Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali

Perempuan Morowali yang terdampak proyek hilirisasi nikel. (Foto: SP Palu)
Perempuan Morowali yang terdampak proyek hilirisasi nikel. (Foto: SP Palu)
  • Hilirisasi nikel yang sering digaungkan justru tidak dirasakan oleh warga, termasuk perempuan di lingkar smelter nikel di Morowali.
  • Akibat keberadaan PLTU Captive di pabrik pemurnian nikel, suhu air laut di pesisir Dusun Kurisa, Morowali, Sulawesi Tengah mencapai 31,4° Celcius.
  • Dampak lanjutnya, para perempuan di Morowali kesulitan mencari ikan dan kerang di laut. Hal itu disebabkan keberadaan kapal-kapal pengangkut batubara.
  • Mereka pun juga kesulitan untuk mendapatkan akses air, hingga harus membayar Rp20.000/liter untuk mendapatkan air bersih.

Hilirisasi nikel yang diklaim telah menaikan pertumbuhan ekonomi daerah sampai 15 persen karena investasi dan ekspor justru menimbulkan kesenjangan baru. Berdasarkan data BPS 17 Juli 2023, tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah sebagai daerah penghasil nikel justru mengalami peningkatan dari 12,30% pada 2022 menjadi 12,41% pada 20231.

Artinya, “keberhasilan” hilirisasi nikel yang sering digaungkan justru tidak dirasakan oleh warga yang mengalami dampak langsung dari keberadaan industri nikel tersebut.

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) juga menemukan, selain persoalan ekonomi, proyek hilirisasi nikel memberikan dampak lingkungan. Dimana, buangan air bahang PLTU captive menyebabkan suhu air laut di pesisir Dusun Kurisa, Morowali, Sulawesi Tengah mencapai 31,4° Celcius.

“Peningkatan suhu ini berpotensi mengancam ekosistem Terumbu Karang dan Lamun serta berpengaruh pada kesehatan masyarakat pesisir,” tulis AEER seperti rilis yang diterima.

Tak hanya itu, perubahan pola mata pencaharian juga dirasakan oleh warga Morowali. Ibu E, salah satu warga mengungkapkan sebelum hadirnya industri nikel, desanya merupakan desa yang sejahtera. Misalnya, kemudahan untuk mencari berbagai jenis ikan dan kerang bisa dilakukan dalam waktu singkat.

“Dulu, jam 7 sampai jam 10 sudah dapat beragam jenis ikan. Saat ini, walau berangkat dari jam 7 sampai sore ikan sudah susah didapat dikarenakan banyaknya kapal-kapal yang mengangkut batubara (captive),” ujarnya.

Bukan hanya itu, saat ini warga justru kesulitan mendapatkan sumber air. Bahkan kini harus membayar Rp20.000/liter untuk mendapatkan air bersih.

Ibu E juga mengeluh kebun-kebun yang tidak lagi bisa panen tiap tahun karena tertutup oleh debu kendaraan milik perusahaan. Warga Morowali juga terserang penyakit kulit misterius yang diduga disebabkan oleh polusi perusahaan.

“Jika mau dibilang ketinggalan, desa kami sangat tidak pantas. Akan tetapi, jangankan sejahtera, menuju sejahtera saja tidak bisa. Untuk pemerintah, dimana janji kalian? Kami protes saja dianggap provokator,” ucapnya.

Merasakan hal yang serupa, warga Desa Morowali Utara, juga mengeluh sulitnya mendapat Meti (Kerang sungai) yang berkualitas karena saat ini banyak Meti yang mengandung pasir di dalamnya.

Ibu Y, salah satu warga mengaku dulunya dapat menyekolahkan anaknya hanya dengan menjual Meti, namun saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun semakin sulit. Katanya, para perempuan sudah tidak bisa mengupas Meti.

“Contohnya saya, sekarang sudah tidak dan karena Meti yang sudah semakin sulit didapatkan akibat tersedot Penambang pasir yang didistribusikan untuk pembangunan beberapa perusahaan antaranya GNI,” jelasnya

“Dulunya kami bisa mendapatkan Rp.20.000,- sampai Rp.25.000,- per jam. Mereka beralih menjual makanan,” sambungnya

Terlebih, dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat berasal dari para pekerja perusahaan, banyak kos-kosan yang dibangun tanpa memperhatikan pembuangan limbah rumah tangga.

Akibatnya, Sungai La di Morowali Utara yang menjadi sumber air bersih warga menjadi tercemar dan warga pun sulit mendapatkan akses air bersih.

“Kami harus membeli air galon, walaupun ada sumur tapi kalau cuaca sedang panas air sumur berubah jadi kuning dan air sumur menjadi kering. Istilahnya lebih gampang mencari meti di darat, daripada mencari meti di sungai,pungkasnya.

Keluhan warga tersebut direspon oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tengah In’am Fathoni Burhanuddin. Menurutnya, masyarakat bisa melaporkan langsung dampak yang dirasakan kepada pihaknya.

Ia pun menyatakan bahwa warga sebenarnya dapat mengakses dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dari perusahaan-perusahaan terkait.

“Masyarakat bisa juga melaporkan kepada Dinas Lingkungan Hidup terkait pencemaran udara akibat dari aktivitas PLTU Batubara,” ujarnya.

Sementara, Mahfud Masuara S.H, calon DPRD Provinsi Sulteng terpilih nanti, juga berjanji akan membuat kerangka pengaman (safeguard) bagi masyarakat di lingkar tambang.

Pius Ginting dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bilang kalau pemerintah seharusnya punya paradigma yang berbeda dalam hal peningkatan ekonomi. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, menggantikan paradigma ekonomi yang sekadar tinggi saja.

“Soalnya peningkatan ekonomi semata itu bermasalah, hanya menghasilkan penggusuran petani, upah buruh murah dan penyingkiran nelayan,” katanya

Menurut Yayasan Tanah Merdeka (YTM), sejak adanya pertambangan di Morowali Utara, para perempuan pembela HAM semakin tersingkir dari ruang produksi.

“Dalam hal ini produksi meti jadi menurun dan para perempuan jadi memilih pekerjaan lain, karena mencari meti (kerang) sudah jarang, terutama di Desa Towara dan Tompira,” katanya

Selain itu, menurut YTM pula, dengan adanya pertambangan nikel yang salah kelola para pekerja perempuan juga rentan akan kesehatan dan keselamatan kerjanya.

“Tak ada perhatian khusus perusahaan terhadap perempuan menyusui misalnya, dengan menyediakan ruang laktasi seperti di PT. IMIP,” jelasnya

YTM mengingatkan soal Nirwana Selle menjadi tumbal pada tahun 2022 di PT. GNI gara-gara perusahaan abai terhadap keselamatan pekerja.

“Kejadian di PT. ITSS pada 24 Desember 2023 silam, yang menewaskan 21 pekerja juga menjadi salah satu contoh perusahaan abai soal keselamatan bagi karyawan,” katanya

Adapun menurut Solidaritas Perempuan (SP) Palu mengatakan, pengrusakan ruang hidup dan sumber-sumber kehidupan perempuan ini adalah bentuk kekerasan yg dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah.

Menurut SP Palu, pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap pengrusakan yang dilakukan oleh perusahaan kepada ruang hidup perempuan di Morowali.

Seharusnya, kata SP Palu, pemerintah harus tegas terhadap perusahaan maupun investasi yang merusak lingkungan, termasuk merusak sumber-sumber kehidupan perempuan di Morowali.

“Pemerintah harus mengimplementasikan peraturan perlindungan perempuan, masyarakat dan lingkungan di sekitar Tambang,” pungkasnya

 


Penulis: SP Palu

Staf Redaksi Benua Indonesia