- Perjuangan para petani sawit kemitraan Koperasi Tani Amanah (Koptan Amanah) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, sedikit memberikan hasil setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan PT Hardaya Inti Plantations (HIP) menjalin kemitraan. Kini, para petani menantikan perusahaan sawit ini segera mengembalikan lahan mereka.
- Putusan KPPU itu berawal dari laporan petani plasma yang tergabung dalam Koptan Amanah pada Agustus 2022. Dari dokumen laporan yang diperoleh Mongabay, HIP mengingkari kewajiban yang tertuang dalam perjanjian kerjasama dengan Koptan Amanah pada 5 November 2007.
- Paulus Tato, anggota Koptan Amanah masih mengingat betul iming-iming perusahaan kepadanya pada tahun 2007. Warga Desa Winangun ini mengatakan, janji perusahaan cukup menggiurkan hingga tertarik menyerahkan lahan kepada perusahaan agar masuk dalam kemitraan. Ternyata kenyataan jauh dari perkiraan, janji tinggal janji.
- Sejak Februari lalu para petani mengatur aktivitas di kebun sawit. Sekitar 17 tahun bekerja sama dengan perusahaan membangun kebun sawit, petani tidak mendapatkan hasil sesuai janji. Sebaliknya, mereka justru terjebak utang berujung kemiskinan hingga sebagian warga transmigran itu kembali ke kampung halaman karena tak sanggup memenuhi kebutuhan hidup.
Napas perlawanan pertani sawit kemitraan Koperasi Tani Amanah (Koptan Amanah) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah sedikit legah setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa PT Hardaya Inti Plantations (HIP) telah melakukan pelanggaran kemitraan. KPPU menjatuhkan sanksi sebesar Rp 1 miliar kepada HIP atas pelanggaran yang mereka lakukan.
Sanksi tersebut dimuat dalam Putusan yang dibacakan pada Sidang Majelis Pembacaan Putusan Perkara Nomor 02/KPPU-K/2023 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 terkait Pelaksanaan Kemitraan antara HIP dan Koptan Amanah yang dipimpin oleh Gopprera Panggabean sebagai Ketua Majelis, serta Aru Armando dan Budi Joyo Santoso sebagai Anggota Majelis, pada tanggal 9 Juli 2024 kemarin.
Dalam perkara ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang didirikan pada tahun 1995 ini diduga telah merampas kebun sawit milik Koptan Amanah secara licik dengan berbagai cara. Hal itu bermula dari tidak adanya transparansi dalam perhitungan biaya pembangunan kebun sawit milik Koptan Amanah, hingga tidak transparan dalam pengelolaan hasil Tandan Buah Segar (TBS) serta pembelian TBS yang tidak sesuai dengan ketentuan harga dari Pemerintah.
Gopprera Panggabean, Ketua Majelis mengatakan, bentuk penguasaan lain yang dilakukan oleh HIP adalah dengan tidak memunculkan klausul perjanjian kerja sama mengenai kewajiban memberikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan kebun plasma kepada mitra plasma, dalam hal ini adalah Koptan Amanah, selama masa kerja sama kemitraan.
Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera
Dalam proses Pemeriksaan Pendahuluan, KPPU telah menyampaikan 3 kali Peringatan Tertulis dengan usulan-usulan perbaikan kemitraan kepada HIP. Terakhir pada peringatan tertulis ke-3, KPPU memberikan beberapa perintah perbaikan kemitraan namun tidak dilaksanakan oleh HIP. Tindakan tersebut membuat KPPU melanjutkan persoalan tersebut ke tahap pemeriksaan lanjutan.
Dalam pemeriksaan lanjutan oleh Majelis Komisi, terungkap bahwa HIP tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan Addendum Perjanjian Kerja Sama Kemitraan terkait penambahan luasan lahan yang dibangun dan penambahan klausul yang mengatur persentase Sisa Hasil Usaha (SHU) yang harus diterima Koptan Amanah atas penjualan TBS.
Gopprera bilang, perintah perbaikan yang juga tidak dilaksanakan dalam hal transparansi hutang Koptan Amanah dan pengembalian Sertifikat Hak Milik (SHM) milik para anggota Koptan Amanah atas hutang kepada HIP yang berlandaskan pada Perjanjian Kredit Investasi dengan Bank Mandiri.
“Besaran hutang Koptan Amanah tersebut mencapai Rp8.800.000.000 sebagai hutang pokok dengan jaminan sebanyak 877 SHM yang harus dikembalikan kepada Koptan Amanah,” kata Gopprera Panggabean saat membacakan putusan.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan, kata Gopprera, Majelis Komisi memutuskan bahwa HIP terbukti melanggar pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dalam pelaksanaan kemitraannya dengan Koptan Amanah.
Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi memerintahkan HIP untuk melakukan addendum perjanjian kemitraan terkait luasan lahan 1.123,74 hektar dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan setelah ditetapkannya SK CPCL oleh Bupati Buol.
Selain itu, katanya, HIP diminta harus melakukan Addendum perjanjian kemitraan yang memuat klausula kewajiban untuk memberikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan kebun terhadap mitra Koptan Amanah selama masa kerjasama kemitraan secara berkala paling lama 60 hari kerja sejak Putusan berkekuatan hukum tetap.
HIP juga diminta menerapkan Perjanjian Kredit Investasi Nomor SBDC.MKS/024/PK-KI/2008 tanggal 18 April 2008 terkait penyelesaian piutang yang dialihkan dari Bank Mandiri kepada HIP, serta melakukan general audit atas laporan keuangan Koptan Amanah periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2023 dalam jangka waktu 1 tahun.
Baca juga: Aksi Penghentian Sementara Operasional Kebun Petani Plasma Buol Terus Dicekal
Tak hanya itu, kata dia, HIP juga harus melakukan pengiriman data pemutakhiran CPCL kepada Bupati Buol dan ditembuskan kepada Komisi paling lambat 14 hari kerja sejak Putusan berkekuatan hukum tetap.
“HIP juga dikenakan sanksi denda sebesar Rp1 miliar yang wajib dibayarkan paling lama 30 hari sejak Putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht),” jelasnya
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengaku cukup senang dengan keputusan majelis tersebut. Meskipun sanksi yang diberikan kepada HIP terbilang cukup ringan, katanya, minimal putusan tersebut membuktikan bahwa perusahaan kebun sawit satu-satunya di Buol ini terbukti dan meyakinkan telah bersalah dalam kemitraan.
“Sebenarnya putusan majelis ini cukup ringan, tetapi ini merupakan bentuk kemenangan kecil yang telah diraih oleh petani pemilik lahan yang bermitra dengan HIP. Petani pemilik lahan terbukti tidak bersalah, dan perusahaan yang justru terbukti bersalah,” kata Fatrisia Ain pada 9 Juli 2024 lalu.
Dengan putusan ini, kata Fatrisia Ain, penghentian sementara operasional kebun sawit milik pemilik lahan yang dilakukan sejak 8 Februari 2024 lalu akan terus dilakukan sejak sampai HIP mengembalikan lahan mereka. Ia bilang, petani sawit di Buol tidak mau terus dicurangi lagi oleh perusahaan yang sudah memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Pasalnya, kata Fatrisia Ain, kurang lebih 17 tahun bekerjasama dengan perusahaan untuk membangun kebun sawit, petani pemilik lahan tidak sedikitpun mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan oleh HIP. Sebaliknya, mereka justru terjebak dalam labirin kemiskinan hingga sebagian dari warga transmigran itu balik ke kampung halaman karena tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup.
“Prinsip kemitraan antara pemilik lahan dan HIP ini harusnya saling menguntungkan. Namun kenyataannya berbeda. Pemilik lahan justru yang paling dirugikan,” jelasnya
Paulus Tato, salah satu Anggota Koptan Amanah masih mengingat betul imingi-imingi yang disampaikan perusahaan kepadanya pada tahun 2007 silam. Warga Desa Winangun ini bilang, janji perusahaan kepadanya cukup manis dan menggiurkan hingga dirinya seperti terhipnotis untuk cepat-cepat menyerahkan lahannya kepada perusahaan agar masuk dalam program kemitraan.
“Kalau kita punya satu hektar sudah cukup untuk makan, kalau punya dua hektar bisa menyekolahkan anak-anak dan bisa membeli mobil, kalau lebih dari itu sudah bisa lebih dari sejahtera,” kata Paulus Tato saat menirukan apa yang disampaikan HIP saat sosialisasi awal.
Baca juga: Oligarki Membajak Transisi Energi di Bisnis Biomassa
Ketika itu, kata Paulus, perusahaan juga berjanji akan memberikan ganti rugi kepada lahan-lahan yang sudah ditanami berbagai jenis tanaman, sebelum ditanami sawit. Para petani pemilik lahan juga dijanjikan akan dilibatkan sebagai pekerja untuk kebun plasma oleh HIP.
Pada 2008, kata Paulus, lahan dengan luas 1 hektar yang diberikan negara kepada dalam program transmigran akhirnya mulai ditanami sawit. Kendati, kakao yang ditanamannya sejak puluhan tahun di kebun itu terpaksa harus digusur menggunakan alat berat milik perusahaan. Ketika itu, Paulus mengaku yakin apa yang dijanjikan perusahaan bisa terwujud.
Alih-alih mensejahterakan, kata Paulus, dari 2012 ketika panen awal hingga sekarang, dirinya tidak pernah mendapatkan sisa hasil usaha (SHU) dari perusahaan. Padahal, perusahaan menjanjikan kepada mereka dengan pembagian 70:30, 70 persen untuk petani, 30 persen untuk perusahaan. Ironisnya lagi, mereka justru dibebankan hutang yang begitu besar oleh perusahaan.
Tak hanya itu, janji perusahan untuk melibatkan para petani sebagai pekerja kebun sawit juga tidak diimplementasikan. Mereka hanya dilibatkan sebagai pekerja hanya pada saat babat dan tanam. Setelah itu para petani diberhentikan dan HIP merekrut pekerja dari luar. Ganti rugi untuk tanaman petani yang dibabat untuk dijadikan kebun plasma juga tidak diberikan.
“Hingga sekarang, kami tidak mendapatkan apa-apa dari perusahaan. Kami justru dibebankan hutan yang begitu besar yang tidak masuk akal. Ini yang membuat kami harus melawan dan merebut kembali lahan kami yang sudah dikuasai perusahaan,” ujarnya.
Alhasil, sejak 8 Februari 2024 lalu sampai sekarang, para petani pemilik lahan melakukan aksi penghentian operasional kebun mereka. Aksi itu dilakukan di empat titik lokasi, yakni lokasi tanah milik masyarakat di lingkup Koperasi Tani Plasma Amanah, Koperasi Plasa, Koperasi Tani Awal Baru, dan Koperasi Tani Bukit Pionoto.
Fatrisia bilang, gerakan itu puncak dari berbagai upaya mereka yang dilakukan selama ini baik non-litigasi maupun litigasi, termasuk meminta pertanggungjawaban PT. HIP. Bahkan, perusahaan berjanji akan melakukan audit kebun sawitnya. Namun sampai hari ini tidak ada realisasinya.
Sebaliknya, kata Fatrisia, perusahaan justru melakukan langkah represif menggunakan aparat untuk menghentikan mencoba menghentikan gerakan petani pemilik lahan. Mirisnya lagi, katanya, beberapa kali petani dikriminalisasi saat melakukan upaya aksi penuntutan atas hak dan tanahnya, termasuk dirinya.
“Saya termasuk orang yang dilaporkan ke perusahaan dengan tuduhan melakukan penghasutan kepada petani pemilik lahan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional perkebunan sawit mereka,” ungkapnya
Baca juga: Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar
Selain itu, katanya, pemilik lahan juga telah melakukan pengaduan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Buol lewat Aksi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Bahkan, Panitia Khusus (Pansus) dibentuk sebanyak 2 kali pada periode tahun 2022-2023. Namun, pihaknya menilai Pansus untuk pencarian fakta hingga pendalaman kasus plasma itu gagal menghasilkan rekomendasi.
Tak hanya itu, katanya, pemilik lahan plasma telah melakukan upaya menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Kabupaten Buol, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya Tim Penanganan Penyelesaian Masalah Petani Plasma. Lagi-lagi, tim tersebut belum jelas hasil kerjanya sampai dengan sekarang.
“Disamping itu, Tim itu telah gagal mengumpulkan data-data dari 6 pengurus-pengurus Koperasi Tani yang juga dimasukkan sebagai anggota ke dalam Tim tersebut,” kata Fatrisia Ain
Bukan hanya itu, kata Fatrisia, pemilik lahan plasma juga telah melakukan upaya untuk mendesak pihak pengurus-pengurus koperasi tani plasma yang tidak kooperatif dengan pemilik lahan. Mereka pun mendesak untuk segera melakukan Rapat Anggota/Rapat Anggota Tahunan.
“Akan tetapi, pengurus-pengurus koperasi tani plasma tidak kooperatif dan justru mengambil keputusan bersama pihak perusahaan tanpa melalui musyawarah dengan anggotanya,” ujarnya
Pelanggaran Dilakukan HIP
Putusan yang dibacakan oleh KPPU pada 9 Juli 2024 lalu itu merupakan buah dari laporan yang dilayangkan oleh petani pemilik lahan yang tergabung dalam Koptan Amanah pada bulan Agustus 2022 lalu. Menurut dokumen laporan yang diperoleh Mongabay, HIP telah melakukan pengingkaran terhadap kewajiban yang tertuang dalam perjanjian kerjasama antara Koptan Amanah pada 5 November tahun 2007 silam.
Laporan itu menyebut, HIP tidak melakukan pembangunan dan pemeliharaan kebun sesuai standar kebun yang baik. Salah satu indikasinya adalah tidak seluruh lahan yang diserahkan untuk kebun kemitraan dijadikan kebun sawit oleh HIP. Akibatnya terdapat ketidaksesuaian antara data luasan kebun yang diserahkan dengan fakta kebun plasma di lapangan.
Kondisi itu disebut telah merugikan para petani anggota kemitraan. Hal ini berkaitan dengan biaya pembangunan dan hasil yang akan didapat tidak sesuai dengan anggaran yang sudah disepakati sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerjasama pasal 3. Terlebih lagi, dana pembangunan kebun seluruhnya dikelola langsung oleh HIP. Apalagi, lahan yang tidak dijadikan kebun plasma juga tidak dikembalikan pada petani.
Dengan begitu, HIP diduga kuat mendapatkan surplus dari dana pembangunan kebun. Hal itu dikuatkan juga dengan HIP yang tidak memberikan laporan pertanggungjawaban perkembangan pembangunan kebun setiap tiga bulan kepada pihak koperasi sebagaimana disyaratkan dalam pasal 7 perjanjian kerjasama kemitraan.
Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo
Selain itu, laporan yang dilayangkan ke KPPU itu juga menyebut, HIP tidak menjalankan kewajibanya untuk memberikan pelatihan job kerja kepada pihak Koperasi mengenai kerja administrasi, manajemen dan teknis perkebunan. Pengabaian tanggungjawab itu disinyalir disengaja agar anggota Koptan Amanah tidak memiliki kapasitas dalam mengawasi dan mengelola kebun plasma.
Tak hanya itu, laporan itu juga menyebut, HIP juga tidak memberikan hak kepada petani plasma melalui koperasi untuk menjalankan pengawasan selama kegiatan pemeliharaan dan pemanenan, termasuk penimbangan serta pemasaran hasil produksi milik para anggota Koptan Amanah, sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian kerjasama.
HIP juga diduga kuat sengaja tidak menjalankan upaya proyeksi (rencana) pelunasan utang untuk mempertahankan pengelolaan kebun agar tetap satu atap dengan Inti. Pasalnya, dalam perjanjian kerjasama kemitraan terdapat klausul yang menyatakan bahwa selama kredit bank belum lunas maka perkebunan dikelola oleh HIP, satu manajemen dengan kebun inti.
Dalam dokumen laporan itu menyebut, HIP juga membeli Tandan Buah Segar (TBS) dibawa harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini membuat menyebabkan kerugian besar bagi petani anggota Koptan Amanah. Pemberian harga di bawah ketetapan pemerintah telah berdampak pada rendahnya nilai dari hasil kebun.
Adapun para petani anggota Koptan Amanah tidak menerima hasil yang mendukung kesejahteraan sebagaimana dijanjikan pihak HIP. Diwaktu yang sama, mereka petani menanggung utang kurang lebih 142 juta/hektar. Padahal dalam perjanjian kerjasama, biaya pembangunan kebun tertera hanya sebesar Rp25.127.000/hektar.
“Jumlah utang yang disampaikan oleh HIP diduga sulit untuk dipertanggungjawabkan, mengingat jumlah utang yang disampaikan berubah-ubah. Setidaknya ada 3 dokumen yang ditemukan mengenai utang petani Koptan Amanah, dengan jumlah utang yang berbeda beda,” tulis dalam laporan yang dilayangkan ke KPPU.
Ali Paganum, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan, fakta-fakta dan praktik kemitraan antara Koptan Amanah dengan HIP ini sangat tidak layak berdasarkan asas kesetaraan, transparansi dan keadilan. Pasalnya, kata dia, HIP melakukan monopoli dan penguasaan lahan sehingga merugikan pihak petani anggota Koptan Amanah.
Disisi lain, kata Ali, HIP tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan kerugian yang diderita para petani anggota Koptan Amanah. Menurutnya, kemitraan yang tidak adil dan merugikan petani ini patut untuk dihentikan, serta kebun-kebun petani yang sudah dikuasai HIP harus dikembalikan.
Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang
“Terlebih lagi, HIP diduga kuat telah melakukan pengingkaran terhadap perjanjian kerjasama kemitraan dan tidak ada itikad baik untuk memperbaiki kemitraannya,” kata Ali Paganum kepada Mongabay 12 Juli 2024. Dia yang mengantarkan langsung laporan yang dilayangkan oleh oleh petani pemilik lahan anggota Koptan Amanah pada bulan Agustus 2022 lalu itu.
Menurut Ali, apa yang dilakukan oleh HIP ini adalah bentuk dari perampasan tanah atau Land Grabbing untuk menghilangkan hak petani dalam kepemilikan lahan tersebut. Dimana, katanya, petani dililitkan utang oleh perusahaan yang tidak akan pernah selesai dilunasi dengan skema pembengkakan utang.
Misalnya, kata Ali, utang petani pemilik lahan anggota Koptan Amanah untuk biaya pembangunan kebun yang awalnya hanya Rp25.127.000/hektar, tiba-tiba di menjadi 142 juta/hektar. Ia bilang, pembengkakan utang itu sangat tidak logis dan itu terbukti dalam sidang putusan KPPU pada 9 Juli 20224 lalu.
Padahal, kata Ali, dalam persidangan KPPU sudah terungkap bahwa utang petani pemilik lahan anggota Koptan Amanah hanya Rp.8,2 miliar saja. Pada 2021, utang tersebut ternyata telah mengalihkan dari Bank Mandiri ke HIP tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Menurutnya, HIP mencoba membuat berbagai cara agar utang milik petani tidak bisa dilunasi.
“Jika normal dibayar, harusnya utang Rp.8,2 miliar itu sudah lunas sejak 2022 lalu. Namun, perusahaan justru mengklaim utang petani anggota Koptan Amanah sebesar Rp. 142 milar,” jelasnya
Dalam persidangan, HIP juga terbukti tidak pernah melakukan audit keuangan sejak 2008 hingga sekarang. Audit keuangan ini pun menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam putusan yang dibacakan oleh KPPU. Menurutanya, Ini membuat kecurigaan yang kuat bahwa HIP benar-benar akan melakukan perampasan lahan milik petani ini
Mirisnya lagii, kata Ali, dalam persaingan terungkap bahwa HIP dan pengurus Koptan Amanah ternyata secara diam-diam (tanpa sepengetahuan pemilik lahan) telah membuat kesepakatan untuk mengalihkan pengelolaan kebun sawit ke perusahaan PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI). Ia bilang, ini merupakan bagian dari skema agar petani akan tetap terjerat utang karena sertifikat lahan mereka akan ditahan terus.
Apalagi, katanya, UKMI ini merupakan perusahaan baru yang didirikan pada tanggal 27 Februari 2023 lalu, dan tidak memiliki pengalaman mengelola kebun sawit. Ia membayangkan, kebun sawit dikelola oleh HIP saja tidak menguntungkan petani, apalagi dikelola oleh UKMI yang sama sekali tidak memiliki track record dalam mengelola kebun sawit.
“Saya mau memberikan catatan bahwa pengurus Koptan Amanah tidak sama sekali memiliki kepentingan untuk memperjuangkan hak petani pemilik lahan yang merupakan anggotanya. Bahkan dalam proses pemeriksaan KPPU, pengurus koperasi ini memberikan surat untuk menghentikan proses perkara di KPPU,” jelasnya
Baca juga: Janji Manis Perusahaan Sawit, Pahit Petani Plasma Boalemo Rasakan
Sebenarnya, masih ada enam koperasi tani mitra HIP yang memiliki masalah jauh lebih rumit daripada Koptan Amanah. Ia berharap, dengan adanya putusan KPPU ini bisa menjadi spirit bersama untuk memperbaiki mode kemitraan di semua koperasi. Pasalnya, HIP telah terbukti melakukan pelanggaran kemitraan.
“Saya yakin, penyelesaian masalah kemitraan ini bisa diselesaikan dan tidak akan membangkrutkan HIP. Hanya saja, apakah HIP mau atau tidak?.” Tuturnya
Mongabay menghubungi Bambang Luky Dewanto, Lead HRGH PT. HIP memintai keterangan soal putusan KPPU yang dibacakan pada 9 Juli lalu, serta beberapa pertanyan soal klaim utang. Namun, melalui pesan whatsapp dan telepon, Bambang Luky Dewanto tak pernah menjawab dan mengangkatnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments