PSN Menggerus Otonomi Khusus dan Hak Orang Asli Papua

Masyarakat Adat. (Foto: Koalisi Masyarakat Adat)
Masyarakat Adat. (Foto: Koalisi Masyarakat Adat)

Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Provinsi Papua Selatan melalui Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 mengakibatkan persoalan yang serius.

Alih-alih mendorong terwujudnya tata ruang dan pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan, akselerasi PSN ke Merauke Provinsi Papua Selatan justru memperpanjang usia konflik agraria di wilayah tersebut.

Dalam peluncuran dan media briefing laporan desk hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang bertajuk PSN Menggerus Otsus dan Hak Orang Asli Papua memperlihatkan sejumlah masalah hukum, kelembagaan dan agraria terjadi.

Dalam penuturannya, Johny Teddy Wakum selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke mengungkapkan adanya penolakan masyarakat adat di berbagai distrik, termasuk Ilwayab, Tubang, Okaba, Eligobel, Sota, Ngguti, Kaptel, Kimaam, dan Padua.

Bahkan, LBH Papua mencatat masyarakat adat, seperti Marga Moiwend, Gebze, Basik-Basik, dan lainnya, tidak pernah secara sukarela menyerahkan tanah mereka. Namun, proses alih fungsi lahan tetap berlangsung di atas wilayah adat.

Baca juga: Indonesia Perparah Krisis Iklim Akibat Food Estate Merauke

“Kita menyerukan agar prinsip-prinsip pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat dijadikan prioritas dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya di tanah Papua.” Ungkap Teddy.

Direktur Hukum CELIOS, Mhd Zakiul Fikri, memandang ini sebagai bentuk perampasan tanah (land grabbing) yang dilakukan pemerintah bersama perusahaan. Padahal, tanah-tanah yang masuk dalam kluster PSN itu bukan lahan kosong tak bertuan (terra nullius), tetapi lahan yang dimiliki dan dikelola masyarakat adat secara turun-temurun.

Setidaknya, hingga saat ini lebih dari 1 juta hektar area lahan maupun hutan di Papua Selatan terdata sebagai wilayah masyarakat adat. Padahal, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 mengakui, menghormati, dan menjamin keberlanjutan masyarakat adat beserta hak-hak atas tanah adatnya.

“Perampasan ini juga merupakan bentuk pelanggaran hukum terhadap Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memiliki hak milik dan tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, termasuk oleh negara.” Ucap Zakiul Fikri.

Zakiul Fikri melanjutkan bahwa hal ini menimbulkan paradoks, PSN yang diproyeksikan sebagai solusi pemerataan ekonomi tetapi masyarakat adat justru menolaknya.

Baca juga: Food Estate di Papua: Ketahanan Pangan atau Kehancuran Alam?

“Penolakan ini tidak hanya menunjukkan lemahnya konsultasi yang bermakna dengan masyarakat adat, tetapi juga mengungkapkan persoalan serius terkait prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau FPIC” tutupnya.

Sementara itu, Muhamad Saleh peneliti Hukum CELIOS menjelaskan kondisi tersebut terjadi akibat dominasi pemerintah pusat dalam pelaksanaan PSN. Dominasi itu tergambar dalam lembaga KPPIP yang menunjukkan pendekatan pembangunan secara terpusat, meminggirkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.

Hal tersebut, katanya, bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Terdapat 133 peraturan sektoral di berbagai bidang yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjalankan ragam PSN di daerah.

“Dan, 61, 22% peraturan pelaksana UU Cipta Kerja digunakan untuk mendukung PSN di Daerah” ungkap Saleh.

Saleh juga menjelaskan bahwa melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (Undang-Undang No. 2 Tahun 2021), Pemerintah Pusat menghapus kewenangan pembentukan Perdasus dan Perdasi dalam urusan pemerintahan.

Baca juga: Proyek Strategis Nasional jadi Sumber Pelanggaran HAM

Padahal, kata dia, kewenangan tersebut memungkinkan Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan protektif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Dan ini mengabaikan spirit Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“Sehingga, kita dapat melihat bahwa pemekaran daerah melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mempermudah praktek perampasan lahan masyarakat adat karena kekosongan hukum dalam pengaturan kawasan dan tata ruang yang disengaja” tutupnya.

Dalam peluncuran dan media briefing tersebut hadir pula Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA), Prof. Djohermansyah Djohan. Sosok yang akrab disapa Prof. Djo itu menimpali harusnya pelaksanaan PSN di daerah yang berstatus Otsus pelaksanaannya menyesuaikan dengan kekhususan daerah tersebut.

Menurutnya, kekhususan tersebut tidak boleh diamputasi oleh regulasi pusat. Hal tersebut akan membuat tata kelola ulayat berpotensi lebih menguntungkan pemerintah dan swasta ketimbang masyarakat adat.

“Kita lihat dalam praktek, meskipun UU Otsus Papua mengatur beberapa hal terkait perlindungan masyarakat adat, tetapi masih lemah dalam implementasi sehingga pengambilan paksa tanah adat oleh penguasa masih terjadi.” tutup Prof. Djohermansyah Djohan.

Staf Redaksi Benua Indonesia