Proyek Strategis Nasional jadi Sumber Pelanggaran HAM

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). (Foto: KPA)
  • Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang-gadang mempercepat pertumbuhan ekonomi, justru sumber konflik dan pemicu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
  • Riset Komnas HAM menemukan, PSN berdampak negatif pada pelaksanaan HAM; baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta hak-hak kelompok rentan.
  • Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM mengatakan, tata kelola PSN yang tidak memperhatikan HAM sering kali menjadi akar masalah terjadinya pelanggaran.
  • Selain menjadi sumber konflik, Komnas HAM menemukan, bahwa PSN gagal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang inklusif.

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang-gadang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Indonesia, justru menimbulkan pelbagai dampak serius terhadap masyarakat. Alih-alih mensejahterakan, PSN menjadi sumber konflik dan pemicu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Hal itu tergambar jelas dalam sebuah penelitian yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Muhammadiyah dengan judul “Dampak Proyek Strategis Nasional terhadap Hak Asasi Manusia” yang terbit pada awal Desember 2024 lalu.

Dalam riset itu, Komnas HAM mengkritik integrasi prinsip-prinsip HAM dalam pembangunan nasional yang masih sangat kurang. Pemerintah cenderung lebih mementingkan bisnis dan investasi, yang memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi dengan dukungan fasilitas negara yang tidak seimbang.

Dengan pendekatan yang terlalu fokus pada penyelesaian proyek, banyak PSN yang mengabaikan dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan. Proyek-proyek ini seringkali hanya mengutamakan keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat atau pemenuhan HAM.

Baca juga: Delusi Proyek Bendungan Bulango Ulu

Riset itu menemukan, PSN berdampak negatif pada pelaksanaan HAM; baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta hak-hak kelompok rentan, yang menunjukkan kegagalan PSN dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan pemerataan pembangunan.

Data Komnas HAM menunjukkan bahwa PSN telah menjadi sumber pelanggaran HAM, dengan setidaknya 114 aduan kasus yang ditangani di berbagai daerah. Pelanggaran tersebut meliputi hak untuk berpartisipasi, hak atas informasi, hak atas rasa aman, serta hak atas pekerjaan dan tempat tinggal yang layak.

Riset itu menyimpulkan bahwa pembangunan PSN sering kali mengabaikan prinsip-prinsip HAM dalam hal tata kelola, pengadaan lahan, kerusakan lingkungan dan sumber daya alam (SDA), pengerahan aparat keamanan dan lembaga penegak hukum, serta Tidak adanya mekanisme pengaduan dan pemulihan HAM.

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM mengatakan, dari lima aspek yang ditemukan dalam riset itu menjadikan PSN tidak hanya sebagai sarana pembangunan ekonomi, tetapi juga sebagai sumber pelanggaran hak-hak dasar masyarakat.

Misalnya, kata Anis, tata kelola PSN yang tidak memperhatikan HAM sering kali menjadi akar masalah terjadinya pelanggaran. Proses penetapan PSN yang dilakukan secara top-down dan eksklusif, katanya, mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.

“Mulai dari penyusunan kebijakan, AMDAL, penetapan lokasi PSN, bentuk PSN sangat minim pelibatan masyarakat. Bahkan, beberapa PSN dibuat mendahului kebijakannya,” kata Anis Hidayah saat memberikan sambutan dalam peluncuran riset pada Desember 2024 lalu.

Selain itu, kata Anis, dalam pengadaan lahan justru dilakukan secara paksa dan sering kali melibatkan aparat keamanan hingga menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat. Termasuk melakukan intimidasi, kekerasan, penggunaan kekuasaan berlebih, manipulasi, serta appraisal yang tidak independen. Ia bilang, warga sangat dirugikan.

Baca juga: Potret Food Estate Kalteng: Ditanam Padi, Justru Tumbuh Sawit

Misalnya, dalam pembangunan PSN Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, terjadi dugaan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan lahannya. Pada 25 September 2024, salah seorang warga mengadukan kepada Komnas HAM bahwa dirinya diintimidasi dan dihalangi mengakses lahannya yang berada di tengah kawasan KIHI.

Warga tersebut mengungkapkan bahwa ia ditangkap oleh aparat keamanan karena menolak melepaskan tanahnya, dan penangkapan serupa juga terjadi pada warga lainnya yang merasa dijebak. Warga tersebut diberi pilihan untuk dibebaskan jika bersedia menyerahkan lahannya dengan harga yang ditentukan pengelola KIHI.

“Sehingga ketika pemerintah memberikan ganti rugi, pasti masyarakat yang sangat merugikan. Masalah ini yang kami temukan dalam riset ini,” jelasnya.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)
Sejumlah organisasi masyarakat sipil melakukan aksi penolakan food estate. (Foto: KPA)

Menurutnya, pengerahan aparat keamanan dan lembaga penegak hukum untuk mengamankan PSN dikategorikan sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas) berpotensi melanggar hak-hak masyarakat yang terdampak. Berdasarkan PP No. 42/2021 dan Inpres No. 1/2016, katanya, memicu penggusuran paksa, khususnya terhadap komunitas adat, petani, dan nelayan yang sering kehilangan tanah mereka.

Tak hanya itu, kata Anis, kerusakan lingkungan dan SDA akibat pembangunan PSN, seperti pencemaran air, udara dan deforestasi, menjadi masalah serius yang terabaikan oleh pemerintah. Mekanisme izin lingkungan dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) seringkali hanya menjadi formalitas tanpa memadai untuk mengendalikan kerusakan yang terjadi.

Hal itu terlihat jelas dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan lainnya, yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat, terutama yang bergantung pada lahan pertanian. Dampak negatif ini tidak hanya merugikan masyarakat lokal, tetapi juga berkontribusi pada krisis iklim global dan menambah ketidakstabilan sosial dan ekonomi.

Disisi lain, katanya, pencitraan pembangunan ramah lingkungan yang dilakukan pemerintah seringkali tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Proyek seperti Kawasan Industri Hijau Indonesia dan Rempang Eco City yang diklaim ramah lingkungan, pada kenyataannya, membawa dampak besar terhadap ekosistem dan memperburuk krisis iklim.

Baca juga: Hilirisasi Nikel Berujung Kriminalisasi Warga Morowali

Bukan hanya itu, kata Anis, tidak adanya mekanisme pengaduan dan pemulihan HAM dalam pembangunan PSN menyebabkan pelanggaran HAM tidak dapat ditangani dengan baik. Hal ini berdampak kepada akuntabilitas dan transparansi dalam penanganan dampak PSN terhadap HAM.

“Jadi, standar merespon permasalah dan mitigasi masalah dalam proses pembangunan PSN tidak disediakan oleh pemerintah. Ini cukup merugikan masyarakat sekitar PSN,” ujarnya.

Dari riset itu, Komnas HAM menyimpulkan bahwa dalam pembangunan PSN telah terjadi dugaan serangkaian pelanggaran HAM, terutama hak atas kesejahteraan, hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak-hak kelompok rentan.

Memiskinkan Masyarakat

Selain menjadi sumber pelanggaran HAM, Komnas HAM menemukan, bahwa PSN gagal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang inklusif. Di mana, daerah-daerah dengan proyek hilirisasi nikel, angka kemiskinan rata-rata justru lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan nasional.

Data BPS juga mengungkapkan bahwa PSN hanya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9 persen, jauh dari target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 7 persen, untuk periode 2015-2023. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara harapan dan hasil yang tercapai dalam implementasi PSN.

Mimin Dwi Hartono, Koordinator Penulis dalam riset Komnas HAM mengatakan, potret kemiskinan di daerah hilirisasi nikel itu ternyata disebabkan oleh penggunaan bahan baku impor, baik tenaga kerjanya ataupun teknologinya. Ia bilang, kondisi yang membuat PSN tidak memberikan dampak positif secara signifikan terhadap ekonomi.

Selain itu, kata Mimin, alih fungsi lahan untuk PSN yang mengurusi lahan-lahan produktif juga menjadi salah satu faktor, karena banyak warga sekitar PSN terpaksa berhenti bertani atau beralih profesi akibat lahan mereka tergerus. Di sisi lain, kata dia, terdapat kesenjangan antara kebutuhan lapangan kerja di wilayah PSN dan keahlian masyarakat.

Baca juga: Food Estate di Papua: Ketahanan Pangan atau Kehancuran Alam?

Ia juga mengungkapkan adanya informalisasi sektor ketenagakerjaan di PSN, yang menyebabkan meningkatnya pekerja informal dibandingkan pekerja formal, sehingga menyimpang dari tujuan proyek tersebut. Secara umum, katanya, Insentif PSN tidak mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas.

“Hal ini yang kemudian menjadi faktor dari pertumbuhan ekonomi dari PSN tidak sesuai dengan harapan. Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin di wilayah-wilayah yang ada PSN,” kata Mimin Dwi Hartono dalam peluncuran riset pada Desember 2024 lalu.

Dalam riset CELIOS dan CREA juga menemukan, bahwa proyek hilirisasi nikel mengakibatkan degradasi lingkungan serta berdampak pada penurunan manfaat ekonomi secara bertahap. Selain itu, dampak ekologi dan biaya kesehatan pada pekerja dan masyarakat lokal tidak dapat dimitigasi sepenuhnya.

CREA memperkirakan jumlah kematian yang terkait dengan sektor ini akan meningkat secara signifikan, dari 215 kasus pada 2020 menjadi 3.833 kasus pada 2025, hampir 18 kali lipat dalam lima tahun. Tanpa intervensi yang berarti, jumlah kematian diperkirakan akan terus meningkat menjadi 4.982 pada 2030 dan 8.325 pada 2060, seiring dengan pertumbuhan kapasitas produksi.

Senada, Rais Laode Sabania, Divisi Pendamping Hukum Rakyat (PHR) dari Perkumpulan HuMa juga mengatakan, meskipun pemerintah memiliki keinginan untuk meningkatkan ekonomi melalui PSN, kenyataannya banyak pelanggaran HAM yang mengurangi kualitas hidup masyarakat.

Ia mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penelitian serupa di lima pulau terbesar di Indonesia terkait dampak PSN dengan pendekatan partisipatif, yaitu Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Pendekatan ini memberikan hak kepada masyarakat adat untuk menyetujui atau menolak tindakan yang dapat mempengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka.

“Faktanya di lapangan, hasil riset sementara yang kami lakukan hampir serupa dengan temuan Komnas HAM, yaitu terjadi perampasan tanah akibat PSN yang bertentangan dengan tujuan proyek itu sendiri,” kata Rais Laode Sabania kepada Mongabay, Senin 23 Desember 2024 lalu.

Alih-alih meningkatkan ekonomi, kata Rais, PSN justru menciptakan kemiskinan baru dengan merampas ruang hidup masyarakat adat. Wilayah yang dijadikan lokasi proyek bukanlah tanah kosong, melainkan tanah ulayat yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang bergantung pada hutan.

Baca juga: Mengurai Bom Waktu Krisis Agraria Warisan Buruk Jokowi

Bukan hanya itu, kata Rais, janji PSN untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya juga tidak solutif, karena tidak semua masyarakat adat akan terakomodir. Akibatnya, terjadi pergeseran budaya, dimana masyarakat adat seolah dipaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup. Ia bilang, masyarakat adat bisa jadi buruh di tanah sendiri.

Pembangunan PSN, kata Rais, berisiko merusak lingkungan dan ekosistem, serta mengancam keberlanjutan hidup manusia dan keanekaragaman hayati. Dampak negatif ini juga memperburuk ketidakstabilan sosial dan ekonomi, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.

“Prinsip FPIC dalam PSN harus dijalankan karena kejahatan pembangunan dimulai dari kejahatan informasi. Jika keterbukaan informasi tidak ada sejak awal, hal itu pasti akan menimbulkan konflik,” ujarnya.

Dengan berbagai dampak yang ditimbulkan dari PSN, menurut Anis Hidayah, Komnas HAM meminta pemerintah perlu meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.

Pemerintah juga diminta harus melakukan evaluasi mendalam dan partisipatif terhadap PSN yang telah berjalan serta menunda PSN yang akan datang. Evaluasi ini penting untuk menghasilkan laporan komprehensif tentang dampak-dampak PSN, yang akan menjadi dasar bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut.

Selanjutnya, pemerintah harus mengevaluasi proses penentuan dan penetapan daftar program PSN, terutama untuk memberikan kesempatan bagi semua pihak, terutama yang terdampak, untuk terlibat dalam memberikan masukan.

“Pemerintah juga harus membangun mekanisme akuntabilitas dan pemulihan atas pelanggaran HAM sebagai dampak pembangunan PSN,” kata Anis.

Juga perlu menarik mobilisasi pasukan Polri dan TNI yang berlebihan dalam pengamanan PSN, serta merumuskan ulang keterlibatan mereka secara proporsional dan sesuai kebutuhan. Selain itu, Polri dan TNI harus dibekali pemahaman HAM yang baik, dengan penekanan bahwa tugas mereka adalah melayani dan melindungi rakyat.

Berikutnya, kata Anis, pemerintah juga harus memastikan bahwa semua proyek pemerintah, termasuk PSN, baik yang dibiayai melalui APBN maupun kerja sama dengan swasta atau masyarakat, bertujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok atau kerabat.

Permintaan Anis sejalan dengan pidato pertama Presiden Prabowo Subianto dalam sidang MPR pada 20 Oktober 2024. Menurutnya, pemerintah harus memastikan pendekatan berbasis HAM dalam perencanaan pembangunan nasional untuk mendukung Program Asta Cita Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

“Semua rekomendasi dari hasil penelitian ini akan kami sampaikan kepada lembaga terkait, termasuk kepada Presiden RI,” pungkasnya.

 


Tulisan ini sebelumnya pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.