Reforma Agraria adalah kewajiban konstitusi yang merupakan amanat dari cita-cita kemerdekaan nasional. Ini adalah upaya untuk mengembalikan hubungan yang luhur antara bangsa Indonesia dengan tanah-airnya, yang terkoyak akibat kolonialisasi selama tiga setengah abad.
Di berbagai negara, terutama yang baru merdeka, reforma agraria menjadi agenda utama untuk mengikis sisa-sisa kolonialisme. Agenda ini juga berfungsi sebagai peta jalan bagi pembangunan nasional yang lebih adil dan merata.
Di Indonesia, reforma agraria tertuang jelas dalam Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UUPA 1960 merupakan terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.
Dewi Kartika Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, kelahiran UUPA 1960 menandai berakhirnya periode panjang kolonialisme agraria yang dimulai dengan Agrarische Wet 1870. Undang-undang ini menghapus sistem eksploitasi terhadap rakyat dan tanah Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda.
Baca juga: Barah Konflik di IHIP Berujung Kriminalisasi Warga
Proses penyusunan UUPA 1960 membutuhkan waktu 12 tahun karena dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Ia bilang, berbagai pakar, akademisi, dan kelompok sosial terlibat untuk memastikan bahwa UUPA 1960 menjadi panduan pengelolaan kekayaan agraria secara adil bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
Lebih jauh lagi, kata Dewi, para pendiri bangsa menempatkan reforma agraria sebagai prasyarat dalam pembangunan industri nasional, kedaulatan pangan, dan energi. Ini juga menjadi fondasi bagi pembangunan nasional yang berlandaskan pada prinsip kerakyatan, guna menciptakan kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat.
Namun, kata dia, saat ini keberadaan UUPA 1960 terancam dengan rencana revisi yang masuk dalam Prolegnas 2025-2029. Ia menilai, revisi ini akan mempermudah pengadaan tanah untuk investasi dan proyek strategis yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat.
Menurut Dewi, revisi UUPA 1960 ini terkait erat dengan lahirnya UU Cipta Kerja yang memangkas hak-hak masyarakat atas tanah. Upaya revisi ini berpotensi menghapus landasan hukum rakyat atas tanah yang telah dijamin oleh konstitusi, serta mengubah mekanisme penerbitan HGU/HGB agar selaras dengan UU Cipta Kerja.
Baca juga: Proyek Strategis Nasional jadi Sumber Pelanggaran HAM
“Selain itu, revisi ini juga berupaya memaksakan HPL sebagai hak baru untuk mengikuti logika UU Cipta Kerja. Padahal, HPL tidak dikenal dalam UUPA 1960 dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam undang-undang tersebut,” kata Dewi melalui siaran pers.
Menyikapi hal ini, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menolak revisi UUPA 1960 yang dianggap sebagai pengingkaran terhadap amanat konstitusi dan berpotensi mencabut kedaulatan rakyat atas kekayaan agraria.
- Mendesak DPR RI untuk mengeluarkan revisi UUPA 1960 dari daftar Prolegnas 2025-2029.
- Mendesak Pemerintah dan DPR RI mempercepat penyelesaian konflik agraria, penertiban tanah terlantar, dan redistribusi tanah untuk mengurangi ketimpangan sosial.
- Menuntut Pemerintah dan DPR RI menjadikan reforma agraria sebagai dasar utama swasembada pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan industri nasional.
- Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Reforma Agraria sebagai landasan hukum yang sejalan dengan konstitusi dan UUPA 1960.
Demikian pernyataan sikap KPA. Dewi berharap ini dapat menjadi perhatian bersama dan masukan bagi DPR RI serta Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menjaga cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi terhadap kekayaan agraria nasional.
Leave a Reply
View Comments