Asia Tenggara diprediksi menjadi kawasan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050. Proyeksi meningkatnya pertumbuhan ekonomi ini akan seiring dengan naiknya permintaan energi.
Oleh karena itu, mempercepat transisi energi ke energi terbarukan serta penerapan efisiensi energi di kawasan akan memastikan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan penurunan emisi yang signifikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemanfaatan potensi energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara sebesar 17 TW menjadi modal penting untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) di sektor kelistrikan pada tahun 2050.
Untuk memanfaatkan melimpahnya potensi energi terbarukan dan mencapai NZE di pertengahan abad, IESR memandang perlunya kerja sama regional, model iklim yang inovatif, dan implementasi kebijakan yang efektif.
IESR mendorong perencanaan energi regional yang dapat mengadopsi peningkatan target energi terbarukan secara signifikan. Hal ini perlu tercermin dalam Visi ASEAN Pasca 2025 yang menekankan pentingnya transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim.
Baca juga: Power Wheeling Penting untuk Akselerasi Pemanfaatan Energi Terbarukan
Tanpa peta jalan transisi energi yang jelas, kawasan ini berisiko terjebak dalam ketergantungan karbon yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi hingga 35 persen pada 2050 berdasarkan Studi NTU Singapura dan Universitas Glasgow.
Arief Rosadi, Manajer Diplomasi Iklim dan Energi, IESR mengatakan, ASEAN Power Grid (APG) dapat dioptimalkan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan yang tinggi dan memastikan ketahanan energi kawasan.
Selain itu, peluang pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang tertuang dalam Pernyataan ASEAN+3 tahun lalu juga membuka peluang kerjasama internasional yang tidak hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga memberikan nilai ekonomi bagi negara-negara anggota.
Arief menyebut Asia Tenggara mempunyai sumber daya mineral kritis yang diperlukan dalam pengembangan energi terbarukan, di antaranya nikel sebesar 27 persen, timah 32 persen, unsur tanah jarang 36 persen, dan bauksit dari 22 persen dari total cadangan global.
“Keberadaan sumber daya mineral kritis di Asia Tenggara ini, dapat merangsang investasi lebih lanjut di sektor manufaktur panel surya dan baterai,” jelas Arief di Lokakarya Menuju Asean Summit pada Rabu (18/9/2024).
“Serta dapat mendorong potensi kerjasama energi transisi energi yang lebih luas di kawasan yang dapat memberi nilai tambah ekonomi,” sambungnya
Baca juga: Strategi Komprehensif Transisi PLTU untuk Masukan bagi CIPP JETP
Selain itu, penurunan harga teknologi energi terbarukan seperti modul surya membuka peluang besar untuk pemanfaatan energi terbarukan di kawasan ini.
Alvin P Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, IESR memaparkan, penurunan harga modul surya sebesar 66 persen dalam lima tahun terakhir turut mendorong adopsi energi surya di kawasan ini.
Produksi modul surya di Asia Tenggara juga kompetitif. Oleh karena itu, diperlukan insentif industri untuk mendukung pengembangan sektor ini, seperti yang telah diterapkan di Malaysia dan India.
“Kesepakatan kerjasama ekspor listrik antara Indonesia dan Singapura yang mensyaratkan pembangunan rantai pasok energi surya di Indonesia, merupakan langkah penting menuju terwujudnya ASEAN Power Grid,” jelasnya
Ia bilang, potensi penciptaan lapangan kerja hijau juga signifikan, khususnya dalam industri manufaktur modul surya yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi.
“Kerjasama antara institusi pendidikan dan riset lokal dengan industri diperlukan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja dan memastikan transfer teknologi kepada produsen lokal,” tegas Alvin.
Leave a Reply
View Comments