- Tambang emas ilegal di Bone Bolango, Gorontalo, membawa bencana. Hujan deras memicu tanah longsor di area pertambangan emas ilegal di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Ratusan orang menjadi korban, sebagian selamat, puluhan tewas, puluhan masih dalam pencarian.
- Peristiwa tanah longosr itu terjadi pada 7 Juli 2024, sekitar pukul 09.00. Data Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) per 9 Juli 2024 sekitar 148 orang menjadi korban longsor, 90 selamat, 30 dalam pencarian, dan 23 orang meninggal dunia.
- BNPB mengimbau, para petugas gabungan untuk tetap waspada dan siap siaga dalam operasi SAR di lokasi terdampak longsor. Aspek keamanan dan keselamatan personel harus menjadi prioritas utama dalam operasi itu.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, apa yang terjadi di Kecamatan Suwawa Timur, merupakan puncak dari pembiaran karena selama ini tak ada tindakan dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah.
Bencana tanah longsor di wilayah pertambangan emas tanpa izin (PETI) di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, menjadi peristiwa yang mengerikan. Pasalnya, ada ratusan orang menjadi korban akibat longsor yang terjadi akibat hujan deras itu.
Peristiwa itu terjadi pada Minggu pagi 7 Juli 2024, sekitar Pukul 09.00 WITA. Menurut data Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Republik Indonesia (BNPP RI) per Selasa 9 Juli 2024 Pukul 23.00 WITA, ada sekitar 137 orang menjadi korban atas peristiwa itu. 81 orang selamat, 33 orang dalam pencarian, dan 23 orang meninggal dunia.
Data ini pun kemukinan bisa bertambah karena masih ada keluarga dari korban tanah longsor tersebut masih terus berdatangan untuk memberikan laporan bahwa keluarga mereka belum diketahui keberadaannya.
Kini, lebih dari 1000 personel gabungan melakukan upaya pencarian dan pertolongan terhadap para penambang yang tertimpa material longsor. Mereka berasal dari BPBD, TNI, Polri, Basarnas, PMI, Pelindo dan relawan. Selain hujan lebat dan cuaca buruk, kondisi tanah labil menjadi kendala dalam pencarian korban hilang.
Baca juga: Belasan Ribu Hektar Kawasan Hutan Bakal jadi Tambang Emas di Bone Bolango
Pencarian juga terhambat beberapa faktor lain, yaitu jalan menuju lokasi terdampak tidak dapat diakses kendaraan. Adapun jarak tempuh dari pos lapangan yang berada di Desa Tulabolo ke lokasi tambang sekitar 4-5 jam dengan berjalan kaki. Terlebih lagi, terdapat 1 jembatan yang menghubungkan lokasi itu ikut rusak dan terputus.
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB memperkirakan hingga Rabu 10 Juli 2024, wilayah Kecamatan Suwawa Timur masih berpeluang hujan dengan intensitas ringan hingga lebat. Meskipun hal ini berpotensi menghambat operasi, ia berharap pencarian tetap dapat terus dioptimalkan dengan sumberdaya yang ada
“BNPB mengimbau para petugas gabungan untuk tetap waspada dan siap siaga dalam operasi SAR di lokasi terdampak longsor. Aspek keamanan dan keselamatan para personel harus menjadi prioritas utama dalam operasi tersebut,” kata Abdul Muhari
Saat ini, sudah ada 1 unit Helikopter milik Baharkam Polri jenis AW 169 Register P-3304 dari Makassar sudah ada dilokasi untuk membantu mengevakuasi korban dari lokasi longsor. Tim BKO SAR dan Basarnas Special Group (BSG) hingga sejumlah personel SAR dari Manado kini sudah berada dilokasi untuk membantu pencarian korban yang tertimbun.
Kusworo, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Republik Indonesia (KBNPP RI) mengatakan, tim gabungan yang melakukan evakuasi korban tanah longsor dibekali dengan peralatan khusus. Salah satu cara terbaik untuk melakukan evakuasi adalah melalui jalur udara yang dibawa langsung oleh helikopter.
Sebenarnya, kata Kusworo, pihaknya merencanakan untuk membuka akses melalui jalan melalui alat berat. Hanya saja, medan jalan untuk menuju lokasi longsor sangat ekstrim dan tidak bisa dibuka secara langsung. Terlebih lagi, katanya, kondisi cuaca sampai saat ini belum bersahabat, sehingga pihaknya masih terus mengandalkan helikopter sebagai transportasi utama.
“Saat ini kami sedang melakukan koordinasi dengan Mabes TNI untuk menambah Helikopter agar evakuasi bisa cepat dilakukan. Jika didukung dengan cuaca, kita juga akan berupaya untuk membuka akses jalan menggunakan alat berat. Proses pencarian korban masih dilakukan secara manual hingga kini,” kata Kusworo
Baca juga: Warga Resah Operasi Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango
Kusworo bilang, tanah longsor di tambang ilegal ini tersebar di dua titik dengan kondisi daerah yang curam. Jika akan terjadi hujan lebat lagi, kataya, kemungkinan akan terjadi longsor susulan. Ia pun terus mengingatkan personilnya untuk tetap waspada dengan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
“Operasi ini akan dilakukan selama 9 hari sejak peristiwa terjadi. Namun, jika diperlukan oleh Pemerintah Daerah maupun dari keluarga korban untuk melakukan pencarian, kami tetap akan memperpanjang pencarian ini,” jelasnya
Achryl Babyonggo, Kepala BPBD Bone Bolango mengatakan, potensi longsor susulan kemungkinan besar bisa terjadi lagi akibat cuaca yang sampai saat ini masih terus huja lebat. Ia bilang, meski cuaca masih buruk, sudah 1 excavator sudah tembus di lokasi longsor. Katanya, akan tambahan 1 helikopter lagi untuk membantu proses evakuasi.
Achryl Babyonggo mengaku, pihaknya akan terus berupaya untuk memaksimalkan proses pencarian korban tanah longsor yang sampai hari ini belum ketemu. Meski dalam kondisi malam hari, pihaknya juga akan berupaya untuk tetap melakukan operasi tersebut. Katanya, lokasi longsor yang paling parah akan menjadi prioritas operasi pencarian.
“TItik bor 1 dan 2 akan menjadi prioritas pencarian karena lokasi itu yang paling parah. Titik bor 18 juga akan dilakukan pencarian,” kata Achryl Babyonggo
Diketahui, lokasi tanah longsor ini memang berada di pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang sudah beroperasi sejak puluhan tahun lalu. Ada ribuan penambang di lokasi tersebut, dan mereka tak hanya berasal dari warga sekitar, melainkan ada pula dari warga Kabupaten tetangga, bahkan Provisi tetangga, seperti Sulawesi Utara (Sulut), dan Sulawesi Tengah (Sulteng).
Para penambang di lokasi ini melakukan pertambangan emas melalui pengetahuan tradisional atau penemuan secara kebetulan. Mereka mencari tanda-tanda adanya emas di aliran sungai, bebatuan, atau tanah. Para penambang menggali tanah atau batuan yang mengandung emas menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul, sekop, dan linggis. Beberapa tempat juga menggunakan teknik penggalian terowongan (tunnel mining).
Baca juga: Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango Ancam Potensi ‘Si Hitam Manis’
Aktivitas menggali tanah dan batuan ini kerap dilakukan di wilayah yang cukup curam, atau sering kali dilakukan di wilayah kaki gunung. Terowongan (tunnel mining) yang biasa dibuat oleh para penambang pun biasanya memiliki kedalam 10 hingga 50 meter ke dalam guna mendapatkan tanah dan batuan yang mengandung emas.
Setelah tanah atau batuan digali, bahan tersebut diolah untuk memisahkan emas dari material lainnya. Proses ini bisa melibatkan penggilingan batu untuk menghancurkannya menjadi lebih halus. Dalam proses pemisahan, air digunakan untuk mencuci material yang telah digiling. Emas yang lebih berat akan terpisah dari material yang lebih ringan. Alat tradisional seperti dulang (panning) sering digunakan dalam proses ini.
Beberapa penambang mungkin menggunakan bahan kimia seperti merkuri atau sianida untuk mengikat emas. Namun, penggunaan bahan kimia ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan penambang dan lingkungan. Adapun emas yang telah dipisahkan kemudian dilebur untuk menghasilkan emas murni. Setelah itu, emas tersebut dijual ke pengepul atau langsung ke pasar.
Dampak dari Pembiaran
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tamang (Jatam) Nasional mengatakan, apa yang terjadi di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo merupakan puncak dari pembiaran Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah daerah yang tidak memberikan penindakan terhadap aktivitas terlarang tersebut.
Pasalnya, kata Jamil, selama ini APH dan Pemerintah Daerah seakan tutup mata atau terus melakukan pembiaran dengan aktivitas terlarang yang sudah puluhan tahun itu beroperasi. Padahal, katanya, APH dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban hukum untuk menindaki aktivitas terlarang tersebut.
Apalagi, katanya, lokasi penambangan di Desa Tulabolo Timur ini kerap menggunakan sianida dan merkuri untuk menangkap emas. Kedua bahan kimia itu merupakan cairan yang berbahaya yang dapat mematikan jika terdampak langsung. Ia bilang, tambang ilegal tidak memiliki kaida atau metode secara lingkungan hidup sehingga dipastikan sangat berbahaya dan dapat merusak lingkungan.
“Orang-orang bisa terpapar secara langsung dan bahan-bahan kimia yang dipakai untuk menangkap emas. Ini sangat berbahaya kepada kesehatan hingga lingkungan,” kata Muhammad Jamil kepada Mongabay, pada Selasa 9 Juli 2024.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Rusak Rumah ‘Petani Hutan’ di Panua
Jamil mencurigai, aktivitas pertambangan di Suwawa Timur ini ada bekingan dari APH sehingga terus beraktivitas dengan mulus. Dugaan itu seperti penelitian yang dilakukan oleh Jatam Nasional di sejumlah PETI yang ada di beberapa wilayah di Indonesia. Buktinya, kata Jamil, APH dan Pemerintah Daerah seperti diam melihat aktivitas tambang ilegal di di Suwawa Timur ini.
Apa yang dikatakan Jamil itu selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Lynda Tinengke melalui skripsinya yang berjudul “Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Dalam Menertibkan Pertambangan Rakyat Di Desa Tulabolo Timur Kecamatan Suwawa Timur Kabupaten Bone Bolango,” yang dibuat pada 2015 untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Universitas Negeri Gorontalo (UNG).
Hasil penelitian Lynda itu menyebut, tanggung jawab pemerintah daerah dalam menertibkan pertambangan rakyat di Desa Tulabolo itu belum maksimal karena dari 8 lokasi tambang hanya 1 lokasi tambang yang ditertibkan. Terbatasnya dana untuk operasional penertiban pertambangan ilegal dari pemerintah daerah menjadi salah satu hambatan.
Selain itu, tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan hidup yang masih rendah menjadi salah satu penyebab aktivitas terlarang it uterus beroperasi. Terlebih lagi, lokasi tambang menjadi sumber pendapatan ekonomi keluarga. Kesulitan dalam mengidentifikasi masyarakat pekerja tambang yang berasal dari luar daerah juga menjadi salah satu penyebab.
Dampak dari pembiaran akivitas pernambangan ilegal ini di Desa Tulabolo ini juga dijelaskan dalam Policy Brief yang dibuat oleh Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) pada 2015. Dalam temuan mereka menemukan, PETI di Desa Tulabolo ini memicu kehilangan penerimaan negara serta merusak lingkungan hidup.
Dalam temuan JiKTI itu juga menyebut, PETI di Desa Tulabolo ini kerap terjadi kecelakaan yang memakan korban luka-luka dan meninggal dunia, serta berbagai penyakit. PETI ini juga memicu Iklim investasi tidak kondusif karena mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tak hanya itu, JiKTI juga menemukan tambang ilegal di Suwawa Timur ini juga memicu terjadinya pemborosan sumber daya mineral. Dimana, teknologi penambangan dan pengolahan yang dilakukan di lokasi tersebut sangat sederhana, sehingga perolehannya sangat kecil. Cadangan yang masih tertinggal di dalam tanah maupun limbah hasil pengolahan sangat sulit untuk ditambang atau diolah kembali karena kondisinya sudah rusak.
Baca juga: Tambang Emas Ilegal Jarah Cagar Alam Panua
Disisi lain, cukong atau pengusaha yang mendapatkan manfaat lebih besar dari aktivitas terlarang di Desa Tulabolo ini justru kerap tidak ditindak oleh APH. Gejolak sosial pun sering kali terjadi, baik masyarakat setempat dengan pelaku PETI (pendatang), maupun di antara sesama pelaku PETI sendiri dalam upaya mempertahankan kepentingan masing-masing.
Menurut Jamil, aktivitas PETI yang ada di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo harus ditutup untuk menghindari dampak lanjutan yang akan terjadi kepada para penambang. Apalagi, katanya, penambangan ilegal merupakan tindakan pidana karena melanggar berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
Jamil bilang, perlu juga melakukan penegakan hukum atas hilangnya nyawa akibat tanah longsor itu. Menurutnya, tanah longsor ini bukan bencana murni yang terjadi, tetapi karena ada aktivitas terlarang. Katanya, pengusaha tambang atau cukong-cukong yang menerima manfaat lebih besar dari aktivitas ilegal itu harus dimintai tanggung jawab atas hilangnya puluhan nyawa ini.
Bukan hanya itu, kata Jamil, para penada sianida dan merkuri juga perlu ditangkap oleh APH agar aktivitas penambangan ilegal tidak beroperasi lagi. Menurutnya, Pemerintah Daerah juga harus memikirkan ekonomi kerakyatan yang dapat memberikan pekerjaan baru kepada para penambang agar mereka tidak lagi terlibat dalam aktivitas terlarang tersebut.
Menurutnya, jika Pemerintah Daerah tidak menyediakan lapangan pekerjaan kepada para penambangan di Suwawa Timur ini, berarti para penambangan ini disengaja diperhadapkan dengan situasi tanpa pilihan. Sehingga, katanya, para penambangan melihat satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menambang ilegal
“Jika kemiskinan dibiarkan, maka warga tidak ada pilihan lain selain melakukan penambangan ilegal. Para penambang ini tahu bahwa tambang ilegal yang mereka lakukan ini sangat merusak lingkungan dan berbahaya ke kesehatan. Tapi mereka tidak diberikan pilihan lain, sehingga perlu ada solusi dari Pemerintah Daerah,” ujarnya
Jamil menegaskan, para penambang di wilayah PETI sebenarnya merupakan korban dari cukong-cukong tersebut. Sehingga, katanya, para pengusaha tambang itu harus dikejar pertanggungjawaban karena telah merekrut tenaga kerja di lokasi itu. Hak korban atau hak para penambang, kata dia, perlu dicarikan jalan keluar untuk pemulihan mereka agar bisa keluar dari lingkaran setan itu.
“Jangan sampai tanah longsor ini disebut bencana murni demi mengalihkan pertanggungjawaban atas hilangnya nyata puluhan para penambang ini,” tegasny
Kombes Pol Desmont Harjendro, Kabid Humas Polda Gorontalo tak mau menanggapi soal status penambangan ilegal yang memicu tanah longsor tersebut. Ia bilang, pihaknya saat ini masih fokus dalam penanganan evakuasi korban tanah longsor. Setelah itu selesai, pihaknya akan melakukan penertiban penambangan ilegal tersebut.
Desmont Harjendro mengaku, sudah beberapa kali melakukan berbagai upaya penertiban, dan sudah ada beberapa yang dilakukan penahanan dan penegakan hukum. Meski begitu, ia tak pungkiri tambang ilegal di Bone Bolango itu tetap subur beroperasi. Ia bilang, ini hanya menyakut masalah hidup, jadi perlu ada keterlibatan semua pihak, dan masyarakat harus memahaminya.
Desmont mengingatkan, risiko penambangan ini memang sangat tinggi untuk melakukan penambangan ilegal ini. Ia berharap, bencana tanah longsor yang sudah terjadi ini dapat mempengaruhi para penambang untuk mengambil sikap untuk tidak lagi melakukan penambangan di lokasi tersebut.
“Untuk saat ini, kita masih fokus untuk penanganan bencananya. Kedepan pasti kita akan melakukan upaya-upaya penertiban,” kata Kombes Pol Desmont Harjendro seperti dikutip di TV One.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments