- Pada 17 Maret 1999, pertama kali Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN)) di Hotel Indonesia, Jakarta. Dari sana, terbentuklah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan masyarakat adat. Sayangnya, hingga kini, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih jauh panggang dari api. Perampasan-perampasan ruang hidup masyarakat adat makin terus terjadi.
- Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat bukanlah sekadar pilihan, melainkan kewajiban negara sesuai amanat konstitusi. Dia pun tegas mendesak, pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Masyarakat Adat) tanpa penundaan lebih lanjut.
- Agung Wibowo, Koordinator Perkumpulan HuMa Indonesia juga mengatakan, kondisi masyarakat adat di Indonesia terus-menerus terpinggirkan oleh sistem hukum nasional sampai kini. Hukum yang ada, seringkali sewenang-wenang dan tidak melibatkan masyarakat adat. Padahal, seharusnya ketika dalam proses memberikan mereka partisipasi bermakna.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, saat ini masalah yang masyarakat adat hadapi makin kompleks, saling terkait, dan makin berat. Masalah-masalah ini lahir karena kebijakan negara yang terus-menerus memisahkan masyarakat adat dari ruang hidup mereka dari wilayah adat, hutan, dan segala sumber daya alam di dalamnya.
Pada tanggal 17 Maret 1999, untuk pertama kalinya dilaksanakan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN – selanjutnya disebut KMAN I) di Hotel Indonesia, Jakarta. Selanjutnya, KMAN I menetapkan terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat.
Sejak saat itu, tanggal 17 Maret diperingati sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan ulang tahun AMAN, sekaligus menjadi momentum konsolidasi bagi gerakan Masyarakat Adat di Indonesia untuk menegakkan hak dan memposisikan dirinya sebagai komponen utama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hari ini, Masyarakat Adat di seluruh Nusantara memperingati HKMAN 2025 dengan seruan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) dan menghentikan perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan pejuang Masyarakat Adat.
AMAN secara terus menerus telah menuntut pengesahan UU Masyarakat Adat yang memandu negara dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya yaitu untuk mengakui, menghormati, dan melindungi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya. Negara harus segera menanggapi tuntutan-tuntutan ini karena situasi Masyarakat Adat di Indonesia terus memburuk.
Data AMAN menunjukkan bahwa hingga Maret 2025 terdapat 110 kasus konflik yang melibatkan Masyarakat Adat, dengan sektor tertinggi berasal dari perkebunan skala besar, disusul pertambangan, serta proyek infrastruktur dan energi dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN). Selain itu, perampasan wilayah adat terus meningkat, mencapai 2,8 juta hektar pada tahun 2024.
Baca juga: Masyarakat Adat Kunci Penting Kedaulatan Pangan
Meski RUU Masyarakat Adat kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, belum ada langkah konkret dari pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkannya. Kondisi serupa juga terlihat pada pemerintah daerah, yang dinilai masih sangat lamban dalam menanggapi urgensi pengesahan undang-undang ini.
Hingga saat ini jumlah produk hukum daerah yang mengakui Masyarakat Adat terus bertambah dan telah mencapai 350 regulasi hingga Maret 2025. Namun, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Pengakuan terhadap wilayah adat baru mencakup 4,85 juta hektar, sementara penetapan hutan adat hanya mencakup 265.250 hektar, jauh dari potensi 23,2 juta hektar yang tersedia.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN menegaskan bahwa pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat bukanlah sekadar pilihan, melainkan kewajiban negara sesuai dengan amanat konstitusi. Ia pun dengan tegas mendesak agar Pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat tanpa penundaan lebih lanjut.
“Sudah terlalu lama Masyarakat Adat menunggu keadilan. Pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, menghentikan perampasan wilayah adat, dan menjamin hak-hak kami yang telah dijamin oleh konstitusi,” ujar Rukka.
Perayaan HKMAN 2025 tidak hanya menjadi refleksi atas sejarah panjang perjuangan Masyarakat Adat sejak KMAN I pada 1999, tetapi juga menjadi titik tolak perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang mengancam eksistensi mereka. Menurutnya, momentum HKMAN 2025 ini merupakan seruan bagi seluruh pihak untuk memastikan bahwa hak-hak Masyarakat Adat tidak lagi diabaikan.

“AMAN menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan mendukung perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan wilayahnya serta menuntut keadilan atas hak-hak yang telah lama terabaikan,” ucap Rukka.
Senada, Agung Wibowo, Koordinator Perkumpulan HuMa Indonesia juga mengakui kondisi Masyarakat Adat di Indonesia terus-menerus dipinggirkan oleh sistem hukum nasional sampai hari ini. Hukum yang ada, kata dia, seringkali bersikap sewenang-wenang dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam proses yang seharusnya memberikan mereka partisipasi yang bermakna dalam setiap langkah demokrasi di Indonesia.
“Salah satu contoh jelasnya adalah penggunaan dalih penguasaan lahan untuk pembangunan, yang kerap mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan wilayah mereka,” kata Agung Wibowo, pada Senin 17 Maret 2025.
Menurut Agung, tidak ditetapkannya RUU Masyarakat Adat merupakan masalah besar bagi pengakuan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia. Hingga saat ini, kata dia, Indonesia masih belum memiliki undang-undang yang bisa menjadi payung hukum untuk dapat memulihkan hak-hak Masyarakat Adat yang terfragmentasi dalam berbagai regulasi sektoral.
Agung bilang, ketidakhadiran RUU tersebut membuat jalur pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat tetap sektoral, penuh tantangan, dan sangat memakan waktu serta biaya. Saat ini, katanya, terdapat 11 jalur pengakuan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, namun semuanya berjalan tanpa koordinasi yang jelas antara satu dengan lainnya.
Baca juga: Hak Masyarakat Adat di Era Investasi dan Kuasa Korporasi
Rata-rata dari jalur-jalur tersebut juga memerlukan produk hukum daerah yang kompleks dan seringkali terjebak dalam kerumitan politik di tingkat daerah. Sampai sekarang, kata dia, tercatat sudah ada 461 produk hukum daerah yang mengatur tentang pengakuan Masyarakat Adat, yang mencerminkan sektoralisme dalam pengakuan hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia.
Dalam kenyataan di lapangan, kata dia, Masyarakat Adat masih belum dianggap sebagai pejuang lingkungan hidup dan pembela hak asasi manusia (HAM). Hal ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa perampasan wilayah adat dan ruang hidup mereka justru berujung pada kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat.
Di sisi lain, mereka seringkali dicap sebagai pengganggu pembangunan, dengan tuduhan yang mengatasnamakan kepentingan nasional. Padahal yang mereka perjuangkan adalah hak mereka atas tanah dan kehidupan yang berkelanjutan.
“Stereotipe ini semakin memperburuk situasi mereka, yang pada akhirnya memperkuat marginalisasi dan penindasan terhadap Masyarakat Adat,” jelas Agung.
Ironisnya lagi, kata Agung, semua proyek yang direncanakan dan sedang dijalankan pemerintah seringkali dilakukan tanpa melibatkan Masyarakat Adat dalam. Lebih ironis lagi, pemerintahan Prabowo-Gibran justru menganggap bahwa militer adalah pihak yang paling tepat untuk mengerjakan proyek-proyek yang diklaim demi kepentingan nasional.

Padahal, katanya, jika berbicara tentang ketahanan pangan, Masyarakat Adat lah yang paling mumpuni dan memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga. Hal ini terbukti ketika krisis pangan melanda Indonesia akibat pandemi COVID-19, di mana justru Masyarakat Adat yang mengirimkan bantuan pangan ke kota-kota besar.
“Menyerahkan pengetahuan lokal ini kepada militer sama saja dengan menghadapkan keluhuran dan kearifan Masyarakat Adat pada pihak-pihak yang bersenjata, yang justru berpotensi merampas lahan hidup mereka. Padahal, nenek moyang kita adalah pelaut dan petani, bukan serdadu,” pungkasnya.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional juga mengatakan hal serupa. Ia bilang, sudah 26 tahun sejak Masyarakat Adat di Indonesia mendeklarasikan diri dan menuntut negara untuk segera mengakui serta melindungi keberadaan mereka, beserta hak atas wilayah dan tanah adat mereka.
“Namun hingga kini, tuntutan tersebut belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Tidak ada langkah konkret dari negara untuk menjawab dan memenuhi harapan-harapan yang disampaikan oleh Masyarakat Ada,” kata Uli Arta Siagian, pada Senin 17 Maret 2025.
Bahkan saat ini, kata Uli, masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Adat semakin kompleks, saling terkait, dan semakin berat. Masalah-masalah ini lahir akibat kebijakan negara yang terus-menerus memisahkan Masyarakat Adat dari ruang hidup mereka—dari wilayah adat, hutan adat, dan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya.
Baca juga: Mendesak RUU Masyarakat Adat untuk Segera Dibahas dan Disahkan
“Semua itu dilakukan dengan dalih ekonomi, khususnya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, yang pada kenyataannya justru membuka peluang eksploitasi terhadap tanah dan kekayaan alam mereka,” jelas Uli.
Menurut Uli, semua kebijakan negara tersebut bagian dari arus dan model ekonomi kapitalistik, di mana tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati yang ada di wilayah Masyarakat Adat dipandang sebagai komoditas yang layak untuk dieksploitasi. Sementara itu, masyarakat adat dipisahkan dari sumber daya tersebut.
Sayangnya, kata Uli, ketika Masyarakat Adat berjuang dan menuntut hak-hak mereka, ruang kebebasan untuk menyuarakan penolakan terhadap investasi yang mengancam hak hidup mereka justru semakin terbatas. Masyarakat Adat, katanya, semakin rentan menghadapi kekerasan dan intimidasi, yang semakin intens seiring dengan upaya mereka untuk mempertahankan tanah dan kehidupannya.
Alhasil, kata Uli, perlakuan negara terhadap Masyarakat Adat semakin buruk seiring berjalannya waktu. Semua tindakan tersebut, termasuk pemisahan mereka dari tanah dan wilayah adat, dilegalkan melalui berbagai peraturan, baik kebijakan maupun undang-undang yang diterbitkan pemerintah.
“Ke depan, semakin banyak wilayah adat milik Masyarakat Adat yang berpotensi dirampas akibat implementasi kebijakan dan program pemerintah,” ucapnya.

Salah satu program pemerintah yang disinyalir akan menggerus Masyarakat Adat dari ruang hidup mereka adalah proyek pangan dan energi yang akan menggunakan hutan dan lahan seluas 20 juta hektar. Proyek itu, kata Uli, diprediksi akan berdampak ke hak-hak Masyarakat Ada, karena sebagian besar wilayah proyek tersebut merupakan tanah adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Uli bilang, berdasarkan catatan AMAN, sekitar 28 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan hutan negara. Menurutnya, jika pemerintah melanjutkan proyek pangan dan energi, dan jika area tersebut juga tumpang tindih dengan wilayah adat, maka perampasan tanah adat akan terjadi secara otomatis.
Selain itu, berbagai program lain yang rakus lahan juga berpotensi merampas wilayah adat Masyarakat Adat. Program-program tersebut, kata Uli, termasuk program konservasi yang seringkali memisahkan Masyarakat Adat dari wilayah dan pengetahuan tradisional mereka.
Padahal, kata dia, konservasi alam menurut Masyarakat Adat telah lama terjalin dalam cara hidup mereka, namun sayangnya tidak diakui oleh negara sebagai bentuk konservasi yang sah. Sementara itu, konsep konservasi negara cenderung mengabaikan kearifan lokal yang sudah terbukti efektif dalam menjaga kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.
“Paradigma negara yang cenderung menganggap konservasi hanya sebagai upaya yang dilakukan melalui kebijakan dan pendekatan formal, tanpa mempertimbangkan kearifan lokal yang telah ada sejak lama. Hal ini terlihat jelas dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam (UU KSDA) yang ditetapkan oleh pemerintah,” jelasnya.
Baca juga: Masa Depan Suram Masyarakat Adat di Tangan Menteri Lingkungan Hidup Baru
Uli mengungkapkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang baru saja disahkan, terdapat rencana untuk penunjukan atau penetapan wilayah preservasi seluas 1 Juta hektar hingga 2029. Wilayah ini akan berada di luar kawasan lindung dan konservasi yang sudah ada saat ini, dan akan ditetapkan sebagai area atau wilayah preservasi.
Pertanyaannya, kata Uli, dengan perbedaan paradigma dan pendekatan dalam konservasi antara negara dan Masyarakat Adat, kemungkinan besar wilayah-wilayah adat yang saat ini tidak termasuk dalam kawasan konservasi negara dapat saja ditetapkan sebagai wilayah preservasi negara.
“Hal ini berpotensi menjadi bentuk baru dari perampasan tanah dan wilayah adat, yang pada akhirnya akan semakin mengancam keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat,” pungkasnya.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), mengafirmasi semua anggapan yang disampaikan oleh Rukka, Agung, dan Uli. Ia mengungkapkan bahwa BRWA mencatat, wilayah adat yang telah teregistrasi saat ini mencapai 32,6 juta hektar. Namun, baru sekitar 4,8 juta hektar yang telah ditetapkan sebagai wilayah adat oleh pemerintah daerah, serta baru 265 ribu hektar yang ditetapkan menjadi hutan adat.
Angka ini mencerminkan lambatnya proses pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat di Indonesia. Kasmita menjelaskan bahwa masyarakat adat masih terjebak dalam ketidakpastian hak atas wilayah adat mereka, yang hingga kini seringkali dianggap sebagai bagian dari kawasan hutan negara.

“Situasi masyarakat adat saat ini masih jauh dari harapan. Wilayah adat yang diakui oleh pemerintah daerah bahkan belum mencapai 20 persen. Tak hanya itu, tekanan dari berbagai pihak, termasuk investasi, terus mengancam keberadaan wilayah adat mereka,” ujar Kasmita Widodo.
Akibatnya, banyak masyarakat adat terpaksa terlibat dalam konflik dengan korporasi, bahkan negara, yang sering kali berujung pada kriminalisasi. Padahal, menurut Kasmita, penetapan dan pemberian wilayah adat kepada masyarakat adat seharusnya menjadi bagian dari reformasi agraria untuk mengurangi potensi konflik agraria.
Kasmita juga menyoroti rencana proyek pangan dan energi yang akan mencaplok lahan seluas 20 juta hektar. Ia menegaskan, tanpa melibatkan partisipasi yang berarti dari masyarakat adat, proyek tersebut berpotensi menjadi sumber konflik agraria baru di Indonesia. Kementerian Kehutanan, kata dia, harus mempertimbangkan dengan serius dampak yang akan ditimbulkan.
“Penting untuk melakukan konsultasi dengan masyarakat adat terkait wilayah mana saja yang akan diusulkan untuk proyek pangan dan energi tersebut. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati, serta mengidentifikasi secara mendalam apakah ada masyarakat adat di wilayah yang sudah ditargetkan,” jelasnya.
Kasmita juga mengkritik pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025, yang melibatkan TNI/Polri dengan pendekatan militeristik. Menurutnya, satgas ini seharusnya lebih memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada keberlanjutan hutan untuk kehidupan mereka.
Ia menjelaskan, pendekatan militeristik dalam penertiban kawasan hutan akan mengganggu upaya-upaya yang tengah dilakukan oleh masyarakat adat dan pemerintah daerah untuk mendorong pengakuan wilayah adat. Pasalnya, katanya, keberadaan satgas tersebut bisa membuat pemerintah daerah takut menetapkan wilayah adat, meskipun mereka memiliki kewenangan penuh untuk melakukannya.
Baca juga: Jutaan Hektar Kebun Tebu di Papua akan Menggerus Masyarakat Adat?
“Satgas ini harus benar-benar memahami situasi di lapangan. Jangan hanya berpihak pada korporasi yang memiliki izin, tapi juga harus memperhatikan ruang hidup masyarakat adat yang berada di kawasan hutan,” pungkasnya.
Rukka juga menambahkan, tanpa adanya kepastian perlindungan bagi masyarakat adat, hutan adat yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat dan komunitas lokal justru dianggap sebagai tanah kosong yang diklaim sebagai milik negara. Situasi ini berpotensi memicu pelanggaran hak, kekerasan, dan pelanggaran HAM yang serius ke depan.
Sejak awal 2015, kata Rukka, Komnas HAM telah melakukan Inkuiri Nasional terkait pelanggaran hak masyarakat adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Inkuiri Nasional ini merupakan respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan milik negara.
Dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM itu, katanya, mengidentifikasi seperti apa saja karakter dan bentuk kekerasan yang dialami Masyarakat Adat dalam kawasan hutan yang diakibatkan oleh Undang-undang kehutanan. Alhasil, banyak sekali kasus-kasus yang ditemukan, dan banyak Masyarakat Adat mengalami kekerasan hingga tergerus dari ruang hidup mereka.
Mestinya, kata Rukka, Pemerintahan Prabowo-Gibran membuka kembali laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tersebut, menyelesaikan masalah yang ada, dan kemudian membahas langkah selanjutnya terkait pengelolaan kawasan hutan. Menurutnya, masalah klaim kawasan hutan di wilayah adat juga harus segera diperjelas.
Rukka menegaskan bahwa wilayah adat yang selama ini diklaim sebagai kawasan hutan negara harus segera rekognisi dan dikembalikan kepada Masyarakat Adat. Ia menekankan bahwa hutan bukanlah tanah kosong, melainkan kawasan yang dihuni oleh masyarakat dengan peradaban khas yang telah lama dijaga oleh Masyarakat Adat.
“Komitmen Indonesia untuk capaian mengatasi perubahan iklim tinggi sekali, kok malah mau rusak hutan. Apalagi, hutan itu sudah sumber kedaulatan pangan, kok malah mau dirusak,” pungkasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments