Sidang pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Mada Yunus digelar di Pengadilan Negeri Buol pada pukul 11.30 WITA. Dalam dakwaan tersebut, Mada Yunus dituduh melakukan pendudukan lahan perkebunan dan penghasutan, yang menurut Jaksa, terjadi pada 8 Januari 2024 di wilayah lahan Koperasi Tani Pasma Awal Baru, yang terletak di Desa Balau dan Desa Maniala, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Jaksa menuduh Mada Yunus secara tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan, yang melanggar Pasal 107 Huruf (a) Jo Pasal 55 Huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selain itu, ia juga didakwa menghasut masyarakat untuk melakukan tindakan pidana atau kekerasan terhadap penguasa umum, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan dakwaan tersebut, Mada Yunus menegaskan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepadanya tidaklah benar. Ia menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah memperjuangkan tanah milik keluarganya yang telah ditanami sawit oleh PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) melalui program kemitraan dengan Koperasi Tani Awal Baru, tanpa persetujuan dari pihaknya.
Baca juga: Permohonan Keberatan HIP Ditolak, Harapan Baru Bagi Petani Plasma Buol
Sebagai pemilik sah lahan, Mada Yunus dan keluarganya tidak pernah dilibatkan dalam program kemitraan plasma maupun menjadi anggota Koperasi Tani Awal Baru. Sebagai bentuk protes atas ketidakadilan tersebut, Mada Yunus bersama keluarga dan rekan-rekannya memutuskan untuk menghentikan operasional kebun plasma yang dikelola PT. HIP, guna menuntut keadilan.
Tim penasihat hukum Mada Yunus dari LBH Pogogul Justice, yang dipimpin oleh Budianto Eldist, menyatakan bahwa pihaknya mengajukan eksepsi terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Mereka berpendapat bahwa terdapat perbedaan mendasar dalam dakwaan tersebut, terutama karena perkara ini seharusnya bersifat perdata.
Selain itu, mereka juga mengacu pada putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara Quasi Peradilan Niaga yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tim hukum Yunus juga menyoroti permasalahan terkait locus dan tempus, yang menurut mereka menyebabkan dakwaan tersebut kabur (obscuur libel). Rincian lebih lanjut mengenai hal ini akan dituangkan dalam eksepsi yang akan diajukan.

Sementara itu, Fatrisia Ain, selaku Koordinator Forum Petani Plasma Buol yang juga hadir dalam persidangan, menyatakan bahwa seharusnya tidak ada persidangan ini. Ia menilai bahwa kasus ini sangat dipaksakan dan dugaan yang mereka ajukan tidaklah tanpa dasar. Ia bilang, pelapor dalam kasus ini, yakni Ketua Koperasi Awal Baru, sebenarnya memiliki alasan hak yang patut dipertanyakan, karena ia tidak memiliki hak atas tanah yang dipermasalahkan oleh Mada Yunus.
Tak hanya itu, kata dia, pelapor juga pernah ditetapkan sebagai tersangka terkait laporan dari anggota koperasi pada tahun 2021, atas dugaan penggelapan uang koperasi, bersama dengan sekretaris dan bendahara koperasi. Namun, yang anehnya, perkaranya tidak berlanjut ke persidangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi kami mengapa pihak kepolisian tidak melanjutkan kasus tersebut.
Kemudian, pada tahun 2024, kata Fatrisia, pelapor juga dilaporkan oleh pihak PT. HIP dengan tuduhan penipuan dan penggelapan terkait uang untuk penerbitan sertifikat lahan di Koperasi Awal Baru. Namun, pihaknya mendengar bahwa kasus tersebut akhirnya dicabut, karena sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah melalui program PTSL telah berhasil dikuasai kembali oleh PT. HIP melalui proses penyitaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian Polda Sulawesi Tengah.
Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang
Di sisi lain, terdapat 8 laporan dari petani yang sudah hampir satu tahun di kepolisian, namun hingga kini tidak ada proses lanjutan, bahkan tidak sampai ke persidangan. Hal ini membuat FPPB berkesimpulan bahwa kasus ini dipaksakan. Selain itu, katanya, setiap laporan yang datang dari pihak perusahaan, baik itu melalui perusahaan, pengurus koperasi, maupun buruh PT. HIP, selalu diterima dan diproses dengan sangat cepat oleh kepolisian, termasuk kasus yang menimpa Mada Yunus ini.
“Terkait dengan perkara Mada Yunus ini, saya menilai bahwa hal ini tidak terlepas dari persoalan konflik kemitraan pembangunan kebun sawit dengan PT. Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol,” kata Fatrisia Ain.
Kemitraan pembangunan kebun sawit dengan PT. HIP tidak hanya dibangun dengan Koperasi Awal Baru, tetapi juga dengan enam koperasi lainnya. Konflik kemitraan muncul karena para petani pemilik lahan merasa tidak mendapatkan bagian dari hasil kebun kemitraan yang telah dibangun sejak tahun 2008. Sebagai bentuk protes dan tuntutan, mereka melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak-haknya.

Secara khusus, kata dia, kemitraan plasma di Koperasi Awal Baru ini sangat kompleks. Berdasarkan temuan FPPB, terdapat masalah terkait dengan SK Bupati yang menetapkan petani dan lahan dalam kemitraan. Kenyataannya, banyak pemilik lahan yang tidak tercantum dalam SK Bupati, termasuk Mada dan keluarganya. Ironisnya, dalam SK tersebut, terdapat individu-individu yang tidak memiliki lahan justru terdaftar sebagai penerima kemitraan.
Masalah kedua, kata dia, pada lahan kemitraan Koperasi Awal Baru, pada tahun 2016, digunakan sebagai objek program TAURAT (Tanah untuk Rakyat) melalui program PTSL. Akibatnya, subjek yang tercatat dalam program PTSL tidak sesuai dengan subjek yang tercantum dalam SK Bupati. Hal ini menyebabkan adanya individu yang memegang Sertifikat Hak Milik (SHM) tetapi tidak tercantum dalam SK Bupati, sehingga mereka tidak bisa menjadi anggota Koperasi Awal Baru.
“Sebaliknya, terdapat individu yang tercatat dalam SK Bupati, namun bukan pemegang SHM atas lahan tersebut dalam Koperasi Awal Baru,” ungkapnya.
Baca juga: Ratusan Petani Plasma Buol Datangi DPRD, Tuntut Penyelesaian Konflik Kemitraan
Dengan berbagai masalah yang ada, katanya, seharusnya pendekatan untuk menyelesaikan masalah ini tidak melalui cara-cara kriminalisasi, karena hal tersebut tidak akan pernah menyelesaikan akar permasalahan. Perlu diketahui bahwa dalam masalah kemitraan ini, sebenarnya sudah ada keputusan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI yang menyatakan bahwa PT. HIP secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
“Keputusan ini juga diperkuat dengan putusan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keputusan tersebut seharusnya menjadi acuan dalam penyelesaian konflik kemitraan ini,” jelasnya.
Seharusnya, kata Fatrisia, pemerintah daerah lebih aktif dalam mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah ini, agar kemitraan pembangunan kebun sawit tidak terus merugikan para petani pemilik lahan. Ia juga berharap Bupati yang baru dapat memiliki niat baik dalam menyelesaikan masalah kemitraan ini, dan tidak membiarkan permasalahan ini berlarut-larut sehingga akhirnya terus mengorbankan para petani, termasuk dengan kriminalisasi.
“Perlu diingat, kasus ini telah mengorbankan lima orang yang dipenjara pada tahun 2021, dan kini Mada Yunus terancam kriminalisasi. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap petani yang berjuang untuk hak-haknya harus dihentikan,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments