Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar

  • Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) rupanya masih terus terlilit persoalan tata kelola sawit dengan kebun ilegal di dalam kawasan hutan di Indonesia. Beberapa anak perusahaan masih terus beroperasi tanpa izin yang diperlukan. 
  • Laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie berjudul “Memupuk Konflik: menyebutkan, konflik lahan berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya pertanggungjawaban mewarnai operasi AAL di Indonesia.
  • Analisis data spasial dan pemetaan  Genesis Bengkulu yang menjadi dasar laporan itu menemukan, AAL memiliki 41 anak perusahaan dan 32 pabrik sawit (PKS) di area seluas 357.624 hektar yang tersebar di delapan provinsi. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang situs PT AAL.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, perampasan lahan, pelanggaran HAM, dan operasi ilegal PT AAL seharusnya menjadi peringatan. Pemerintah Indonesia, katanya,  harus memastikan pengembalian lahan kepada masyarakat dan petani yang diambil PT AAL tanpa persetujuan.

PT Astra Agro Lestari Tbk yang disingkat dengan AAL rupanya masih terus memupuk permasalahannya tata kelola sawit ilegal miliknya di dalam kawasan hutan Indonesia. Beberapa anak perusahaannya pun masih terus beroperasi tanpa izin yang diperlukan. Permasalah intimidasi dan kriminalisasi kepada para pembela hak asasi manusia di bidang lingkungan hidup juga masih terus.

Laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Milieudefensie menemukan, bagaimana konflik lahan yang berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya pertanggungjawaban mewarnai operasi AAL di Indonesia. Bahkan, pelanggaran lingkungan dan tata kelola AAL tampaknya lebih luas daripada yang didokumentasikan sebelumnya.

Sebelumnya, pada bulan Maret 2022, Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat membuat laporan tiga anak perusahaan AAL, yakni PT Agro Nusa Abadi (PT ANA), PT Lestari Tani Teladan (PT LTT), dan PT Mamuang yang secara terang-terangan melakukan pelanggaran lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

Dalam laporan tersebut, tiga perusahaan itu yang didokumentasikan diduga terlibat dalam konflik tanah  berkepanjangan dengan masyarakat lokal di Sulteng dan Sulbar. Bahkan, tiga perusahaan itu dituduh merampas tanah dengan kekerasan yang didukung pasukan keamanan Indonesia.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Selain itu, tiga perusahaan itu juga dinilai terlibat dalam penggundulan hutan ilegal, perambahan hutan, dan polusi tanah, udara, dan air yang berdampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat. Tak satupun dari tiga perusahaan menerima persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal saat beroperasi.

Misalnya, PT ANA tidak memiliki sertifikat HGU, izin resmi yang memberikan hak kepada perusahaan untuk mengolah tanah. Perusahaan diduga melakukan pengambilalihan paksa lahan seluas 5.000 hektar meski klaim kepemilikan masyarakat didokumentasikan melalui Sertifikat Tanah (SKT).

Sedangkan, PT LTT secara tidak sah mengklaim 1.505 hektar tanah milik masyarakat dalam sertifikat HGU dan beroperasi di 321 hektar di luar wilayah konsesi yang diizinkan. Sementara PT Mamuang secara ilegal menempati 255 hektar Kawasan Hutan Lindung Indonesia, dimana mereka telah membuka hutan dan menanam kelapa sawit.

Walhi Sulawesi Tengah mencatat setidaknya ada 10 orang menghadapi tuntutan pidana yang diajukan oleh tiga anak perusahaan AAL itu. Sebagian besar dari yang dilaporkan dituduh mencuri buah kelapa sawit, menduduki lahan tanpa izin, dan memberikan ancaman.

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

Namun, Manajer Media Dan Hubungan Masyarakat AAL, Mochamad Husni, membantah tuduhan tersebut, dan mengatakan bahwa perusahaan dan anak perusahaannya memiliki semua izin yang diperlukan, yang diperoleh melalui prosedur yang benar. Artinya, AAL mau mengakui dampak operasinya secara terbuka, dan tidak mau bertanggung jawab.

Tofan Mahdi, Senior Communications and Public Affairs Officer AAL juga mengatakan, tuduhan pelanggaran HAM, perampasan tanah, dan degradasi lingkungan yang dilontarkan kelompok penekan lingkungan Friends of The Earth (FoE) terhadap Astra Agro Lestari “tidak berdasar” dan tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.

“Astra Agro Lestari kembali menegaskan komitmennya terhadap pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan,” kata Tofan Mahdi, seperti dikutip di Jakarta Post

Akan tetapi, apa yang dilakukan tiga anak perusahaan AAL di Sulawesi menjadi sorotan, dan para pembeli dan penyedia pembiayaan perusahaan ini dipaksa memberikan tanggapan. Alhasil, sebanyak sepuluh perusahaan barang konsumen mengumumkan menangguhkan pembelian minyak sawit dari AAL atau tiga anak perusahaannya yang terlibat.

Sepuluh perusahaan barang konsumen tersebut diantaranya; Kellogg’s, PepsiCo, FrieslandCampina, Danone, Hershey’s, Nestlé, Procter & Gamble, Mondelēz, Colgate-Palmolive, dan L’Oréal.

Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari

Pada tahun 2024, Norges Bank juga mengeluarkan perusahaan induk AAL, yaitu Jardine Matheson Holdings, Jardine Cycle & Carriage dan Astra International, dari Dana Pensiun Global Pemerintah Norwegia (GPFG). Keputusan itu diambil karena AAL dinilai telah memberikan dampak negatif ke lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2023, dana pensiun Belanda PFZW melakukan divestasi dari perusahaan induk
AAL, yakni Astra International. Selain itu, BlackRock yang merupakan pengelola aset terbesar di dunia, menolak pemilihan ulang direksi dan komisaris AAL karena telah merampas lahan dari petani setempat, beroperasi tanpa mematuhi standar lingkungan, dan terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

Secara keseluruhan, ternyata 29 penyedia pembiayaan telah mengecualikan Jardine Matheson dan/atau anak perusahaannya dari pembiayaan karena masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim dan lingkungan.

Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Meski begitu, pada bulan Maret 2023, AAL merekrut grup konsultan Eco Nusantara untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan pelanggaran lingkungan dan HAM yang dilakukan oleh tiga anak perusahaannya, yakni PT ANA, PT LTT, dan PT Mamuang. Namun, hasilnya dinilai tidak lengkap, tidak memadai, dan tidak akurat, karena ruang lingkup investigasi ditentukan secara sepihak oleh AAL.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, laporan verifikasi AAL merupakan hasil investigasi yang mengabaikan masukan masyarakat sipil, gagal menyelidiki sejumlah tuduhan kritis, gagal memeriksa apakah anak perusahaan AAL pernah melakukan pelanggaran lingkungan dan HAM.

Uli Arta Siagian bilang, penyelidikan itu juga melihat bagaimana anak-anak perusahaan AAL memperoleh tanah dari masyarakat atau apakah perusahaan-perusahaan ini beroperasi secara legal. Ia bilang, Investigasi tersebut justru menuntut masyarakat menunjukkan dokumentasi klaim lahan mereka, namun tidak memerlukan bukti yang sama dari AAL.

“Hal ini sama sekali mengabaikan asimetri kekuasaan antara masyarakat pedesaan dan perusahaan besar, serta mengabaikan realitas rumit dalam pengakuan hak atas tanah di Indonesia,” kata Uli Arta Siagian melalui yang dibuat pada November 2023 lalu untuk merespon hasil penyelidikan AAL dan Konsultannya.

Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Gaurav Madan, Juru Kampanye Senior Hak Hutan dan Lahan di Friends of the Earth AS juga mengatakan, laporan verifikasi AAL itu juga tidak melihat apakah anak-anak perusahaannya berusaha untuk menerima Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dari masyarakat yang terkena dampak, seperti tuduhan dalam laporan Walhi dan FOE AS pada bulan Maret 2022.

