- Kondisi hutan Indonesia makin tak baik-baik saja, terus tergerus dari tahun ke tahun, jadi berbagai macam bisnis ekstraktif yang menggerus ekosistem dan fungsi sebagai penyangga lingkungan.
- Data Auriga Nusantara yang rilis akhir Maret 2024 menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2023 mencapai 257.384 hektar, naik dari 230.760 hektar tahun sebelumnya, 2022. Kondisi ini menunjukkan deforestasi Indonesia pada 2023 naik sekitar 26.624 hektar.
- Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, perlu ada terobosan hukum Pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan alam tersisa. Ada 30 juta hektar dari 90 juta hektar hutan alam Indonesia tersisa belum ada perlindungan hukum, termasuk hutan alam di dalam konsesi.
- Kerusakan hutan Indonesia juga ada peran lembaga keuangan. Menurut laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 yang dibuat Forests & Finance bersama TuK Indonesia menemukan, bank-bank besar di Indonesia mendanai empat komoditas yang berisiko terhadap hutan, mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis Indonesia.
Hutan Indonesia makin tak baik-baik saja, bahkan terus tergerus dari tahun ke tahun. Dari sabang sampai merauke, dari miangas sampai pulau rote, hutan Indonesia dikepung berbagai macam bisnis ekstraktif yang menggerus ekosistem dan fungsinya sebagai penyangga lingkungan untuk keanekaragaman hayati dan masyarakat sekitar.
Data Auriga Nusantara yang dirilis pada akhir Maret 2024 menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia pada tahun 2023 mencapai 257.384 hektar, naik dari 230.760 hektar pada tahun sebelumnya, atau 2022. Ini menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia pada tahun 2023 meningkat sekitar 26.624 hektar.
Menurut data tersebut, pulau terluas yang mengalami deforestasi adalah Kalimantan dengan 124.611 hektar, sementara Kalimantan Barat adalah provinsi dengan jumlah deforestasi terbesar di Indonesia dengan 35.162 hektar. Ironisnya, hampir semua hasil deforestasi di Indonesia terjadi di kawasan hutan negara.
Baca juga: Suku Awyu dan Moi Gelar Aksi Damai di MA, Serukan Penyelamatan Hutan Adat Papua
Tak hanya itu, 12.612 hektar dari temuan deforestasi 2023 itu berada di dalam 142 kawasan konservasi yang mayoritas berada di Papua. Suaka Margasatwa (SM) Pegunungan Jayawijaya menduduki peringkat pertama kawasan konservasi yang mengalami deforestasi terbesar yang mencapai 1.591 hektar.
Sementara itu, deforestasi yang berada di dalam kawasan konsesi mencapai 121.728 hektar, dan deforestasi dalam konsesi kebun kayu menduduki peringkat pertama yang merusak hutan alam di Indonesia.
Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, PT Mayawana Persada (Mayawana) di Kayong Utara, Kalimantan Barat menjadi perusahaan kayu yang menyumbang deforestasi terbesar di Indonesia pada tahun 2023 yang mencapai 15.052 hektar.
Timer mengatakan bahwa sejak 2021–2023, Mayawana telah menghancurkan hutan alam seluas lebih dari 33.000 hektar, atau hampir setengah ukuran Singapura. Ini menyumbang lebih dari seperempat dari total deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.
Padahal, menurut peta habitat terbitan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi PT Mayawana Persada merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Lebih setengah hutan alam di konsesi Mayawana pun berada di lahan gambut.
“Kami memiliki report investigasi khusus untuk PT Mayawana Persada ini yang sudah merusak hutan alam dan gabut di Kalimantan Barat,” kata Timer Manurung di acara rilis data deforestasi Indonesia 2023 pada 22 Maret 2024 lalu.
Baca juga: Kebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang
Adapun deforestasi yang terjadi di konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau konsesi logging mencapai 36.032 hektar. Timer bilang, PT Inocin Abadi di Papua Selatan menjadi perusahaan teratas yang menyumbang angka deforestasi sebesar 1.698 hektar di dalam konsesi HPH.
Selain itu, deforestasi yang terjadi dalam konsesi sawit pada tahun 2023 mencapai 24.634 hektar. PT Inti Kebun Sawit di berada di Papua menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit teratas yang menyumbang deforestasi sebesar 1.745 hektar di dalam konsesi sawit.
Sedangkan untuk deforestasi dalam konsesi tambang mencapai 33.812 hektar pada tahun 2023 ini. PT Berau Coal yang memiliki konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Timur berada di peringkat pertama penyumbang deforestasi Indonesia dalam konsesi tambang sebesar 1.346 hektar.
Menurut Timer, perlu ada terobosan hukum yang harus dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan alam yang tersisa. Dimana, katanya, ada 30 juta hektar dari 90 juta hektar hutan alam Indonesia yang tersisa belum ada perlindungan hukum, termasuk hutan alam yang ada di dalam konsesi.
“Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk melindungi hutan alam Indonesia yang tersisa. Misalnya, ada peraturan presiden yang dibuat untuk melindungi semua hutan alam yang tersisa itu,” tegas Timer
Sebenarnya, pemerintah menargetkan hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Kontribusi sektor hutan pada akhir dekade mendatang direncanakan harus bisa lebih banyak menyerap karbon, dibandingkan melepaskannya agar bisa berperan aktif meredam krisis iklim.
Baca juga: Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan
Rencana aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan itu disebut Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030. Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 telah diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Kebijakan itu untuk mendorong pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Tingkat emisi gas rumah kaca yang hendak dicapai adalah negatif 140 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) pada Tahun 2030.
Namun, dalam riset Greenpeace Indonesia berjudul “Main Api dengan Deforestasi” menemukan, bagaimana FOLU Net Sink 2030 dan dokumen terkait iklim Indonesia lainnya akan menjadi bumerang bagi kelangsungan hutan di tanah air.
Riset itu pun menyebutkan, strategi FOLU Net Sink 2030 untuk penyerapan emisi dari sektor hutan justru melanggengkan deforestasi dan berubah menjadi penyumbang emisi, memperparah kerusakan hutan yang bernilai konservasi tinggi, keanekaragaman hayati, dan kelangsungan masyarakat adat dan lokal.
Iqbal Damanik, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, strategi FOLU Net Sink 2030 dari sektor hutan itu bertolak belakang dengan komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dan pembangunan berkelanjutan. Terlebih lagi, FOLU Net Sink 2030 tidak menargetkan deforestasi Indonesia turun ke titik nol.
Sebaliknya, kata Iqbal, pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama “pembangunan besar-besaran dengan skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Melalui skema deforestasi terencana, pemerintah mengizinkan pembabatan hutan untuk berbagai kegiatan, seperti perkebunan sawit dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT) atau kebun kayu.
“Ada juga sektor pertambangan, ataupun kepentingan lainnya, seperti proyek strategis nasional,” kata Iqbal Damanik saat dirinya tengah berada di kegiatan KTT COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada akhir tahun lalu.
Baca juga: Bank-Bank Besar di Indonesia Mendanai Kerusakan Hutan
Sementara, kata Iqbal, melalui skema deforestasi tidak terencana, pemerintah masih memperkirakan adanya kebakaran hutan alam ataupun perambahan hutan ilegal. Namun, katanya, masalah bermula di tahap perencanaan, dimana pemerintah justru mengakui “jatah” deforestasi Indonesia sudah minus sejak awal.
Data perkiraan pemerintah dalam rencana operasional FOLU Net Sink 2030, akan ada potensi deforestasi terencana maupun tidak terencana selama 2013-2030 sebesar 4,22 juta hektar. Padahal, deforestasi pada 2013-2019 yang tercatat dalam dokumen yang sama sudah mencapai 4,80 juta hektar atau lebih luas dari Negara Belanda.
Artinya, kata Iqbal, klaim kunci dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman merupakan hal yang menyesatkan.
Padahal, menurut laporan dari tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data pada akhir tahun 2023 lalu menunjukan, Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Bahkan, di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Menurut Iqbal, pemerintah seharusnya tidak membolehkan adanya deforestasi lagi bahkan sejak tahun 2020, karena kuota deforestasi sejak 2019 yaitu 4,226 juta hektar sudah dilampaui sejauh 577.000 hektar.
Pahitnya, kata Iqbal, pemerintah justru nekat mematok target deforestasi hampir setengah lebih besar dari target NDC yang sudah besar yaitu 7,27 juta hektar menjadi 10,47 juta hektar selama 2021-2030. Angka yang nyaris setara dengan seperempat luas pulau Sumatera.
“Deforestasi yang ditargetkan itu terbagi dalam deforestasi terencana seluas 5,32 juta hektar (sekitar 0,53 juta ha per tahun) dan deforestasi tidak terencana seluas 5,15 juta ha (0,52 juta ha per tahun),” jelas Iqbal
Baca juga: Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa
Dalam perhitungan Greenpeace Indonesia, target deforestasi berisiko itu menghasilkan emisi karbon dengan total potensi sebanyak 10,1 Gigaton CO2. Proyeksi deforestasi 2021-2023 ini 7,5 kali lebih banyak dari emisi karbon Indonesia dari seluruh sektor pada 2010 sebesar 1,34 Gigaton CO2.
“Risiko itu belum termasuk emisi lainnya yang dapat terlepas dari atmosfer akibat kebakaran hutan dan gambut,” kata Iqbal
Angka deforestasi itu, katanya, sangat berisiko melampaui target pemerintah dalam FOLU Net Sink 2030. Pasalnya, banyak hutan alam yang berada di wilayah konsesi tidak dilindungi oleh payung hukum yang kuat. Terlebih lagi, hutan alam ini banyak terdapat di wilayah hutan produksi (HP), kawasan yang dapat diambil hasilnya, baik itu kayu maupun non kayu.
“Sebagai salah salah satu negara yang paling rentan akan perubahan iklim, penting indonesia untuk berupaya mengurangi emisi karbon dan menekan laju perubahan iklim serta mencegah dampak terburuknya demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya,” pungkasnya
Keterlibatan Lembaga Keuangan
Ironisnya, kerusakan hutan Indonesia yang selama ini terus terjadi ternyata ada peran lembaga keuangan. Menurut laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 yang dibuat oleh Forests & Finance bersama TuK Indonesia menemukan, Bank-Bank besar di Indonesia mendanai empat komoditas yang berisiko terhadap hutan, mendorong deforestasi besar-besaran di hutan tropis Indonesia.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sejak Perjanjian Paris, bank-bank di Indonesia seperti Bank Mandiri, BRI, BCA dan BNI menjadi bank terbesar di Asia Tenggara yang meresikokan hutan di Indonesia.
Misalnya dalam aliran kredit pada periode 2016-Sept 2023, pinjaman dan penjaminan yang meresikokan hutan berjumlah USD 76 miliar atau setara dengan Rp 1.083 triliun. Dominasi penyaluran atau 52% diberikan ke komoditas sawit dengan total USD 39 miliar atau setara Rp 557 triliun. Sedangkan, 37% disalurkan ke komoditas pulp & paper dengan total USD 28 miliar atau setara Rp 142 triliun.
Baca juga: Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa
Dalam periode yang sama, bank-bank internasional menyediakan 60% dari total kredit, atau sebesar USD 45,7 miliar (Rp 650 triliun), dengan kreditor terbesar dari China, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Sementara itu, bank-bank Indonesia menyediakan 40% dari total kredit, atau sebesar USD 30,5 miliar (Rp 433 triliun).
