- Kekesalan Hartono terhadap Bank Tanah itu berawal dari lahirnya Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, dan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggara Bank Tanah.
- Ironisnya, pada 1 Agustus 2024, ada 7 orang warga dilaporkan ke Polres Poso dengan tuduhan melakukan tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama terhadap plang dan tanda batas (patok) milik Bank Tanah.
- Doni Moidady, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng mengatakan, Bank Tanah merupakan alat negara yang modern untuk merampas lahan masyarakat yang menjadi sumber penghidupan mereka.
- Fitri Pairunan, Ketua Solidaritas Perempuan Palu mengatakan, hadirnya PP No. 64 Tentang Bank Tanah ini juga sangat berdampak serius kepada perempuan. Pasalnya regulasi itu buta gender.
Hartono Lumentu sedikit kesal ketika ditanya soal Bank Tanah yang merampas lahan pertanian mereka. Warga Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) ini mengatakan bahwa Bank Tanah yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk tujuan reformasi agraria, berubah menjadi alat perampasan tanah modern.
“Di sini kita sudah mengalami dampak langsung dengan adanya Bank Tanah. Tanah dan lahan kami diklaim menjadi aset Bank Tanah. Padahal wilayah itu merupakan ruang penghidupan kami untuk bertani dan berkebun,” kata Hartono Lumentu, kepada Mongabay, pada Minggu 22 September 2024.
Kekesalan Hartono terhadap Bank Tanah itu berawal dari lahirnya Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, dan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggara Bank Tanah. Regulasi itu menyebut, bahwa Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah.\
Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan
Adapun tanah yang berada dalam penguasaan Badan Bank Tanah diberikan dengan status Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh Badan Bank Tanah dapat diberikan kepada instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Bank Tanah itu sendiri, BUMN/BUMD, Badan Hukum Milik Negara.
Pada Maret 2023, kata Hartono, Bank Tanah mulai melakukan aktivitas di atas tanah Eks Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sandabi Indah Lestari (SIL) yang memiliki luas 7.740 hektar di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau. Klaim sepihak itu membuat masyarakat geram dan marah, hingga mereka melakukan protes ke Pemerintah Poso.
Pada 14 Mei 2023, warga yang tergabung dalam lima desa itu melakukan aksi penolakan atas aktivitas Bank Tanah dengan membuat Forum masyarakat Lamba Bersatu (FMLB) sebagai wadah gerakan. Hartono dipilih menjadi ketua dalam forum tersebut, sekaligus memimpin perjuangan aksi itu. Alih-alih ditanggapi pemerintah, mereka justru kerap didatangi pihak kepolisian setelah aksi dilaksanakan.
Pada tanggal 12 Juli 2024, Bank Tanah membuat sosialisasi dengan mengklaim bahwa wilayah yang akan dipasangkan patok adalah tanah negara karena HGU PT SIL telah berakhir pada tanggal 13 Desember 2020. Bank Tanah juga menyampaikan bahwa masyarakat diizinkan mengelola tanah di wilayah patok, tapi tidak boleh menanam tanaman tahunan.
Berangkat dari sosialisasi itu, masyarakat yang tergabung dalam FMLB makin geram. Apalagi, Bank Tanah mengatakan bahwa wilayah yang diklaim menjadi asetnya itu akan dikelola selama 50 tahun ke depan. Hartono bilang, ini adalah bentuk perampasan lahan, dan penggusuran negara terhadap masyarakatnya.
“Badan Bank Tanah bukan hanya mematok lahan eks HGU PT SIL tapi mematok lahan persawahan produktif, lahan perkebunan coklat, dan kopi yang produktif, lahan kering yang belum digarap, bahkan pekarangan rumah Masyarakat,” jelas Hartono.
Baca juga: Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan
Pada tanggal 27 Juli 2024, masyarakat Watutau Kecamatan Lore Peore melakukan musyawarah. Hasilnya, mereka semua sepakat menolak segala bentuk kegiatan Badan Bank Tanah, di seluruh wilayah tanah adat. Musyawarah itu menyepakati gerakan bersama untuk melaksanakan aksi dengan menertibkan patok dan plang yang dipasang oleh Bank Tanah di wilayah adat mereka.
Pada 31 Juli 2024, aksi masyarakat pun kembali dibuat. Aparat desa, tokoh adat, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) hingga masyarakat Desa Watutau ramai-ramai mencabut plang dan patok Bank Tanah, lalu disimpan di Kantor Camat Lore Peore.
Ironisnya, pada 1 Agustus 2024, ada 7 orang warga dilaporkan ke Polres Poso dengan tuduhan melakukan tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama terhadap plang dan tanda batas (patok) milik Bank Tanah. 7 orang itu juga dituduh menghasut warga untuk melakukan tindak pidana.
“Padahal kami hanya melakukan penertiban plang dan patok Bank Tanah, bukan merusak. Kami ingin Bank Tanah jangan dulu beraktivitas di wilayah itu sampai perkara ini sudah selesai,” jelasnya
Sejarah Penguasaan Lahan di Lore
Desa Watutau adalah desa tertua di Lembah Napu. Orang telah tinggal di sana sejak zaman prasejarah, seperti yang ditunjukkan oleh patung megalit yang dibuat oleh orang-orang pada zaman batu. Sebelum menjadi sebuah desa, watutau masih berbentuk wanua atau tempat puluhan keluarga berkumpul dalam satu rumah yang dikenal sebagai rumah adat.
Wilayah yang diklaim oleh Bank Tanah itu dulunya difungsikan sebagai lambara (ruang penggembalaan ternak, terutama kerbau) oleh masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, padang luas menghampar itu pun dilirik oleh investor yang diawali oleh PT Perkebunan Hasfarm Napu (PHN) membuka perkebunan di Lembah Napu pada tahun 1992.
Dalam catatan Koalisi Kawal Pekurehua, PHN mendapatkan sertifikat HGU seluas 7.740 hektar dengan kepentingan membuka kebun dengan menanam teh dan kakao. Pada 1996, PNH mengalami persoalan produksi dengan terjadinya kegagalan tanaman kopi akibat terserang hama, dan pada tahun 1998 terjadi krisis multidimensional.
Baca juga: Barah Konflik di IHIP Berujung Kriminalisasi Warga
Pada tahun 2003, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjual aset HGU milik PNH ke kelompok usaha dibawah naungan Way Sebayur Group yang dipimpin oleh Adrian Herling Waworuntu, Jane Iriany Lumowa dan Dicky Iskandardinata.
Namun dua tahun kemudian, terungkap skandal bahwa pembelian aset PNH adalah menggunakan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui BNI. Dengan begitu, HGU milik PNH diambil alih oleh Negara melalui Kepolisian Republik Indonesia, dan diserahkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Ketika kasus HGU Eks PHN berada di Kejaksaan, Departemen Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso melaksanakan Program Kota Terpadu Mandiri (KTM) pada tahun 2009. Lokasi pembangunan KTM dilakukan di lahan sengketa HGU Eks PHN yang berada di lokasi hak ulayat Wanua Lamba (Desa Watutau).
Anehnya, pada tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Poso melakukan kerjasama dengan PT. Anugerah Semesta Abadi (ASA) dengan memberikan izin usaha di wilayah lahan HGU Eks PHN. Pada 2011, keluar Putusan Pengadilan atas kasus korupsi pembelian aset HGU Eks-PNH oleh Way Sebayu Group dan memutuskan Adrian Waworuntu sebagai terpidana.
Dengan putusan pengadilan itu kemudian digunakan oleh Kejaksaan untuk melakukan lelang aset HGU Eks-PHN pada 9 Februari 2011, dan PT Sandabi Indah Lestari (SIL) menjadi perusahaan mendapatkannya. Pada tanggal 25 Juli 2022 lalu, SIL telah tanah negara HGU Eks-PHN itu ke Badan Bank Tanah. Wilayah ini yang diklaim menjadi aset Bank Tanah.
Rilis website bank tanah menyebutkan profil aset Bank Tanah yang diklaim di Kabupaten Poso seluas 6.648 hektar dan berlokasi di Desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalimago dan Desa Watutau yang terbagi di dua kecamatan yaitu Lore Timur dan Lore Piore.
Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari
Kemudian, dari total luas eks HGU sebesar 7.740 hektar terdapat ada 4.079 hektar yang dianggap tidak ada penguasaan tanah, tanah yang dikuasai masyarakat seluas 3.213, 05 hektar, tanah berbadan hukum seluas 224, 29 hektar, tanah pemerintah seluas 12, 26 hektar dan tanah negara yang dikuasai negara seluas 7,17 hektar.
Hartono bilang, 6.648 hektar sebagai aset Bank Tanah adalah ruang publik bagi masyarakat Napu untuk dimanfaatkan bersama sebagai tempat beternak, dan juga sebagian dimanfaatkan sebagai lokasi menanam sayur-sayuran, cabai, tomat dan kacang panjang, serta kacang tanah. Katanya, wilayah itu sebagian adalah wilayah ulayat yang diwariskan leluhur mereka.
“Sebenarnya, lahan Eks-HGU PT. PHN ini memiliki sejarah buruk dalam penguasaan dan pengelolaan lahan yang merupakan tanah adat masyarakat, dan sampai sekarang tidak ada penyelesaian. Ditambah lagi dengan masuknya Bank Tanah menambah berbagai persoalan yang terjadi di lahan kita ini,” tegasnya
Perampasan Lahan Modern
Doni Moidady, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulteng mengatakan, Bank Tanah merupakan alat negara yang modern untuk merampas lahan masyarakat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Bank Tanah juga disebut akan memasifkan penggusuran dan memiskinkan masyarakat yang akan diambil ruang hidupnya.
Menggunakan topeng Reforma agraria, kata Doni, Bank Tanah tidak berbeda seperti korporasi yang rakus akan lahan dan memonopoli tanah. Hal itu semua tergambar jelas dalam Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2021 Tentang Badan Bank Tanah yang merujuk pada Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).
Doni bilang, pemerintah menggunakan definisi Bank Tanah yang merupakan badan hukum indonesia dibentuk oleh pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah dan penguasaan termuat dalam pasal 1 ayat 1. Sederhananya, Bank Tanah bertugas untuk mengambil alih properti kosong dan terbengkalai, untuk diolah menjadi lebih produktif.
Baca juga: Tambang Ilegal Bone Bolango Hanya Ditutup Sementara, Mengapa?
Dengan begitu, kata Doni, Bank Tanah secara otomatis menjadi alat penggusuran yang efektif dalam proses pencaplokan tanah dengan cara yang sistematis. Apalagi, secara kelembagaan, Badan Bank Tanah terdiri dari empat bagian: Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh presiden, Komite Bank Tanah yang terdiri dari menteri-menteri, Dewan Pengawas yang ditunjuk oleh presiden, dan Badan Pelaksana.
Menurut Doni, kelembagaan yang dibentuk ini semakin memusatkan pada keputusan presiden dan itu akan memuluskan terjadinya peralihan penguasaan tanah, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, tanpa mempertimbangkan kehidupan masyarakatnya dan ekosistemnya.
“Sehingga, hadirnya Bank Tanah ini akan mendorong penggusuran secara masif dan sistematis karena banyaknya proyek pembangunan yang dipaksakan saat ini,” kata Doni Moidady kepada Mongabay, Senin 22 September 2024.
Terlebih lagi, katanya, keamanan tanah untuk investasi sangat jelas diatur dalam pasal 19 PP Bank Tanah yang memberikan jaminan dan mendukung ketersediaan tanah untuk pembangunan pusat dan daerah dalam rangka mendukung ekonomi dan investasi. Artinya, atas nama investasi, Bank Tanah berpotensi mencaplok tanah petani kecil, nelayan, tanah adat yang belum bersertifikat.
“Fenomena ini yang terjadi di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau. Dalam kacamata Bank Tanah, wilayah itu adalah tanah kosong, dan tanah ulayat disebut tanah negara. Padahal, sebelum adanya negara, warga sudah tinggal di wilayah itu,” jelasnya
Sederhananya, kata Doni, hadirnya Bank Tanah akan memperdalam dan memperparah terjadinya konflik agraria, karena implementasinya terfokus pada keamanan tanah dan ketersediaan tanah, dan menghilangkan tujuan untuk penyelesaian sengketa dan konflik agraria. Apalagi, sasaran tanah yang diatur dalam Bank Tanah ini juga termasuk tanah ulayat.
Baca juga: Kebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang
Ia bilang, apa yang terjadi di lima desa di Kabupaten Poso itu memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana hadirnya Bank Tanah cukup jauh dari sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria. Alih-alih menyelesaikan konflik, katanya, Bank Tanah justru hadir untuk memperburuk situasi masyarakat dalam pengambilalihan tanah dari perusahaan.
“Bank Tanah ini tidak menyelesaikan konflik agraria seperti cita-cita dari PP Bank Tanah. Bank Tanah memperparah situasi penyelesaian konflik dan memperpanjang perampasan lahan masyarakat,” ujarnya
Perempuan Paling Terdampak
Fitri Pairunan, Ketua Solidaritas Perempuan Palu mengatakan, hadirnya PP No. 64 Tentang Bank Tanah ini juga sangat berdampak serius kepada perempuan. Pasalnya, kata Fitri, regulasi itu buta gender karena tidak ada kajian dan analisis gender berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan.
Fitri bilang, PP Bank Tanah itu mengabaikan Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Dimana, katanya, dalam peraturan itu, peran perempuan dan posisinya masih berada dalam konstruksi sosial, tidak dilihat sebagai subjek yang berhak atas tanahnya, dan diperparah dengan kepemilikan tanah lebih besar atas nama laki-laki.
Dalam konteks itu, kata Fitri, perempuan hanya dianggap objek semata, yang tanahnya dapat ambil alih oleh pemerintah kapan saja. Terlebih lagi, PP Bank Tanah itu hanya melihat keamanan investasi, dan tidak melihat pentingnya partisipasi bermakna, pengelolaan dan pemanfaatan tidak berpihak pada kelompok perempuan petani dan perempuan adat.
Baca juga: Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi
Padahal, katanya, perempuan sangat lekat dengan sumber-sumber agrarianya (tanah, udara, air, laut maupun hutan) dan tidak saja menjadikan alam sebagai sumber ekonomi, namun lebih dari itu, sebagai sumber pangan utama, sosial, ruang aman, spiritual, dan sebagai ruang untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih bermakna.
“Perempuan juga merupakan subjek yang memiliki intelektual yang sama dari laki-laki,” kata Fitri Pairunan kepada Mongabay, pada Minggu 21 September 2024 lalu.
Fitri bilang, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan sumber agraria, seperti menggunakan pengetahuannya dalam pengelolaan benih, menyemai, berbudidaya dengan kearifan lokal maupun menggunakan ilmu perbintangan, mengelola sumber mata air, dan mengelola ekosistem tanpa merusak.
Ketika terjadi perampasan ruang hidupnya, kata Fitri, peran perempuan dalam konflik agraria berkepentingan untuk mempertahankan tanah dan sumber-sumber kehidupannya, dengan ragam cara perjuangan yang dilakukan. Ia bilang, ini yang dilakukan oleh perempuan di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau yang melawan Bank Tanah.
Baca juga: Lembaga Keuangan Terlibat Merusak Hutan Indonesia
Konflik antara Bank Tanah dan lima desa bersaudara itu, kata Fitri, perempuan yang paling terdampak karena mereka mengalami banyak mengalami tekanan ekonomi, tekanan psikologis, dan tekanan sosial. Ia bilang, perempuan di lima desa itu sudah dari dulu tidak dapat lagi menguasai, mengelola, dan memanfaatkan sumber-sumber agrarianya.
Ia bilang, konflik yang berkepanjangan dari perusahaan hingga Bank Tanah membuat perempuan di lima desa itu kehilangan relasinya dengan sumber-sumber agrarianya. Hal itu akan membuat perempuan sudah tak dapat lagi berperan untuk menanam, merawat, membuat bibit, dan membuat lahannya agar tetap subur.
“Kondisi itu bisa membuat relasi perempuan dan alamnya dihilangkan. Semakin negara menciptakan ketimpangan agraria, semakin dalam juga ketimpangan yang dialami oleh perempuan,” pungkasnya.
Selamat Hari Tani Nasional
Leave a Reply
View Comments