Jejak di Tanah Retak: Potret Kekerasan dan Perampasan Lahan

Ilustrasi El Nino yang membuat tanah-tanah mengalami keretakan karena kekeringan. (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi El Nino yang membuat tanah-tanah mengalami keretakan karena kekeringan. (Foto: Pixabay.com)

Peran Polisi dalam konflik agraria di Indonesia semakin menunjukkan pola kekerasan yang sistematis dan terorganisasi. Dari proyek strategis nasional hingga agenda transisi energi, masyarakat adat dan komunitas lokal menjadi target utama dari proyek-proyek pembangunan yang sering kali dibungkus dengan narasi kepentingan nasional.

Namun, narasi tersebut menyembunyikan fakta bahwa tanah rakyat dirampas secara paksa dengan melibatkan kekerasan yang dilakukan oleh Polisi. Perspektif Richard Cobb (1970) dalam The Police and the People dan Charles Tilly (1990) dalam Coercion, Capital, and European States membuka tabir bagaimana kekerasan oleh aparat keamanan bukanlah tindakan insidental, melainkan bagian dari mekanisme kontrol sosial oleh negara.

Penjaga Ketertiban atau Pelayan Kapital?

Richard Cobb menggambarkan polisi sebagai instrumen negara yang tidak hanya bertugas menjaga ketertiban, tetapi juga mengawasi dan mengendalikan masyarakat. Dalam konteks perampasan tanah adat, kehadiran polisi yang dilengkapi dengan peralatan anti huru-hara dan taktik represif mencerminkan bagaimana aparat ini digunakan untuk melumpuhkan perlawanan masyarakat. Kehadiran polisi bukan sekadar simbol penegakan hukum, tetapi lebih sebagai alat dominasi yang dirancang untuk membungkam aspirasi rakyat.

Cobb menekankan bahwa polisi berfungsi sebagai bagian integral dari birokrasi kekuasaan, yang bekerja tidak hanya untuk menegakkan otoritas negara, tetapi juga untuk melayani kepentingan kapitalis. Dalam konflik agraria, polisi sering menjadi wajah nyata dari kekerasan negara yang terstruktur, sebuah mekanisme yang tidak hanya menghapuskan perlawanan masyarakat adat, tetapi juga menciptakan ketakutan kolektif untuk mencegah resistensi di masa depan.

Dalam kasus-kasus seperti pembangunan infrastruktur strategis atau proyek transisi energi, peran polisi sering kali melampaui tugas mereka sebagai penegak hukum. Mereka menjadi agen aktif dalam proyek yang mengutamakan kepentingan investor dan elit ekonomi. Operasi-operasi penggusuran yang dilakukan dengan dalih pembangunan seringkali melibatkan kekerasan fisik, intimidasi, dan kriminalisasi tokoh masyarakat adat. Perspektif Cobb ini menunjukkan bahwa polisi tidak netral, tetapi terikat erat dengan agenda negara yang memprioritaskan akumulasi kapital daripada keadilan sosial.

Baca juga: Hari Tani Nasional: Bank Tanah, Alat Perampasan Tahan Modern

Charles Tilly menambahkan dimensi lebih luas terhadap fenomena ini dengan konsep monopoli kekerasan yang dimiliki negara. Dalam bukunya Coercion, Capital, and European States, Tilly menjelaskan bahwa kekerasan adalah elemen mendasar dari pembangunan negara modern. Dalam kasus tambang nikel untuk baterai kendaraan listrik di Sulawesi atau proyek Geothermal di Pulau Flores, masyarakat adat sering menjadi korban langsung dari kekerasan aparat ketika mencoba mempertahankan tanah mereka.

Tilly menguraikan bahwa kekerasan semacam ini bukanlah insidental, melainkan bagian dari strategi negara untuk memastikan kelangsungan agenda kapitalisme global. Dengan kata lain, polisi tidak hanya menjalankan fungsi sebagai penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban, tetapi juga berperan sebagai pelaksana agenda negara yang sering kali bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Berbagai proyek berlabel hilirisasi dan transisi energi bersih yang memobilisasi aparat keamanan menjadi contoh nyata bagaimana negara, melalui aparat keamanannya, mendukung eksploitasi sumber daya demi memenuhi permintaan pasar internasional. Polisi tidak hanya hadir untuk menjaga “keamanan” proyek, tetapi juga untuk mengeliminasi perlawanan lokal melalui tindakan represif.

Perspektif Tilly memperlihatkan bahwa kekerasan terorganisasi ini adalah upaya sistematis untuk mempertahankan kontrol atas sumber daya sekaligus mengamankan legitimasi negara di mata aktor kapital global. Pada saat yang sama, tindakan ini mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, menciptakan polarisasi sosial yang semakin tajam.

Dalam menggabungkan analisis Cobb dan Tilly, dapat dilihat bahwa kekerasan yang dilakukan polisi dalam konflik agraria bukan sekadar anomali atau penyimpangan tugas. Kekerasan tersebut merupakan ekspresi struktural dari hubungan antara negara, kapital, dan masyarakat. Polisi berfungsi sebagai penghubung utama antara negara dan kapital, menjadi alat untuk memastikan bahwa proyek pembangunan dapat dilaksanakan tanpa hambatan meski dengan mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

Narasi Kemajuan di Atas Puing Tradisi

Salah satu elemen penting yang digunakan negara untuk melegitimasi kekerasan adalah narasi pembangunan. Proyek strategis nasional dan transisi energi sering kali dipromosikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Dalam berbagai proyek pembangunan banyak masyarakat adat yang kehilangan tanah tanpa kompensasi memadai, sementara upaya mereka untuk mempertahankan hak atas tanah kerap dihadapkan pada kekerasan dan kriminalisasi.

Baca juga: Menelusuri Wisata Religi Sarat Sejarah di Tanah Serambi Madinah Gorontalo

Charles Tilly menjelaskan bahwa negara modern sering menciptakan narasi untuk membenarkan penggunaan kekerasan. Dalam konteks perampasan tanah rakyat, narasi ini digunakan untuk menggambarkan masyarakat adat sebagai penghalang pembangunan. Dengan cara ini, negara dapat melegitimasi tindakan kekerasan yang dilakukan polisi sebagai bagian dari upaya menciptakan “kemajuan.”

Perspektif tersebut semakin diperkuat oleh pemikiran Richard Cobb, yang menyoroti bagaimana kekerasan yang terorganisir oleh aparat kepolisian tidak hanya bertujuan untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk menghancurkan jaringan sosial dan komunitas masyarakat adat. Kekerasan yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini melalui polisi, bertujuan untuk melemahkan kapasitas masyarakat dalam melawan proyek-proyek pembangunan yang merugikan mereka.

Cobb berpendapat bahwa kekerasan ini berfungsi untuk merusak tatanan sosial yang sudah ada, mengganggu struktur komunitas yang telah terbangun selama bertahun-tahun, dan memecah belah solidaritas antar anggota masyarakat. Akibatnya, masyarakat  menjadi lebih rentan terhadap upaya penggusuran dan marginalisasi, karena mereka kehilangan kekuatan kolektif yang selama ini memungkinkan mereka untuk berjuang bersama.

Kekerasan ini, lebih dari sekadar tindakan fisik, bertindak sebagai alat untuk menciptakan ketidakmampuan masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka, mengisolasi mereka dari sumber daya dan jaringan sosial yang dapat mendukung perlawanan.

Kekerasan semacam ini tidak hanya berdampak fisik tetapi juga psikologis dan sosial. Rumah adat yang dihancurkan, situs sakral yang dirusak, dan intimidasi terhadap tokoh masyarakat adalah beberapa contoh bagaimana kekerasan polisi merusak tatanan budaya masyarakat adat. Dalam jangka panjang, kekerasan ini menciptakan ketakutan yang melumpuhkan, sekaligus mempermudah negara dan kapital untuk melanjutkan proyek-proyek pembangunan tanpa perlawanan berarti.

Menuju Reformasi Negara dan Aparat Keamanan

Kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam konflik agraria bukanlah sekadar persoalan perilaku oknum, melainkan sebuah gejala dari sistem yang timpang. Perspektif Cobb dan Tilly menyoroti bahwa akar persoalan ini tertanam dalam struktur negara modern yang lebih mengutamakan kepentingan kapital daripada hak-hak rakyat. Jika negara ingin keluar dari lingkaran kekerasan ini, reformasi mendalam dan menyeluruh menjadi suatu keniscayaan.

Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan

Pertama, paradigma pembangunan harus bergeser dari pola eksploitatif menuju pendekatan yang beriorientasi pada keadilan sosial. Proyek-proyek strategis nasional tidak boleh lagi menjadi dalih untuk mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal. Sebaliknya, mereka harus menjadi subjek dan aktor utama, bukan objek, dalam pembangunan. Pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan sejak tahap perencanaan adalah langkah awal yang esensial. Bukan hanya demi etika, tetapi juga untuk membangun legitimasi negara yang kokoh, legitimasi yang didasarkan pada kepercayaan, bukan intimidasi.

Kedua, institusi kepolisian harus direformasi dari akarnya. Polisi harus dibebaskan dari jerat pengaruh kapital, dilatih untuk menghormati hak asasi manusia, dan diarahkan pada paradigma penegakan hukum yang mengedepankan keadilan sosial. Reformasi ini mencakup perubahan budaya organisasi yang menghapus pola-pola represif dan menggantinya dengan pendekatan yang berbasis pada perlindungan masyarakat. Selain itu, pengawasan independen terhadap tindakan aparat perlu diperkuat untuk memastikan akuntabilitas. Tanpa perubahan ini, institusi kepolisian hanya akan terus menjadi instrumen dominasi, alih-alih pelindung rakyat.

Mewujudkan reformasi ini bukanlah perkara mudah, tetapi keberanian untuk memulai adalah langkah pertama yang tak bisa ditunda. Indonesia harus menanamkan fondasi bagi negara yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga bermartabat dalam memperjuangkan hak-hak rakyatnya. Bayangkan sebuah negara di mana pembangunan tidak lagi meninggalkan luka, tetapi justru menjadi jembatan menuju keadilan sosial. Negara di mana polisi berdiri sebagai penjaga amanah rakyat, bukan alat penindas atas nama kapital.

Kita tidak sedang berbicara tentang idealisme yang jauh dari jangkauan, tetapi tentang masa depan yang bisa dan harus diwujudkan. Jika reformasi ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, Indonesia bukan hanya akan memperbaiki dirinya sendiri, tetapi juga memberi teladan bagi dunia: bahwa pembangunan dan keadilan sosial bisa berjalan beriringan, tanpa harus meninggalkan satu pun rakyatnya di belakang. Keberanian untuk berubah adalah kunci, dan tanggung jawab sejarah ada di tangan kita.

Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM.