Kala Sawah di Kota Gorontalo Susut, Penyebabnya?

Lahan sawah makin terdesak pemukiman. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Lahan sawah makin terdesak pemukiman. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Lahan sawah di Kota Gorontalo terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada 2015, sawah seluas 852 hektar, pada 2016 dan 2017 jadi 843 hektar. Pada tahun 2020, luasan sawah tinggal 795 hektar atau sekitar 57 hektar beralih fungsi sejak 2015. Penyusutan lahan sawah ini khawatir menggangu pasokan pangan masyarakat di Kota Gorontalo.
  • Nurdin, dosen Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, mengatakan, Kota Gorontalo, mulai berkembangDengan luas 79,03 km2 dan penduduk 198.539 pada 2020, peningkatan pembangunan infrastruktur mengubah wajah kota yang relatif sederhana mengikuti perkembangan zaman. Hal itu yang mendorong dan jadi pemicu utama sawah di Kota Gorontalo makin berkurang.
  • Sejak tahun lalu, Pemerintah Kota Gorontalo mulai menerapkan pertanian berkelanjutan dengan mencanangkan 430 hektar dari 795 hektar sawah sebagai sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
  • Marten Taha, Wali Kota Gorontalo, mengatakan, Pemerintah Kota Gorontalo berkomitmen mempertahankan lahan pertanian tersisa untuk menjaga ketahanan pangan. Selain itu, juga mengalokasikan anggaran melalui dana APBD II pada 2022 berupa bantuan tanaman cabai rawit 3.468 pohon bagi kelompok warga.

Luasan sawah di Kota Gorontalo terus berkurang atau mengalami degradasi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, sejak 2015 hingga 2020 menunjukan lahan sawah yang beralih fungsi ada sekitar 57 hektar. Pengurangan lahan tersebut dikhawatirkan akan terus terjadi dan berimbas pada ketahanan pangan masyarakat di Kota Gorontalo.

Detailnya, lahan sawah di Kota Gorontalo pada tahun 2015 ada sekitar 852 hektar, pada 2016 dan 2017 berkurang menjadi 843 hektar. Pengurangan luasan lahan juga terjadi pada tahun 2018 yang tinggal 833 hektar, dan 2019 yang tinggal 828 hektar. Alhasil, pada tahun 2020, luasan lahan sawah di Kota Gorontalo tinggal 795 hektar atau ada sekitar 57 hektar yang beralih fungsi sejak tahun 2015.

“Pengurangan lahan sawah yang terus terjadi setiap tahun bisa memicu ancaman ketahanan pangan di Kota Gorontalo. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah Kota Gorontalo dalam mempertahankan sawah yang masih ada,” Nurdin, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, kepada Mongabay awal Desember 2022 lalu.

Kota Gorontalo memang menjadi titik awal perkembangan Provinsi Gorontalo yang dicirikan dengan arus urbanisasi dan degradasi lahan di ruang perkotaan. Miliki luas wilayah 79,03 km2 dan jumlah penduduk 198,539,00 [tahun 2020], peningkatan pembangunan infrastruktur kota telah mampu mengubah wajah kota yang relatif sederhana secara perlahanan berubah mengikuti perkembangan zaman. Hal itu yang mendorong dan menjadi pemicu utama luasan sawah di Kota Gorontalo makin berkurang.

Tak hanya itu, kondisi kota yang perlahan berubah mengikuti perkembangan zaman menjadi pendorong utama masyarakat untuk melakukan migrasi dari desa ke kota. Urbanisasi memberikan andil dalam laju pertumbuhan penduduk di Kota Gorontalo. Laju pertumbuhan penduduk Kota Gorontalo tahun 1990 hingga tahun 2000 mencapai 1,20%, dan tahun 2000 hingga tahun 2010 mencapai 2,93%, dan tahun 2010 hingga tahun 2020 mencapai 0,95%.

Namun, kata Nurdin, pertumbuhan penduduk di Kota Gorontalo sangat berbanding terbalik dengan luasan sawah yang semakin berkurang. Harusnya, lahan sawah yang ada di Kota Gorontalo harus ditambah, mengikuti pertumbuhan penduduk, bukan mala berkurang. Pasalnya, ketersediaan lahan pertanian bisa menjamin kebutuhan masyarakat yang ada di Kota Gorontalo. Namun, jika hal tersebut tidak beriringi, maka akan mengancaman ketahanan pangan masyarakat.

Sebenarnya, Pemerintah Indonesia telah membuat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Lahan Berkelanjutan. Undang-undang itu bertujuan untuk; melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Bukan hanya itu, undang-undang itu juga akan melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; mempertahankan keseimbangan ekologis; dan mewujudkan revitalisasi pertanian.

Sayangnya, Nurdin menilai, perlindungan lahan pertanian lahan berkelanjutan di Kota Gorontalo masih jauh dari harapan. Alih fungsi lahan terutama lahan-lahan sawah terus terjadi akibat pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan perkantoran, dan perumahan. Katanya, kondisi itu akan memberikan dampak buruk terhadap ketahanan pangan dan petani yang ada di Kota Gorontalo.

Pemerintah Kota Gorontalo melalui Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Gorontalo hanya akan mempertahankan 430 hektar yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dari sisa lahan sawah yang tinggal 795 hektar. Lahan sawah yang masuk dalam LP2B terdapat di Kecamatan Kota Timur, Sipatana dan Kota Utara. Desain Tata Ruang Wilayah LP2B juga sudah ditandatangani bersama Dinas PUPR Kota Gorontalo sejak tahun lalu.

“Setiap hari, lahan sawah di Kota Gorontalo memang berkurang dan itu yang harus perlu diperhatikan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Lahan Berkelanjutan, kita harus mempertahankan lahan sawah yang menjadi sumber pangan utama masyarakat,” kata Yurita Walangadi Kepala Bidang Pertanian, Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Gorontalo

Luasan Panen Padi Menurun

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo menyebutkan terjadi pergeseran puncak panen padi pada 2022 dibandingkan dengan tahun 2021. Puncak panen padi tahun 2021 terjadi pada bulan Februari dengan luas panen sebesar 7,66 ribu hektare, sedangkan puncak panen padi tahun 2022 terjadi pada bulan Januari dengan luas panen sebesar 6,28 ribu hektare.

Realisasi panen padi sepanjang Januari-September 2022 sebesar 39,48 ribu hektare, atau mengalami penurunan sekitar 0,99 ribu hektare atau 2,43 persen dibandingkan Januari-September 2021 yang mencapai 40,47 ribu hektare. Sementara itu, potensi luas panen padi pada Oktober−Desember 2022 sekitar 9,01 ribu hektare.

Dengan demikian, total luas panen padi pada 2022 diperkirakan sebesar 48,50 ribu hektare, atau mengalami penurunan sekitar 0,22 ribu hektare atau 0,44 persen dibandingkan luas panen padi pada 2021 yang sebesar 48,71 ribu hektare.

Menariknya, produksi padi di Provinsi Gorontalo sepanjang Januari-September 2022 sebesar 208,73 ribu ton gabah kering panen (GKP), atau mengalami kenaikan sekitar 15,64 ribu ton GKP atau 8,10 persen dibandingkan Januari−September 2021 yang sebesar 193,09 ribu ton GKG.

Sementara itu, berdasarkan amatan fase tumbuh padi hasil Survei BPS Provinsi Gorontalo menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA) Padi September 2022, potensi produksi padi sepanjang Oktober-Desember 2022 adalah sebesar 40,98 ribu ton GKG.

Dengan demikian, total produksi padi pada 2022 diperkirakan sebesar 249,71 ribu ton GKG, atau mengalami kenaikan sebanyak 15,32 ribu ton GKG atau 6,53 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 234,39 ribu ton GKG. Produksi padi tertinggi pada 2021 terjadi di bulan Februari dan produksi padi tertinggi pada 2022 terjadi di bulan Januari.

Adapun produksi padi terendah pada 2022 diperkirakan terjadi di bulan November dan produksi padi terendah pada 2021 terjadi pada bulan Desember. Produksi padi pada Januari 2022 sebesar 35,00 ribu ton GKG, sedangkan produksi padi pada November 2022 diperkirakan sebesar 8,65 ribu ton GKG.

Tiga kabupaten/kota dengan total produksi padi GKG tertinggi pada 2022 adalah Kabupaten Gorontalo, Boalemo, dan Gorontalo Utara. Sementara itu, Kota Gorontalo menjadi daerah yang paling terendah produksi padinya setelah Kabupaten Pohuwato, dan Bone Bolango.

Syahrin Kadir, warga Kelurahan Dulomo Utara, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo menjadi salah satu petani padi sawah yang terdampak akibat penurunan produksi padi pada bulan November 2022 lalu . Sawahnya yang awalnya bisa memproduksi sekitar 2.500 kilogram GKG, kini hanya bisa memproduksi sekitar 700 kilogram GKG.

Akibat penurunan produksi itu, Syahrin Kadir mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah. Ia bilang, rekan-rekannya yang juga merupakan petani petani padi sawah mengalami hal serupa. Mayoritas sawah-sawah yang ada di wilayahnya mengalami gagal panen akibat musim yang sudah sulit untuk diprediksi.

“Kami sangat terpukul dengan panen pada bulan November itu. Kita tidak berbuat banyak saat kondisi musim yang tidak menentu itu. Banyak petani yang gagal panen, termasuk saya,” kata Syahrin Kadir kepada Mongabay, awal Desember lalu.

Lahan sawah di Kota Gorontalo, makin menyusut. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Lahan sawah di Kota Gorontalo, makin menyusut. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dampak Alih Fungsi Lahan

Syahrin Kadir bilang, Kota Gorontalo menjadi daerah yang paling rendah produksi padi tak lepas dari dampak dari alih fungsi lahan yang terus terjadi. Pembangunan pemukiman, perumahan, serta perkantoran pemerintahan hingga swasta menjadi penyebab utama luasan sawah di Kota Gorontalo makin berkurang.

Saat ini, kata Syahrin, ada sejumlah sawahnya sementara ditawar oleh salah satu perusahaan properti untuk pembangunan perumahan. Namun, dirinya belum menyetujui karena tak ingin kehilangan harga peninggalan orang tuanya itu. Menjadi petani padi sawah merupakan pekerjaan satu-satunya yang sejak dulu digeluti.

“Jika saya menjual sawah saya untuk dijadikan perumahan, saya akan kerja apa lagi?. Hanya menjadi petani padi sawah yang saya bisa lakukan. Pesan orang tua saya juga tidak bisa menjual harga walau kondisi apapun,” jelas Syahrin Kadir yang juga merupakan Ketua Kelompok Petani Mangga Dua Dulomo Utara

Laju tekanan urbanisasi, pembangunan infrastruktur kota, pembangunan kompleks militer, perkantoran, perumahan, pusat perdagangan, pendidikan, dan prasarana rekreasi mengakibatkan akselerasi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) akan mengurangi daerah resapan air yang mengakibatkan penurunan hasil produksi pertanian yang berdampak pada krisis pangan.

Dampak dari alih fungsi lahan di Kota Gorontalo sebenarnya sudah terbukti dalam jurnal penelitian milik Faisal Dunggio dan Irwan Wunarlan berjudul “Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Perubahan Iklim di Kota Gorontalo.” Riset ini satu riset bidang teknik industri dan termuat di Jurnal Teknik terbitan Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo pada 2013.

Dari penelitian itu menyebutkan, degradasi lahan karena alih fungsi berpengaruh pada perubahan iklim. Terdapat korelasi sangat kuat antara perubahan alih fungsi lahan perumahan, kantor pemerintah, pertokoan dengan kenaikan suhu di Kota Gorontalo.

Lokasi yang memiliki akselerasi alih fungsi lahan yang cukup tinggi adalah Kecamatan Kota Utara dan Kecamatan Kota Tengah. Hal ini disebabkan pada kedua lokasi tersebut memiliki harga lahan masih rendah, memiliki aksesibilitas yang baik ke pusat kota dan infrastruktur kota yang tersedia sangat menunjang untuk dikembangan atau dialih fungsikan ke lahan terbangun.

Tingginya nilai alih fungsi lahan di Kota Gorontalo disinyalir memicu perubahan iklim wilayah kota sehingga mengurangi kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas. Selain itu, akselerasi alih fungsi lahan di Kota Gorontalo telah memberi dampak perubahan parameter iklim di wilayah Kota Gorontalo seperti naiknya suhu atau temperatur, meningkatnya intensitas curah hujan, dan kelembaban nisbi.

Hal itu dikhawatirkan berpengaruh terhadap kenaikan permukaan air laut (rob) dan banjir di Kota Gorontalo yang dapat melumpuhkan aktivitas sosial ekonomi serta aktivitas pemerintahan akibat beralihnya lahan daerah resapan menjadi daerah terbangun sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan.

Kondisi itu yang sebenarnya ditakutkan oleh Nurdin, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. Ia bilang, apabila praktek penataan ruang tidak mampu mengendalikan tekanan urbanisasi yang sangat cepat dengan segenap dampak negatifnya, maka kota akan tumbuh tak terkendali sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi gagal.

“Produksi padi di Kota Gorontalo kemungkinan tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduknya. Itulah nantinya dampak dari alih fungsi lahan dan makin berkurangnya sawah-sawah yang ada di Kota Gorontalo,” kata Nurdin

Lahan pertanian sawah di Kota Gorontalo, terdesak. Pemerintah Kota Gorontalo sudah mencanangkan 400 gektar lebih lahan jadi pertanian berkelanjutan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Lahan pertanian sawah di Kota Gorontalo, terdesak. Pemerintah Kota Gorontalo sudah mencanangkan 400 gektar lebih lahan jadi pertanian berkelanjutan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Harus ada Pertanian Berkelanjutan

Menurut Nurdin, solusi dalam menekan dampak dari alih fungsi lahan dalam wilayah perkotaan yaitu dengan cara melakukan pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pasalnya, pembangunan pertanian berperan strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis tersebut ditunjukkan oleh perannya dalam pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, dan pakan.

Selain itu, kata Nurdin, pembangunan pertanian berkelanjutan dapat menyerap tenaga kerja, menjadi sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Katanya, pembangunan pertanian yang berkelanjutan sebagai bagian dari implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Nurdin bilang, pembangunan pertanian yang berkelanjutan merupakan isu penting strategis yang menjadi perhatian dan pembicaraan di semua negara. Salah satu tantangan pembangunan pertanian ke depan adalah mempertahankan keberlanjutan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.

“Pembangunan pertanian yang berkelanjutan ada hajat hidup orang banyak, karena yang dibangun adalah bahan pangan yang menjadi kebutuhan manusia. Hal itu yang harus dibangun kembali di Kota Gorontalo,” katanya

Menurutnya, perspektif pertanian berkelanjutan perlu ditempuh mengingat jumlah penduduk Kota Gorontalo yang sangat besar sementara sumber daya alam sangat terbatas. Selain itu, pencapaian pertanian berkelanjutan sudah menjadi komitmen negara dalam rangka menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs).

Pemerintah Indonesia sudah membuat Undang-Undang Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Aturan itu sebagai upaya mengenalkan pola pertanian berkelanjutan yang harus diterapkan di semua daerah di Indonesia.

Dalam aturan itu dijelaskan bahwa sistem pembangunan berkelanjutan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan di bidang pertanian melalui sistem budidaya pertanian untuk mencapai kedaulatan pangan dengan memperhatikan daya dukung ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim guna mewujudkan sistem pertanian yang maju, efisien, tangguh, dan berkelanjutan

“Pertanian berkelanjutan bukan pilihan tetapi adalah keharusan. Hal itu juga merupakan kewajiban mematuhi komitmen SDGs dan menjadi hal yang urgen untuk diterapkan di seluruh wilayah.

Sejak tahun lalu, Pemerintah Kota Gorontalo perlahan mulai menerapkan pertanian yang berkelanjutan dengan menjadikan 430 hektar dari 795 hektar lahan sawah untuk dijadikan sebagai sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

Wali Kota Gorontalo, Marten Taha mengatakan, Pemerintah Kota Gorontalo akan berkomitmen untuk mempertahankan kawasan pertanian yang masih tersisa untuk menjaga ketahanan pangan. Selain itu, pihaknya mengalokasikan anggaran melalui dana APBD II pada tahun 2022 berupa bantuan tanaman cabai rawit sebesar 3.468 pohon yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat.

Pemerintah Kota Gorontalo juga memperoleh alokasi anggaran melalui dana APBN dari Kementerian Pertanian RI berupa sarana dan prasarana pertanian dalam mendukung kegiatan ketahanan pangan di Kota Gorontalo.

Dengan itu, Marten meyakini, Kota Gorontalo yang merupakan ibukota Provinsi Gorontalo dan menjadi kota perdagangan dan jasa, bisa mempertahankan eksistensi usaha pertanian perkotaan dan dapat mengimplementasikan pembangunan pertanian berkelanjutan.

“Sektor pertanian di Kota Gorontalo cukup memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penghasilan petani sekaligus menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat. Kita sudah berkomitmen untuk mempertahankan itu,” kata Marten Taha akhir November lalu.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.