Dari total jumlah kredit itu, Bank BUMN Mandiri, memberikan layanan pinjaman dan penjaminan terbanyak, dengan total USD 6,5 miliar (Rp 92 triliun), yang disusul oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) USD 5,8 miliar (Rp 82 triliun). Sedangkan Bank Central Asia (BCA) memberikan kredit ketiga yang paling berisiko terhadap hutan sebesar USD 5,0 miliar (Rp 71 triliun).
Adapun pinjaman dan penjaminan terbesar kredit diberikan kepada Sinar Mas Group (SMG) sebesar 38% atau sekitar USD 29 miliar (Rp 412 triliun). Grup Royal Golden Eagle (RGE) menjadi nasabah debitur kedua yang menerima 8% atau sekitar USD 5,8 miliar (Rp 82 triliun). Pembiayaan kepada kedua grup ini ditujukan pada komoditas pulp & paper, dan minyak sawit.
Sementara itu, para investor menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham untuk sektor berisiko tinggi terhadap hutan ini senilai USD 11 miliar (Rp 169 triliun) pada September 2023. Investor terbesar dari Amerika Serikat sebesar USD 4,4 miliar (Rp 67,5 triliun) dan Malaysia sebesar USD 3 miliar (Rp 46,4 triliun).
Sime Darby dari Malaysia menerima investasi terbesar sebesar 1,9 miliar USD (Rp 29 triliun), dan taipan Hong Kong Jardine Matheson, yang banyak terlibat dengan PT Astra Agro Lestari Tbk, menjadi penerima investasi kedua sebesar 1,1 miliar USD (Rp 17 triliun).
Baca juga: Tantangan Masyarakat Adat Tapanuli Utara Kelola Hutan Adat
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, laporan Banking on Biodiversity Chaos 2023 menjadi bukti bahwa kebijakan terkait lingkungan, sosial dan tata kelola bank-bank besar di Indonesia masih tertinggal hingga gagal mencegah hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati.
Seharusnya, kata Linda, bank-bank ini ikut menjalankan penegakkan komitmen Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE) pada tingkat grup perusahaan yang berisiko terhadap hutan, dan meminta perusahaan-perusahaan ini mematuhi komitmen tersebut sebagai syarat pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah non-NDPE mereka.
Namun, kata Linda, implementasi komitmen ini sering kali tidak jelas, bahkan belum ada satupun dari lima bank terbesar di Indonesia itu yang mengadopsinya. Padahal, katanya, bank-bank yang berasal dari Malaysia, Singapura dan Jepang baru-baru ini mulai mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan NDPE.
“Faktor-faktor kegagalan lainnya diakibatkan karena sektor keuangan Indonesia belum membahas risiko terkait perusahaan bayangan yang berada di bawah kendali yang sama dengan grup-grup perusahaan produsen terbesar di Indonesia,” kata Linda Rosalina dalam konferensi pers pada akhir Maret 2024 lalu.
Selain itu, kata Linda, perubahan Taksonomi Hijau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) melemahkan pedoman lingkungan hidup di beberapa sektor termasuk energi dan pertambangan. Pasalnya, katanya, kebijakan itu memberikan kebingungan bagi pelaku pasar keuangan mengenai di mana mereka harus mengalokasikan modalnya.
Baca juga: Rukmini Toheke, Perempuan Penjaga Hutan Toro
“TKBI telah menghapuskan kategori ‘merah’ sama sekali untuk sejumlah kegiatan berdampak tinggi terhadap hutan dan keanekaragaman hayati. Ini akan mengaburkan tanggung jawab sosial, maupun lingkungan,” jelas Lindah
Terlebih lagi, kata Linda, TKBI tidak memprioritaskan sektor FOLU di tahun ini. Padahal kontribusi sektor FOLU terhadap emisi cukup besar. Oleh karena itu, pihaknya mendesak sektor keuangan harus melarang pembiayaan bagi kegiatan dan sektor yang menyebabkan kerusakan alam.
Bukan hanya itu, pihaknya juga meminta lembaga-lembaga keuangan harus memastikan bahwa kebijakan mereka di segala sektor berakar pada konsep perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati mengevaluasi dampak kumulatif pada seluruh ekosistem sebelum pembiayaan disetujui.
Ia juga meminta sektor keuangan harus memastikan bahwa kebijakan dan praktik mereka melindungi, memprioritaskan, dan memusatkan hak asasi manusia dari masyarakat yang terkena dampak, serta memprioritaskan transisi yang adil dan inklusif.
Linda bilang, transisi yang adil dan inklusi bisa diterapkan dengan melakukan divestasi dari kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh korporasi yang bergerak pada bisnis ekstraktif, dan mengalihkan investasinya pada bisnis yang sifatnya regenerative atau berkelanjutan.
“Semua itu kami rasa bisa dilakukan dengan melakukan pembatasan pembiayaan atas klasifikasi aktivitas ekonomi merah, kuning, hijau,” jelasnya
Namun, alih-alih menghentikan Bank-Bank besar di Indonesia mendanai komoditas yang berisiko terhadap hutan, ternyata lembaga-lembaga keuangan di Uni Eropa juga ternyata mengalirkan kredit global ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.
Baca juga: Masyarakat Adat Moa Masih Terbelenggu Hutan Negara
Hal itu berdasarkan laporan berjudul ”EU bankrolling ecosystem destruction” yang dibuat oleh Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa. Laporan itu menemukan seperlima dari kredit global atau setara Rp 4.394 triliun berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.
Pendanaan tersebut mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem.
Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), Cargill (Amerika Serikat), hingga dua grup bisnis besar Indonesia, Royal Golden Eagle dan Sinarmas turut disebut dalam laporan ini sebagai penerima dana dari lembaga keuangan Uni Eropa.
Dengan temuan ini, organisasi masyarakat sipil secara spesifik menyoroti komitmen iklim Uni Eropa. Pasalnya, Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi, tapi disisi lain lembaga-lembaga keuangan yang berasal dan berbasis di negara-negara anggotanya masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional mengatakan, lembaga keuangan di Indonesia juga perlu berefleksi dari laporan ini, mengingat kebijakan keuangan berkelanjutan yang tengah di orkestrasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.
Baca juga: Kearifan Masyarakat Adat Moa Merawat Hutan
“Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat membuat regulasi agar lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan,” tegas Uli Arta Siagian melalui rilis yang diterima Mongabay.
Uli Arta Siagian mengaku, pihaknya bersama Friends of the Earth Belanda sudah mencatat bagaimana regulasi Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR milik Uni Eropa ini perlu diperketat. Ia bilang, penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen perlindungan iklim mereka.
Diketahui, EUDR yang diadopsi pada Mei 2023, disebut sebagai langkah Uni Eropa untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global mereka. Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi untuk menjamin bahwa produk-produk mereka bebas dari deforestasi.
Meski begitu, kata Uli, regulasi itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan. Maka dari itu, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.
Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya. Menurutnya, Uni Eropa mesti memastikan proses ketertelusuran atau traceability mereka dapat diakses dan berkeadilan untuk para petani swadaya.
Adapun menyangkut masyarakat adat, kata Arie, kebijakan EUDR saat ini belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat. Misalnya di Indonesia, praktik-praktik industri sawit di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan.
Baca juga: Hutan Tergerus, ‘Upiya Karanji’ Terancam Hilang
“Praktik serupa masih mungkin berlanjut, apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR,” kata Arie Rompas melalui rilis yang diterima Mongabay.
Arie bilang, temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi.
“Di tengah berbagai bencana iklim yang semakin masif, perbankan Uni Eropa jangan lagi mendanai perusahaan yang terlibat perusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi, karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” pungkas Arie.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments