Hak Masyarakat Adat di Era Investasi dan Kuasa Korporasi

Masyarakat Adat Tehit-Knasaimos menerima sertifikat tanah atas tanah adat mereka sebagaimana diakui oleh hukum Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Masyarakat Adat Tehit-Knasaimos menerima sertifikat tanah atas tanah adat mereka sebagaimana diakui oleh hukum Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam termasuk sumber daya mineral. Papua menjadi salah satu daerah yang kaya akan mineral dan tambangnya. Hal ini menjadi daya tarik nasional dan internasional, termasuk PT Freeport.

PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah  anak perusahaan Amerika Freeport-McMoRan yang berbasis di Indonesia dan beroperasi di dataran tinggi Tembagapura, Mimika, Papua Tengah. Perusahaan ini mengeksplorasi, menambang, memproses, dan memasarkan konsentrat emas, perak, dan tembaga.

PT Freeport Indonesia (PTFI) memiliki akar sejarah yang dimulai dari ekspedisi pertama ke Papua. Pada tahun 1936, ekspedisi oleh A. H. Colijn, F. J. Wissel, dan Jean-Jacques Dozy berhasil mencapai gunung gletser Jayawijaya dan menemukan cadangan mineral yang dikenal sebagai Ertsberg.

Operasi perusahaan dimulai sebagai usaha patungan antara Belanda dan Amerika. Kemudian pada tahun 1991, dilakukan penandatanganan Kontrak Karya (KK) yang memberi keuntungan pada PTFI terhadap eksplorasi dan eksploitasi sumber daya.

Tambang Grasberg ditemukan pada tahun 1980, yang kemudian berkembang menjadi salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan ini sudah memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang ditandatangani pada tahun 2018, yang menyebabkan perpanjangan kontrak izin operasional hingga tahun 2041.

Meskipun perusahaan ini telah memiliki izin usaha, aktivitas pertambangan tak terlepas dari dampak nya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Masyarakat adat yang tinggal di sekitar daerah tempat lokasi pertambangan adalah masyarakat adat Amungme dan Komoro, di Kabupaten Mimika.

Penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro terbilang sedikit, yaitu berjumlah sekitar 1000 jiwa karena merupakan perkampungan kecil yang sulit untuk dijangkau. Bagi masyarakat adat, alam adalah sumber kehidupan mereka. Bahkan banyak masyarakat adat yang menganggap alam menjadi sesuatu yang sakral dan berhubungan dengan hal-hal spiritual.

Akibatnya, mereka cenderung menghormati dan menggantungkan kehidupan mereka pada alam tempat mereka tinggal. Topografi yang didominasi oleh sungai, rawa-rawa, dan pantai, membuat alam menjadi andalan masyarakat adat Amungme dan Kamoro untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan memanfaatkan lingkungan sekitar terutama sungai.

Masyarakat Adat. (Foto: Koalisi Masyarakat Adat)
Masyarakat Adat. (Foto: Koalisi Masyarakat Adat)

Namun, hal ini sudah tidak dapat dirasakan lagi semenjak adanya kegiatan pertambangan dari PT Freeport. Saat PT Freeport mulai beroperasi, banyak hak masyarakat adat Amungme dan Kamoro diambil. Diantaranya, hak tanah, hak lingkungan hidup sehat, hak wilayah adat, hak sipil dan lain-lain.

Sungai yang merupakan sumber kehidupan mereka dengan alam dan tuhannya, mengalami pencemaran, seperti yang terdapat di sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimone.

Pembuangan tailing sisa produksi pertambangan yang diduga mencemari sungai membuat masyarakat kedua suku kehilangan akses sumber air bersih, tempat menangkap ikan, aktivitas rumah tangga seperti mencuci pakaian atau memasak, dan kehilangan akses jalan.

Hal ini karena sungai merupakan kebutuhan vital masyarakat adat Amungme dan Kamoro untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang tidak terlepaskan dari peran alam dalam kehidupan.

Pencemaran ini juga dapat menyebabkan infeksi penyakit kulit. Akibatnya, masyarakat adat saat ini bergantung pada air hujan yang tak menentu untuk memasak dan minum.

Masyarakat adat Amungme dan Kamoro juga dirugikan karena pada kenyataannya, mereka banyak kehilangan tanah hak ulayat mereka. Tanah yang dahulu dapat digunakan masyarakat untuk bertani dan meramu, kini sudah tercemar oleh limbah dan dialih fungsikan untuk pembangunan pabrik ataupun pemukiman rumah karyawan di Tembaga Pura.

Menurut catatan Walhi (1997), pembangunan PT Freeport merusak hutan dan tanah Papua selama hampir tiga puluh tahun. Data menunjukan bahwa lebih dari 100.000 ha tanah dan hutan paling banyak digunakan untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan sawit, dan sisanya disebabkan oleh pembangunan infrasruktur, pengelolaan kawasan hutan, dan adanya pemekaran wilayah administratif.

Jumlah ini belum termasuk kerusakan sungai-sungai yang tercemar. Kerusakan alam akibat kegiatan pertambangan membawa dampak bagi hilangnya mata pencaharian masyarakat adat dan merusak kestabilan hidup mereka.

Data deforestasi di Tanah Papua dalam 20 tahun terakhir. – Jubi/Greenpeace Indonesia
Data deforestasi di Tanah Papua dalam 20 tahun terakhir. – Jubi/Greenpeace Indonesia

Berbagai upaya tentu telah dilakukan baik dari pemerintah, maupun masyarakat adat itu sendiri. Pada tahun 1974, masyarakat adat membuat perjanjian dengan pihak PT Freeport untuk membentuk batas yang jelas sehingga tidak memasuki tanah ulayat. Namun pada kenyataannya, Pt Freeport melanggar perjanjian tersebut sehingga menimbulkan protes dari masyarakat adat.

Mirisnya, tindakan ini dibalas oleh aparat dengan membom sebuah kampung suku Amungme, yang menyebabkan kerusuhan. PT Freeport memberikan 1% dana sebagai tanggapan dan mengakui bahwa dua suku, Amungme dan Kamoro, memiliki hak atas tanah.

Namun, hal ini masih menjadi kontroversi karena pengelolaannya yang tidak tepat sasaran dianggap hanya menguntungkan elit suku dan tidak berdampak pada masyarakat umum.

Kerusakan lingkungan tetap tidak dapat dihindari meskipun kedua suku ini memiliki hak atas tanah. Akibat aktivitas pertambangan, masyarakat adat yang sudah lama tinggal di daerah tersebut menghadapi berbagai ketidakadilan dan kerugian.

Tanah dan lingkungan yang dianggap suci dan memiliki nilai spiritual yang telah dijaga selama berbagai generasi harus dirusak untuk kepentingan individu tertentu tanpa mempertimbangkan kestabilan hidup masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya.

Hak utama setiap masyarakat, dalam hal ini masyarakat Amungme dan Kamoro, adalah memiliki lingkungan hidup yang baik. Hak ulayat, yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA), adalah hak dasar tanah masyarakat adat yang harus diakui.

Selain itu hukum internasional seperti pasal 14 Konvensi ILO No. 169 (International Labour Organization Convention No. 169) menyatakan bahwa negara harus mengakui hak masyarakat adat atas tanah mereka, dan memberi mereka hak untuk mengelola serta menggunakan tanah tersebut sesuai dengan kebutuhan tradisional mereka.

Negara juga harus memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak ini, termasuk memastikan bahwa proses alih fungsi tanah tidak merugikan mereka. Sebagai aset komunal yang dimiliki secara turun-temurun, tanah ini memiliki nilai spiritual, sosial, dan ekonomi yang tak ternilai.

Namun, keberadaanya saat ini terancam oleh berbagai faktor seperti ekspansi industri pertambangan, alih fungsi lahan untuk pemukiman karyawan, dan lemahnya perlindungan hukum. Pengakuan dan perlindungan tanah ulayat merupakan bentuk penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat yang terpinggirkan.

Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)
Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)

Berdasarkan beberapa sumber, PTFI memang memberi kesempatan kepada masyarakat lokal untuk masuk ke dalam industri mereka, bahkan PTFI juga sudah memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada perempuan di Papua untuk memberi mereka lebih banyak kesempatan. Namun kenyataannya, masih banyak menggantungkan hidup mereka pada alam sekitarnya.

Alam merupakan sesuatu yang terus mengalami perubahan pada masa ini, apalagi dengan adanya pemanasan global yang membuat alam terus mengalami penurunan kualitas. Pemberdayaan masyarakat yang meluas dan merata bisa dilakukan dengan memberi mereka akses melalui pendidikan sejak dini agar mereka memiliki pola pikir yang lebih terbuka tentang alam dan menanamkan nilai-nilai tradisi kebudayaan mereka untuk dijadikan sebagai kekuatan bagi daerahnya.

Mengembangkan program ekonomi yang lebih ramah lingkungan, seperti ekowisata, pertanian organik, dan kerajinan tangan, adalah alternatif lain untuk mendorong masyarakat untuk berhenti bergantung pada sumber daya alamnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kehidupan mereka dan mencari alternatif yang tidak bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan mereka dan membangun desa mereka.

Selain itu, pendidikan juga ditujukan untuk memperkuat posisi masyarakat adat agar suara mereka didengar dan kepentingan mereka dipertimbangkan dalam kebijakan dan program pembangunan. Sehingga hal ini membuat mereka juga dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait wilayah mereka sendiri.

Karena pemerintah dan PTFI dengan kekuasaan nya yang dianggap lebih superior, kadang mengabaikan kepentingan masyarakat Amungme dan Kamoro. Dalam hal ini, PTFI memegang kendali kekuasaan dengan menciptakan relasi antara pemerintahan baik pusat maupun daerah, perusahaan internasional, dan masyarakat lokal Papua. Kekuasaan dan kekuatan serta pengaruhnya pada stratifikasi sosial ini yang menyebabkan kemungkinan untuk timbulnya konflik antar kepentingan.

Untuk melindungi hak masyarakat adat, pemerintah diharapkan membuat hukum yang lebih kuat dan menyeluruh. Pemerintah dapat membuat undang-undang untuk melindungi hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya, dan tradisi budaya serta mencegah eksploitasi sumber daya alam dan manusia, seperti pelanggaran HAM.

Langkah utama yang dapat diambil pemerintah adalah membentuk badan khusus yang bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan masyarakat adat dan memberikan dukungan modal untuk pertumbuhan ekonomi desa serta pendidikan yang inklusif sesuai dengan kebutuhan mereka.

Bisnis pertambangan mungkin memiliki dampak menguntungkan pada sektor ekonomi bangsa, namun bagi penulis hutan Papua juga penting untuk dijaga dan dilestarikan keberadaan hayati nya. Dengan luas sekitar 42,5 juta hektar, Hutan Papua adalah salah satu hutan hujan tropis terbesar di dunia.

Hutan Papua tidak hanya menjadi sumber oksigen dunia dan sumber kehidupan masyarakat adat, tetapi juga menjadi rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna endemik yang tidak ditemukan di tempat lain.

Di antara spesies flora dan fauna endemik ini adalah Anggrek Hitam (Dendrobium atroviolaceum), Kakatua Raja (Cacatua galerita), dan Cenderawasih (Paradisaeidae), yang merupakan simbol keindahan alam Papua dan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ekowisata di seluruh negara.

Suku Awyu dan suku Moi saat mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di kawasan Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) pagi ini. (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)
Suku Awyu dan suku Moi saat mendatangi gedung Mahkamah Agung (MA) di kawasan Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024) pagi ini. (Foto: Koalisi Masyarakat Sipil)

Perekonomian di bidang parawisata saat ini juga dinilai cukup menjanjikan apalagi untuk Indonesia dengan keindahan alamnya. Salah satu contohnya adalah Jepang yang memiliki parawisata di daerah-daerah terpencilnya seperti jembatan Amanohashidate dan Gokayama yang merupakan desa pegunungan terpencil tapi desa ini sekarang menjadi salah satu tujuan wisata paling popular dan ditetapkan sebagai properti budaya penting oleh pemerintah Jepang.

Hal ini bisa dijadikan contoh kasus apabila suatu daerah terpencil dapat dimanfaatkan kelebihan nya dan mendapat pengelolaan yang baik dari pemerintah sehingga menjadi sumber perekonomian bagi masyarakat nya.

Daripada merusak alam demi kepentingan ekonomi, akan lebih efektif untuk menjaga alam sambil memanfaatkannya dalam bidang ekowisata. Seperti halnya Amanohashidate dan Gokayama yang memanfaatkan keindahan alam dan kekayaan budaya mereka, Papua, dengan hutan tropisnya dan flora/fauna endemiknya, memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekowisata.

Translokasi adalah solusi jika tidak dapat mempertahankan habitat aslinya karena mengutamakan perekonomian sektor pertambangan yang dianggap menguntungkan negara Translokasi perlu mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk masalah ekologi, kesehatan spesies, dan keseimbangan ekosistem. Translokasi satwa diperlukan adanya kesesuaian habitat baru dengan habitat lama berdasarkan kondisi iklim yang serupa, tempat berlindung, dan ketersediaan pangan.

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia memang menimbulkan pro dan kontra. Dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi dari aktivitas ini dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adat Amungme dan Kamoro seperti hilangnya peran sungai sebagai sumber utama kehidupan masyarakat adat, kerusakan lingkungan dan habitat flora fauna endemik di Papua, serta bergesernya mata pencaharian.

Namun di lain sisi, PT Freeport Indonesia juga sudah berkomitmen untuk mempekerjakan masyarakat lokal dengan latar belakang berbagai suku asli Papua walaupun presentase nya mungkin tidak terlalu besar. Memberikan peluang kerja kepada penduduk lokal dan mendorong komunitas setempat merupakan bagian dari tanggung jawab sosial Perusahaan.

Pemberdayaan dan pelatihan juga diberikan kepada perempuan setempat untuk menghapus kesenjangan gender dan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam industri yang didominasi oleh laki-laki, seperti pertambangan.

Sebagai bagian penting dari pengambilan kebijakan, pemerintah harus mempertimbangkan dengan cermat agar tidak mengutamakan kepentingan investasi negara daripada melindungi hak-hak masyarakat adat dan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak termasuk masyarakat adat sendiri sebagai pengawas kebijakan pemerintah yang adil, transparan, dan berkelanjutan untuk lingkungan.

 

Sumber Referensi

Tsenawatme, E., Kalangi, J. F., & Asaloei, S. (2022). Motivasi Usaha Masyarakat Amungme dan Kamoro di Kabupaten Mimika. Productivity, 3(5), 396-401.

PT Freeport Indonesia, Latar Belakang Sejarah PTFI. (https://ptfi.co.id/id/sejarah-kami, diakses tanggal 29 Oktober 2024)

Mulia Hafizh. (2021, March 4). Sejarah Freeport di Indonesia dan Mengapa Keberadaannya begitu Kontroversial. Asumsi.Co.

Nugraha Indra, & Apriando Tommy. (2017, April 5). Masyarakat Amungme dan Kamoro Sikapi Soal Freeport. Mongabay.Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2017/04/05/masyarakat-amungme-dan-kamoro-sikapi-soal-freeport

Safitri, N. (2016). MASALAH SOSIAL DAN KONFLIK MASYARAKAT ADAT PAPUA DENGAN PT FREEPORT INDONESIA (Tinjauan Antropologis). https://doi.org/10.31289/perspektif.v1i1.79

Redaksi JubiTV. (2023, 12 Juli). Tailing Freeport, Sumber Berkah atau Sumber Masalah? [Video, bagian 3]. YouTube. (https://youtu.be/d6L6VJHPUTE?si=9KIeqlxUnISCHfS8, diakses tanggal 4 November 2024)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Yogyakarta: Pusataka merah Putih

Artha, M. P. (2012). Tanah Ulayat. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/tanah-ulayat-cl6522/, diakses pada 7 November 2024)

Global Forest Watch & University of Maryland. (2001-2020). Primary forest loss in Papua [Gambar]. Diakses dari Jubi: https://jubi.id/lingkungan/2024/era-presiden-jokowi-296-378-hektare-hutan-alam-papua-hilang/ .

Dhanesworo, S. (2021, December 16). Deforestasi, Tantangan Hutan Tanah Papua. Databoks. databoks.katadata.co.id/demografik/statistik/189e4cd4fb61b42/deforestasi-tantangan-hutan-tanah-papua