Barah Konflik di IHIP Berujung Kriminalisasi Warga

Foto Udara kawasan Industri Indonesia Huoboa Industrial (IHIP) yang sudah membabat Bentang Alam Ambunu Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Foto: Yayasan Komiu
Foto Udara kawasan Industri Indonesia Huoboa Industrial (IHIP) yang sudah membabat Bentang Alam Ambunu Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Foto: Yayasan Komiu
  • Proyek pembangunan kawasan industri nikel, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) diwarnai konflik agraria. Ujungnya, empat orang warga berurusan dengan hukum karena aksi blokade jalan untuk menghentikan aktivitas perusahaan.
  • Masyarakat protes jalan jadi jalan kawasan perusahaan. Tuntutan warga Bungku Barat ini meminta Pemerintah Morowali membatalkan nota kesepakatan (MoU) dengan perusahaan. Mereka juga ingin melihat MoU di tangan perusahaan, tetapi PT IHIP enggan memperlihatkan dokumen, malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
  • Proyek ini bagian dari zona percontohan kerja sama internasional di bawah “one belt, one road iInisiative” yang oleh Pemerintah Tiongkok dianugerahi gelar zona kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri Zhejiang. Hal itu disepakati dalam kerjasama bilateral antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia di KKT G20.
  • Yusman, Pengkampanye Walhi Sulteng mendesak,  Mou tukar guling aset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu benar-benar dibatalkan. Juga meminta,  perusahaan menghentikan kriminalisasi empat warga Topogaro dan Tondo. Dia juga mendesa DPRD Morowali mengambil tindakan atas klaim sepihak jalan tani IHIP lewat MoU.

Proyek pembangunan kawasan industri PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) diwarnai berbagai macam konflik agraria. Setidaknya ada 4 orang warga sekitar dikriminalisasi akibat melakukan aksi blokade jalan untuk menghentikan aktivitas perusahaan.

Cerita kriminalisasi itu berawal dari aksi blokade tani yang dilakukan pada 11 Maret 2024 oleh warga Desa Tondo dan Topogaro. Pasalnya, jalan yang diblokade warga tersebut sudah diklaim sepihak oleh perusahaan sebagai jalan holling. Warga pun geram dan membangun tenda di tengah jalan bertujuan untuk menghentikan aktivitas produksi sebagai bentuk protes.

Wandi, Kampainer Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng mengatakan, blokade dilakukan bermula ketika beredar sebuah video pernyataan dari legal Eksternal IHIP atas nama Riski yang menyatakan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan holling adalah milik sah IHIP.

Wandi bilang, klaim sepihak itu berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) tukar guling aset dengan Bupati Morowali, dan sebagai gantinya IHIP mengerjakan perluasan bandara. Padahal, katanya, jalan tani tersebut merupakan utama masyarakat untuk menuju lahan kebun warga sekitar, seperti kopi, kakao, dan sawah, dan juga jalan menuju Gua Topogaro (situs budaya).

Wandi menjelaskan, MoU yang dibuat itu tidak diketahui oleh masyarakat sama sekali, dan tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi. Namun, secara tiba-tiba jalan tani tersebut sudah menjadi jalan holing. Ia bilang, akses masyarakat ke kebun terganggu akibat aktivitas alat berat yang lalu lalang setiap harinya.

Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali

“MoU ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024 oleh IHIP dan Bupati Morowali,” kata Wandi melalui rilis yang diterima oleh Mongabay pada 27 Juni lalu.

Klaim sepihak itu juga memicu kemarahan masyarakat hingga meluas ke Desa Ambunu, salah satu desa yang ada di sekitar IHIP. Pada 15 Juni lalu, warga Desa Ambunu juga ikut melakukan aksi blokade jalan, tepat di samping fly over IHIP, yang sudah berdiri gudang penyimpanan ore, batu bara, dan smelter.

“Aksi blokade jalan yang dilakukan warga d Desa Ambunu itu diikuti kurang lebih 500 orang yang tersebar di tiga titik,” ungkapnya.

Wandi menjelaskan, tuntutan warga Bungku Barat ini meminta pihak Pemerintah Daerah (Pemda) Morowali membatalkan MoU tersebut. Mereka juga ingin melihat MoU yang ada di tangan perusahaan, akan tetapi IHIP enggan memperlihatkan dokumen tersebut, malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.

Alih-alih menjawab tuntutan masyarakat, kata Wandi, IHIP justru melakukan somasi kepada para penggerak aksi blokade tersebut. Somasi pertama berikan kepada 4 orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas aksi yang dilakukan pada 11 Juni lalul. Mereka diantaranya; Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat. Ia bilang, 4 orang itu pun juga dilaporkan ke Polda Sulteng.

Warga Bungku Barat saat blokade jalan. Foto milik Warga1
Warga Bungku Barat saat blokade jalan. Foto milik Warga1

Tak hanya itu, kata Wandi, IHIP juga membuat somasi kedua kepada 5 orang Desa Ambunu atas aksi blokade dan tindakan pemalangan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas perusahaan yang dilakukan pada 15 Juni lalu. 5 orang tersebut yakni; Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana MS.

“Jadi, ada 9 orang yang ada disomasi oleh IHIP. 4 orang diantaranya, dilaporkan ke Polda Sulteng,” jelasnya

Akibat protes warga itu, kata Wandi, Pemda Morowali menyatakan MoU tersebut telah dibatalkan. Keputusan itu diambil di  pertemuan antara pihak masyarakat, perusahaan, dan Pemerintah Daerah (Pemda) Morowali, beserta unsur Forkopimda pada 22 Juni 2024. Namun perusahaan tetap bersikeras bahwa MoU itu masih berlaku karena pembatalan tersebut bersifat sepihak.

Meski pun begitu, kata Wandi, pembatalan MoU itu masih membingungkan warga. Pasalnya, berdasarkan rilis resmi IHIP dan Pemda Morowali bahwa MoU itu ditandatangani MoU pada 22 Desember 2023. Sementara dalam berita acara pembatalan MoU yang diterima masyarakat, MoU yang dibatalkan merujuk pada MoU tertanggal 11 Maret 2024.

“Kedua Mou tersebut menggunakan frasa ‘penggunaan aset’ sementara dalam video yang ramai beredar MoU yang dibacakan oleh legal eksternal IHIP menggunakan frasa ‘Tukar Aset’. Apakah terdapat MoU lain lagi?,” tanyanya.

Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar

Rifiana MS, sala satu warga Desa Ambunu yang ikuti disomasi perusahaan mengatakan, Pemda Morowali ini seperti main-main dengan tuntutan masyarakat karena terkesan berpihak dan melindungi kepentingan perusahaan. Ia bilang, Pemda Morowali pun ingin mencoba menghentikan gerakan yang dilakukan mereka, tanpa kesepakatan yang jelas.

Rifiana bilang, upaya rekonsiliasi yang dimediasi oleh Pemda Morowali kerap tidak menemukan titik terang, justru perdebatan menjadi semakin masif. Klaim sepihak yang dijelaskan Pemda Morowali tidak bisa menjawab tuntutan masyarakat. Ia bilang, Pemda Morowali terus bersikukuh untuk menghentikan gerakan blokade jalan tersebut.

“Kami diminta untuk menghentikan aksi kami, Namun, kami tetap menolak dan terus melakukan aksi dengan tuntutan untuk membatalkan Mou tersebut,” kata Rifiana MS dalam konferensi pers pada Jumat 28 Juni 2024 lalu.

Selain membatalkan MoU, kata Rifiana, pihaknya juga meminta status jalan tersebut diserahkan ke masyarakat, dan Pemda Morowali harus mengakui itu. Mereka juga mempertanyakan prosedur-prosedur apa saja yang dilakukan oleh Pemda Morowali hingga berani menyerahkan status jalan tersebut menjadi milik IHIP.

Namun, kata Rifiana, semua pertanyaan dan tuntutan masyarakat tidak bisa dijawab sama sekali oleh Pemda Morowali. Ia mengaku, pihaknya sudah mengirimkan surat ke DPRD Morowali untuk meminta masyarakat ini bisa dibahas di kantor perwakilan rakyat itu melalui rapat dengar pendapat (RDP).

Foto Udara lahan pertania dan hutan alam yang berada di kawasan IHIP. Foto Milki Yayasan Komiu
Foto Udara lahan pertania dan hutan alam yang berada di kawasan IHIP. Foto Milki Yayasan Komiu

“Jika tidak tuntutan kami tidak diindahkan oleh Pemda Morowali, kami akan kembali melakukan aksi blokade jalan tani tersebut. Kami percaya, jalan tani itu adalah milik masyarakat, bukan milik perusahan,” tegasnya

Cipto Rustianto, External Manager IHIP membantah semua tuduhan masyarakat. Ia bilang, keberadaaan perusahaannya di Morowali merupakan hasil koordinasi dan persetujuan pemerintah pusat serta daerah, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia pun mengklaim, tidak pernah melakukan penyerobotan jalan tani masyarakat, dan siap membuktikan hal tersebut dengan data dan fakta.

Selain itu, Cipto Rustianto membantah perusahaannya telah mengkriminalisasi warga setempat. Katanya, tuduhan kriminalisasi itu tidak berdasar dan selama ini mereka berkomitmen melindungi kepentingan masyarakat dalam beraktivitas ekonomi sesuai hukum berlaku. Ia pun bilang, pihaknya berupaya merangkul masyarakat setempat melalui pemerintah desa dan lembaga terkait.

“Olehnya, saya mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan menyerahkan penanganannya kepada pihak berwenang kompeten,” kata Cipto Rustianto seperti dikutip di Media Alkhairaat.

Diketahui, IHIP adalah perusahaan Indonesia dengan latar belakang modal Tiongkok. Komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Investment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%.

Baca juga: Menanti Keseriusan Pemerintah Tangani Kasus Pencemaran Sungai Sagea

Pemegang saham terbesar Zhensi Indonesia Industrial Park atau yang juga dikenal sebagai Zhensi Holding Group Co., Ltd ini merupakan salah satu perusahaan teratas di Industri tersier di Tiongkok dan telah mengembangkan 10 industri, termasuk baja khusus, dan manufaktur besi nikel. Zhensi Holding Group ini telah mendirikan lebih dari 50 perusahaan induk di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, perusahaan induk Zhensi Holding Group yang untuk membangun kawasan IHIP adalah PT Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG). Kawasan industri ini berlokasi di tujuh desa di Kabupaten Morowali, yakni; Desa Topogaro, Wata, Ambunu, Tondo, Umpanga, Larobenu, dan Wosu. Proyek dengan investasi sebesar 14 triliun rupiah ini akan dibangun dengan luas sekitar 20.000 hektar.

IHI dan BTIIG akan membangun kawasan industri ini dengan skema dua tahap. Tahap pertama akan dibangun seluas 1.200 hektar yang berlokasi di Ambunu, Topogaro, dan Tondo yang saat ini sedang bermasalah akibat klaim jalan tani yang dilakukan secara sepihak. Sedangkan, untuk tahap kedua akan dibangun seluas 18.800 hektar di lima desa lainnya.

Adapun proyek ini bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi diklaim dibawah “One Belt, One Road Inisiative” yang oleh pemerintah china dianugerahi gelar zona kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri Provinsi Zhejiang. Hal itu disepakati dalam kerjasama bilateral antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia di KKT G20.

Kawasan industri ini diklaim akan memproduksi nikel berskala besar dengan kapasitas 1,5 juta ton untuk pengembangan nikel laterit atau memproduksi blok besi nikel dan nikel hidroksida dengan berkualitas tinggi sebagai bahan baku penting stainless steel. Nikel hidroksida juga sangat diperlukan untuk produksi baterai energi baru kelas atas.

Foto Udara kawasan Industri Indonesia Huoboa Industrial (IHIP) yang sudah membabat Bentang Alam Ambunu Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Foto: Yayasan Komiu
Foto Udara kawasan Industri Indonesia Huoboa Industrial (IHIP) yang sudah membabat Bentang Alam Ambunu Morowali, Sulawesi Tengah, Indonesia. Foto: Yayasan Komiu

Perampasan Lahan Terselubung

Namun, proyek yang diklaim sebagai bagian dari kerja-kerja transisi energi yang memproduksi baterai untuk kendaraan listrik ini justru menggerus masyarakat sekitar. Lahan-lahan dan jalan yang menjadi akses utama masyarakat untuk bertani dan mencari kehidupan dirampas secara terselubung dengan berbagai modus. Hal ini yang kemudian memicu konflik agraria.

Yusman, Pengkampanye Walhi Sulteng mengatakan, apa yang terjadi di Desa Ambunu, Topogaro, dan Tondo bukan merupakan konflik agraria yang pertama kali terjadi. Katanya, praktik-praktik perambahan lahan memang sudah sangat masif di Morowali sejak adanya perusahaan-perusahaan nikel bercokol untuk mengeksploitasi sumber daya alam.

Yusman bilang, modus-modus perampasan lahan pun bermacam-macam dilakukan perusahaan, termasuk IHIP untuk memuluskan proyek mereka dalam mengeruk isi bumi, salah satunya adalah modus salah gusur. Ia bilang, IHIP pernah merampas lahan sawit produktif milik warga Ambunu seluas 14 hektar dengan modus salah gusur yang dilakukan ketika malam hari pada 17 Oktober 2022.

Baca juga: Bank-Bank Besar di Indonesia Mendanai Kerusakan Hutan

Ketika masyarakat melakukan protes atas modus salah gusur itu, kata Yusman, perusahaan langsung menawarkan ganti rugi. Hal ini membuat petani tidak punya pilihan lain selain menerima ganti rugi tersebut. Pada 2020 lalu, katanya, IHIP juga diduga menimbun jalur irigasi untuk jalan holling yang berdampak ke 170 hektar sawah milik 20 Kepala Keluarga (KK).

Penimbunan jalur irigasi itu menyebabkan sawah-sawah tersebut tidak produktif lagi. Momen itu dimanfaatkan perusahaan untuk langsung membuat negosiasi dengan menawarkan membeli sawah tersebut kepada masyarakat. Saat ini, katanya, dari 170 hektar sawah milik masyarakat itu, tinggal 10 hektar yang saat ini masih dikelola.

“Penimbun jalur irigasi itu membuat perubahan jalur sunga serta menyebabkan 36 hektar sawah milik masyarakat terendam air,” kata Yusma dalam konferensi pers pada Jumat 28 Juni 2024 lalu.

Selain itu, kata Yusman, reklamasi yang dilakukan IHIP untuk pembangunan terminal khusus jetty sebesar 40 hektar di Desa Tondo dan Ambunu menyebabkan 115 orang nelayan rumput laut kehilangan mata pencaharian. Padahal, katanya, kegiatan reklamasi itu tidak memiliki izin dan saat ini sudah di segel oleh Ditjen PSDKP karena melanggar UU 32/2009.

Menurutnya, aksi blokade jalan tan tadi yang dilakukan oleh warga Ambunu, Topogaro, dan Tondo merupakan puncak konflik perampasan lahan secara terselubung oleh perusahaan. Ia menyebut, IHIP sangat brutal melakukan perampasan lahan dengan cara buruk hingga mengkriminalisasi warga sekitar yang melakukan perlawanan.

Sayangnya, kata Yusman, dengan beragam tindakan perampasan lahan masyarakat yang dilakukan oleh IHIP ini tidak menjadi perhatian bagi Pemda Morowali. Sebaliknya, Pemda Morowali justru tidak pernah hadir dalam menyelesaikan konflik antara masyarakat dan perusahaan, tetapi terkesan melindungi dan menjamin kepentingan perusahaan.

“Praktek buruk dalam melakukan konsolidasi tanah selama pembangunan Kawasan Industri IHIP di Bungku Barat ini tidak ubah seperti penjajah yang dengan semena-mena merampas dan memanipulasi hak masyarakat,” tegasnya

Baca juga: Putusan MK: Momentum Perbaikan Tata Kelola Pertambangan di Pulau Kecil di Indonesia

Disisi lain, kata Yusman, IHIP diduga tidak memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) serta izin lingkungan (Amdalalin). Padahal, saat ini perusahaan sudah membangun 3 unit PLTU Captive berkapasitas 350 MW, Smelter, Stockpile ore di wilayah tersebut. Ia bilang, perusahaan benar-benar telah menerobos aturan yang berlaku.

Yusman meminta Mou tukar guling aset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu harus benar-benar dibatalkan, serta meminta perusahaan harus menghentikan kriminalisasi kepada 4 orang warga Topogaro dan Tondo. Ia juga mendesa DPRD Morowali untuk mengambil tindakan atas klaim sepihak jalan tani oleh IHIP lewat MoU tersebut.

Bukan hanya itu, Yusman juga meminta kementerian terkait didesak untuk melakukan melakukan evaluasi dan moratorium IHIP atas pembangunan industri nikel yang tidak memiliki izin kawasan dan lingkungan tersebut. Sekaligus memeriksa Pj Bupati Morowali yang diduga melanggar Peraturan Mendagri nomor 4 tahun 2023 pasal 14 ayat 2 huruf d.

“Hentikan praktek perampasan tanah terselubung yang diduga dilakukan oleh IHIP serta meminta kepada pemerintah terkait untuk melakukan pengawasan,” tegasnya

Fanny Tri Jambore, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional mengatakan hal serupa. Menurutnya, konflik lahan yang terjadi di desa di Ambunu, Topogaro, dan Tondo ini akan menambah cerita konflik agraria di Indonesia yang semakin bertambah.

Dimana, menurut Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, sebanyak 241 letusan konflik agraria terjadi di 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK sepanjang tahun 2023. Ada 608 orang pejuang hak atas tanah menjadi korban di 110 wilayah letusan konflik agraria.

Angka itu menjadi Indonesia berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal. Namun, angka itu pun belum mencakup penderitaan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai dampak lanjutan dari pelanggaran yang terjadi, seperti penggusuran, pengrusakan terhadap rumah, pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: Dari COP28: Kala Negara-negara Sepakat Tinggalkan Energi Fosil

Menurut Fanny Tri Jambore, proyek hilirisasi nikel yang diklaim pemerintah sebagai teknologi yang dibutuhkan untuk menangani krisis iklim ini merupakan penyesatan. Pasalnya, proses ekstraksinya memperburuk kondisi lingkugan dan ikut menyumang emisi yang cukup besar dari pembukaan lahan dan hutan yang dilakukan.

Dimana, kata Fanny Tri Jambore, dari 1 juta konsesi yang diperuntukkan untuk proyek hilirisasi nikel, 700 ribu hektar di antaranya diperkirakan berada dalam kawasan hutan. Disisi lain, hutan alam yang menjadi penyangga lingkungan dan ekonomi di wilayah sekitar semakin terdegradasi akibat adanya aktivitas pertambangan nikel.

Adapun data Auriga Nusantara menyebut, hutan alam yang hilang di provinsi penghasil nikel sudah mencapai 560,923 hektar. Sementara itu, Sulawesi Tengah menjadi provinsi penghasil nikel yang hutan alamnya paling banyak hilang, yaitu sebesar 209,267 hektar. Belum lagi, temuan Aliansi Sulawesi Terbarukan menyebut, operasi pembangkit listrik tenaga uap untuk fasilitas industri (PLTU captive) di Sulawesi.

Fenomena seperti itu, kata Fanny Tri Jambore, tidak akan mengarah ke perbaikan terhadap kualitas iklim Indonesia, dan justru akan memperparah. Ia bilang, dampak selanjutnya akan memperparah kondisi ekologis di wilayah ekstraksi, sehingga membuat masyarakat disekitar akan kehilangan sumber penghidupannya yang memicu kemiskinan.

Hal itu dibenarkan dengan laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023 lalu menyebut, hampir seluruh provinsi penghasil nikel justru mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022-Maret 2023. Hanya dua provinsi, Papua Barat dan Papua, mengalami penurunan persentase kemiskinan.

Misalnya, persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2022 sebesar 21,43%, turun tipis menjadi 20,49% pada Maret 2023, dan Papua Barat pada September 2022 sebesar 26,8%, turun tipis menjadi 26,03% pada Maret 2023.

Lima provinsi lainnya justru mengalami peningkatan. Provinsi yang naik cukup tinggi adalah Maluku, dari 16,23% pada September 2022 menjadi 16,42% pada Maret 2023 atau naik 0,19 poin. Selain itu, Sulawesi Tengah, dari 12,3% pada September 2022 menjadi 12,41% pada Maret 2023, naik 0,11 poin.

Sementara, Sulawesi Tenggara, dari 11,27% pada September 2022 menjadi 11,43% pada Maret 2023, naik 0,16 poin. Selain itu, Sulawesi Selatan, dari 8,66% pada September 2022 menjadi 8,7% pada Maret 2023, naik 0,4 poin. Sedangkan Maluku Utara, dari 6,37% pada September 2022 menjadi 6,46% pada Maret 2023, naik 0,9 poin.

Baca juga: Selamatkan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan dari Kepungan Tambang

Bukan hanya itu, berdasarkan Survei Hasil Gizi Indonesia 2022 yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebut, seluruh provinsi penghasil nikel adalah provinsi penyumbang stunting di Indonesia. Papua masuk dalam tiga besar penghasil balita stunting di Indonesia, dengan prevalensi 34,6%, dan Papua Barat berada di posisi enam besar dengan prevalensi 30%.

Adapun Sulawesi Tengah berada dalam posisi ke tujuh besar penghasil balita stunting di Indonesia, dengan prevalensi 28,2%. Sementara, Sulawesi Tenggara berada di posisi ke sembilan besar penghasil balita stunting di Indonesia, dengan prevalensi 27,7%.

Selain itu, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara berada di posisi sepuluh dan dua belas dengan prevalensi 27,7% dan 26,1 %. Sedangkan, Maluku berada dalam urusan ke tiga belas penghasil balita stunting di Indonesia, dengan prevalensi 26,1 %.

Angka-angka itu, menurut Fanny Tri Jambore adalah ironi yang tidak dilihat oleh Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan proyek hilirisasi nikel ini. Ia bilang, angka-angka kriminalitas dan dampak buruk dari hadirnya industri ekstraktif ini bisa akan bertambah. Pasalnya, pemerintah menempatkan keselamatan masyarakat lebih rendah daripada investasi.

“Kerusakan lingkungan, serta semakin tingginya kekerasan dan kriminalisasi di industri ekstraktif akan memperburuk demokrasi Indonesia. Belum lagi, pemerintah terus membiarkan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh industri ekstraktif ini,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.