Gaurav Madan pula menambahkan, laporan AAL itu juga gagal apakah tiga anak perusahaan AAL memegang semua izin yang diperlukan untuk beroperasi, berbagai kasus kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia lingkungan hidup, dan degradasi lingkungan yang terjadi pada sungai. Ia bilang, fokus penyelidikan sepenuhnya diputuskan oleh AAL.

“Penyelidikan AAL dan konsultannya gagal mengatasi banyak kekhawatiran pembeli, pemegang saham, dan masyarakat sipil. Fokus penyelidikan itu bersifat selektif, dan terdapat bias untuk mempertahankan status quo,” kata Gaurav Madan dalam rilis yang sama.

Pada bulan Februari 2024 lalu, AAL justru kembali menunjuk Eco Nusantara untuk membantu menyusun rencana aksi guna menerapkan rekomendasi berdasarkan investigasi dan laporan sebelumnya. Hal itu disinyalir sebagai langkah taktis AAL untuk berusaha menghindari tanggung jawab, karena investigasi dan laporan yang dihasilkan mereka tidak menelaah sebagian besar keluhan (termasuk FPIC).

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pelanggaran yang lebih besar

Alih-alih menyelesaikan pelanggaran yang dibuat, AAL tidak melakukan remediasi atas kerugian yang ditimbulkannya, atau tidak banyak perubahan di lapangan yang terjadi. Sebaliknya, perusahaan sawit terbesar kedua di Indonesia ini masih terus memanfaatkan lemahnya tata kelola dan proses administrasi di Indonesia untuk memupuk konflik di Sulawesi dan sekitarnya.

Hal itu tertuang dalam laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie dengan judul “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia,” yang terbit pada Juni 2024.

Laporan tersebut mengungkapkan bagaimana pelanggaran lingkungan dan tata kelola AAL tampaknya lebih luas daripada yang didokumentasikan sebelumnya, termasuk penanaman kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan Indonesia. Bahkan, beberapa anak perusahaan AAL yang beroperasi tanpa izin yang diperlukan.

Analisis data spasial dan pemetaan oleh Genesis Bengkulu yang menjadi dasar laporan tersebut menemukan, AAL memiliki 41 anak perusahaan dan 32 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di area seluas 357.624 hektar yang tersebar di delapan provinsi. Area konsesi terbesar AAL berlokasi di Sulawesi Tengah dengan luas hampir 86.000 hektar. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang situs PT AAL webnya

Egi Ade Saputra, Direktur Eksekutif Genesis Bengkulu mengatakan, pihaknya menggunakan data dari Indonesia Geospasial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusantara Atlas, dan Citra Satelit Planet untuk menemukan luasan kebun sawit milik AAL tersebut.

Baca juga: Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

“Semua data itu kita lakukan tumpang susun (overlay) dengan data resmi kawasan hutan dari KLHK. Hasilnya, kita menemukan luas kebun sawit milik AAL 357.624 hektar. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang situs web AAL,” kata Egi Ade Saputra kepada Mongabay, 26 Juni 2024 lalu.

Meski begitu, kata Egi, ada 5 anak perusahaan AAL yang tidak ditemukan data publik mengenai konsesinya. Perusahaan itu diantaranya, PT Suryaraya Lestari, PT Bhadra Sukses, PT Gunung Sejahtera Raman Permai, PT Sumbur Kharisma Persada, dan PT Persada Dinamika Lestari. Artinya, kata Egi, luas kebun sawit milik AAL bisa jauh lebih besar dari data yang ditemukannya.

Selain itu, Genesis Bengkulu juga menemukan, ada 17 konsesi anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 17.664 hekter kawasan hutan Indonesia di enam provinsi, yaitu Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.

Detailnya, 17.664 hektar kebun sawit dari 17 konsesi anak perusahaan AAL itu berada dalam kawasan hutan Indonesia dengan fungsi Cagar Alam (54.94 hektar), Hutan Lindung (2.005,23 hektar), Hutan Produksi Terbatas (2.014,90 hektar), Hutan Produksi Tetap (6.310,68 hektar), dan Hutan Produksi Konversi (7.211,79 hektar).

Sedangkan, sebesar 74% dari total konsesi AAL di kawasan hutan tersebut berlokasi di Sulawesi. Dimana, ada 8 anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 13.007,29 hektar kawasan hutan Indonesia yang ada di Sulawesi.

Tak hanya tumpeng tindih dengan kawasan hutan, Genesis Bengkulu juga temukan, ada 14 anak perusahaan AAL yang berada dalam kawasan hutan terlihat membuka lahan (land clearing) dengan total luasan mencapai 10.321 hektar sejak tahun 2015-2023. Temuan itu menggunakan metode analisis digital perhitungan nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) terhadap citra satelit planet 2015-2023.

Bahkan, kata Egi, hasil interpretasi citra Google Satelit tahun 2015 menemukan, ada seluas 4.337 hektar tanaman sawit di 14 anak perusahaan AAL itu berada dalam kawasan hutan Indonesia. Hingga tahun 2023, ada 8 anak perusahaan AAL yang telah memperluas perkebunannya dengan tambahan seluas 534 hektar.

Sekitar 1.100 hektar kebun sawit di dalam di kawasan hutan di luar Hutan Produksi Konversi (HPK), satu-satunya kategori hutan yang dapat dikonversi secara legal. Pembukaan kebun sawit diluar HPK itu disinyalir telah melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

“Genesis Bengkulu tidak menganalisis perkebunan AAL di luar area konsesi, yang artinya area perkebunan AAL di dalam kawasan hutan bisa saja jauh lebih luas,” jelas Egi.

Baca juga: Janji Manis Perusahaan Sawit, Pahit Petani Plasma Boalemo Rasakan

Bukan hanya itu, laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie itu juga menemukan, ada 3 anak perusahaan AAL yang beroperasi tanpa HGU. Ketiga perusahaan itu diantaranya; PT. Agro Nusa Abadi (ANA), PT Sawit Jaya Abadi (SJA), dan PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS).

Riset itu menyebut, tidak adanya HGU di 3 anak perusahaan AAL itu disinyalir bisa jadi bentuk penghindaraan pajak. Dimana, ketiga anak perusahaan AAL ini diduga jadi bagian dari 43 perusahaan di Sulawesi Tengah yang telah merugikan negara sebesar 400 miliar rupiah (lebih dari 25,5 juta dolar AS) dalam satu tahun karena tidak mengajukan permohonan izin yang diperlukan.

Laporan itu menyebut, ada dua anak perusahaan AAL di Sulawesi, yakni; PT Pasangkayu dan PT Letawa yang belum menerima surat pelepasan kawasan hutan. Temuan itu berdasarkan hasil audiens Walhi dan KLHK pada bulan Mei 2024 lalu. Dengan demikian, operasi kedua perusahaan diduga ini melanggar hukum Indonesia.

Pada 2022 lalu, Mongabay Indonesia juga pernah menulis secara mendalam soal PT Pasangkayu yang berada di antara dua Provinsi, yaitu Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Berdasarkan hasil analisis Citra Satelit Sentinel yang dilakukan oleh Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) menemukan, anak perusahaan AAL ini terbukti telah merambah kawasan hutan.

Pasalnya, dari 8.896,00 hektar luas Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Pasangkayu, ada sekitar 664 hektar berada dalam Hutan Lindung (HL). Sementara, eksisting sawit yang tertanam di dalam HGU teridentifikasi sudah seluas 7.515, dan 215 hektar diantaranya berada di HL. Ironisnya, ada sekitar 2.139 hektar HL, termasuk yang masuk dalam HGU, sudah ditanami kelapa sawit.

Namun, kebun sawit di dalam HL itu belum bisa dipastikan milik PT Pasangkayu atau tidak. Pasalnya, PT. Pasangkayu menawarkan model kemitraan untuk membangun perkebunan kelapa sawit diluar izin melalui dua perusahaan yaitu; PT. Surya Raya Lestari 1 dan PT. Surya Raya Lestari 2. Kedua perusahaan itu juga adalah anak perusahaan AAL.

Disisi lain, sepuluh perusahaan merek konsumen yang sudah mengumumkan menangguhkan pembelian sawit dari tiga anak perusahaan AAL itu ternyata tidak terlibat langsung melakukan untuk melakukan investigasi. Penangguhan yang dilakukan itu pun hanya terkesan formalitas karena sepuluh perusahaan merek konsumen ini ternyata tetap berbisnis dengan PT AAL sepenuhnya.

Artinya, perusahaan-perusahaan merek konsumen yang membeli pasokan sawit dari AAL secara diam-diam mendukung dan mengambil keuntungan dari model bisnis yang terindikasi melakukan perampasan lahan dan pelanggaran HAM. Mereka pun justru tidak menghentikan pembelian untuk memenuhi kewajibannya terhadap HAM serta meminta pertanggungjawaban AAL atas pelanggarannya.

Laporan itu juga menyebut, perusahaan besar seperti ADM, Bunge, Cargill, Fuji Oil, Louis Dreyfus, dan Olam masih membeli minyak sawit dari PKS yang terafiliasi dengan anak perusahaan AAL yang terlibat persoalan, yakni; PT ANA, PT LTT, dan PT Mamuang. Adapun Apical, KLK, Musim Mas, Sime Darby, dan Wilmar juga masih membeli minyak sawit dari anak perusahaan AAL lainnya.

Sebanyak 29 penyedia pembiayaan telah mencoret perusahaan induk AAL, Jardine Matheson, dan/atau anak perusahaannya dari pembiayaan karena masalah lingkungan. Tetapi, beberapa pihak lainnya, termasuk BlackRock, HSBC, dan dana pensiun Belanda ABP ternyata masih terus memberikan pembiayaan yang cukup besar kepada AAL dan perusahaan induknya.

Baca juga: Cerita Perempuan Melawan Sawit di Banggai; Dikriminalisasi Hingga Rumah Dibakar

Sederhananya, perusahaan merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis yang membeli minyak sawit dari PT AAL, serta pemodal yang mendanai AAL, semuanya mengambil keuntungan dari tata kelola yang lemah dan kegagalan administratif di Indonesia untuk mempertahankan bisnis seperti biasa.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, perampasan lahan, pelanggaran HAM, dan operasi ilegal yang dilakukan oleh AAL seharusnya menjadi peringatan. Ia bilang, pemerintah Indonesia harus memastikan pengembalian lahan kepada masyarakat dan petani yang diambil oleh AAL tanpa persetujuan.

“Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus menyelidiki peta dan izin AAL dan memastikan akses terbuka terhadap data ini,” kata Uli Arta Siagian melalui rilis yang diterima Mongabay pada 25 Juni 2024 lalu.

Uli Arta Siagian juga meminta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus menyelidiki pelanggaran lingkungan dan kasus HAM yang dilakukan oleh AAL dan secara transparan melaporkan hasil dari proses tersebut. Ia tegaskan, perusahaan-perusahaan perkebunan yang melanggar hukum dan peraturan perizinan di Indonesia harus dicabut atau dikurangi izinnya.

“Untuk melindungi hutan-hutan Indonesia yang masih tersisa, ekspansi perkebunan di dalam kawasan hutan harus dihentikan,” tegas Uli Arta Siagian.

Bagaimana Tanggapan AAL?

Merespon laporan terbaru Friends of the Earth AS,  Walhi, dan Milieudefensie yang mengambil dasar laporan Genesis Bengkulu itu, AAL langsung membantah. AAL mengklaim, semua anak perusahaan mereka beroperasi saat ini sesuai dan mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sejak kebijakan keberlanjutan diberlakukan pada 2015, AAL mengaku tidak pernah melakukan ekspansi atau pembukaan lahan baru sejak saat itu.

AAL juga memberikan referensi surat pelepasan kawasan hutan untuk menunjukkan bahwa pihaknya telah mendapatkan izin yang diperlukan untuk beroperasi di dalam kawasan hutan Indonesia, dan bahwa dalam beberapa kasus, penetapan kawasan hutan dilakukan setelah HGU diterbitkan.

Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations & Public Affairs AAL menyebut, laporan Friends of the Earth AS,  Walhi, dan Milieudefensie yang mengutip penelitian Genesis Bengkulu tidak akurat dan jauh berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Dimana, pihaknya mengidentifikasi ada keterbatasan sumber data yang digunakan yang menghasilkan informasi keliru dengan kondisi sebenarnya.

Fenny bilang, Genesis Bengkulu hanya menggunakan peta Atlas Nusantara dan peta bidang tanah milik Kementerian ATR/BPN sebagai sumber data untuk kajian deforestasi di kawasan hutan yang dituduhkan kepada AAL. Disisi lain, kata Fenny, Genesis Bengkulu tidak menggunakan data HGU/izin lokasi anak perusahaan mereka yang dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.

Baca juga: Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

Padahal, kata Fenny, data HGU menjadi bahan yang sangat mendasar untuk mengkaji tumpang tindih kawasan hutan dengan HGU/izin usaha perkebunan kelapa sawit. Data yang digunakan Genesis Bengkulu juga jauh lebih luas dibandingkan dengan data HGU/izin lokasi anak perusahaan AAL. Ia bilang, tanpa data HGU/izin lokasi yang terverifikasi, hasil kajian bisa menyesatkan.

“Data referensi Genesis Bengkulu menunjukkan bahwa batas areal perkebunan berbeda dengan bentuk HGU/izin lokasi anak perusahaan Astra Agro. Data tersebut juga lebih besar daripada data HGU/izin lokasi anak perusahaan AAL, dan berada pada dua kabupaten yang berbeda,” kata Fenny A. Sofyan melalui rilis yang diterima Mongabay.

Fenny juga menjelaskan, pihaknya mengidentifikasi bahwa laporan tersebut tidak mengkaji peraturan historis yang berkembang seiring berjalannya waktu, terutama mengenai tata ruang nasional dan implikasinya terhadap tumpang tindih antara HGU dan Kawasan Hutan. Ia tegaskan, HGU merupakan produk hukum.

“Kasus tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan yang ditafsirkan sebagai bentuk deforestasi dalam laporan tersebut dapat memberikan persepsi yang menyesatkan untuk masyarakat. Karena masalah tumpang tindih kawasan hutan dan HGU/izin lokasi perkebunan sawit telah diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja (UUCK),” tegasnya

Kondisi miris, kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang, malah banyak kebun sawit. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Kondisi miris, kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang, malah banyak kebun sawit. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Fenny mengungkapkan, KLHK telah melakukan penunjukan kembali kawasan hutan secara bertahap, sehingga banyak terjadi kasus pengembalian sebagian kawasan HGU menjadi kawasan hutan, padahal HGU tersebut sudah diperoleh jauh sebelumnya. Terlebih pemerintah berkali-kali melakukan revisi peraturan terkait penataan ruang.

Sejak tahun 2015-2023, Fenny mengklarifikasi, Astra Agro tidak pernah membuka lahan apa pun untuk pembangunan baru, seperti yang dituduhkan dalam laporan tersebut. Pihaknya juga mengklaim, dalam memulai pembangunan kebun, perusahaan telah melaksanakan seluruh proses sesuai peraturan perundang-undangan termasuk dalam pelaksanaan pembebasan lahan yang melibatkan para pemangku kepentingan.

“Termasuk masyarakat dengan terlebih dahulu melakukan sosialisasi hingga mendapatkan kesepakatan bersama yang dalam terminologi saat ini dikenal dengan FPIC,” ungkapnya

Jika ada keluhan, kata Fenny, AAL sudah berkomitmen secara terbuka menerima masukan, kritik dan saran yang diperlukan dalam menjalankan proses bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Perusahaannya juga telah menyediakan mekanisme keluhan yang dapat diakses secara umum melalui website untuk melakukan konfirmasi langsung atas segala isu yang berkaitan dengan Perusahaan.

Baca juga: Janji-janji Manis Perusahaan Sawit Berbuah Derita Petani Plasma Boalemo

Namun, kata Egi Ade Saputra, Direktur Eksekutif Genesis Bengkulu, apa yang dibantah oleh AAL ini tidak memiliki kejelasan meski mereka memberikan referensi surat pelepasan kawasan hutan. Pasalnya, AAL mengklaim luasan kebun sawit mereka hanya sekitar 287,044 hektar, tapi mereka tidak mengungkapkan koordinat konsesi resminya.

Disisi lain, kata Egi, AAL mengklaim bahwa pihaknya memiliki peta yang berbeda untuk konsesi dan operasinya serta meminta Genesis Bengkulu merujuk ke data pemerintah. Tetapi, katanya, data pemerintah yang disajikan di portal Bhumi ATR/BPN justru terlihat berbeda yang menyebutkan kebun AAL mencapai hanya 192.120 hektar saja.

Egi bilang, perbedaan data ini menunjukkan lebarnya kesenjangan yang menimbulkan keraguan atas keakuratan dan kelengkapan data yang dimiliki AAL. Dengan begitu, pihaknya berkomitmen tetap akan menggunakan data Nusantara Atlas selama AAL tidak bisa memberikan koordinat konsesi resminya.

“Meski begitu, kami menduga data AAL itu hanya mencantumkan perkebunan intinya dan bukan total konsesi perkebunan,” katanya

Hijrah Ipetu, petani plasma sedang melihat kebun sawit yang sudah tidak terawat lagi di Desa Pangeya Idaman, Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo. Dia juga anggota Koperasi Pangeya Idaman. Foto: Sarjan Lahay
Hijrah Ipetu, petani plasma sedang melihat kebun sawit yang sudah tidak terawat lagi di Desa Pangeya Idaman, Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo. Dia juga anggota Koperasi Pangeya Idaman. Foto: Sarjan Lahay

Gaurav Madan, Juru Kampanye Senior Hak Hutan dan Lahan di Friends of the Earth AS mengatakan, AAL tidak pernah mendapatkan persetujuan dari masyarakat untuk beroperasi di lahan mereka dan mengabaikan hak atas FPIC. Ia meminta, merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis harus betul-betul menangguhkan pembelian minyak kelapa sawit dari AAL.

“Perusahaan dapat membuat komitmen retoris untuk menegakkan hak asasi manusia dan mencapai kelestarian lingkungan, tetapi bicara saja tidak cukup. Diperlukan akuntabilitas,” kata Gaurav Madan melalui rilis yang diterima Mongabay.

Gaurav Madan juga meminta, merek-merek konsumen dan pedagang agribisnis harus menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan lahan masyarakat bisa dikembalikan AAL. Ia berharap, para pemodal harus mengadopsi kebijakan pengecualian agribisnis yang mengalihkan investasi dari model perkebunan monokultur yang dominan dan merusak.

“Pelanggaran yang dilakukan AAL akan menjadi perhatian penting bagi perusahaan yang menempatkan produknya di pasar Eropa,” jelasnya

Baca juga: Lembaga Keuangan Terlibat Merusak Hutan Indonesia

Pasalnya, mulai Januari 2025, Peraturan Deforestasi Eropa (European Deforestation Regulation/EDR) akan mewajibkan perusahaan untuk menunjukkan rantai pasok yang bebas dari deforestasi dan pelanggaran hukum, termasuk penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional dan hak untuk mendapatkan informasi awal tanpa paksaan (FPIC).

“Jika tidak patuh, perusahaan dapat menghadapi sanksi yang signifikan, termasuk denda, penyitaan barang, dan larangan untuk menempatkan komoditas di pasar,” katanya

Danielle van Oijen, Koordinator Program Hutan Internasional di Milieudefensie meminta para pemodal dan pembeli minyak kelapa sawit harus berhenti mempromosikan perluasan perkebunan industri. Hal itu sebagai bentuk menghentikan deforestasi dan pelanggaran HAM, dan mendorong adanya pergeseran ke pengelolaan hutan oleh masyarakat.

“Melanjutkan pembelian dari AAL memiliki risiko deforestasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Badan-badan penegak hukum di Uni Eropa harus menyelidiki secara menyeluruh semua pengiriman produk AAL untuk memastikan kepatuhan terhadap Peraturan Deforestasi Eropa,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.