indonesia, bukan Food Estate. Ia bilang, dengan Reforma Agraria, petani dan masyarakat adat tidak lagi terpinggirkan, dan negara akan lebih berdaulat dalam hal pangan dan agraria.

“Dengan Reforma Agraria, Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dan bahkan menjadi eksportir pangan yang kompetitif. Ini sesuai dengan mandat Konstitusi dan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960, yang menjamin hak atas tanah bagi petani dan masyarakat adat,” pungkasnya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.