- Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi konversi (HPK) berpotensi dibuka untuk perkebunan sawit.
- Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit sudah melebihi angka ambang batas (cap).
- Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, menyatakan bahwa isu legalitas dalam sektor perkebunan sawit terus menjadi masalah yang belum terselesaikan.
- Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi SPKS mengatakan, penggunaan dana perkebunan sawit untuk program subsidi biodiesel menyalahi ketentuan dari UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Industri kelapa sawit saat ini menghadapi berbagai tantangan akibat dinamika kebijakan dan pasar, baik domestik maupun global. Meskipun komoditas sawit tumbuh, pertumbuhannya tidak sebanding dengan kemajuan ekonomi di daerah penghasil. Kesejahteraan masyarakat sekitar kebun juga masih menjadi masalah serius.
Analisis TuK Indonesia menunjukkan, sebagian besar dari 25 perusahaan sawit besar dikuasai taipan dan keluarga mereka. Meski tidak memiliki saham mayoritas, mereka mengendalikan perusahaan melalui saham terbesar, membuat industri sawit dikuasai elit dan tidak berkeadilan.
Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi konversi (HPK) berpotensi dibuka untuk perkebunan sawit. Madani Berkelanjutan mencatat 6,2 juta hektar dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut Indonesia berada dalam wilayah izin sawit, dengan 3,8 juta hektar diantaranya berupa tutupan lahan gambut.
Menurut observasi The TreeMap, ekspansi kebun sawit di Indonesia pada 2023 menyebabkan konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, sepertiga dari deforestasi 2023 akibat sawit terjadi di lahan gambut kaya karbon, yang diduga melepaskan emisi GRK secara masif.
Baca juga: Potret Food Estate Kalteng: Ditanam Padi, Justru Tumbuh Sawit
Dalam sebuah penelitian pada 2019 menunjukkan Sawit juga secara langsung berdampak pada kondisi biodiversitas. Di Kalimantan, data menunjukkan bahwa jumlah orang utan Borneo telah menurun sebanyak 25% dalam satu dekade terakhir. Padahal, sebagian luas dataran rendah Kalimantan sebelumnya dihuni oleh orang utan.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit sudah melebihi angka ambang batas (cap). Lahan sawit yang ada saat ini sudah melampaui kapasitas optimal yang ditetapkan untuk berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah yang rentan secara ekologi.
Hal itu tergambar jelas dalam penelitian yang dilakukan Sawit Watch bersama 13 organisasi masyarakat sipil yang terbit pada 2024. Dalam riset itu menemukan, angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah sebesar 18,15 juta hektare, ekspansi perkebunan sawit di beberapa wilayah telah mendekati atau bahkan melampaui kapasitas lingkungan.
Adapun luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 17,3 juta hektare, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Luas ini merupakan hasil pemutakhiran peta tutupan kelapa sawit oleh Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian pada tahun 2023.
Sederhananya, pengembangan sawit di Indonesia tidak lagi bisa dilakukan secara menyeluruh di semua pulau karena banyak wilayah yang sudah melampaui ambang batas daya tampung dan daya dukung lingkungan, terutama di area yang rentan secara ekologi. Ia bilang, jika ekspansi perkebunan sawit melampaui cap, akan berdampak ke lingkungan yang signifikan.
“Jika ekspansi perkebunan sawit melebihi angka cap dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, akan banyak dampak buruk yang terjadi,” kata Achmad Surambo, pada Senin 16 Desember 2024 lalu.
Di sisi lain, ambisi pemerintah untuk program biodiesel diprediksi akan mempercepat ekspansi lahan sawit. Kajian Satya Bumi 2024 menyebutkan, peningkatan bauran biodiesel hingga 50% untuk dalam negeri, yang memerlukan tambahan lahan 9,3 juta hektar. Hal ini sejalan dengan temuan LPEM UI dan Greenpeace Indonesia.
Achmad Surambo menambahkan bahwa jika pemerintah fokus pada intensifikasi kelapa sawit, kebutuhan Crude Palm Oil (CPO) untuk program biodiesel dapat dipenuhi tanpa perlu melakukan ekspansi lahan. Menurutnya, skenario ekstensifikasi merupakan langkah keliru dalam memperbaiki tata kelola perkebunan sawit, apalagi untuk mendukung program biodiesel.
Namun, dari sisi regulasi, berbagai aturan belum sepenuhnya mengatasi persoalan tata kelola perkebunan sawit. Contohnya, kebijakan pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan yang seharusnya menyelesaikan tumpang-tindih lahan, justru berisiko merugikan negara karena potensi hilangnya pendapatan pajak.
Sementara, sistem perizinan sawit masih rentan terhadap praktik koruptif. Beberapa pejabat dan pengusaha telah ditangkap terkait korupsi perizinan yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Contohnya, kasus tindak pidana korupsi dalam persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 6,04 triliun.
Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, menyatakan bahwa isu legalitas dalam sektor perkebunan sawit terus menjadi masalah yang belum terselesaikan. Sebagai contoh, TuK Indonesia sedang menggugat Bank Mandiri karena memberikan pembiayaan kepada PT Agro Nusa Abadi (ANA), yang tidak memiliki legalitas Hak Guna Usaha (HGU).
Adapun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa jutaan hektar perkebunan sawit beroperasi tanpa HGU. Data FWI juga menunjukkan 68% perkebunan dengan IUP beroperasi tanpa HGU, sementara 36% perkebunan dengan HGU (lebih dari 4 juta hektar) tidak memiliki IUP.
Data itu selaras dengan temuan dari ICEL, yang menjelaskan bahwa pelanggaran perizinan sawit seringkali disebabkan oleh administrasi yang ceroboh, termasuk pemberian izin di kawasan hutan. Hal ini mencerminkan ketidakefektifan sistem perizinan yang ada dan menciptakan kondisi koruptif.
Linda menambahkan bahwa potret ini dapat dilihat dengan jelas di Sulawesi Tengah (Sulteng), di mana sekitar 600 ribu hektar lahan sawit tercatat, dan 75 persen diantaranya terindikasi sebagai hasil dari maladministrasi. Padahal Sulteng bukan merupakan provinsi yang menjadi sentral perkebunan sawit.
“Isu legalitas perkebunan sawit yang berdampak pada penerimaan negara perlu menjadi perhatian serius. Di satu sisi, sektor ini diharapkan berdampak positif ke penerimaan negara, tetapi tapi faktanya di lapangan sangat kontradiktif,” kata Linda Rosalina pada Senin 16 Desember 2024 lalu.
Dalam isu sosial dan agraria, salah satu masalah utama dalam sektor perkebunan sawit adalah konflik yang melibatkan kelompok masyarakat rentan di perkebunan sawit, seperti buruh, petani, masyarakat lokal, dan adat. Sawit Watch mencatat ada 1.106 komunitas yang terlibat konflik di perkebunan sawit.
Implementasi skema plasma juga menjadi pemicu konflik antara perusahaan sawit dan masyarakat. Dari 150 kasus yang diteliti oleh Sawit Watch, 86 di antaranya terkait masalah plasma. Beberapa konflik muncul karena perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma sesuai kewajiban peraturan perundang-undangan.
Konflik lainnya terkait dengan subsidi biodiesel yang lebih menguntungkan korporasi sawit daripada petani sawit mandiri. Penelitian yang dilakukan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2023 menemukan bahwa perusahaan-perusahaan sawit besar, seperti Wilmar, Musi Mas, Sinar Mas, dan Royal Golden Eagle, lebih banyak menikmati subsidi biodiesel dibandingkan petani sawit mandiri.
Diketahui, dana perkebunan sawit dihimpun dari pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, Kementerian Keuangan
Baca juga: Di Bangkal Seruyan: ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’
Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi SPKS mengatakan, penggunaan dana perkebunan sawit untuk program subsidi biodiesel menyalahi ketentuan dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasalnya, dalam UU itu hanya mengatur penggunaan dana di lima kegiatan saja, dan tidak termasuk subsidi biodiesel.
Anehnya, kata dia, pemerintah mengklaim penggunaan dana untuk subsidi biodiesel diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015. Padahal, dua regulasi itu tidak sejalan dengan ketentuan dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014.
Marselinus menegaskan, penggunaan dana perkebunan sawit Ini menimbulkan polemik, dan berimplikasi terhadap tujuan awal dari kebijakan penghimpunan dana perkebunan sawit. Apalagi dalam praktiknya, penggunaan dana perkebunan sawit untuk subsidi biodiesel mendapatkan proporsi terbesar, ketimbang kegiatan yang diperuntukan kepada petani sawit mandiri.
“Kami pernah menggugat masalah ini ke Mahkamah Agung (MA), tapi gugatan kami ditolak,” kata Marselinus Andri pada Senin 16 Desember 2024 lalu.
Urgensi Perbaikan dan Penghentian Izin
Menurut Achmad Surambo, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam melihat berbagai permasalahan Industri kelapa sawit saat ini. Pertama, penghentian izin baru sawit akan memberikan dampak positif bagi negara dalam jangka panjang, dengan meningkatkan penerimaan negara dan serapan tenaga kerja, terutama jika disertai replanting.
Kedua, bahwa lahan sawit hari ini telah mendekati ambang batas atas (cap) perkebunan sawit yang ideal bagi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bahkan masih banyak sawit yang beroperasi di area yang secara fisik maupun sosial tidak semestinya. Olehnya, pembukaan lahan baru untuk sawit harus dihentikan, sekaligus replanting.
Achmad Surambo bilang, dalam kajian dengan perspektif ekonomi dilakukan pihaknya menunjukkan bahwa penghentian pemberian izin sawit disertai replanting akan memberikan dampak ekonomi yang lebih baik dalam jangka panjang, termasuk pada PDB, pendapatan, penerimaan pajak, dan tenaga kerja.
Skenario moratorium dan replanting bersamaan diproyeksikan akan menghasilkan output PDB sebesar Rp30,5 triliun dan menyerap 827 ribu tenaga kerja. Sementara itu, skenario ekspansi sawit tanpa moratorium justru menghasilkan output PDB negatif sebesar Rp30,4 triliun dan hanya menciptakan 268 ribu tenaga kerja dalam periode yang sama.
“Jika kebijakan moratorium atau penghentian izin baru tidak dilaksanakan, laju deforestasi akibat perkebunan sawit berpotensi meningkat. Meskipun Inpres 8/2018 telah diterapkan selama tiga tahun, efektivitasnya belum cukup untuk memperbaiki tata kelola sawit,” jelasnya.
Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan
Data Sawit Watch menunjukkan, pada 2019-2020 (era moratorium), deforestasi terbesar terjadi di wilayah konsesi sawit, yakni 19.940 hektar. Selain itu, luas hutan alam di dalam konsesi sawit pada 2019 mencapai 3,58 juta hektar. Dengan begitu, katanya, penerapan kembali moratorium sawit dapat menyelamatkan hutan alam dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Selain itu, kata Achmad Surambo, moratorium sawit juga dapat memainkan peran penting dalam menyelesaikan konflik dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang terlibat sengketa dengan perusahaan sawit. Juga memungkinkan tinjauan ulang terhadap legalitas perkebunan, termasuk hak atas tanah, kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban plasma, serta implementasinya.
Pelanggaran perizinan, katanya, dapat juga dapat terdeteksi ketika moratorium sawit dilakukan. Ia bilang, moratorium sawit dan replanting adalah skenario paling terbaik ketika melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia dengan tidak mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
“Kami menantang keras jika pemerintah mengambil skenario ekspansi atau perluasan kebun sawit, karena dampaknya cukup besar, termasuk memperburuk kondisi iklim dan memicu peningkatan konflik agraria,” ungkapnya.
Senada, Linda juga berpikir serupa. Namun, kata dia, melakukan perbaikan tata kelola melalui moratorium sawit dan replanting perlu dilakukan oleh semua sektor, tak hanya satu satu sektor saja. Menurutnya, implementasi dari kebijakan dari moratorium sawit dan replanting juga perlu terlaksana di lapangan.
Pasalnya, kata Linda, sangat disayangkan jika kebijakan moratorium sawit dan replanting dibuat, tetapi tidak terimplementasi di lapangan. Menurutnya, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat sebelum mengambil kebijakan melakukan perbaikan tata kelola lingkungan melalui moratorium sawit dan replanting.
“Menurut saya, komitmen negara dalam memperbaiki tata kelola industri sawit masih lemah, apalagi penegakan hukumnya. Negara saat ini seperti separuh hari untuk melakukan perbaikan tata kelola sawit,” kata Linda.
Terlebih lagi, kata Linda, perbankan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus memberikan pembiayaan berupa kredit kepada korporasi-korporasi sawit besar yang telah terbukti merusak lingkungan, dan melakukan pelanggaran HAM kepada masyarakat setempat.
Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo
“Penegakan hukum harus kuat, komitmen pemerintah harus serius, serta pembiayaan juga perlu dibatas jika ingin melakukan perbaikan tata kelola sawit. Ketika itu tidak dilakukan, industri sawit terus akan bermasalah,” ujarnya.
Sementara, menurut Marselinus Andri, pemerintah juga perlu melibatkan petani sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel. Pasalnya, dalam penelitian yang dilakukan pihaknya bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, sekitar 5 juta hektar lebih kebun sawit milik petani swadaya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan B30.
Marselinus yakin, dengan melibatkan petani sawit mandiri dalam rantai pasok biodiesel, pemerintah dapat menghindari dampak negatif dari adanya perencanaan ekspansi sawit. ia berharap, pemerintah dapat membangun pabrik CPO mini dari dana perkebunan sawit yang diperuntungkan kepada petani sawit mandiri.
“Upaya ini juga akan mendorong perbaikan tata kelola sawit, dan meningkatkan perekonomian masyarakat,” pungkasnya.
Tulisan ini sebelumnya pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments