Tambang Emas Ilegal Rusak Rumah ‘Petani Hutan’ di Panua

Nasib Cagar Alam Panua, terbabat tambang emas ilegal. (Foto: Sarjan Lahay. Mongabay Indonesia)
Nasib Cagar Alam Panua, terbabat tambang emas ilegal. (Foto: Sarjan Lahay. Mongabay Indonesia)
  • Tambang emas ilegal di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, berangsek masuk ke Cagar Alam Panua. Tambang berada di kawasan konservasi Gunung Langge, yang merupakan habitat julang Sulawesi. Kehidupan satwa langka dilindungi ini pun terancam.
  • Cagar Alam Panua kaya fauna. Selain julang, di kawasan konservasi ini sering ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, babi rusa, anoa, tarsius, monyet Sulawesi, itik, dan kakatua putih. Juga, raja udang, rusa, biawak, kuskus, kera hitam, ular sawah, nuri Sulawesi, serindit, kasturi, isap madu, kumkum, dan ayam hutan.
  • Yoyok Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia mengatakan, ancaman julang Sulawesi adalah perburuan dan habitat rusak karena pengambilan kayu untuk bahan bangunan rumah maupun pertambangan emas ilegal dan legal.
  • Sutan Sahala Muda Marpaung, peneliti juga mahasiswa S3 Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB University mengusulkan, pemerintah setempat harus membuat rencana strategis konservasi bagi julang Sulawesi. Pemerintah diminta segera menertibkan dan menghentikan aktivitas tambang.

Julang Sulawesi (Aceros cassidix) yang merupakan salah satu dari 13 jenis spesies burung Rangkong di Indonesia yang ternyata menjadi burung yang paling terdampak dari pertambangan ilegal di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Pertambangan ilegal yang sudah merambat kawasan Konservasi Cagar Alam (CA) Panua menjadi penyebab utamanya.

“Dari semua jenis spesies yang dilindungi di Cagar Alam Panua ini, Julang Sulawesi menjadi burung yang paling terdampak dari aktivitas terlarang ini,” kata Kata Abdul Mutalib Palaki, anggota Resort Cagar Alam Panua, kepada Mongabay, akhirnya Juli lalu

Abdul Mutalib Palaki merupakan petugas Resort Cagar Alam Panua yang dibawa wewenang Seksi Wilayah II Gorontalo Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara. Ia yang juga merupakan warga Desa Karya Baru mengaku kerap menyaksikan betul beberapa kali warga sekitar melakukan perburuan burung endemik Sulawesi yang saat ini berstatus rentan dan terancam punah.

Misalnya pada tahun 2018, Abdul Mutalib pernah beberapa kali menangkap warga sekitar yang sedang memburu burung Julang Sulawesi di dalam lokasi CA Panua menggunakan senjata. Tak diproses, warga sekitar hanya diminta untuk membuat surat pernyataan agar tidak mengulangi perbuatan terlarang tersebut. Sayangnya, praktek perburuan masih kerap terjadi dan dilakukan oleh warga penambang ilegal hingga sekarang.

Sebelumnya, Abdul Mutalib Palaki merupakan petugas penangkar penyu yang sehari-hari harus menjaga habitat penyu di pesisir pantai CA Panua. Namun, belakangan tugasnya ditambah untuk ikut mengawasi CA Panua dari illegal logging, kerusakan hutan, hingga perburuan satwa-satwa. Ia menjadi seorang petugas di lapangan yang tiap hari mengawasi CA Panua dari aktivitas terlarang.

Bekerja seorang diri di lapangan dalam mengawasi kawasan konservasi yang sekitar 36.575 hektar, tentu membuatnya tak mudah. Hal tersebut menjadi alasan utama dirinya tidak bisa berbuat banyak jika warga melakukan pertambangan ilegal hingga ke kawasan konservasi, meski dirinya sudah melarang.

Posisi itu, membuat Abdul Mutalib tidak sepenuhnya bisa menghilangkan praktek perburuan julang Sulawesi yang terus dilakukan oleh warga sekitar. Apalagi, warga yang melakukan pertambangan ilegal di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, tidak hanya warga Pohuwato saja. Ada yang dari Kabupaten tetangga, bahkan ada yang dari Provinsi sebelah, misalnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.

Bermacam warga dari berbagai daerah, membuat Abdul Mutalib kesulitan melakukan identifikasi siapa-siapa yang sering melakukan perburuan burung julang Sulawesi. Apalagi, aktivitas pertambangan ilegal sudah sangat masif saat ini. Ia bilang, pertambangan ilegal yang merambat ke kawasan hutan hingga ke kawasan konservasi menjadi salah satu akses utama warga mudah melakukan perburuan.

“Pertambangan ilegal ini menjadi biang kerok utama, karena aktivitas terlarang itu yang membuka akses warga agar mudah masuk dalam kawasan hutan dan konservasi. Dengan itu, habitat julang Sulawesi benar-benar terganggu,” ucapnya

Cagar Alam Banua. yang terancam tambang emas ilegal. Bahkan, sebagian kawasan cagar alam ini sudah terjarah tambang emas. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Cagar Alam Banua. yang terancam tambang emas ilegal. Bahkan, sebagian kawasan cagar alam ini sudah terjarah tambang emas. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Apalagi, aktivitas pertambangan ilegal itu dilakukan oleh warga sekitar dengan menggunakan alat berat berupa ekskavator. Abdul Mutalib bilang, dengan alat berat itu, banyak pohon-pohon yang merupakan rumah bagi julang Sulawesi saat ini sudah dirobohkan. Air sungai yang menjadi sumber kehidupan biodiversitas di Kawasan Konservasi sudah rusak dan keruh.

Fransisxo Guru Singa Tambunan, Kepala Resort Cagar Alam Panua mengafirmasi hal tersebut. Ia bilang, CA Panua memang merupakan salah satu tempat habitat julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi. Katanya, pertambangan ilegal yang berada di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo memang sudah merusak habitat julang sulawesi.

“Untuk pertambangan ilegal ini, biodiversity yang paling terdampak adalah memang julang sulawesi. Karena lokasi pertambangan ilegal berada di ketinggian 1000 mdpl, dan sangat jauh dari penakaran maleo yang berada di Desa Maleo, Kecamatan Paguat,” kata Fransisxo Guru Singa kepada Mongabay, awal Agustus lalu.

CA Panua adalah salah satu hutan konservasi yang terletak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 472/Kpts-II/1992 tertanggal 25 Februari 1992 dengan memiliki luas 45.575 Hektar. Namun, luas ini menyusut ketika disahkan rencana tata ruang wilayah Gorontalo tahun 2010 menjadi 36.575 hektar.

Sebenarnya, pembentukan cagar alam ini diperuntukan bagi perlindungan maleo, dan babi rusa, sehingga pembagian administratif kawasan ini dimasukkan dalam wilayah Desa Maleo yang berada di wilayah pesisir Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato. Penakaran maleo berada tepat di Desa Tersebut.

Selain itu, di kawasan konservasi ini juga sering ditemukan penyu tempayan, penyu sisik, penyu belimbing, babi rusa, anoa, tarsius, monyet Sulawesi, itik kakatua putih, raja udang, rusa, biawak, kuskus, kera hitam, ular sawah, nuri Sulawesi, serindit, kasturi, isap madu, kumkum, ayam hutan, dan julang Sulawesi (rangkong).

Topografi Cagar Alam Panua beragam, mulai dari dataran rendah hingga perbukitan. Datarannya berada pada ketinggian 1.420 meter di atas permukaan laut. Gunung yang masuk dalam kawasan ini adalah salah satunya Gunung Langge yang menjadi lokasi pertambangan ilegal  di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo. Gunung itu identifikasi menjadi salah satu habitat burung julang sulawesi.

Tak hanya itu, ada juga beberapa jenis flora yang tumbuh di dalam CA Panua yang diidentifikasi menjadi tempat tinggal julang sulawesi, yaitu; beringin, cempaka, linggua, nantua, damar, cemara laut, bayur, gofasa, bombongan, bolangitang, kayu arang, aras, nibung, bintangor, coro, kayu raja, dan tembawa. Namun, khusus di bagian selatan hanya ditumbuhi oleh hutan bakau dan di bagian pesisir banyak ditumbuhi pohon cemara dan anggrek.

Fransisxo bilang, saat ini pihaknya terus melangkah pengawasan dan memberikan tindakan jika ada yang tetap melakukan pertambangan ilegal dalam kawasan CA Panua. Ia mengaku, semua lembaga dilibatkan dan pihak akan memberikan tindakan yang cukup tegas bagi siapa saja yang sudah merusak CA Panua.

“Saat ini, kita tidak diam saja. Kami tetap terus mengawasi pertambangan ilegal, dan jangan sampai lagi melakukan aktivasi dalam CA Panua,” jelasnya

Sepasang Julang SulawesiFoto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia
Sepasang Julang SulawesiFoto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

Mengenal Julang Sulawesi

Dalam buku ‘Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi‘ yang ditulis pada tahun 2022 oleh oleh Abdul Haris Mustari, salah satu dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, institusi Pertamina Banding (IPB) menjelaskan, julang sulawesi (Aceros cassidix) merupakan burung endemik sulawesi yang memiliki ukuran tubuh yang besar, mencapai 104 cm.

Secara umum tubuh burung tersebut berwarna hitam, paruhnya besar berwarna kuning, dan ekor berwarna putih. Membedakan antara betina dan jantan hanya dari ukuran tubuh, warna bulu leher, dan terdapat tonjolan di atas kepala (casque) yang sangat mencolok dan membedakannya dengan jenis burung lain.

Detailnya, burung jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar, warna bulu lehernya kuning-keemasan, dan tonjolan di atas kepala (casque) berwarna lebih cerah atau merah. Sementara untuk betina, ukuran tubuhnya lebih kecil, warna bulu kepala dan lehernya hitam dan tonjolan di atas kepala (casque) berwarna kuning dengan ukuran lebih kecil dari tanduk jantan.

Selain itu, pada burung jantan dan betina dewasa terdapat garis di pangkal paruh yang kombinasinya menyerupai huruf ‘V’, atau tanda pangkat pada anggota militer; jumlah garis tersebut sering diasosiasikan dengan umur individu julang sulawesi tersebut. Berat julang dapat mencapai 3,6 kg.

Keberadaan burung ini mudah terdeteksi, selain ukuran tubuhnya yang besar juga suaranya yang khas serta kepakan sayapnya yang sangat jelas terdengar. Bulu mata pada julang diketahui dapat digunakan sebagai salah satu faktor untuk menarik pasangannya. Hal tersebut juga mendukung perilaku hidup burung ini memang harus berpasangan (monogami).

Habitat burung ini berada di hutan primer, hutan rawa, hutan sekunder atau kawasan hutan hijau dengan ketinggian 1.100-1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Buah-buahan adalah pakan utama Julang Sulawesi. Terkadang mereka memakan hewan, seperti serangga, telur burung, kadal, kelelawar, tikus, dan ular.

Selain itu, julang sulawesi memanfaatkan hutan yang menyediakan pohon-pohon besar untuk berbiak dan bersarang. Mereka membuat sarang di lubang pohon yang besar dengan ketinggian 13-53 m. Biasanya, sarang mereka berada di tengah hutan yang jauh dari aktivitas manusia. Lubang pohon yang dibuat kerap ditutup dengan lumpur untuk melindungi telur dari predator.

Julang Sulawesi [Knobbed hornbill] yang merupakan endemik Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay
Julang Sulawesi [Knobbed hornbill] yang merupakan endemik Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Burung ini biasanya terbang cukup rendah di atas kanopi hutan secara berpasangan dan berkelompok. Saat musim buah, burung ini kerap berkumpul dalam jumlah sangat banyak sekitar 50 individu. Mereka juga dapat memetik buah-buahan selama terbang, sambil mengusir burung serta primata lainnya di pohon pakan.

Penyebaran alami burung endemik ini terdapat di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau disekitarnya termasuk Pulau Lembeh, Kepulauan Togean, Pulau Muna dan Pulau Buton.

“Burung julang sulawesi sering dijumpai mencari makan di pohon beringin yang sedang berbuah, karena burung ini sangat menyukai buah beringin,” tulis Abdul Haris Mustari dalam bukunya.

Julang Sulawesi termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pada tahun 2018 juga, Pemerintah Indonesia membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi untuk mendorong perlindungan julan sulawesi agar tidak mengakui kepunahan. Selain itu, spesies ini juga terdaftar pada Lampiran II Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (CITES)

Lembaga konservasi dunia the International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengategorikan Julang Sulawesi atau orang lokal Gorontalo menyebutnya burung Alo yang menjadi salah satu penghuni tetap CA Panua ini berstatus “Rentan” (Vulnerable/VU). Artinya, memiliki 10 persen kemungkinan punah dalam jangka waktu 100 tahun ke depan akibat perburuan yang masif.

Alat berat mengeruk sungai di Pahuwato untuk mencari emas. Foto: Warga)
Alat berat mengeruk sungai di Pahuwato untuk mencari emas. Foto: Warga)

Acamannya

Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia mengatakan, ancaman julang sulawesi saat ini memang adalah perburuan dan rusak akibat pengambilan kayu untuk bahan bangunan rumah. Pertambangan ilegal dan legal menjadi salah satu pintu penyebab secara langsung populasi julang sulawesi terganggu.

Yoki bilang, julang sulawesi sangat bergantung dengan hutan, karena hutan menjadi tempat dapat menyediakan pangan atau makanan untuk julang sulawesi. Hutan juga dijadikan sebagai tempat berkembang biak dan bersarang untuk bertahan hidup. Katanya, jika hutan akan dirusak, pasti akan mengganggu populasi julang sulawesi, hingga menimbulkan kematian.

Padahal, julang Sulawesi sangat bermanfaat besar bagi hutan. Pasalnya, julang sering disebut sebagai ‘Petani Hutan’ yang mampu menyebarkan biji-biji dari sisa buah yang dimakannya dalam cakupan terbang hingga rentan 100 kilometer persegi. Saat biji-biji dari sisa buah saat jatuh di tanah, nantinya akan menjadi bibit dari pepohonan dan suatu saat menjadi pohon-pohon besar. Artinya, julang berandil besar dalam regenerasi hutan.

“Pertambangan ilegal yang sudah merambat kawasan CA Panua bisa dipastikan sangat mengganggu habitat dan populasi julang sulawesi. Apalagi, pertambangan ilegal itu menggunakan alat berat,” Kata Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa kepada Mongabay, akhir Agustus lalu

Pertambangan ilegal, kata Yoki, akan memberikan akses seluas-luasnya untuk masyarakat sekitar dalam melakukan perburuan. Apalagi, ada kepercayaan beberapa warga Indonesia yang menggapan kepala julang sulawesi memiliki nilai spiritual yang bisa menjadi penolak bala, dan dipercaya sebagai simbol kemapanan.

“Setiap ada pertambangan ilegal, pasti ada warga yang melakukan perburuan menggunakan senjata. Hal ini yang pasti akan terjadi secara terus menerus di CA Panua jika tambang ilegal itu tidak ditindak,” ujarnya

Sutan Sahala Muda Marpaung penilit dan Mahasiswa S3 Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB juga mengaku geram dengan aktivitas pertambangan ilegal yang sudah merambat dalam kawasan CA Panua. Aktivitas terlarang itu, pasti juga akan memberikan kontribusi besar terhadap deforestasi hutan di Pohuwato.

Cagar alam Panua, terjarah tambang emas. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Cagar alam Panua, terjarah tambang emas. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Global Forest Watch mencatat, sejak 2002 sampai 2021, Pohuwato kehilangan 16.2 ribu hektar hutan primer basah, menyumbang 44% dari tutupan pohon dalam periode yang sama. Sementara itu, sejak tahun 2001 hingga 2021, Pohuwato kehilangan 37.8 ribu hektare tutupan pohon, setara dengan penurunan 9.4% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 25.4Mt emisi CO₂e.

Sutan Sahala menegaskan, Pemerintah daerah Kabupaten Pohuwato bersama BKSDA serta aparat penegak hukum lainnya harus secepatnya bertindak untung dengan aktivitas yang sangat merusak lingkungan. Ia bilang, jika aktivitas itu dibiarkan, maka akan berdampak burung terhadap kabupaten Pohuwato ke depan, termasuk biodiversity yang ada di wilayah itu, salah satunya julang sulawesi.

Sutan Sahala menyarankan, pemerintah setempat harus membuat rencana strategis konservasi bagi julang sulawesi yang terdampak dari aktivitas pertambangan ilegal. Pemerintah setempat juga diminta segera menertibkan dan menghentikan aktivitas terlarang tersebut.

“Untuk menindaki aktivitas terlarang itu perlu ada kolaborasi berbagai lembaga, untuk menyusun strategi konservasi semua biodiesel yang ada di dalamnya, termasuk burung julang sulawesi,” kata Sutan Sahala Muda Marpaung kepada Mongabay, akhir Agustus lalu

Sementara, Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pohuwato mengaku Pemerintah Kabupaten Pohuwato sedang melakukan koordinasi berbagai lembaga dan berbagai pihak untuk mencari solusi dalam menindaki semua pertambangan ilegal yang ada di Kabupaten Pohuwato, termasuk yang ada di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo. Ia bilang, harus ada pendekatan yang konkrit dalam mengatasi masalah tersebut.

Sayangnya, pada pertengahan Agustus lalu, Abdul Mutalib Palaki mengatakan, sudah ada 6 unit ekskavator yang sudah melakukan aktivitas pertambangan ilegal dalam kawasan CA Panua. Ia mengaku sudah menghalangi aktivitas itu, tapi warga sekitar tetap menerobos masuk dalam kawasan CA Panua tanpa memikirkan dampaknya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situ Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.