10 Tahun Kepemimpinan Jokowi: dari Nawa Cita Menjadi Nawa Keji

Ilustrasi Presiden Joko Widodo. (Foto: KPA)
Ilustrasi Presiden Joko Widodo. (Foto: KPA)
  • PBHI telah melakukan pemantauan intensif selama satu dekade pemerintahan Jokowi dan menemukan bukti-bukti kuat tentang kemunduran sistemik yang terjadi. Praktik korupsi yang merasuki lembaga negara, sekuritisasi, serta legalisme otokratis merupakan isu-isu besar yang mengganggu integritas pemerintahan
  • Nawa Cita, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan, telah terdistorsi. Janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, yang diharapkan dapat membawa harapan baru bagi para korban, nyatanya justru minim realisasi.
  • Anis Hidayah bilang, Komnas HAM telah menerima 114 aduan soal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di PSN sejak 2021 sampai 2024. Aduan itu, katanya, belum merepresentasekan jumlah korban yang terdampak dari keberadaan PSN tersebut.
  • Ketika memprotes soal dampak lingkungan di wilayah proyek PSN, kebebasan berekspresi yang dimiliki masyarakat kerap ditekan. Negara dan perusahaan sering menggunakan intimidasi, ancaman, atau kekerasan untuk membungkam suara-suara yang kritis.

Sepuluh tahun lalu, pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam dua kali kontestasi pemilihan presiden, Jokowi berhasil meraih kemenangan meski dengan margin tipis.

Ia mengusung narasi reformasi dan perubahan, berkomitmen untuk mewakili suara rakyat kecil. Dengan dukungan dari kalangan masyarakat yang merasa terpinggirkan, Jokowi menjanjikan sebuah era baru bagi Indonesia.

Namun, di balik janji manis tersebut, berbagai laporan menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi justru mencatatkan kemunduran signifikan dalam hal hak asasi manusia (HAM), hukum, dan demokrasi.

Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai perubahan yang dijanjikan Jokowi tidak terwujud. Ia menegaskan bahwa selama sepuluh tahun, pemerintahannya lebih banyak dicatat sebagai sebuah periode kemunduran daripada kemajuan.

PBHI telah melakukan pemantauan intensif selama satu dekade pemerintahan Jokowi dan menemukan bukti-bukti kuat tentang kemunduran sistemik yang terjadi. Praktik korupsi yang merasuki lembaga negara, sekuritisasi, serta legalisme otokratis merupakan isu-isu besar yang mengganggu integritas pemerintahan.

Baca juga: Keluar dari Kemelut dan Legacy Buruk Food Estate

“Di era Jokowi, sistem hukum telah digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan politik, bukan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat,” kata Julius Ibrani melalui rilis pada 19 Oktober 2024.

Nawa Cita, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan, telah terdistorsi. Janji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, yang diharapkan dapat membawa harapan baru bagi para korban, nyatanya justru minim realisasi.

Julius mencatat bahwa janji ini sangat penting, mengingat lawan politik Jokowi, Prabowo Subianto, memiliki catatan hitam terkait pelanggaran HAM. Namun, dalam sepuluh tahun ini, Jokowi tampil sebagai “raja retorika,” dengan sedikit kemajuan nyata dalam menangani masalah tersebut.

Salah satu contoh nyata dari ketidakseriusan pemerintah adalah pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB). Julius menilai mekanisme ini tidak lebih dari sekadar upaya untuk melindungi pelaku pelanggaran HAM.

“Inisiatif ini menjadi cara pemerintah menutupi kegagalan untuk menuntaskan penyelesaian kasus melalui proses hukum yang valid,” tegasnya.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Walaupun Jokowi mengakui 12 dari 16 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1965 dan Trisakti, pengakuan tersebut tidak diiringi dengan upaya rehabilitasi bagi korban dan jaminan agar pelanggaran serupa tidak terulang.

Kondisi HAM di era Jokowi juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Papua menjadi contoh paling mencolok, di mana pendekatan militeristik yang diterapkan oleh pemerintah berujung pada pelanggaran HAM masif.

“Pendekatan ini menyebabkan berbagai bentuk kekerasan, mulai dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang hingga pembunuhan di luar hukum,” jelasnya

Menurut data PBHI, sepanjang tahun 2023, pelanggaran HAM di Papua mencakup 42,6% penangkapan sewenang-wenang, 30,8% kasus pembunuhan, dan 2,6% kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa konflik di Papua tidak hanya bersifat lokal, tetapi merupakan refleksi dari kebijakan pemerintah yang lebih luas terhadap masyarakat yang menuntut keadilan.

Selain itu, selama sepuluh tahun ini, agenda pembangunan mega proyek yang dipromosikan melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) telah menjadi akar dari berbagai pelanggaran HAM. Berbagai kebijakan pembangunan diposisikan sebagai pilar utama untuk mencapai visi “Indonesia Emas 2045,” dengan fokus pada peningkatan infrastruktur dan investasi.

Baca juga: Terbukti Selalu Gagal, Pertanian Food Estate Bukan Jawaban Pemenuhan Pangan Nasional

Namun, menurut Julius, pendekatan “developmentalis” ini—yang memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas segala-galanya—telah mengabaikan aspek hak asasi manusia. PBHI mencatat, dari 144 titik penolakan terhadap PSN, terdapat 62% yang mengalami kerusakan lingkungan, 89% yang mengalami trauma psikologis, dan 84% kehilangan tanah.

Julius bilang, data tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan berpotensi menciptakan ketidakadilan yang lebih besar di masyarakat.

“Pendekatan sekuritisasi yang digunakan pemerintah untuk meredam resistensi masyarakat, dengan melibatkan aparat keamanan, menciptakan iklim ketakutan yang merugikan warga,” tegasnya.

Annisa Azzahra, staf advokasi PBHI juga memiliki pemiliran serupa. Menurutnya, selama satu dekade kepemimpinan Jokowi, terdapat pola penggunaan kebijakan untuk memperkuat kontrol politik dan melancarkan kepentingan rezim.

Annisa bilang, berbagai regulasi yang diterbitkan semakin mempersempit ruang kebebasan sipil, melemahkan lembaga penegakan hukum, dan mengendalikan institusi pengawasan. Hal ini mengakibatkan iklim pemerintahan yang minus check and balance, di mana suara-suara kritis ditekan.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Salah satu contoh yang mencolok adalah revisi UU KPK, yang memberikan kontrol lebih besar kepada pemerintah terhadap lembaga independen tersebut. Selain itu, revisi terkait usia calon presiden dan wakil presiden dianggap sebagai langkah strategis untuk memuluskan jalan Gibran, putra sulung Jokowi, dalam kontestasi Pilpres 2024.

“Keputusan-keputusan ini menunjukkan bahwa kepentingan politik seringkali mengalahkan kepentingan publik,” jelas Annisa Azzahra.

Berbagai undang-undang lainnya, seperti UU Cipta Kerja, katanya, juga telah mengurangi hak-hak pekerja dan perlindungan lingkungan untuk memudahkan investasi.

Annisa menekankan bahwa kebijakan-kebijakan ini tidak berdiri sendiri; revisi UU ITE yang diikuti oleh penggunaan pasal-pasal ambigu untuk mengkriminalisasi aktivisme, jurnalis, dan pembela HAM menunjukkan bahwa ada upaya sistematis untuk membungkam kritik.

Menurut Annisa, pemerintahan Jokowi tidak hanya mengabaikan prinsip-prinsip HAM, tetapi juga secara aktif menciptakan kondisi yang mendukung pelanggaran HAM secara sistemik.

Baca juga: SLAPP Terus Meningkat di Kawasan Industri Nikel Morowali

Misalnya setelah pandemi, katanya, pemerintah menggunakan dalih pemulihan ekonomi, tetapi ketidakmampuan memenuhi hak dasar masyarakat—seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak—menambah beban masyarakat.

Ia bilang, sekitar 30% populasi Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara kebijakan yang diambil tidak menyentuh akar permasalahan. Menurutnya, Intervensi yang bersifat sementara hanya menciptakan ketergantungan di kalangan masyarakat, yang menjadikan mereka rentan terhadap manipulasi politik.

Dengan situasi ini, katanya, banyak yang berpendapat bahwa selama sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, Indonesia telah menciptakan kondisi yang secara sistemik menjadikan negara ini ramah pelanggaran HAM. Kebijakan-kebijakan yang pro-investasi dan bisnis sering kali diambil tanpa mempertimbangkan hak dasar warganya.

Akhirnya, kata Annisa, dengan menjadikan masyarakat bergantung pada bantuan sosial yang semu, pemerintah tampaknya lebih fokus pada stabilitas politik jangka pendek daripada memenuhi kebutuhan mendasar rakyatnya.

Dalam refleksi sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi, jelas bahwa tantangan besar masih menghantui perjalanan bangsa. Menurutnya, upaya untuk mengubah narasi dari Nawa Cita menjadi kenyataan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia belum sepenuhnya terwujud.

“Sebagai pemimpin, Jokowi dihadapkan pada tugas berat untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memperbaiki hubungan dengan masyarakat yang terpinggirkan demi menciptakan keadilan yang sejati,” tegasnya.

Salah satu warga saat melakukan blokade jalan. (Foto: Walhi Sulteng)
Salah satu warga saat melakukan blokade jalan. (Foto: Walhi Sulteng)

Wajah Horor PSN

Dalam perjalanan pemerintahan Joko Widodo, salah satu ambisi besar yang dijanjikan adalah pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia. Program Proyek Strategis Nasional (PSN) pun digulirkan sebagai langkah konkret untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Namun, di balik keberhasilan pembangunan, terdapat sebuah bayangan kelam yang tidak dapat diabaikan: kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus mengintai masyarakat yang terdampak.

Sejak peluncuran PSN pada 2015, Jokowi mengklaim bahwa proyek-proyek ini akan menjadi pendorong utama perekonomian. Dengan data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), diperkirakan bahwa lebih dari 200 proyek PSN dapat menciptakan jutaan lapangan kerja dan meningkatkan konektivitas antar wilayah.

Namun, menurut Anis Hidayah, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan harapan tersebut sering kali berseberangan dengan kenyataan pahit yang dialami masyarakat lokal. Pasalnya, kasus dugaan pelanggaran HAM di proyek PSN terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Baca juga: Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol M. Muchlis

Anis Hidayah bilang, Komnas HAM telah menerima 114 aduan soal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di PSN sejak 2021 sampai 2024. Aduan itu, katanya, belum merepresentasekan jumlah korban yang terdampak dari keberadaan PSN tersebut.

Meski begitu, Anis yakin, angkat itu mungkin lebih besar aduan yang masuk ke lembaganya. Pasalnya, aduan yang ada itu belum termasuk kasus-kasus yang tercatat di media, terlebih lagi banyak orang belum memiliki akses ke Komnas HAM untuk melapor kasus itu.

Anis menjelaskan, dugaan pelanggaran HAM di Proyek PSN itu rata-rata berkaitan dengan konflik agraria di sektor infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan. Dimana, penentuan sepihak PSN dan absennya partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan dan pelaksanaan PSN telah membuat proyek ini sarat dengan wajah kekerasan.

Dengan begitu, kata Anis, PSN mendorong penggusuran masyarakat. Negara dengan refresif mendatangi rakyat, mengusir mereka dari kampung dan desa yang sudah lama ditempati. Semua itu berjalan di atas narasi strategis nasional berbalut hukum yang telah disetir oleh modal. Ia bilang, cerita penggusuran kerap terjadi di proyek PSN.

Ketika para aktivis yang menolak proyek atau berusaha menyuarakan hak-hak masyarakat sering kali menghadapi intimidasi dari pihak perusahaan atau aparat keamanan. Ia bilang, tindakan ini mencakup ancaman fisik, penangkapan, atau bahkan kekerasan, yang bertujuan untuk meredam protes dan kritik terhadap proyek yang sedang berjalan.

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI

“Dugaan pelanggaran HAM di Proyek PSN sangat erat berkaitan dengan kekerasan. Apalagi dalam penanganan aksi unjuk rasa yang memprotes PSN,” kata Anis Hidayah kepada Mongabay pada Sabtu 19 Oktober 2024 lalu.

Tak hanya itu, kata Anis, aduan dugaan pelanggaran HAM yang masuk ke pihaknya juga ada yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di Proyek PSN. Pasalnya, banyak pekerja yang terlibat dalam proyek PSN menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, dan mereka kerap menerima upah yang lebih rendah dari standar upah minimum yang ditetapkan.

Dampak PSN membawa dampak serius terhadap lingkungan. Ia bilang, proyek-proyek infrastruktur, pertambangan, dan perkebunan berlabel PSN juga banyak, menurunkan kualitas lingkungan, seperti pencemaran air dan udara meningkat. Alhasil, masyarakat yang tinggal di dekat lokasi PSN harus berjuang dengan masalah kesehatan yang berkepanjangan.

Ketika memprotes soal dampak lingkungan di wilayah proyek PSN, katanya, kebebasan berekspresi yang dimiliki masyarakat kerap ditekan. Negara dan perusahaan sering menggunakan intimidasi, ancaman, atau kekerasan untuk membungkam suara-suara yang kritis. Menurutnya, itu menciptakan suasana ketakutan yang menghalangi orang lain untuk berbicara.

“Kasus dugaan pelanggaran HAM di proyek PSN yang masuk ke Komnas HAM juga ada yang berkaitan dengan kebebasan pers” jelasnya.

Baca juga: Cerita Petani Sawit Pulubala Gorontalo Terjebak Janji Manis Perusahaan

Anis mengungkapkan, kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di proyek PSN itu mayoritas terjadi di Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Papua. Ia bilang, kasus-kasus HAM di PSN kerap mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun, dan itu menjadi catatan buruk dalam pemerintahan Jokowi.

Ia bilang, Komnas HAM sedang melakukan penelitian soal kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di proyek PSN di masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Hanya saja, riset tersebut masih dalam proses analisis dan belum bisa untuk dipublikasikan. Namun, dirinya memastikan kasus pelanggaran HAM di era Jokowi semakin masif, terlebih soal adanya proyek PSN.

Masifnya kasus pelanggaran HAM dalam proyek PSN dipicu adanya regulasi untuk mempermuda PSN. Apalagi, skema PSN telah memasukkan semua kategori proyek bisnis termasuk bisnis pertambangan oleh swasta asing sehingga menambah dan memperparah eskalasi konflik agraria akibat percepatan PSN di berbagai tempat.

“PSN berjalan dengan wajah kekerasan, tanpa memikirkan partisipasi dan persetujuan dari masyarakat yang akhirnya perampasan tanah dan penggusuran rakyat,” jelasnya.

Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace
Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

Proses pengadaan dan pembebasan tanah yang sarat konflik tersebut terjadi akibat manipulasi dan ketertutupan proses serta orientasi pengalokasian tanah semata untuk kemudahan investasi PSN yang diakomodir pemerintah melalui berbagai regulasi turunan UU Cipta Kerja.

Misalnya: PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional; PP 64/2021 tentang Bank Tanah; PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (revisi atas UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum); dan PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

Regulasi-regulasi itu, katanya, telah mendiskriminasi hak konstitusional masyarakat, sehingga memperlemah posisi masyarakat khususnya petani dan masyarakat adat terkait hak atas tanah yang telah mereka kuasai, garap dan tempati selama puluhan tahun, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan.

Melalui UUCK dan ragam regulasi turunannya, telah menyebabkan perampasan tanah bekerja begitu cepat dengan dalih percepatan pembangunan nasional. Ironisnya, pengawasan dan sanksi terhadap tindak pidana korporasi semakin diperlonggar. Ia bilang, konstruksi regulasi yang demikian telah membuat suburnya kasus pelanggaran HAM.

Baca juga: Tambang Batu Gamping Ancam Kelestarian Ubi Banggai

“Komnas HAM pernah mengkaji bahwa UU Cipta Kerja berpotensi memicu adanya pelanggaran HAM, terutama regulasi turunannya yang mendukung dan mempermudah PSN,” ungkapnya.

Anis mendorong pemerintahan baru yang akan dipimpin Prabowo Subianto bisa merencanakan program-program pembangunan harus berlandaskan pada prinsif-prinsif hak asasi. Misalnya, sejak perencanaan pembangunan, harus ada partisipasi publik, sekaligus meminimalisir praktik-praktik penggusuran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Selain itu, kata Anis, pemerintahan yang baru juga harus memastikan tidak ada praktik relokasi paksa yang dilakukan, dan harus basis kesepakatan, termasuk ganti rugi yang memadai. Ia juga meminta analisis dampak lingkungan dari proyek PSN juga perlu dilakukan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

Anis tak ingin, pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo ini tidak mengulangi kesalahan pemerintahan lama yang membangun banyak sekali infrastruktur tetapi tidak memikirkan dampaknya ke masyarakat yang memicu pelanggaran HAM.

“Sehingga pembangunan yang akan dilakukan benar-benar bisa mensejahterakan masyarakat dan memperkuat pemerataan pembangunan ekonomi bisa terwujud. Bukan justru dampak-dampak lain terjadi,” ujarnya.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.